Angel menghubungi Ben. Dalam sekejap panggilan tersebut tersambung, hanya saja Ben tidak langsung menjawabnya. Setelah waktu koneksi habis Angel mengulang lagi meredial panggilan. Ia mengulangi hal tersebut berkali-kali. Namun hasilnya sama saja. Ben tidak menjawab panggilan darinya. Menyerah, Angel menjauhkan ponsel dari telinga dan memutuskan untuk berhenti menghubungi suaminya. Perempuan itu duduk di tepi tempat tidur. Musik yang berdentum-dentum masih terdengar di luar sana yang menembus sampai ke kamarnya dan membuat kepalanya berdenyut hebat. Yang bisa Angel lakukan selanjutnya adalah melamun sendiri di kamar itu, menunggu sampai keriuhan di luar berakhir. Tiga puluh menit kemudian Angel tidak lagi mendengar suara-suara memekakkan telinga tersebut. Bangkit dari tempatnya, Angel menarik langkah keluar dari kamar. Suara musik sudah berhenti. Teman-teman Lolita yang tadi joget-joget juga sudah tak terlihat. Sisa-sisa asap rokok yang mengepul udara, kaleng-kaleng bir kosong ya
Pagi ini Ben terbangun bukan oleh suara alarm yang setiap hari disetelnya agar berbunyi di pagi hari, melainkan oleh rintihan Lolita yang semakin lama terdengar semakin pilu.Dengan berat lelaki itu membuka matanya dan mendapati Lolita sedang meringis kesakitan."Kamu kenapa, Sayang?" tanyanya sambil mengucek matanya yang masih digayuti kantuk."Ben, perut aku sakit banget ..." Lolita merintih dengan suara yang begitu lirih. Suaranya sudah bercampur dengan air mata yang hendak tumpah."Kenapa bisa sakit lagi?" Seingat Ben belum lama ini kekasihnya itu juga sakit."Semalam aku nggak makan," suara perempuan itu selemah badannya.Ben mengembuskan napas sambil bangun dari posisinya berbaring. Pasti saat ini mag Lolita kambuh lagi."Kenapa kamu nggak makan? Kamu kan mengidap mag, Ta. Aku udah bilang kan agar makan yang teratur?""Ih ... kamu kok jadi marah-marah sih sama aku? Aku lagi sakit malah diomelin." Lolita merengek manja."Nggak, nggak, aku nggak marah sama kamu, Ta." Ben buru-buru
Angel dan Ben sudah berada di kantin rumah sakit. Keduanya duduk berhadapan dengan semangkuk soto dan segelas teh hangat di hadapan masing-masing. Angel menyuap sotonya dengan lahap karena dirinya benar-benar lapar. Begitu kontras dengan Ben yang duduk di hadapannya. Lelaki itu tampak tidak bersemangat. Sisa-sisa kepanikan masih belum hilang di raut gagahnya."Kenapa nggak dimakan?" tegur Angel lantaran Ben tidak menyentuh makanannya. Lelaki itu hanya menyesap teh di hadapannya, itu pun hanya beberapa teguk. Pria itu benar-benar tidak berselera. Sebelum ia memastikan kondisi Lolita, Ben tidak akan bisa tenang."Gimana aku bisa makan kalau aku nggak tahu seperti apa kondisi Lolita," jawab lelaki itu."Tapi Lolita sudah ditangani dokter. Dia berada di tangan ahlinya. Kita tunggu saja ya. Aku yakin Lolita akan baik-baik saja,” kata Angel menenangkan.Mengembuskan napas panjang, tangan Ben bergerak meraih sendok lalu mulai menyuap dengan perlahan soto yang mulai mendingin di dalam mangkuk
“Ben mana?” Pertanyaan dari Lolita menyambut langkah Angel ketika perempuan itu mengayunkan kakinya ke dalam. Bukan Angel orang pertama yang diharapkannya setelah membuka mata, tapi pria yang dicintainya.“Ta, Ben tadi ada di sini. Dia nggak ke mana-mana. Tapi sekarang dia harus berangkat karena ada meeting penting yang harus dihadiri,” terang Angel menjelaskan.Sontak saja penjelasan yang didengarnya membuat Lolita cemberut. Ia tidak terima begitu saja atas alasan itu. Dirinya sedang sakit tapi bisa-bisanya Ben yang katanya sangat mencintainya pergi begitu saja.“Telepon Ben sekarang, suruh dia pulang,” suruh Lolita memerintah Angel.“Tapi Ben sedang ada meeting penting, Ta. Itu bukan hanya meeting biasa. Ben meeting dengan kolega kita. Kalau Ben nggak menghadirinya kita bisa kehilangan peluang itu,” jelas Angel panjang lebar. Angel tahu persis bahwa Lolita sangat manja terlebih kepada Ben. Namun ia harap untuk kali ini saja Lolita bisa bersikap dewasa. “Sekarang bilang kamu butuh ap
