Lewat pandangan Aura, Cakra melihat permohonan dan harapan yang tampak jelas. Tidak mungkin dia akan salah mengartikan tatapan itu.
Namun, ketika Cakra menunduk agar kepala mereka sejajar, terdengar nada dering dari gawainya. Sontak Aura mundur dengan tubuh kaku. Cakra sempat melihat warna merah muda yang menjalar di pipi gadis itu, sesaat sebelum membungkuk untuk memungut kemeja Cakra.
"Sebaiknya Aden angkat dulu panggilan itu. Mungkin itu panggilan penting. Saya akan cuci kemeja ini sampai bersih." Tangan Aura bergerak menggulung kemeja yang malah membuat pakaian itu terlihat seperti gumpalan kain kotor.
"Sebaiknya kamu segera bersiap-siap. Urusan kemeja, serahkan saja sama Mbok Minah," teriak Cakra karena Aura berjalan mundur dengan cepat, hingga akhirnya berlari keluar setelah sampai di pintu kamar.
Tangan Cakra merogoh gawai yang ada di saku celana. Nama Rista terlihat di layar utama, jadi dia menggeser simbol agar bisa menjawab panggilan itu.
"Butuh bantuan?" Kata-kata itu diucapkan Rista tanpa basa basi saat Cakra mengangkat panggilan.
Suara desahan panjang mewakili jawaban putus asa Cakra. Seharusnya sepupunya sudah tahu kondisi terkini, kenapa harus ditanyakan lagi.
Tawa renyah terdengar dari seberang. "Singkirkan pikiranmu itu. Aku menelepon bukan karena mendapatkan penglihatan, tapi karena mendengar dari Bunda kalau kamu sedang dihukum. Kali ini apa yang sudah kamu lakukan sampai dikurung di dalam rumah?"
Suara gelak tawa mengejek terdengar dari seberang. Sepupunya yang jauh lebih muda itu sudah mulai mengejeknya.
"Umurmu sudah berapa sih? Geli aku. Bisa-bisanya dikasih hukuman nggak boleh keluar rumah."
Rasanya memang seperti anak kecil yang sedang diejek kakaknya. Begitulah kondisi antara mereka berdua, meskipun umur Cakra jauh di atas Rista, tapi gadis itu tetap kakaknya, karena bunda Rista adalah kakak dari ayah Cakra.
"Jadi, sekali lagi aku mau bertanya, kamu butuh bantuan nggak?" Rista mulai terdengar tidak sabar menghadapi diamnya Cakra.
"Apa kamu bisa menghapus mantra punya Ayah?" Cakra langsung menyambar kesempatan kedua yang ditawarkan.
"Bukan hal yang mudah, tapi akan kucoba. Tunggu saja."
Sepupunya itu langsung menutup panggilan tanpa mengucapkan salam perpisahan. Cakra hanya bisa geleng-geleng saja menanggapi kebiasaan aneh sepupunya saat menelepon.
Walaupun Rista masih berumur delapan belas tahun, tapi gadis itu selalu menempatkan diri sebagai kakak yang baik bagi sepupu-sepupunya. Jadi, Cakra yakin kalau kali ini Rista juga akan membantu dengan sekuat tenaga.
Cakra beranjak menuju jendela untuk memperhatikan kabut hijau. "Sebentar lagi, sebentar lagi pasti bisa keluar dari rumah," batin Cakra.
Ketika Cakra menoleh, dia teringat kembali pada Aura. Kenapa semudah itu dia berpikir untuk mencium Aura, padahal sudah berjanji untuk menjaga jarak. Aura sudah mempunyai jodohnya, walaupun benang itu masih sangat tipis hingga nyaris transparan, tapi tetap saja sudah ada jodoh yang ditetapkan oleh Tuhan untuk gadis itu. Tidak seharusnya Cakra kembali terlibat masalah karena menikung jodoh orang lain.
Cakra berjalan kembali ke tempat semula, tangannya membuka pintu lemari kemudian meraih kemeja v-neck berwarna hitam, lalu memakainya. Ujung lengan digulung sebanyak dua kali agar terkesan santai. Cakra pun keluar dari kamar dan berjalan menuju ruang kerja yang ada di lantai satu.
Dia membuka pintu ruang kerja. Cahaya matahari menyusup masuk lewat celah-celah gorden yang masih tertutup. Pasti Mbok Minah belum mengunjungi ruangan yang satu ini.
