Bryan meraih tubuh ramping Kimberly mendekat ke arahnya.
"Apa perlu kujelaskan? Kau akan tahu apa jawabannya cepat atau lambat. Bukankah kau sudah mendengar beberapa alasan yang keluar dari bibirku?
Sekarang kembali lagi padamu, kau mau menganggap perasaanku seperti apa. Kau bebas menentukan. Apa pun pilihanmu, aku akan mengiyakan. Karena semua alasanku tadi adalah hal yang mendeskripsikan perasaanku padamu," ungkap Bryan.
Tak ada canda. Tak ada tawa. Atmosfer terasa begitu penuh dan sesak. Detak jantung Kimberly berlari begitu cepat seperti hendak terlepas dari tubuhnya.
Gadis itu memalingkan muka.
"Dasar Playboy! Jangan kau kira trik yang kau pakai saat menggoda para wanita dapat berhasil padaku!" kecam Kimberly dalam hati. Hatinya terasa panas saat membayangkan kata-kata yang sempat diumbar Bryan diucapkan pada wanita lain.
Kenapa ia mendadak merasa cemburu? Hal yang harus ia pastikan saat ini adalah&he
Kimberly menggeleng cepat. Ia memutuskan mengeluarkan segala uneg-uneg dalam pikirannya."Kenapa saat mendengar tawaranmu tadi terdengar seperti cara seseorang menawariku sesuatu, ya?" gumam Kimberly penasaran.Bryan geleng-geleng kepala."Wajar saja!""Kenapa begitu?""Pasti ayahku, bukan? Aku tahu sekali cara bicara ayahku saat merayuku dan pastinya dia menggunakan cara itu padamu. Benar, kan?" tebak Bryan.Kimberly tersenyum kecut sambil berusaha menepis tangan Bryan dari kepalanya. Ia merasa risih dengan pandangan banyak orang padanya hanya gara-gara perlakuan Bryan."Ternyata pepatah lama itu ada benarnya juga!" celetuk Kimberly.Bryan mengernyitkan dahi."Pepatah yang mana? Begitu banyak pepatah, jadi aku tidak tahu maksud ucapanmu!" sambung Bryan."Pepatah lama itu berbunyi 'Buah jatuh tak jauh dari pohonnya'! Benar, kan? Aku baru teringat ternyata
Hening.Tak ada percakapan antara dua manusia di dalam mobil yang tengah melaju kencang menuju ke suatu tempat.Bak menyembunyikan mutiara di palung terdalam agar tak seorang pun menemukannya adalah tindakan yang saat ini Bryan lakukan. Penuh misteri dan banyak jebakan jika siapa pun hendak mencari tahu.Pertanyaan di toko bunga beberapa saat yang lalu saja tak terjawab dengan hasil memuaskan, kini pria itu berhasil menggugah rasa ingin tahu di dalam hati Kimberly semakin besar.Lebih baik ia mengikuti ke arah mana pria ini membawanya daripada banyak bertanya dan ujung-ujungnya bukan mendapat jawaban melainkan ledekan dari Bryan.Diam.Satu menit.Lima menit.Sepuluh menit.Lima belas menit.Berlalu begitu saja. Tanpa suara, tanpa bicara.Kimberly hendak membuka mulut. Namun, suara seseorang dengan nyaring menghentikan ulahnya. Ia menajamkan
Kimberly tersenyum kikuk."Apa kau mendengarnya?" tanya Kimberly serius.Bryan bingung menanggapi pertanyaan aneh Kimberly. Ia menajamkan indera pendengarannya dan mencari suara yang dimaksud."Tidak ada suara apa pun! Apa kau pikir nyonya Betsy menjawab permintaan dan restuku?" tanya balik Bryan sedikit konyol."Kau gila!" ledek Kimberly sambil geleng-geleng kepala."Lalu apa?" desak Bryan yang tampak tak sabaran."Coba kau dengar lagi!" pinta Kimberly seraya memegangi daun telinganya sendiri bermaksud memberi contoh pada Bryan.Kruucuuk Kruucuuk KruucuukSumber suara itu terdengar nyaring dari…Bryan!Bryan mendadak tersenyum konyol."Maaf, refleks! Sepertinya cacing di perut meronta untuk diisi. Ayo kita segera kembali ke kota dan mencari tempat makan, aku lapar sekali!" terang Bryan apa adanya. Baru kali ini ia merasakan kelaparan
