"Nggak mungkin Rania interview sama Pak Bos. Tahu sendiri bos kita kayak gimana," sahut Listy.
Rania mengingat-ingat kembali proses perekrutan panjang yang harus ia lewati sampai dirinya berhasil menjadi Junior Staff CEO. Rania memang mengikuti serangkaian wawancara dengan beberapa orang, tapi seingat Rania dia tidak diberi kesempatan untuk berbincang dengan CEO yang akan menjadi atasannya."Aku nggak ada sesi interview sama CEO, sih. Terakhir aku interview sama jajaran direksi, dan nggak ada CEO di sana," terang Rania."Tapi kamu tahu 'kan, bos kita itu siapa?" tanya Vira.Rania menggeleng. Meskipun perusahaan tempatnya bekerja saat ini merupakan salah satu perusahaan yang cukup terkenal, tapi Rania sendiri tidak menggali banyak informasi mengenai pimpinan perusahaan itu."Emang CEO-nya nggak mau interview sama kita? Bukannya interview sama CEO itu yang paling penting, ya? Kan kita nantinya akan kerja sama dengan beliau?" tanya Rania penasaran.Vira dan Listy hanya bisa tersenyum. Sepertinya hal ini sudah menjadi ciri khas dari bos mereka. Atasan mereka tidak terlalu menggubris proses perekrutan dan menyerahkan semuanya pada jajaran direksi yang lain."Bos kita emang kayak gitu, Ran. Beliau terlalu sibuk dan biasanya selalu nolak kalau diminta untuk mengurus interview. Jadi untuk interview biasanya diurus sama para direktur, sementara bos kita tinggal terima beresnya aja," terang Vira.“Oh, gitu. Iya juga, sih. Namanya CEO pasti sibuk banget, ya?”“Iya. Ada banyak hal yang lebih penting yang harus diurus sama bos kita. Makanya soal perekrutan, biasanya Pak Bos melimpahkan tugasnya ke direktur dan general manager yang lain,” jelas Vira.Rania manggut-manggut mendengarkan penjelasan dari rekannya. Wanita itu pun mulai dibuat penasaran dengan atasan yang akan ia layani nanti."Terus CEO kita itu orangnya kayak gimana? Apa dia galak, atau dia justru ramah ke karyawannya?" tanya Rania penasaran.Vira dan Listy saling pandang. Kedua wanita itu tampaknya sedikit kesulitan untuk memberikan penjelasan kepada Rania buat mendeskripsikan bos mereka."Kamu bisa nilai sendiri setelah kamu ketemu sama bos kita nanti," ujar Vira yang menurut Rania penuh teka-teki.Rania menelan ludah kasar. Jawaban dari temannya itu mulai membuat dada Rania berdegup kencang. Rania benar-benar cemas."Apa jangan-jangan bos aku orangnya galak, ya? Apa dia orang yang kasar dan suka bertingkah semena-mena?" batin Rania tak tenang.Wajah gelisah Rania tertangkap jelas oleh Vira dan Listy. Perkataan Vira berhasil membuat Rania sedikit khawatir."Nggak perlu tegang gitu," tegur Vira. "CEO kita orangnya baik, kok. Beliau juga cukup royal dan adil. Pokoknya bos kita tuh pemimpin yang baik dan sangat mengayomi," sambungnya."Benar kata Vira. Bos kita bukan cuma baik sifatnya aja, tapi umur beliau juga masih cukup muda, lho! Umurnya masih 30 tahunan. Dengan umur semuda itu beliau udah berhasil menjadi pimpinan perusahaan. Keren banget, ‘kan?” imbuh Listy yang ikut menimpali perkataan Vira.Vira dan Listy terlihat bersemangat memuji bos mereka. Kekhawatiran Rania pun langsung lenyap begitu saja saat ia mendengar banyaknya kebaikan yang disebutkan oleh Vira dan Listy tentang CEO mereka."Kayaknya aku nggak salah masuk perusahaan ini. Aku pasti bisa betah kerja di sini," batin Rania