Jadi, Cakra terlebih dulu membuka semua gorden hingga ruangan itu dibanjiri cahaya matahari pagi. Cakra tertegun saat memperhatikan ke arah rumah kaca. Dia merindukan adik satu-satunya, si empunya rumah kaca. Entah di mana keberadaannya sekarang.
"Den, Pak Hans sudah datang." Suara Aura menarik Cakra dari alam kenangan. Bisa-bisanya dia tidak mendengar suara pintu yang dibuka.
"Panggil saya, Pak. Bukan Aden," tegur Cakra yang perlahan-lahan memutar tubuh.
Tatapan Cakra terarah pada Aura yang mengenakan celana kain warna hitam dengan atasan kemeja putih polos. Cakra menahan umpatan, karena gadis ini sama sekali tidak modis. Apa dikiranya semua pekerja baru harus pakai baju hitam putih seperti yang dikenakannya sekarang?
Gadis itu pun menutup pintu dari luar saat klien sudah berada di dalam ruangan. Jadi, Cakra harus mengesampingkan urusan Aura dan fokus pada Hans. Tangan terulur Cakra untuk menjabat tangan klien pertama mereka dalam bulan ini.
"Selamat datang di biro jodoh Sepasang. Maaf kalau saya mengubah tempat pertemuan secara mendadak." Cakra sengaja tidak menyebutkan alasan spesifik, karena mengatakan yang sebenarnya akan terdengar konyol. Terutama untuk laki-laki seumurannya.
Syukurlah Hans tidak mempermasalahkannya. Pria itu bahkan duduk di kursi berlengan sesuai dengan arahan tangan Cakra.
"Sebaiknya kita langsung membahas intinya saja. Kenapa tidak ada pertanyaan tentang kriteria wanita dicari saat mengisi formulir pendaftaran? Bagaimana caranya biro jodoh memenuhi keinginan klien?" Dahi Hans berkerut ketika mengajukan keberatan.
"Sepertinya Anda lupa dengan keterangan di bagian bawah, tepat sebelum klik kirim di form pendaftaran." Cakra sendiri juga sudah mengikuti duduk dengan santai, berseberangan dengan Hans.
Pembicaraan mereka terganggu oleh ketukan pintu. Aroma kopi menguar saat daun pintu berayun membuka. Aura membawa masuk nampan berisi dua buah cangkir kopi. Setelah menyajikan minuman, gadis itu meletakkan nampan di meja kecil yang ada di dekat pintu. Aura kemudian berdiri di samping Cakra untuk mencatat pertemuan ini.
"Silakan diminum," ucap Cakra yang menggeser cangkir lebih dekat ke Hans.
"Aroma ini, tidak salah lagi, pasti kopi dari Temanggung," ucap Hans ketika menghidu harum kopi sebelum meneguknya.
"Betul,ini memang kopi Arabika Temanggung. Apa ini salah satu favorit Anda?" Tentu saja Cakra tahu jawabannya, tapi basa-basi tetap diperlukan.
"Iya, ini memang kopi kesukaan saya. Baiklah, kita lanjutkan pembicaraan ini. Saya kira peringatan itu tidak penting, jadi hanya dibaca sambil lalu. Kalau saya tetap ingin dicarikan sesuai kriteria yang saya tetapkan, apakah Sepasang bisa memenuhinya?" Hans masih bersikeras dengan permintaannya.
"Tentu saja tidak bisa, itu bukan cara kerja biro jodoh kami. Kami mencarikan jodoh yang akan sesuai dengan Anda. Penilaian cocok atau tidaknya mengikuti prosedur kami. Klien hanya harus mengikuti tata cara kami," ungkap Cakra dengan suara tegas yang membuat Aura terkesiap.
Dari sikap yang ditunjukkan Hans dan Aura, mereka pasti tidak bisa menerima cara kerja Cakra. Namun, cara inilah yang berhasil membuat banyak pasangan menemukan jodoh mereka.
"Lalu, bagaimana caranya Anda menemukan orang yang cocok itu?" Alis Hans terangkat untuk bertanya sekaligus melemparkan tantangan.
Cakra menarik laci meja dan mengeluarkan sebuah kotak kecil, lalu mendorongnya hingga di depan Hans.
Pria yang memakai kemeja biru tua itu membuka kotak untuk melihat isinya. Dahinya berkerut ketika menemukan sebuah smartwatch.