Kimberly mendengar pertanyaan Bryan yang sedikit menggelitik hati. Mau tak mau demi menghormati ajakan sang pria yang baru saja meminta restu pada mendiang sang ibu, Kimberly membalas uluran tangan besar tersebut.Mereka berdua berjalan bersisian seperti pasangan lainnya yang memasuki restoran itu.Pemilik restoran tersebut keluar dan melihat kinerja para karyawan. Matanya kini tertuju pada hadirnya seorang Bryan di acara pembukaan restoran miliknya tersebut.Terkejut, itu pasti.Bryan yang terkenal sibuk dan siapa pun harus membuat janji temu dulu sebelum berbincang dengannya, kini ada di dalam restoran miliknya.Penyambutan harus diadakan meski tanpa persiapan. Beberapa karyawan menyambut Bryan setelah mendapat titahnya."Tuan Bryan, sungguh sebuah kehormatan untuk restoran ini dikunjungi oleh orang super sibuk di kota Edensor tercinta kita ini!" pekiknya senang menyambut Bryan. Mereka berpelukan ala lel
Kimberly mendadak bisu. Mulutnya seperti tersumpal sesuatu tak kasatmata. Terkunci. Lidahnya kelu. Ia bingung memikirkan jawaban apa yang harus ia katakan pada Bryan.Tanpa terduga…"Kami adalah teman lama, Tuan! Wajar bila sesama teman berjumpa dan terkejut melihatnya ada di sini tanpa diduga."Seolah bisa membaca pikiran, Nick mengambil alih menjawab pertanyaan Bryan yang diajukan pada Kimberly.Tanpa dua pria itu tahu, Kimberly menggigit bibir bawahnya seraya meremas ujung dressnya. Entah kenapa ia merasa tak enak hati dan terlihat berada di posisi yang salah.Degg Degg DeggDetak jantungnya berdendang dengan cepat.'Drama apa lagi ini, Tuhan?'Kenapa harus di tempat dan situasi seperti ini mereka dipertemukan?Kimberly mendesah pelan dan untungnya Bryan tak menyadari hal itu, lebih tepatnya, belum.Bryan mengangguk paham dan menatap ke arah mej
Kimberly menutupi wajahnya dengan kedua telapak tangannya. Malu, perasaan itu seketika mendarat di wajah cantiknya. Pipinya merona dan memerah bak tomat segar. Hal itu tak luput dari perhatian Bryan. Bryan terkekeh. "Kau lucu sekali!" ledek Bryan yang kata-katanya langsung membuat Kimberly mencebik bibir. Entah kenapa, gerak-geriknya menjadi berubah sejak berdekatan dengan pria bernama Bryan. Ia seperti bisa menjadi dirinya sendiri bahkan bisa dibilang terkesan sikapnya bak anak kecil. Aneh! Kimberly membuka telapak tangan yang beberapa saat menutupi wajahnya. Ia menyapukan pandangan ke segala arah dan memastikan bahwa dirinya tak lagi menjadi bahan tontonan para pengunjung restoran. Dirasa aman, ia bersikap baik-baik saja di hadapan Bryan. Berdehem sekali lalu berpura-pura memainkan ponsel di atas meja. "Kenapa kau terlihat aneh?" tanya santai Bryan namun terdengar serius di te
Nick terus mengamati pergerakan lawan bicaranya. Meski terlihat menyedihkan dari sosok yang berdiri tak jauh darinya, hal itu tak membuatnya iba. Menanyakan pun mengenai keadaannya tidak akan pernah ia lakukan. Ia melihat pergelangan tangan kanannya. Waktu sudah menunjukkan pukul 21.45, itu tandanya ia harus segera merehatkan sejenak tubuh lelahnya. Tak mau buang waktu apalagi sekedar berbasa-basi, pria itu dengan ketusnya bertanya, "Apa yang mau kau katakan padaku? Kalau tidak penting, segeralah pulang! Orang tuamu pasti akan kebingungan mencarimu." Kata-kata itu terdengar bak mantra pengusiran makhluk tak kasatmata. Violet memejamkan mata lalu menghembuskan napas demi menguatkan hatinya sebelum menjawab pertanyaan Nick. Sosok perempuan yang berada di hadapan Nick adalah Violet. Gadis itu tampak menyedihkan bak sampah yang terbuang, dihempaskan begitu saja. Tak memiliki nilai apa pun di mata Nick. "Kau terlalu la