meyakinkan dirinya.Setelah menghabiskan makan siang, Rania dan kedua temannya segera kembali ke meja mereka masing-masing. Tepat setelah Rania kembali, para direksi dan karyawan yang lain diminta untuk menghadap bos mereka."Rania, kita ada meeting sekarang sama bos. Ayo buruan!" ajak Vira pada Rania dengan terburu-buruRania segera menyusul Vira yang sudah masuk ke ruang meeting lebih dulu. Sudah ada beberapa staff senior dan sekretaris CEO di ruangan tersebut. Rania segera mencari tempat duduk dan menunggu kedatangan bos mereka."Kira-kira Bos di sini orangnya kayak apa, ya? " batin Rania penasaran.Tap Tap TapRania seketika langsung menatap ke arah pintu saat terdengar suara langkah kaki. Tak lama kemudian pintu ruang meeting pun terbuka dan menampakkan sosok seorang pria bertubuh tegap nan gagah muncul dari balik pintu. Pria itu tak lain adalah CEO yang akan bekerjasama dengan Rania.Rania langsung berdiri dengan mata terbelalak lebar begitu ia melihat orang yang berdiri di ambang pintu saat ini. "Orang ini … bosnya?" jerit Rania dalam hati.***Beberapa jam sebelumnya."Maaf, Pak. Saya benar-benar minta maaf." Entah sudah berapa kali Reynald meminta maaf pada client-nya yang tengah mengomel kepadanya melalui panggilan telepon.Karena insiden yang tak terduga di cafe tadi, Reynald jadi terlambat datang mendatangi client hingga membuat dirinya terancam kehilangan projek besar. Client yang menunggu dirinya pun sudah meninggalkan tempat janji temu dan membatalkan rencana kerjasama dengan Reynald.Reynald sudah berusaha membujuk client itu, tapi sayangnya ia sudah terlanjur membuat client-nya kecewa. Reynald dimaki-maki dan meeting dengan client pun gagal total karena insiden saat bertemu dengan Rania tadi."Tika, kamu ini gimana, sih! Saya kan sudah kasih arahan ke kamu untuk mengurus client selama saya masih di jalan, kenapa kamu malah biarin client itu pergi? Memangnya kamu nggak bisa cari alasan dulu? Kamu juga tahu soal project ini. Harusnya kamu bisa mengulur waktu sampai saya datang!"Setelah pertemuannya dengan client berantakan, Reynald langsung mengamuk pada karyawannya. Salah satunya pada sekretaris yang datang bersamanya, yakni Tika. Wanita bertubuh tinggi semampai itu hanya bisa menunduk dan menerima omelan dari atasannya.Jika saja Reynald tidak terlambat, pria itu tidak akan kehilangan client besar. Setelah mendapatkan reputasi buruk dari client yang kecewa, Reynald harus menghadapi tekanan dari dewan komisaris atas gagalnya project ini."Sial! Kenapa semuanya jadi berantakan begini? Aku yakin kalau aku tadi bisa datang tepat waktu, tapi kenapa client nggak mau nunggu, sih!" gerutu Reynald yang merasa kesal bukan main pada dirinya sendiri, dan tentunya juga pada Rania."Ini semua gara-gara perempuan itu. Kalau dia nggak bikin ulah, aku pasti bisa menyelamatkan project ini!" batin Reynald."Aku harus cari perempuan itu sampai dapat!"Rania mematung menatap pria tampan dengan kulit putih yang berdiri di hadapannya. "Ini bosnya? Ganteng juga," batin Rania.Rania terus memperlihatkan senyuman ke arah bosnya yang rupawan. Namun, senyum ramah Rania justru dibalas dengan tatapan sinis oleh Reynald."Kenapa dia bisa ada di sini?" batin Reynald saat melihat Rania.Ya, Reynald ternyata adalah bos Rania. CEO di tempat kerja baru Rania saat