“Jangan-jangan apa?” tanya Bagas.“Jangan-jangan Rania jalan sama omongan pula?” “Hush! Gak boleh gitu. Jangan berpikir yang tidak-tidak. Ingat, ucapan seorang Ibu itu mustajab untuk anaknya. Jadi jangan bicara sembarangan, Bu!” tegur Bagas menasihati istrinya.“Ya tapi kan aneh, Yah! Mencurigakan. Siapa coba yang beliin barang-barang mahal gini untuk Rania?”“Ya mungkin calon suaminya. Berpikir positif dong, Bu! Anak kita gak mungkin kayak gitu.”“Ya tapi kalau tahu-tahu Rania pacaran sama omongan, jadi simpanan omongan gimana?”“Itu gak mungkin. Anak kita gak kayak gitu. Rania itu anak yang baik, Bu! Kamu tahu sendiri Rania gak pernah macam-macam.”“Ya kan Rania sekarang udah kerja di kantor. Di perusahaan besar. Kalau Rania salah pergaulan gimana?” sewot Mirna yang sebenarnya cemas pada putrinya. Mirna takut jika tanpa mereka ketahui ternyata Rania salah pergaulan.“Gak usah berpikir aneh-aneh. Putri kita bukan anak yang seperti itu.” Bagas kemudian melipat koran yang tadi ia baca
Usai bercengkrama sembari memakan berbagai macam camilan yang dibawa oleh Bella, Reynald dan kedua orang tuanya kembali ke kamar mereka masing-masing. Jika kedua orang tua Reynald masuk ke dalam kamar untuk beristirahat sembari menunggu waktu makan malam tiba, sedangkan Reynald ke dalam kamar hanya untuk menonton televisi.Namun, Reynald yang sedang menonton televisi di kamarnya tiba-tiba teringat dengan Rania. Pria itu lantas menelpon Rania hanya untuk mendengar suara Rania, tetapi karena gengsi, Reynald menelpon Rania dengan alasan yang berkaitan dengan pekerjaan.“Halo, Pak?”“Besok siapkan file dan berkas yang akan saya bawa bertemu client. Tolong berangkat lebih pagi karena setelah meeting dengan klien, saya akan membawa kamu ke salah satu tempat bisnis saya agar kamu nanti paham apa yang harus kamu lakukan ketika saya menyuruh kamu mengerjakan pekerjaan yang lain,” ujar Reynald.“Baik, Pak.”“Jangan lupa pakai baju yang kemarin saya belikan.”“Iya, Pak,” jawab Rania kikuk."Apa
“Sebenarnya dia itu orang yang juga sudah membantu membiayai pengobatan Ayah saat operasi kemarin,” ungkap Rania.Dengan terpaksa gadis itu harus berkata jujur pada orang tuanya, siapa orang yang telah membelikan baju-baju mahal pada dirinya agar kedua orang tuanya tidak salah paham.“Hah? Serius kamu, Ran? Kamu udah nemuin orang yang bantu biaya pengobatan Ayah?” Mirna terkejut setengah mati saat mendengar ucapan anaknya.“Iya, Bu. Rania udah tahu siapa orangnya.”“Siapa itu, Ran? Ayah mau ketemu sama dia, dong!” Bagas benar-benar penasaran dengan orang yang telah membantu menolong dirinya untuk biaya operasi di rumah sakit.“Jadi, ternyata orang yang udah bantu bayarin pengobatan Ayah itu adalah Bos di kantor Rania. Mungkin karena dia kasihan ngelihat Rania kesusahan cari pinjaman atau gimana, akhirnya dia mau bantuin Rania buat bayar biata tagihan rumah sakit kita.”“Oh jadi yang bayarin biaya rumah sakit Ayah itu bos kamu?” Mirna benar-benar tidak menyangka jika bos di tempat kerj
"Sudah siap!" Rania menatap pantulan dirinya di depan cermin besar yang ada di dalam kamarnya. Pagi-pagi sekali wanita itu sudah mandi dan bersiap dengan pakaian yang rapi dan cantik. Namun, sayangnya tampak seoerti ada yang kurang. Baju pemberian Reynald yang telah Rania pakai memang sudah menunjang penampilannya, tapi sayangnya wajah Rania tanpa polesan make up. Wanita itu hanya memakai lip tint berwarna merah di bibirnya. Ditambah lagi Rania tetap mengenakan sepatu kumal yang selalu ia pakai setiap harinya. Benar-benar tak habis pikir.Mirna, ibu dari Rania itu sontak menoleh saat melihat putrinya sudah keluar dengan berpakaian rapi, lalu menghampiri putrinya."Kamu udah mau berangkat, Ran?" tanya Mirna."Iya, Ma. Rania mau berangkat lebih awal," jawab Rania.Mirna memandang putrinya dari ujung kaki hingga sampai kepala Rania dengan dahi yang berkerut. Wanita paruh baya itu benar-benar tak habis pikir dengan penampilan putrinya yang terlihat aneh. Bagaimana tidak? Pasalnya Rania