"Jangan bilang kalau ini sebenarnya alat pelacak!"
Cakra salut dengan kepandaian pria yang penampilannya mirip dengan idol Korea. Jadi, dia hanya mengangguk untuk menegaskan kecurigaan kliennya itu.
"Saya sudah bayar mahal untuk menjadi anggota biro jodoh, tapi kalian tidak mau mendengarkan permintaan klien. Kalian malah memberikan sebuah pelacak! Apa ini juga termasuk paket lengkap dengan alat penyadap?" tuduh Hans dengan sudut bibir terangkat.
Ekspresi Cakra masih sedatar tadi ketika mengatakan kalau itu sesuai dengan yang dipikirkan oleh Hans. Ucapan Cakra rupanya memprovokasi Hans, terlihat dari mata yang kian melebar. Pria itu berdiri dengan cepat, membuat Aura refleks merentangkan tangan di depan Cakra untuk melindungi majikannya.
"Saya tidak butuh alat ini!"
Tangan Hans meremas smartwatch sebelum akhirnya melemparkannya ke sudut ruangan. Suara benda pecah terdengar ketika smartwatch membentur dinding.
Namun, Cakra sama sekali tidak marah. Dia malah tersenyum puas saat melirik pergelangan tangan Hans.
"Saya pamit!" Suara Hans sama sekali tidak ramah ketika hendak meninggalkan ruangan itu.Aura mengulurkan tangan hendak menghentikan Hans, tapi Cakra yang terlihat cuek membuatnya bimbang. Hingga akhirnya gadis itu membiarkan Hans meninggalkan ruang kerja."Den! Aden kok gitu sih sama klien. Kalau dia kabur karena tersinggung gimana? Aden rugi dong?" keluh Aura saat Cakra malah berjongkok, untuk memungut serpihan smartwatch."Nggak bakal rugi. Sedari awal klien sudah diberi peringatan tentang cara kerja kita. Mereka juga diwajibkan membayar dimuka sebelum menggunakan jasa biro jodoh Sepasang. Kalau sampai klien merasa tidak puas dan berniat membatalkan kerja sama, maka uang itu tidak bisa ditarik lagi. Seharusnya dia membaca petunjuk dengan lebih teliti." Dengan santai, Cakra menginjak tempat sampah hingga terbuka,
Cakra yang masih berdiri di antara kamar dan selasar, menatap selama lima detik penuh sebelum berkata, "Saya punya tugas untukmu.""Bentar, bentar, Den." Aura malah berlari kecil menghampiri Mbok Minah.Gadis itu membisikkan sesuatu yang membuat mata wanita itu berbinar cerah, yang lalu dibalas dengan anggukan kepala penuh semangat. Cakra bahkan khawatir kalau Mbok Minah akan mengalami sakit leher setelahnya."Ayo, Den. Kita joget," ulang Aura yang menarik Cakra keluar kamar.Namun, Cakra balas menarik hingga terjadi tarik menarik, dengan musik Twice-Whats it love yang menjadi latar adegan mereka.Aura melepaskan Cakra dan mulai bersiap untuk melakukan gerakan yang sudah amat populer itu. Namun, tanpa disangka-sangka, Cakra m
Mulut Cakra tak henti-hentinya mengucapkan mantra untuk berpindah tempat. "Mingser mrono, mingser mrono, mingser mrono!"Dalam sekejap mata, tubuh Cakra sudah menghilang, untuk kemudian muncul di sudut sepi supermarket. Cakra menjulurkan leher saat mencari tahu keberadaan Aura. Ternyata Aura berada tak jauh dari tempat kemunculannya.Jadi, Cakra mulai berlari melewati rak-rak tinggi berisi bahan makanan. Ketika sudah semakin mendekati Aura, tangan Cakra mencoba menggapai gadis itu."Lepasin, Ra!" Teriakan tegas itu membuat Aura tersadar dan segera melepaskan pegangan pada troli.Sepasang tangan kekar menyambar tubuh mungil Aura. Hingga gadis itu tidak jatuh tersungkur.Suara benturan troli dengan tembok membuat be
"Akang Prabu! Aku datang." Aura sampai harus menutup telinga saat seorang gadis berteriak memanggil editornya dengan suara kencang. Kemudian , Aura mengelus dada untuk menenangkan diri setelah mendapat kejutan. "Nah,ini dia solusinya. Perkenalkan, ini Lilis. Lilis, ini Aura. Duduk dulu, Lis." Prabu menunjuk kursi yang ada di samping kanannya. "Akang sudah nunggu lama? Lilis nggak telat, kan?" Aura mendengkus mendengar nada bicara Lilis yang dibikin manja. Sepertinya, gadis itu tahu apa yang dipikirkan Aura. Itu karena pandangan mata Lilis begitu tajam, seolah berkata, "Apa maumu? Berani sama aku?" Mata Lilis menyipit, kemudian alisnya berkerut hingga hampir menyatu. "Kamu ngetawain aku? Apa ada yang lucu?"