ini. Berkas yang kotor karena tumpahan kopi Rania sebelumnya adalah berkas bahan meeting yang akan dibawa oleh Reynald bertemu dengan client pentingnya.Namun, sepertinya Rania tidak mengenali Reynald. Reynald tentu masih ingat jelas pada Rania, tapi Rania justru tak tahu kalau Reynald adalah orang yang ia tumpahkan kopi saat di cafe tadi.Rania tidak ingat wajah pria yang ia jumpai di cafe tadi karena kacamata hitam yang Reynald kenakan, sehingga Rania tidak dapat melihat wajah Reynald dengan jelas. Ditambah lagi warna kemeja dan jas Reynald juga sudah ganti, sehingga Rania benar-benar ti
Rania mengangguk dengan wajah pucat. Setelah Reynald meninggalkan ruangan meeting, barulah Rania bisa bernapas dengan lancar."Rania, kamu baik-baik aja, 'kan?" tanya Listy dengan iba menatap wajah pucat Rania.Listy dan Vira merasa kasihan pada Rania yang sejak tadi menjadi target incaran Reynald sepanjang meeting berlangsung."Aku merasa sesak nafas," ucap Rania dengan suara lemas. "Orang itu kenapa marah-marah ke aku terus, sih! Apa dia memang suka ngerjain karyawan baru?" tanya Rania heran."Pak Reynald nggak pernah kaya gini lho sebelumnya. Biasanya dia selalu cuek sama karyawan baru," ungkap Vira. "Tapi nggak tahu kenapa hari ini beliau nyeremin banget. Nggak cuma kamu aja yang lemas, kita semua di sini juga sama tegangnya kayak kamu. Kita juga takut,” sambung Vira.Seluruh staf nampak heboh menggosipkan sikap Reynald hari ini. Memang di saat ada masalah, tak jarang mereka akan dimaki-maki oleh atasan mereka. Hanya saja, mereka tidak menyangka kalau bos mereka akan memaki-maki ka
"Astaga, ini semua harus aku kerjakan sekarang? Udah jam segini mana mungkin semua laporan ini bisa beres?" jerit Rania dalam hati. Wanita itu benar-benar syok saat melihat tumpukan berkas yang menggunung di mejanya."Rania, kamu kenapa ngelamun? Pekerjaanmu nanti nggak selesai, lho!" tegur Vira.Saat ini semua staf yang tergabung dalam tim Rania masih berada di kantor saat hari sudah mulai larut. Di hari pertamanya bekerja, Rania justru sudah mendapatkan begitu banyak tugas dari Reynald dan harus ia selesaikan malam itu juga.Beberapa staf sudah menyelesaikan pekerjaan mereka dan hendak pulang. Untungnya mereka tidak perlu lembur sampai pagi dan bisa menyelesaikan pekerjaannya sebelum tengah malam.Namun, sayangnya Rania bernasib sial. Pekerjaan yang diberikan oleh Reynald pada Rania justru lebih banyak dibandingkan pada staf yang lainnya. Reynald sengaja memberi Rania lebih banyak tugas untuk mengerjai wanita itu. Meskipun menggunakan cara kekanak-kanakan, tapi Reynald cukup puas bis
Setelah beberapa menit Rania mencari taksi, akhirnya masih ada juga taksi yang bisa mengantarkan Rania sampai di rumah. Rania langsung membersihkan tubuhnya terlebih dahulu sebelum nantinya ia akan tidur, guna mengistirahatkan tubuhnya usai seharian penuh ia bekerja.Jika biasanya Rania bisa beristirahat dengan cukup, kini Rania hanya bisa tidur dalam waktu tiga jam saja. Pagi-pagi sekali Rania sudah mendapatkan telepon dari Reynald untuk segera bersiap-siap berangkat ke kantor. Dalam keadaan mata yang sangat ngantuk dan tubuh yang amat lelah, Rania berjalan ke kamar mandi dan mulai menyegarkan tubuhnya agar rasa kantuk yang menyerang dirinya segera hilang."Loh, kamu sudah mau berangkat lagi, Ran? Bukannya tadi malam kamu lembur?" tanya sang ibu saat melihat Rania sudah dengan pakaian rapinya."Hari ini ada banyak kerjaan, Bu. Aku harus berangkat pagi," jawab Rania dengan malas.Tubuh Rania sebenarnya sangat lelah dan masih membutuhkan istirahat. Namun, perintah dari bosnya itu tidak