Untuk sesaat Angel termangu mendengar ucapan Ben. Namun rupanya diamnya Angel membuat pria itu mengira bahwa Angel keberatan."Jadi kamu nggak mau membantu aku? Kamu nggak mau menjaga Lolita selama aku pergi?""Aku sama sekali nggak keberatan. Aku bersedia. Tapi gimana dengan Lolita, apa dia nggak keberatan kalau aku yang menjaganya?" tanya Angel balik sambil melirik ke arah kekasih suaminya. Ia hanya merasa ragu. Ia tidak yakin Lolita akan setuju.Ben lantas memandang ke arah kekasihnya dan langsung menanyakannya."Sayang, nggak apa-apa kan kalau kamu tinggal sama Angel? Aku nggak akan lama kok. Aku usahain besok sore udah di sini."Terdengar embusan napas yang Lolita keluarkan dengan kasar. Sungguh dirinya tidak ingin tinggal bersama Angel. Tapi apa daya. Ia butuh seseorang yang bisa menjaganya selama ia sakit. Dan sialnya satu-satunya orang itu adalah Angel."Nggak apa-apa," jawab Lolita berat hati. "Tapi janji ya, paling lambat besok sore kamu sudah di sini.""Janji," jawab Ben me
Angel bergegas menyusuri koridor rumah sakit. Setelah mendapat telepon tadi dirinya langsung menuju tempat itu dengan perasaan khawatir. Baru beberapa jam yang lalu Lolita keluar dari rumah sakit, namun dia sudah kembali ke tempat itu dengan kondisi yang berbeda.“Maaf, Sus, bagaimana kondisi pasien atas nama Lolita yang baru saja mengalami kecelakaan?” Angel menanyakannya pada perawat yang ia temui.“Pasien sedang ditangani, Bu. Saat ini berada dalam keadaan tidak sadarkan diri,” jawab si perawat.“Kira-kira bagaimana keadaannya, Sus, apakah parah?” Meski sang perawat berkemungkinan tidak bisa memastikan namun setidaknya Angel mendapat sedikit gambaran.“Berkemungkinan besar pasien mengalami pendarahan, Bu.”Astaga, Angel tersentak kala mendengar informasi yang disampaikan perawat padanya. Ia mengasumsikan sendiri bahwa kondisi yang dialami kekasih suaminya itu cukup parah atau malah sangat parah.Usai bicara dengan perawat Angel berjalan menjauh. Dengan ponsel yang berada di dalam g
Setelah dilakukan pemeriksaan terhadap Angel, dokter menyatakan bahwa perempuan itu memenuhi syarat untuk mendonorkan darahnya. Selain golongan darahnya yang sesuai dengan Lolita kesehatan perempuan itu juga memadai.Setelah transfusi darah berlangsung Angel keluar dari ruangan. Tadi ia disuruh beristirahat sebentar untuk mengetahui apa ada sesuatu sebagai efek dari pendonoran darahnya. Dokter bilang jika Angel merasa pusing atau gejala-gejala buruk lainnya maka ia harus segera memberitahu. Tapi syukurlah so far so good. Semua berjalan dengan lancar. Angel tidak mengeluhkan apa pun. Ia merasa baik-baik saja.Kalau Rendra tahu apa yang saat ini Angel lakukan maka pria itu pasti akan mengecamnya. Bukan hanya Rendra, Angel yakin jika orang lain tahu bahwa dirinya mendonorkan darah untuk kekasih suaminya, maka mereka akan melabeli Angel dengan perempuan bodoh.Sebut saja Angel bodoh. Tapi Angel melakukan ini bukan hanya demi 'membayar utang' pada Lolita, namun juga karena rasa kemanusiaa
Pintu apartemen dibuka dari luar tepat ketika Angel keluar dari kamar. Ben muncul tanpa Angel perkirakan sebelumnya. Padahal yang ada di pikiran Angel adalah laki-laki itu tidak akan datang dan akan terus berada di rumah sakit menjaga kekasihnya yang masih berada dalam masa perawatan.“Ben, Lolita mana?” Angel menanyakannya saat tahu suaminya itu pulang sendiri.Ben membalas tatapan Angel. Di detik itulah Angel melihat gurat-gurat lelah yang tercetak begitu jelas di wajah suaminya.“Di rumah sakit.”“Siapa yang menjaga dia?”Ben mengedikkan bahu acuh tak acuh lantas berlalu begitu saja yang membuat Angel keheranan. Dipandanginya begitu lama punggung Ben dengan penuh tanda tanya sampai lelaki itu menghilang dibalik pintu kamarnya.Mencoba menepis keheranannya untuk sesaat, Angel melanjutkan langkahnya yang tertunda menuju ruang belakang. Tadi perempuan itu menanak nasi dan bermaksud membuat nasi goreng. Angel sedang malas memesan makanan online. Lagipula sudah lama dirinya tidak memaka