"Aden nguntit ya? Hayo, ngaku! Saya laporin Ndoro lho. Aden ketahuan pergi dari rumah," cecar Aura karena Cakra masih belum mau menjawabnya.Tangan Cakra mengusap tengkuk kemudian menoleh ke kanan selama lima detik, sebelum kembali memandang Aura. "Siapa juga yang nguntit? Kardus penyok sudah jadi bukti yang kuat. Tidak perlu meninggalkan rumah untuk tahu ada yang nggak beres."Terus, kok tahu saya kehilangan kendali troli? Hayo, jawab!" desak Aura yang malah makin penasaran."Kamu tadi denger jawaban saya nggak? Kardus-kardusnya sampai penyok gitu. Pasti ada sesuatu dengan troli." Cakra menjawab dengan setengah membentak, untuk menyakinkan Aura kalau dia hanya sekadar menduga, tanpa ada di tempat kejadian."Oh, iya, ya. Tadi Aden sudah bilang. Saya kembali ke kama
"Terus, kenapa kamu nggak mulas-mulas? Bukannya dari tadi kamu yang bawa paket itu?" Alis kiri Hans terangkat.Seperti tersadar, wanita itu pun setengah melempar paket ke atas meja Bos. "Bos, saja yang ngirim!"Dari bola kristal, Cakra perhatikan Hans tertawa geli, saat karyawannya melarikan diri secepat mungkin. Ini tandanya tugas Rista sudah berhasil, sekarang tinggal melangkah ke rencana selanjutnya. Cakra mengucapkan terima kasih untuk sepupunya itu sebelum menutup panggilan video. Sekarang, hanya dia satu-satunya penonton di sini.Terlihat Hans meraih paket yang terbungkus kertas cokelat itu, kemudian melangkah ke luar kantor. Pandangan pria itu berkeliling, mengamati ruangan yang penuh paket."Dro!" panggil Hans pada pria yang sedang menunduk.
Tubuh Cakra condong ke depan, hingga gambar yang ada di bola kristal semakin jelas. Apa yang terjadi di sana jadi lebih menarik, mungkin ini yang membuat Mbok Minah menyukai sinetron. Drama kehidupan yang seringkali terjadi di masyarakat, seperti yang sedang menimpa Hans.Cakra sendiri sudah terlalu sering menjadi korban dari drama itu. Dia sampai lupa sudah berapa kali dilabrak, hanya karena menjodohkan orang. Sekarang gantian dia yang menonton drama Hans. Cakra menggosok-gosok kedua tangan dengan penuh semangat.Cakra menyipit ketika melihat tangan Poppy yang meremas tangan Hans, secara sambil lalu. Wanita itu sudah kembali fokus pada pria yang masih emosi."Lepaskan! Dia ini calon suamiku!" bentak Poppy, kali ini lebih tegas.Perlahan-lahan pria itu melepaskan H
Benang merah dengan warna cemerlang terlihat, ketika pria itu menyugar rambut. Ini berbeda dengan warna benang Hans yang terlihat suram. Cakra mengulurkan tangan ke arah Aura, yang dengan sigap menyerahkan tablet padanya. Dia mencari ke dalam data pelanggan, sementara Aura beramah tamah. "Silakan duduk. Apakah rencana hari ini berjalan dengan lancar?" Aura menarik Cakra hingga terduduk di sampingnya. "Justru karena rencana hari ini sukses, maka saya datang ke sini," jawab Hans yang tersenyum lebar. "Apa Pak Hansel yakin mau menggunakan jasa kami? Mengingat sikap keras Pak Hansen, ketika menolak cara kerja biro jodoh Sepasang," sambar Cakra dengan berterus terang. "Sebentar, sebentar. Kenapa saya jadi bingung ya? Hansel? Hansen? Ini bukannya klien kita Pak Hans ya, Den?" Aura menatap Cakra, yang sayangnya tidak menampakkan ekspresi berbeda. "Anda memang layak mendapatkan predikat makcomblang jitu. Yang peka dengan kebutuhan jodoh