Reynald menoleh menatap ibunya yang ternyata juga sedang menatapnya dengan senyum yang begitu manis. Pria berusia 30 tahun itu mengerutkan keningnya melihat sikap sang ibu yang tampaknya sangat menyukai Rania. Padahal mereka baru bertemu satu kali.“Tidak. Dia dekil. Nyebelin. Keras kepala, dan–,” ucap Reynald menggantung.“Dan?” tuntut Bella agar Reynald melanjutkan ucapannya.“Ngangenin.” ***Rania berjalan ke ruang makan dengan langkah yang dihentakkan. Wanita itu kesal karena penampilannya selalu dinilai buruk oleh orang lain. Padahal menurutnya penampilan dirinya sudah kece dan cukup cantik, tetapi kenapa orang lain selalu tak suka melihatnya? Entahlah, Rania bingung.Wanita itu melahap sarapannya dengan diam. Tak ada percakapan antara dirinya dengan orang tuanya. Bagas yang melihat anak dan istrinya hanya diam membisu pun menatap mereka satu per satu. Keduanya tampak sedang fokus menyantap sarapannya. Terlihat jelas raut kesal di wajah Rania, sedangkan wajah Mirna tampak acuh
“Pagi, Pak!” sapa Rania pada satpam penjaga kantor.“Pagi juga, Bu Rania,” balas satpam tersebut.Rania melangkah masuk ke dalam kantor. Tak lama disusul oleh seorang pria berbadan tegap yang juga baru datang.“Pagi, Pak!” siapa para satpam pada Reynald.“Pagi,” jawab Reynald.Rania yang sedang menatap layar teleponnya sedikit terkejut saat tiba-tiba ada seseorang yang berjalan di sampingnya. Wanita itu sontak menoleh dan melihat siapa orang yang berada di sampingnya. Ternyata orang itu adalah bosnya.“Eh, Bapak,” nyengir Rania. “Pagi, Pak!” sambung wanita itu.“Segera bersiap. Sebentar lagi kita berangkat,” ujar Reynald tanpa menjawab sapaan dari Rania.“Baik, Pak.” Keduanya lantas menuju ke meja kerja mereka masing-masing. Namun, tiba-tiba Reynald memanggil Rania.***Seorang wanita memasuki gedung perusahaan besar dengan langkah anggun bak model ternama papan atas. Kacamata yang bertengger di hidungnya ia naikkan hingga di atas kepala. Semua mata tertuju padanya. Dengan angkuhnya
Tak lama mobil Reynald berhenti di sebuah toko. Reynald segera keluar dari mobilnya, sedangkan Rania yang bingung pun hanya diam membeku di dalam mobil. Reynald yang melihat Rania hanya diam pun memberikan kode lewat gerakan kepalanya agar Rania keluar dari kendaraan itu.“Pilihkan sepatu yang bagus untuk dia,” titah Reynald seraya menunjuk Rania yang masih berada di belakangnya. “Baik, Pak!” patuh pelayan itu.“Ukuran sepatunya nomor berapa, Kak?” tanya pelayan itu pada Rania yang kini menatapnya bingung.“Hah? Saya?” tanya Rania bingung.“Iya, Kak. Ukuran kaki kakak nomor berapa?” “Tiga puluh delapan. Kenapa, Mbak?”“Tidak apa-apa, Kak. Sebentar ya, saya carikan dulu,” ujar pelayan itu yang kemudian mengambil beberapa wedges dan high heels yang bagus dan cocok untuk Rania.Rania hanya diam berdiri menatap bos dan pelayan toko itu dengan bingung. Beberapa saat kemudian pelayan toko itu pun datang dengan membawa beberapa kardus yang isi di dalamnya adalah model sandal dan sepatu yan
Sesampainya di tempat yang telah ditentukan, Reynald dan Rania segera turun dari mobil. Keduanya berjalan beriringan menuju meja tempat bertemu dengan klien. Baru saja keduanya duduk di bangku yang telah dipesan oleh Reynald, klien itu datang. Reynald dan Rania sontak kembali berdiri dan menyambut klien mereka. “Selamat pagi, Pak Reynald. Bagaimana kabarnya?” sapa klien Reynald.“Baik. Sangat baik. Silakan duduk, Pak.” “Ini sekretaris barunya atau calon Pak Reynald, nih?” tanya klien itu saat bersalaman dengan Rania.Rania yang mendengar pertanyaan yang dilontarkan oleh klien itu pun mencoba menyanggahnya. Takut jika Reynald tersinggung. “Ah, saya–” Belum selesai Rania berbicara, Reynald lebih dulu memotongnya. “Dia sekretaris pribadi saya,” ucap Reynald tersenyum.“Oh, pantes. Hahahaha. Ya ya ya, saya mengerti.” Klien itu spontan tertawa. Mengerti maksud dari ucapan Reynald, sedangkan Rania justru mengerutkan keningnya merasa bingung kenapa orang itu tertawa.****“Udah dari tadi