Kebencian Nick pada kedua orang tuanya sudah mendarahdaging. Sakit, tapi tak berdarah. Orang tua yang tega menjual kebahagiaan anaknya demi perusahaan adalah dua orang di hadapannya saat ini. Demi kekayaan yang saat mati nanti tidak akan mereka nikmati terus mereka kejar sampai mereka lupa bahwa putra mereka butuh kasih sayang bukan hanya harta. Semua yang mereka dapatkan di muka bumi ini hanya bersifat fana. Tapi apa yang Nick dapati? Apakah dia salah jika di dalam hati dan pikirannya terus berontak? Toh, kenyataannya kehadiran dirinya ke dunia tak disambut baik oleh Vanessa dan Jonathan. Ia hanyalah alat, bukan putra mereka. "Jangan sentuh aku, Ma! Aku akan memilih hidup sendiri tanpa kalian, tolong jangan mengatur hidupku lagi!" tegas Nick dengan lantang. Sekelebat kejadian tiba-tiba membanjiri pikiran pemuda dua puluh satu tahun tersebut. Bayangan wajah dua wanita beda generasi terus terlintas dalam otaknya. N
Bukan Stephanie yang semakin mendekat. Kimberly yang maju dan menghambur ke dalam pelukan ibu kandung Bryan. "Aku merindukan pelukan seorang ibu sejak beberapa tahun terakhir. Aku selalu memimpikan memiliki ibu mertua yang menyayangiku. Maafkan aku, Ma, jika aku belum bisa menjadi menantu yang baik di matamu. Aku hanyalah manusia biasa yang masih terus belajar menjadi lebih baik. Apa pun yang terjadi antara Mama dan Bryan, kuharap kalian akan segera berdamai dan saling mengerti satu sama lain!" ungkap Kimberly. Mendengar ucapan menantunya, Stephanie mengeratkan pelukannya. Lalu beberapa saat kemudian pelukan itu terlepas dan mereka berdua saling bersitatap. "Terima kasih, Kimberly! Mama pergi, ya! Jaga kesehatan kalian dan titip anak Mama! Semoga Tuhan selalu melindungi kalian di mana pun berada dan menjauhkan segala keburukan dari hidup kalian. Sampai jumpa lagi, Kimberly!" pamit Stephanie dengan wajah begitu sendu dan mata yang begitu sayu
Lampu terang di ruang operasi masih menyala. Kimberly berada di depan pintu sambil menunggu dokter selesai melakukan tindakan pada Jenica. Luke dan George sudah datang dan menemani perempuan cantik tersebut. Beberapa saat kemudian, seorang pria tampan dengan balutan jas menawan berlari-lari menuju ruangan yang dimaksud. Ia mencari keberadaan sang istri dan ingin segera memeluknya. "Kimmy!" teriak Bryan yang seketika memeluk tubuh mungil istrinya dengan ekspresi cemas luar biasa. "Bagaimana keadaanmu? Papa baru saja mengabariku. Maaf aku baru bisa datang!" ungkap Bryan seraya berulang kali mengecup pucuk kepala sang istri. Kegelisahan di wajahnya tak dapat dibantah. Semua terlihat begitu kentara. Bryan sangat mencemaskan kondisi istri tercintanya. " Aku tidak apa-apa, Bryan. Untung saja ada Kak Jenica yang menyelamatkanku. Saat ini kami masih menunggu dokter keluar dari ruang operasi. Bryan, aku takut terjadi hal b