“Nona Aura, saya hendak mengenalkan Anda dengan calon istri saya.” Suara Iswanto membuat Aura menjauhkan gawai sejenak untuk memberi respon.Dari cermin, Cakra bisa melihat Aura mengangguk sebentar kemudian menunjuk ke arah gawai. Iswanto yang mengerti maksud Aura, menggerakkan tangan untuk mempersilakan dia melanjutkan bicara.“Den, nanti lagi bicaranya ya. Ini Pak Iswanto mau ada perlu,” ucap Aura dengan berbisik.“Iya, besok kita bicarakan lagi. Hari ini saya sibuk,” ucap Cakra sebelum memutus sambungan.Aura terlihat merenung sambil melihat layar gawai yang mulai menghitam. Apa gadis itu kecewa karena tidak bisa melanjutkan obrolan?Cakra kira, alasannya pasti bukan itu. Tidak mun
Saat ini, pasti Aura dan Iswanto sedang menahan napas menanti reaksi Jasmin. Cakra pun tak terkecuali, dia juga ikut mengamati dalam diam.“Kalau Mas serius dengan perkataan ini, Jasmin mau minta dilamar secara serius. Seperti lamaran dalam drama,” ucap gadis yang tersenyum sangat manis.Ini adalah sebuah ujian atau memang sesuai dengan kata hati? Tentu saja Cakra tidak bisa menebak pikiran seorang wanita, itu sangat rumit.“Tentu saja, kamu pasti ingin hal yang seperti itu.”Perlahan-lahan Iswanto berlutut dengan bertumpu pada satu kaki. Terlihat Aura berlari-lari membawa sebuket bunga yang sudah dihias dengan cantik. Gadis itu kemudian menyerahkannya pada Iswanto.“Jasmin, aku tahu kalau ini sa
“Rupanya kamu di situ?” ucap laki-laki yang berjalan mendekati mereka.Belum juga Cakra menyusuri benang itu, jodoh Maiden sudah muncul untuk menyapa. Betapa beruntungnya mereka karena sudah mempunyai pasangan.“Eh, hai, Van. Kenalkan ini Cakra, teman baruku,” ucap gadis itu dengan riang.“Melihat dari jubahmu, kamu pasti keturunan keluarga Gilmore? Salah satu sepupu kami berjodoh dengan keluarga kalian,” ucap Evan sambil menunjuk ke arah belakangnya.Cakra mengikuti jari Evan untuk melihat siapa yang dimaksud. “Ah, Rio ternyata adalah sepupumu.”Pada akhirnya Rio bergabung dengan mereka, karena mendengar namanya disebut. Tentu saja Danar, Kristy, dan Rista juga ikut bergabung. Sebentar lagi pasti beberapa pasangan seumuran dengan mereka pasti ikut bergabung. Ini akan terasa menyesakkan.Ketika percakapan itu semakin meluas, diam-diam Cakra menyusup meninggalkan kelompok itu. Dia butuh menyendiri sekarang, agar hatinya menjadi le
“Hanya calon klien yang keras kepala. Sepertinya dia nggak bakal jadi klien kita,” jawab Cakra dengan datar.“Pasti orang yang minta dijodohkan dengan target tertentu. Kenapa nggak pada nurut sama Aden sih? Apa kita perlu nulis aturan itu dengan ukuran huruf yang lebih gede di beranda web biro jodoh?” tanya Aura untuk mengungkapkan kekesalan.Sejujurnya Aura merasa lega karena itu hanya calon klien, bukan wanita yang spesial di hati Cakra. Sampai sekarang Aura masih penasaran dengan status Cakra, tapi tidak berani menanyakannya.“Oya, besok kamu yang ngawasi Pak Iswanto. Saya ada janji temu selama seharian.”Perkataan Cakra membuat Aura kembali merasakan tusukan di perut. Rasanya nggak nyaman kalau tidak tahu kegiatan majikannya itu.
