Air kaldu dituang ke atas gulungan mie di dalam mangkuk keramik. Ditambah potongan daging cincang dan bawang goreng. Bersama beberapa osengan lain, makanan itu disajikan."Pesanan meja no dua...siap!" si tukang masak berteriak."Ya!" pramusaji mendatangi Yu Jian Hua yang masih asyik menggoyangkan wajan."Di sana!" tunjuk Yu Jian Hua sebelum ditanya. Ia melirik ke nampan yang berisi makanan dan siap diantar."Oh, iya!"Siang itu akan menjadi sangat sibuk. Musim dingin sudah berakhir. Bunga musim semi yang mekar membuat orang-orang bersemangat untuk menghabiskan waktu di luar. Sudah dua jam Yu Jian Hua berdiri di depan tungku api dan wajannya. Catatan pesanan, dari pelanggan di rumah makan tempatnya bekerja, terus datang dan hanya memberinya waktu untuk menenggak beberapa gelas minuman dari buah anggur yang difermentasi sendiri olehnya."Akhh! Hampir lupa!" pramusaji berbalik lagi. "Jian Hua! Di luar ada perempuan bisu! Aku menyuruhnya menunggu di meja tiga! Kau akan menemuinya, 'kan? A
[Tuan! Aku tidak suka sendiri.]Yu Jian Hua mengepalkan tangan. Terlalu buruk karena pada kenyataannya dialah yang seolah ditinggalkan. Yu Yan terlalu lihai menghukum Yu Jian Hua atas kesalahan yang Penasihat Istana tidak mengerti. Mengasihi, kemudian melempar dirinya ke lembah berduri dengan jutaan rindu yang menyakitkan. Tapi, Yu Jian Hua tidak marah. Dia malah merasa bersalah karena tidak mengerti apa yang terjadi. Yu Yan menghilang, itu akan menjadi penyesalan dan luka yang akan ia sandang seumur hidup.Aroma embun tercium pekat di antara langit malam yang beradu dengan warna kemerahan di ufuk timur. Yu Jian Hua masih berada di padang ilalang. Menapaki jalan setapak yang terlihat samar di akhir malam. Hanya mengikuti instingnya saja, Yu Jian Hua tidak berharap tidak tersesat. Ilalang selalu mengingatkannya pada sentuhan indah sekaligus menyakitkan tentang Yu Yan. Dari sana ia tahu bahwa ia berada di jalur yang benar.Lalu, apa yang membuat mereka gelisah. Gerak yang tidak sebebas
Ketika cahaya kembali menyentuh mata, hal yang pertama kali ia ingat adalah rasa sakit tertusuk Jarum Es milik kakaknya. Namun, seperti mimpi, Mo Zhang Li tidak merasakan ada yang salah dari tubuhnya. Kecuali rantai besi yang mengekang dua tangan dan dua kaki, juga rasa lemas yang terkesan wajar karena energi yang terkunci oleh rantai-rantai itu. Rantai yang bergerak, menimbulan suara yang memaksa Yu Jian Hua ikut membuka mata. Yu Jian Hua sedang bemeditasi, di atas batu yang berada sekitar tiga meter, tegak lurus di hadapan Mo Zhang Li. "Di mana ini?" tanya Mo Zhang Li dengan sedikit kerutan di kening. Ia belum bisa melihat leluasa. Ketika Mo Zhang Li menyadari keberadaan Yu Jian Hua, langsung saja ia bertanya, "Di mana kakakku? Apa yang kau lakukan kepadanya?" "Di hadapanku kau mengkhawatirkan kakakmu, dan di hadapan kakakmu kau mengkhawatirkanku!" Yu Jian Hua turun dari tempat meditasi, kemudian menghampiri Mo Zhang Li. "Terserah saja dengan apa yang kau pikirkan! Kenapa masih
"Tuan, Nyonya Muda sudah diantar ke kediaman Anda!" seseorang melapor ke Penasihat Istana. Yu Jian Hua tidak menanggapi. Masih berusaha keras mengulur waktu agar tidak segera kembali ke kamarnya. "Ada apa? Masih ingin menemaniku?" Raja Zhian bersuara. "Kau tahu yang membuat sakit kepalaku kambuh adalah dirimu. Jadi, jangan berpura-pura peduli kepadaku!" "Ampun Yang Mulia!" Yu Jian Hua merendahkan diri. "Jika kehadiran hamba justru mengganggu Yang Mulia, hamba akan pergi!" Raja Zhian berdecak, "Berhenti bicara formal kepadaku!" keluhnya. "Kau tahu, bukan dirimu yang kubenci, tapi wanita itu," katanya. "Pergilah! Nanti kita bicara lagi... !" Yu Jian Hua mundur beberapa langkah sebelum berbalik dan meninggalkan Paviliun Hudie. Sungguh beruntung, Zhian Yu Fei masih begitu baik kepadanya ditengah kebimbangan nasib Yueliang Palace selanjutnya. Masa depan yang benar-benar tidak bisa diprediksi. Ikatakan dijalin dengan tidak sengaja, lalu apakah permusuhan harus ditepiskan. Namun, tet