Rania yang terkejut mendengar suara beling pecah pun lantas menoleh ke arah bosnya dan melihat telapak tangan Reynald yang mengeluarkan darah.Rania lantas bergegas mengambil sapu tangan di tasnya dan berlari ke meja Reynald. Mengelap telapak tangan Reynald yang penuh dengan darah. “Ya ampun, Pak! Kenapa bisa gini?” panik Rania. Namun, Reynald hanya diam membisu dengan tatapan kosongnya. Terlihat jelas mata pria itu yang tenah memancarkan emosi.Rania kemudian berlari mengambil betadine dan kain kasa guna membelitkan luka di tangan Reynald. Dengan pelan dan telaten, Rania mengobati luka itu. Setelah selesai mengobati tangan Reynald, Rania segera membersihkan beling-beling yang berceceran di lantai.Tatapan Reynald masih terpaku pada pikirannya. Pria itu bahkan tak sadar jika Rania sudah mengobati luka di tangannya, dan Rania juga yang membersihkan pecahan-pecahan beling itu.Rania lantas kembali ke mejanya setelah selesai membersihkan pecahan-pecahan gelas kaca itu. Namun, belum sampa
“Udah lama kerja sama Reynald?” tanya Irene seraya berdiri di samping Rania dan merapikan penampilannya.“Lumayan, Mbak!” jawab Rania. Wanita itu terpaksa harus berbohong sebab Rania melihat Irene ini agak sedikit sombong.“Oh.” Hanya itu yang keluar dari mulut Irene.“Mbaknya udah kenal sama Pak Reynald?” tanya Rania yang sengaja memancing Irene.“Ya. Kami sudah kenal cukup lama. Sangat lama, dan sangat kenal,” jawab Irene sombong.“Oh.” Rania mengangguk.“Reynald belum punya pacar, kan?” tanya Irene.“Kalau itu saya tidak tahu, Mbak. Karena itu bukan wewenang saya untuk mengurus hidup orang lain,” ujar Rania yang mampu merubah ekspresi wajah Irene.Wanita itu tampak kesal mendengar jawaban dari mulut Rania. Rania seolah seperti sedang menyindir Irene. Rania kemudian pamit untuk kembali ke ruangan Indira, sedangkan Irene justru mengepalkan tangannya seraya menatap punggung Rania yang semakin menjauh.***Setelah dari toilet Reynald memutuskan untuk kembali ke kantor bersama Rania. Pr
Saat ketiga orang itu sedang fokus membicarakan perkembangan bisnis kain di perusahaan Reynald, tiba-tiba seorang wanita misterius datang dan mengetuk pintu ruangan Indira.“Masuk!” seru Indira mempersilakan.Wanita misterius itu pun masuk ke dalam ruangan Indira dengan langkah percaya dirinya bersama dengan seorang office girl yang kebetulan juga berada di depan pintu ruangan Indira. Rania menoleh sesaat untuk melihat orang yang datang tersebut, kemudian kembali fokus pada percakapan antara Reynald dan Indira.Wanita misterius itu tampak berjalan beriringan bersama dengan office girl tersebut, kemudian office girl itu meletakkan kopi yang ia buat di meja yang ada di depan ketiga orang itu, sedangkan Irene berdiri di samping office girl itu.Pembicaraan spontan terhenti saat office girl tersebut mempersilakan para tamu untuk meminum kopi yang telah ia buat. “Silakan diminum, Pak, Bu!” ucap office girl itu dengan ramah.Reynold menoleh menatap depan. Di mana office girl itu berdiri dan