Rania mengeraskan rahangnya menahan kesal. Hanya karena masalah kopi saja dirinya diancam akan dipecat. Mau tidak mau Rania harus mematuhi perintah yang diberikan Reynald. Wanita itu kemudian menampilkan senyum yang ia paksakan seraya mengambil gelas kopi yang ada di meja Reynald. "Baik, Pak. Saya buatkan kopinya yang baru lebih dulu." Setelah mengambil gelas kopi itu, wajah Rania seketika berubah menjadi kesal kembali. Rania melangkah menuju pantry dengan perasaan dongkol."Dasar bos kampret! Tinggal minum aja apa susahnya sih! Perlu dicekoki dulu kali ya, biar gak pilih-pilih. Sama-sama kopi aja kok pakai kebanyakan tingkah segala! Gak tahu apa kalau aku banyak kerjaan!" Sepanjang perjalanan menuju pantry, Rania tak henti-hentinya menggerutu. Wanita itu benar-benar dibuat kesal oleh atasannya yang menurutnya terlalu menyebalkan.Saat Rania sampai di pantry, wanita itu mendapatkan tatapan bingung dari beberapa office girl dan office boy yang ada di sana. "Loh, Bu Rania kok balik lag
Reynald menggebrak mejanya dengan kasar hingga membuat Rania tersentak kaget. Wanita itu benar-benar harus menyetok kesabaran ekstra untuk menghadapi bosnya yang menyebalkan ini."Saya gak mau tahu! Bikin yang baru, atau gaji kamu yang akan saya potong sebanyak dua puluh persen!" sentak Reynald menatap Rania dengan tajam.Rania mengepalkan kedua tangannya seraya menghembuskan napas kasar. Wanita itu benar-benar sedang diuji dengan tingkah laku bosnya yang sangat menyebalkan ini. Namun, meskipun hati Rania saat ini sangat dongkol, Rania harus tetap bersabar demi mendapatkan gaji untuk biaya pengobatan dan operasi sang ayah.“Sabar, Rania, sabar! Ini hanya masalah kecil. Kamu pasti kuat, kok! Sabar yuk, demi ayah!” batin Rania menyemangati dirinya sendiri.Setelah menurunkan emosinya, Rania lantas mengambil kopi itu dan membawanya ke pantry kembali. “Baiklah, saya buatkan yang baru dulu ya, Pak!” ucap Rania dengan senyum yang dipaksakan.Rania melangkah kembali ke pantry dengan bibir yan
Rania kembali datang dengan membawa secangkir kopi yang tadi dia buat. Wajah Rania benar-benar terlihat emosi. Jauh berbeda dengan saat Rania pertama dan terakhir ke pantry tadi.Mia, office girl yang baru kembali setelah sebelumnya ia ke toilet terlebih dulu untuk buang air kecil, lantas langsung menghampiri Rania dan mengajak Rania berbicara. “Bagaimana, Bu? Apa kopinya belum sesuai dengan selera Pak Reynald?” tanya Mia sopan.“Iya. Katanya nggak enak!” cetus Rania kesal. “Udah dibilangin saya nggak bisa bikin kopi kok ngeyel banget. Sebenarnya itu orang punya otak atau enggak, sih!” lanjut wanita itu sembari membuang kopi yang ia bikin ke wastafel.“Biar saya yang bikinkan ya, Bu?” Mia menawarkan bantuan pada Rania.“Tapi dianya nggak mau kalau kopi itu bukan bikinan saya! Tadi aja bikinan Pak Joe nggak diminum, kan?” Rasanya Rania ingin menangis memikirkan kerjaannya yang masih menumpuk, tapi kini dirinya justru disuruh membuat kopi. Hal yang belum pernah Rania lakukan selama ini.