Yu Jian Hua bergeming ketika Mo Zhang Li berdiri di tepi Tebing Awan dan bertanya, "Jika aku melompat, apa yang akan terjadi? Apa jasadku akan lebur?" ... Ekspresi penasarannya sungguh mengerikan. Jika dalam pikirannya jurang di Tebing Awan berarti neraka, sudah seharusnya ia berhati-hati. Bukan malah bermain-main dengan keberuntungannya sendiri dengan membentangkan tali di antara dua tiang, kemudian berbaring di atas tali itu. Mo Zhang Li memejamkan mata. Rantai di tangannya berubah solid, pertanda Mo Zhang Li perlu menggunakan kekuatan untuk bisa menyeimbangkan diri di atas bentangan tali berdiameter lebih kecil dari jari kelingkingnya sendiri. Berayun ke kiri, jurang sangat dalam siap menelannya. Meski mereka dirantai bersama, dan secara logika, dengan rantai itu Yu Jian Hua bisa menahan Mo Zhang Li agar tidak jatuh, tetap saja ada kekhawatiran di benak Yu Jian Hua. Pemandangan yang ia lihat sekarang, mengingatkannya pada seseorang yang sengaja berbohong, namun begitu samar ala
"Jufeng Mo, mana mungkin bisa diajak berkompromi. Setelah jasadnya rusak, dia perlu aura hidup manusia untuk bisa menjaga jiwa dan kekuatannya agar tidak terberai kemana-mana. Jadi,mana mungkin ia setuju untuk tidak berbuat kekacauan. Mo Zhang Li juga di sini sekarang, dia punya alasan yang besar untuk datang, apa kita hanya akan berdiam diri sampai Jufeng Mo berbuat onar di Yueliang Palace?" Seiryu berkata lantang. Wang Zhian menelan air liurnya. Pertemuan dengan para petinggi istana adalah satu hal yang tidak ia sukai. Di istana sudah lama beredar banyak gosip tentang Yu Jian Hua dan Mo Zhang Li, tentang ketidaksukaan atas hubungan keduanya, namun hanya Seiryu yang berani menyuarakan kekhawatiran itu. Wang Zhian pun sebenarnya membatasi diri untuk meminta pendapat Yu Jian Hua. Pendapatnya sekarang tentu akan dinilai tidak objektif. Urusan istana yang akan selalu bertentangan dengan kepentingan Mo Zhang Li, Whang Zian masih belum tahu bagaimana sikap Yu Jian Hua. Terkesa
"Bagus sekali! Akhirnya aku diperlakukan sewajarnya sebagai seorang tawanan!" sebut Mo Zhang Li ketika seorang pengawal mengantarkan mangkuk tanah liat berisi makanan. Ia menggosokkan tangan ke gaunnya sendiri dan menjumput isi makanan itu. Makanan yang bercampur pasir, tidaklah lebih buruk dari makanan dari paviliun tempat Yu Jian Hua tinggal. Makanan dalam mangkuk porselen yang entah kenapa dirasa pahit dan menusuk. Sejak terbangun dari tidur panjangnya, hari inilah yang mungkin paling dinanti. Hari di mana ia tidak harus melihat wajah Penasihat Istana, tidak mendengar suaranya, dan tidak mencium aroma tubuhnya. Mo Zhang Li tidak tahu apakah ini bentuk kebencian yang akhirnya bisa ia rasakan. Terhadap Yu Jian Hua, rasanya kata benci pun terlalu berharga. Akan lebih baik jika tidak peduli, yang berarti tidak ada lagi emosi yang hadir karena dirinya. Penjara Istana Awan, seperti gua batu yang tak terurus. Mo Zhang Li cukup terkejut karena masih ada tempat ya
"Tuan! Biar kubantu!" Ye Luo memasangkan pakaian ke punggung Yu Jian Hua. "Penghuni bumi mengira sebentar lagi akan kiamat!" Raja Zhian menerobos masuk ke sisi kolam pemandian. Ia terhenyak sendiri dengan tampilan Yu Jian Hua. Pakaian tipis dan kulit yang basah, tidak ada yang bisa dilakukan Yu Jian Hua ketika Raja Zhian harus memalingkan wajahnya. "Aku sudah menyuruh pelayan mengambil pakaianku. Tidak akan lama." Ye Luo tertawa diam-diam sambil mengeringkan rambut Penasihat Yu dengan sapu tangan. "Aku tahu kau jatuh cinta pada Mo Zhang Li, tapi kenapa aku yang gugup melihatmu seperti ini. Kau bahkan menolak bertemu denganku dan memilih dipenjara bersamanya. Rasanya benar-benar tidak adil." "Jadi, apa menurutmu aku harus membagi cintaku?" senyum Yu Jian Hua mengembang. Ia menuangkan teh yang disediakan Ye Luo sejak tadi, mungkin sudah mulai dingin. Tapi, itu lebih baik dibanding tidak ada apa pun yang dapat mencairkan suasan