Stephanie penasaran akan suatu hal. Ia pun segera bertanya pada Deborah demi mendapatkan jawaban yang sempat mengusik pikirannya. "Apa jangan-jangan kau sudah menyukainya lebih dari yang kubayangkan?" tanya Stephanie dengan mata menyipit mencari tahu. "Lelaki seperti Bryan itu sangatlah langka dan juga menawan, Tante. Ketampanan serta kewibawaannya sanggup meruntuhkan iman hampir sebagian besar kaum hawa di Edensor kita yang tercinta ini. Termasuk aku!" ungkap Deborah dengan wajah berbinar-binar membayangkan Bryan menjadi miliknya. Stephanie tersenyum sinis. "Kau pasti akan mendapatkannya sebentar lagi! Kimberly tidak pantas mendapatkan anakku! Hanya kaulah yang pantas bersanding dengannya!" yakin Stephanie. Deborah tersenyum senang. Lengkungan bibirnya membentuk curva cantik. Ia bahagia dan bangga karena mendapatkan restu dari Stephanie. Tinggal beberapa langkah lagi Bryan pasti akan menjadi miliknya. Ya, sebenta
Kimberly tersenyum ramah di wajahnya yang penuh keteduhan. Ia terlihat tenang di usianya yang masih belia dibandingkan usia suaminya. Sikap dewasa dalam dirinya kini mulai mendominasi.Jemari lentiknya merayap lembut ke pipi Bryan, sekali lagi demi menenangkan hati dan pikiran Bryan yang tengah berkecamuk."Aku takut kehilanganmu sama seperti ketakutanku akan kehilangan Shannon dalam hidupku dulu! Aku sangat mencintaimu, Kimmy! Jangan pernah pergi meninggalkan aku!" pinta Bryan dengan begitu gelisah. Deru napasnya memburu."Aku tidak akan ke mana-mana. Aku selalu ada di sampingmu. Istrimu ini juga sangat mencintaimu, Bryan!" tegas Kimberly tulus.Lelaki itu semakin mengeratkan pelukannya. Merasa ketenangan benar-benar ia dapatkan ketika memeluk tubuh Kimberly. Bryan pun mendorong pelan tubuh yang begitu meneduhkan jiwanya, ia meletakkan kedua tangannya di atas pundak Kimberly.Tatapan mereka saling bersua. Kegelisahan
Kita tinggalkan sejenak Kimberly dan Bibi Jules di dapur. Saat ini Bryan sudah berada di kamar. Ia baru saja keluar dari kamar mandi.Selembar handuk berwarna putih menutupi tubuh bagian bawahnya dari pinggang hingga mencapai tempurung lututnya.Ia merasa malas dan kesal usai membenamkan diri di dalam bath tub selama beberapa saat, tapi ia tidak tahu apa penyebabnya.Segera, ia mengambil satu setel piyama tidur guna memberinya rasa nyaman saat sebentar lagi ia memejamkan mata barang sejenak. Kantuk mulai menyapa kedua kelopak matanya, yang tanpa sadar membuatnya berat untuk tetap terjaga."Badanku lelah sekali! Aduh!" keluh Bryan sembari memijat lengannya sendiri.Ia melangkah maju ke atas pembaringan. Perlahan, ia melepas sandal yang membalut telapak kakinya.Bryan sudah merasakan nyaman saat ia meletakkan kepalanya yang berat di atas bantal. Matanya secepat kilat terpejam.Sepuluh menit kemu
Kimberly tersenyum senang saat mendapati sepasang mata peraknya menangkap jelas sebuah kotak pizza favorit ada di kursi belakang. Wajahnya berubah begitu sumringah. Ekspresi yang bertolak belakang dengan beberapa detik lalu.Tanpa sadar ia mengguncang pelan lengan sang suami yang tengah mengemudikan mobil. Bryan yang mengetahui hal itu spontan kembali terkekeh. Ia senang jika bisa membuat Kimberly bahagia seperti ini. Saat ini ia meyakini ucapan Kimberly beberapa saat lalu…'Kebahagiaan seseorang itu berbeda-beda, bisa datang dari makanan, seseorang yang kita suka, kesehatan dan masih banyak lagi. Tapi, kalau buat aku, makanan adalah mood booster terhebat yang tidak pernah bisa kutolak. Makanan kesukaan bisa membuatku bahagia. Bahagia itu bisa didapatkan dengan cara sederhana, asal diberikan dengan penuh keikhlasan dan ketulusan.'Kata-kata itulah yang menjadi dasar Bryan memberikan makanan yang berasal dari Italia itu pada Kimberly.