Tiba-tiba suara telepon kantor di meja kerja Rania berbunyi kembali. Listy dan Vira spontan langsung terdiam. Baru saja Rania mengangkat panggilan itu, sebuah suara menggema memenuhi rongga telinga Rania.“Buruan ke sini! Ngobrol terus!” bentak Reynald.Rania lantas menjauhkan telepon itu dari telinganya, kemudian mulai mendekatkannya kembali saat Reynald sudah berhenti mengomel. “Iya, Pak, maaf.” Usai mengatakan itu Rania langsung menutup teleponnya dan menuju ke ruangan bosnya.“Aku ke ruangan bos dulu. Udah marah-marah dia,” pamit Riana yang kemudian langsung berlari agar ia cepat sampai di ruangan bosnya.Tok Tok!Rania mengetuk pintu seraya menstabilkan pernapasannya sebelum dirinya masuk.“Masuk!” seru Reynald.Dengan langkah cepat Rania masuk ke dalam ruangan Reynald. “Ada yang bisa saya bantu, Pak?” tanya Rania dengan sopan.“Ambilkan berkas warna biru muda di rak itu. Mau saya periksa untuk bertemu client sore ini,” ucap Reynald sembari menunjuk rak yang ia maksud.“Baik, Pak.
Rania yang terkejut mendengar suara beling pecah pun lantas menoleh ke arah bosnya dan melihat telapak tangan Reynald yang mengeluarkan darah.Rania lantas bergegas mengambil sapu tangan di tasnya dan berlari ke meja Reynald. Mengelap telapak tangan Reynald yang penuh dengan darah. “Ya ampun, Pak! Kenapa bisa gini?” panik Rania. Namun, Reynald hanya diam membisu dengan tatapan kosongnya. Terlihat jelas mata pria itu yang tenah memancarkan emosi.Rania kemudian berlari mengambil betadine dan kain kasa guna membelitkan luka di tangan Reynald. Dengan pelan dan telaten, Rania mengobati luka itu. Setelah selesai mengobati tangan Reynald, Rania segera membersihkan beling-beling yang berceceran di lantai.Tatapan Reynald masih terpaku pada pikirannya. Pria itu bahkan tak sadar jika Rania sudah mengobati luka di tangannya, dan Rania juga yang membersihkan pecahan-pecahan beling itu.Rania lantas kembali ke mejanya setelah selesai membersihkan pecahan-pecahan gelas kaca itu. Namun, belum sampa
“Udah lama kerja sama Reynald?” tanya Irene seraya berdiri di samping Rania dan merapikan penampilannya.“Lumayan, Mbak!” jawab Rania. Wanita itu terpaksa harus berbohong sebab Rania melihat Irene ini agak sedikit sombong.“Oh.” Hanya itu yang keluar dari mulut Irene.“Mbaknya udah kenal sama Pak Reynald?” tanya Rania yang sengaja memancing Irene.“Ya. Kami sudah kenal cukup lama. Sangat lama, dan sangat kenal,” jawab Irene sombong.“Oh.” Rania mengangguk.“Reynald belum punya pacar, kan?” tanya Irene.“Kalau itu saya tidak tahu, Mbak. Karena itu bukan wewenang saya untuk mengurus hidup orang lain,” ujar Rania yang mampu merubah ekspresi wajah Irene.Wanita itu tampak kesal mendengar jawaban dari mulut Rania. Rania seolah seperti sedang menyindir Irene. Rania kemudian pamit untuk kembali ke ruangan Indira, sedangkan Irene justru mengepalkan tangannya seraya menatap punggung Rania yang semakin menjauh.***Setelah dari toilet Reynald memutuskan untuk kembali ke kantor bersama Rania. Pr