“Dia sudah punya pacar atau mungkin malah suami. Saya tidak mau menjadi pebinor, yang merusak rumah tangga orang lain,” sembur Iswanto ketika bertemu dengan Cakra dan Aura keesokan harinya.“Pria itu bukan pacar atau suaminya Jasmin. Saya sudah menyelidiki dengan cermat,” bantah Cakra sambil mempersilakan Iswanto untuk duduk.Dia memberi kode pada Aura agar membuatkan kopi bagi pria itu. Aura mengangguk sekilas sebelum meninggalkan keduanya.“Apa Anda yakin? Kalau bukan pacar, lalu dia siapa? Saya sudah terlanjur berharap pada Anda. Anda tahu sendiri kalau waktu saya sudah tidak banyak lagi,” ungkap Iswanto, yang kembali mengingatkan Cakra akan tujuannya mencari jodoh.“Tenang saja. Kita tetap lanjutkan rencana awal. Saya harap A
Mata Binar membelalak ketika bertemu pandang dengan Cakra. Sedetik kemudian, gadis yang mengenakan kaus sewarna tanah itu membalikkan badan, lalu berlari kencang. Cakra yang tidak menduga akan hal itu pun buru-buru mengejar, tapi sesosok tubuh mungil dengan kedua tangan terentang, menghalanginya.“Aden ada keperluan apa di sini?”“Minggir!” usir Cakra dengan suara meninggi.Namun, gadis itu malah semakin bertekad menghalangi langkahnya. Padahal tangan Cakra mulai berkeringat , karena mulai takut kehilangan jejak Binar.“Aden bilang dulu, mau apa ke sini? Aden ngikutin aku?” tuduh Aura dengan mata menyipit.Karena sudah tidak sabar lagi, Cakra meletakkan kedua tangan di pinggang Aura, kemudi
Bahu Aura bergerak naik turun beberapa kali, tanda sedang mengatur pernapasan. Ini bukan kejadian pertama kali, harusnya dia sudah lebih berpengalaman, tapi kenapa masih bisa sepanik ini? Dia masih merasa cemas kalau-kalau terjadi sesuatu saat Cakra mengurung diri.“Tenang Aura, pasti tidak akan ada masalah. Kamu harus berpikir dengan kepala dingin,” bisik Aura pada dirinya sendiri.Tak butuh waktu lama bagi Aura untuk kembali bersikap rasional. Dia sudah bisa memutuskan langkah apa yang akan diambil.“Den!” teriak Aura sambil mengetuk pintu dengan lebih keras. Dia mengetuk dengan irama lagu kekinian yang ada di platform joget-joget. Kalau kesimpulannya tepat, dalam beberapa detik lagi pintu pasti akan terbuka.“Iya, sebentar. Stop ketuk pin
“Baiklah. Akan kuberi satu kesempatan,” ucap Cakra dengan ragu.Sebenarnya, dia tidak mau meladeni Prabu, takut kalau pria itu ternyata adalah benar jodoh Aura. Namun, dia kembali teringat dengan Hansel, kalau pria itu bisa diberi kesempatan, seharusnya dia bisa memberikan kesempatan yang sama pada Prabu.“Saya sudah menantikan jawaban ini cukup lama. Rasanya sudah tidak sabar untuk segera melamar Aura.” Binar di mata Prabu membuat Cakra terdiam.Kalau rasa cinta Prabu sedemikian besar untuk Aura, seharusnya dia bisa mengusahakan untuk membantu. Bukan malah menjegalnya. LAgipula, Cakra sudah putus asa dalam mendapatkan jodoh.“Saya akan menemuimu besok jam 9 di Kafe Jingga. Silakan bawa Aura ke sana, tapi saya hanya akan mengawasi dari kejau
“Tutno ngasi mentok!” Cakra membaca mantra, membuat benang biru yang melingkari smartwatch berpendar. Benang itu bergerak memutar, kemudian ikatannya terbuka, lalu meluncur menuju jari kelingking. Benang biru itu menyusuri benang takdir, seolah itu adalah jalan yang harus dilewati.Cakra mengernyit, saat ini benang takdir Iswanto semakin mengendur dan terus memanjang. Ini berarti takdir pria itu mulai bergerak menjauh. Namun, saat sudah separuh jalan, tiba-tiba benang takdir memendek.“Ombo sing ombo meneh!” Cakra buru-buru memperluas jangkauan bola kristal.Cakra bisa melihat Iswanto, yang sedang mengangkat sebuah pot berisi bunga Daisy warna putih. Kemudian terlihat tempat duduk pesta yang dilapisi dengan beludru. Saat pandangan semakin lebar, Cakra bisa melihat jalan luas di depan gedung.