Nick terkesiap. Sumpah demi apa pun ia tak pernah membayangkan bahwa dirinya akan kembali berurusan dengan suami mantan kekasihnya.Langkah kaki orang itu berhenti tepat di hadapannya. Dengan senyum yang melengkung jelas dari kedua sudut bibirnya, pria itu tampak begitu menawan. Pantaslah ia bersanding dengan Kimberly. Mereka adalah pasangan yang cocok satu sama lain. Tampak solid dan membuat iri jutaan pasang mata yang melihat keduanya bersisian.Nick mengenyahkan pikiran itu. Ini bukan saatnya memuji mereka.Tanda tanya besar berkumpul di pikirannya. Apa yang membuat pebisnis terkenal se-Edensor ini mendatanginya?"Ke-kenapa kau ada di sini?" tanya Nick terbata-bata. Pria itu gugup hanya karena disambangi Bryan.Bukannya menjawab, Bryan malah tersenyum penuh misteri.Nick mengambil napas dalam-dalam, berusaha menjernihkan suasana hatinya yang memendam banyak pertanyaan di sana.Kedua pria de
Luke tersenyum penuh arti."Semua orang punya kekurangan dan kelebihan masing-masing. Papa mendengar kau mau meminta maaf atas segala kesalahan yang pernah kau perbuat saja, Papa sudah merasa bangga. Kau sudah dewasa, Jenica. Belajar dan berpikir lebih baik ke depan. Perbaiki segala kesalahan yang dulu pernah terjadi.Papa yakin Kimberly akan memaafkanmu asal kau berjanji untuk tidak mengulang perbuatan yang sama. Kimmy adalah gadis yang baik dan sopan. Dia selalu menyayangimu. Papa pun bisa merasakannya. Hanya karena iri semata, kau bisa melakukan segala perbuatan itu. Papa yakin kau pun bisa menjadi pribadi yang lebih baik lagi. Percayalah!" yakin Luke menyemangati dan menyadarkan sang putri.Jenica mengangguk mantap."Aku akan menemui Kimmy dan meminta maaf padanya!" tegas Jenica penuh semangat."Ya! Papa akan selalu mendukungmu menjadi pribadi yang lebih baik! Semoga Kimmy memberikanmu kesempatan untuk berproses ke
"Ya, aku berjanji!" jawab Kimberly lantang tanpa meragu sedikit pun.Bryan membuka memori lama yang masih tersimpan jelas di dalam otaknya. Semua itu tak bisa menghilang begitu saja meski waktu terus berjalan.Waktu pun bergulir mengikuti ritme kisah yang terjadi di masa lalu.Kimberly menyeka cairan yang masih merembes dari pemilik iris biru di sampingnya. Cairan itu telah berhasil membasahi kedua pipi suaminya."Kau memiliki aku! Aku tak bisa berjanji akan selalu bersamamu hingga kita tua nanti. Aku hanya bisa menjalani setiap detik waktu yang berjalan bersamamu. Usia manusia tidak ada yang tahu. Benar, kan?Aku akan meminta pada Tuhan agar memberi kita usia yang panjang dan berguna bagi semua makhluk di sekitar kita. Bukan aku yang menentukan lama atau singkatnya hidup kita, semua tergantung sang Pencipta. Kita jalani saja semua proses hidup bersama-sama.Setelah aku dan kau menjadi satu dalam ikatan pe