Saat ketiga orang itu sedang fokus membicarakan perkembangan bisnis kain di perusahaan Reynald, tiba-tiba seorang wanita misterius datang dan mengetuk pintu ruangan Indira.“Masuk!” seru Indira mempersilakan.Wanita misterius itu pun masuk ke dalam ruangan Indira dengan langkah percaya dirinya bersama dengan seorang office girl yang kebetulan juga berada di depan pintu ruangan Indira. Rania menoleh sesaat untuk melihat orang yang datang tersebut, kemudian kembali fokus pada percakapan antara Reynald dan Indira.Wanita misterius itu tampak berjalan beriringan bersama dengan office girl tersebut, kemudian office girl itu meletakkan kopi yang ia buat di meja yang ada di depan ketiga orang itu, sedangkan Irene berdiri di samping office girl itu.Pembicaraan spontan terhenti saat office girl tersebut mempersilakan para tamu untuk meminum kopi yang telah ia buat. “Silakan diminum, Pak, Bu!” ucap office girl itu dengan ramah.Reynold menoleh menatap depan. Di mana office girl itu berdiri dan
Sesampainya di tempat yang telah ditentukan, Reynald dan Rania segera turun dari mobil. Keduanya berjalan beriringan menuju meja tempat bertemu dengan klien. Baru saja keduanya duduk di bangku yang telah dipesan oleh Reynald, klien itu datang. Reynald dan Rania sontak kembali berdiri dan menyambut klien mereka. “Selamat pagi, Pak Reynald. Bagaimana kabarnya?” sapa klien Reynald.“Baik. Sangat baik. Silakan duduk, Pak.” “Ini sekretaris barunya atau calon Pak Reynald, nih?” tanya klien itu saat bersalaman dengan Rania.Rania yang mendengar pertanyaan yang dilontarkan oleh klien itu pun mencoba menyanggahnya. Takut jika Reynald tersinggung. “Ah, saya–” Belum selesai Rania berbicara, Reynald lebih dulu memotongnya. “Dia sekretaris pribadi saya,” ucap Reynald tersenyum.“Oh, pantes. Hahahaha. Ya ya ya, saya mengerti.” Klien itu spontan tertawa. Mengerti maksud dari ucapan Reynald, sedangkan Rania justru mengerutkan keningnya merasa bingung kenapa orang itu tertawa.****“Udah dari tadi
Tak lama mobil Reynald berhenti di sebuah toko. Reynald segera keluar dari mobilnya, sedangkan Rania yang bingung pun hanya diam membeku di dalam mobil. Reynald yang melihat Rania hanya diam pun memberikan kode lewat gerakan kepalanya agar Rania keluar dari kendaraan itu.“Pilihkan sepatu yang bagus untuk dia,” titah Reynald seraya menunjuk Rania yang masih berada di belakangnya. “Baik, Pak!” patuh pelayan itu.“Ukuran sepatunya nomor berapa, Kak?” tanya pelayan itu pada Rania yang kini menatapnya bingung.“Hah? Saya?” tanya Rania bingung.“Iya, Kak. Ukuran kaki kakak nomor berapa?” “Tiga puluh delapan. Kenapa, Mbak?”“Tidak apa-apa, Kak. Sebentar ya, saya carikan dulu,” ujar pelayan itu yang kemudian mengambil beberapa wedges dan high heels yang bagus dan cocok untuk Rania.Rania hanya diam berdiri menatap bos dan pelayan toko itu dengan bingung. Beberapa saat kemudian pelayan toko itu pun datang dengan membawa beberapa kardus yang isi di dalamnya adalah model sandal dan sepatu yan
“Pagi, Pak!” sapa Rania pada satpam penjaga kantor.“Pagi juga, Bu Rania,” balas satpam tersebut.Rania melangkah masuk ke dalam kantor. Tak lama disusul oleh seorang pria berbadan tegap yang juga baru datang.“Pagi, Pak!” siapa para satpam pada Reynald.“Pagi,” jawab Reynald.Rania yang sedang menatap layar teleponnya sedikit terkejut saat tiba-tiba ada seseorang yang berjalan di sampingnya. Wanita itu sontak menoleh dan melihat siapa orang yang berada di sampingnya. Ternyata orang itu adalah bosnya.“Eh, Bapak,” nyengir Rania. “Pagi, Pak!” sambung wanita itu.“Segera bersiap. Sebentar lagi kita berangkat,” ujar Reynald tanpa menjawab sapaan dari Rania.“Baik, Pak.” Keduanya lantas menuju ke meja kerja mereka masing-masing. Namun, tiba-tiba Reynald memanggil Rania.***Seorang wanita memasuki gedung perusahaan besar dengan langkah anggun bak model ternama papan atas. Kacamata yang bertengger di hidungnya ia naikkan hingga di atas kepala. Semua mata tertuju padanya. Dengan angkuhnya
Reynald menoleh menatap ibunya yang ternyata juga sedang menatapnya dengan senyum yang begitu manis. Pria berusia 30 tahun itu mengerutkan keningnya melihat sikap sang ibu yang tampaknya sangat menyukai Rania. Padahal mereka baru bertemu satu kali.“Tidak. Dia dekil. Nyebelin. Keras kepala, dan–,” ucap Reynald menggantung.“Dan?” tuntut Bella agar Reynald melanjutkan ucapannya.“Ngangenin.” ***Rania berjalan ke ruang makan dengan langkah yang dihentakkan. Wanita itu kesal karena penampilannya selalu dinilai buruk oleh orang lain. Padahal menurutnya penampilan dirinya sudah kece dan cukup cantik, tetapi kenapa orang lain selalu tak suka melihatnya? Entahlah, Rania bingung.Wanita itu melahap sarapannya dengan diam. Tak ada percakapan antara dirinya dengan orang tuanya. Bagas yang melihat anak dan istrinya hanya diam membisu pun menatap mereka satu per satu. Keduanya tampak sedang fokus menyantap sarapannya. Terlihat jelas raut kesal di wajah Rania, sedangkan wajah Mirna tampak acuh
"Sudah siap!" Rania menatap pantulan dirinya di depan cermin besar yang ada di dalam kamarnya. Pagi-pagi sekali wanita itu sudah mandi dan bersiap dengan pakaian yang rapi dan cantik. Namun, sayangnya tampak seoerti ada yang kurang. Baju pemberian Reynald yang telah Rania pakai memang sudah menunjang penampilannya, tapi sayangnya wajah Rania tanpa polesan make up. Wanita itu hanya memakai lip tint berwarna merah di bibirnya. Ditambah lagi Rania tetap mengenakan sepatu kumal yang selalu ia pakai setiap harinya. Benar-benar tak habis pikir.Mirna, ibu dari Rania itu sontak menoleh saat melihat putrinya sudah keluar dengan berpakaian rapi, lalu menghampiri putrinya."Kamu udah mau berangkat, Ran?" tanya Mirna."Iya, Ma. Rania mau berangkat lebih awal," jawab Rania.Mirna memandang putrinya dari ujung kaki hingga sampai kepala Rania dengan dahi yang berkerut. Wanita paruh baya itu benar-benar tak habis pikir dengan penampilan putrinya yang terlihat aneh. Bagaimana tidak? Pasalnya Rania
“Sebenarnya dia itu orang yang juga sudah membantu membiayai pengobatan Ayah saat operasi kemarin,” ungkap Rania.Dengan terpaksa gadis itu harus berkata jujur pada orang tuanya, siapa orang yang telah membelikan baju-baju mahal pada dirinya agar kedua orang tuanya tidak salah paham.“Hah? Serius kamu, Ran? Kamu udah nemuin orang yang bantu biaya pengobatan Ayah?” Mirna terkejut setengah mati saat mendengar ucapan anaknya.“Iya, Bu. Rania udah tahu siapa orangnya.”“Siapa itu, Ran? Ayah mau ketemu sama dia, dong!” Bagas benar-benar penasaran dengan orang yang telah membantu menolong dirinya untuk biaya operasi di rumah sakit.“Jadi, ternyata orang yang udah bantu bayarin pengobatan Ayah itu adalah Bos di kantor Rania. Mungkin karena dia kasihan ngelihat Rania kesusahan cari pinjaman atau gimana, akhirnya dia mau bantuin Rania buat bayar biata tagihan rumah sakit kita.”“Oh jadi yang bayarin biaya rumah sakit Ayah itu bos kamu?” Mirna benar-benar tidak menyangka jika bos di tempat kerj