Sesampainya di tempat yang telah ditentukan, Reynald dan Rania segera turun dari mobil. Keduanya berjalan beriringan menuju meja tempat bertemu dengan klien. Baru saja keduanya duduk di bangku yang telah dipesan oleh Reynald, klien itu datang. Reynald dan Rania sontak kembali berdiri dan menyambut klien mereka. “Selamat pagi, Pak Reynald. Bagaimana kabarnya?” sapa klien Reynald.“Baik. Sangat baik. Silakan duduk, Pak.” “Ini sekretaris barunya atau calon Pak Reynald, nih?” tanya klien itu saat bersalaman dengan Rania.Rania yang mendengar pertanyaan yang dilontarkan oleh klien itu pun mencoba menyanggahnya. Takut jika Reynald tersinggung. “Ah, saya–” Belum selesai Rania berbicara, Reynald lebih dulu memotongnya. “Dia sekretaris pribadi saya,” ucap Reynald tersenyum.“Oh, pantes. Hahahaha. Ya ya ya, saya mengerti.” Klien itu spontan tertawa. Mengerti maksud dari ucapan Reynald, sedangkan Rania justru mengerutkan keningnya merasa bingung kenapa orang itu tertawa.****“Udah dari tadi
Tak lama mobil Reynald berhenti di sebuah toko. Reynald segera keluar dari mobilnya, sedangkan Rania yang bingung pun hanya diam membeku di dalam mobil. Reynald yang melihat Rania hanya diam pun memberikan kode lewat gerakan kepalanya agar Rania keluar dari kendaraan itu.“Pilihkan sepatu yang bagus untuk dia,” titah Reynald seraya menunjuk Rania yang masih berada di belakangnya. “Baik, Pak!” patuh pelayan itu.“Ukuran sepatunya nomor berapa, Kak?” tanya pelayan itu pada Rania yang kini menatapnya bingung.“Hah? Saya?” tanya Rania bingung.“Iya, Kak. Ukuran kaki kakak nomor berapa?” “Tiga puluh delapan. Kenapa, Mbak?”“Tidak apa-apa, Kak. Sebentar ya, saya carikan dulu,” ujar pelayan itu yang kemudian mengambil beberapa wedges dan high heels yang bagus dan cocok untuk Rania.Rania hanya diam berdiri menatap bos dan pelayan toko itu dengan bingung. Beberapa saat kemudian pelayan toko itu pun datang dengan membawa beberapa kardus yang isi di dalamnya adalah model sandal dan sepatu yan
“Pagi, Pak!” sapa Rania pada satpam penjaga kantor.“Pagi juga, Bu Rania,” balas satpam tersebut.Rania melangkah masuk ke dalam kantor. Tak lama disusul oleh seorang pria berbadan tegap yang juga baru datang.“Pagi, Pak!” siapa para satpam pada Reynald.“Pagi,” jawab Reynald.Rania yang sedang menatap layar teleponnya sedikit terkejut saat tiba-tiba ada seseorang yang berjalan di sampingnya. Wanita itu sontak menoleh dan melihat siapa orang yang berada di sampingnya. Ternyata orang itu adalah bosnya.“Eh, Bapak,” nyengir Rania. “Pagi, Pak!” sambung wanita itu.“Segera bersiap. Sebentar lagi kita berangkat,” ujar Reynald tanpa menjawab sapaan dari Rania.“Baik, Pak.” Keduanya lantas menuju ke meja kerja mereka masing-masing. Namun, tiba-tiba Reynald memanggil Rania.***Seorang wanita memasuki gedung perusahaan besar dengan langkah anggun bak model ternama papan atas. Kacamata yang bertengger di hidungnya ia naikkan hingga di atas kepala. Semua mata tertuju padanya. Dengan angkuhnya
Reynald menoleh menatap ibunya yang ternyata juga sedang menatapnya dengan senyum yang begitu manis. Pria berusia 30 tahun itu mengerutkan keningnya melihat sikap sang ibu yang tampaknya sangat menyukai Rania. Padahal mereka baru bertemu satu kali.“Tidak. Dia dekil. Nyebelin. Keras kepala, dan–,” ucap Reynald menggantung.“Dan?” tuntut Bella agar Reynald melanjutkan ucapannya.“Ngangenin.” ***Rania berjalan ke ruang makan dengan langkah yang dihentakkan. Wanita itu kesal karena penampilannya selalu dinilai buruk oleh orang lain. Padahal menurutnya penampilan dirinya sudah kece dan cukup cantik, tetapi kenapa orang lain selalu tak suka melihatnya? Entahlah, Rania bingung.Wanita itu melahap sarapannya dengan diam. Tak ada percakapan antara dirinya dengan orang tuanya. Bagas yang melihat anak dan istrinya hanya diam membisu pun menatap mereka satu per satu. Keduanya tampak sedang fokus menyantap sarapannya. Terlihat jelas raut kesal di wajah Rania, sedangkan wajah Mirna tampak acuh
"Sudah siap!" Rania menatap pantulan dirinya di depan cermin besar yang ada di dalam kamarnya. Pagi-pagi sekali wanita itu sudah mandi dan bersiap dengan pakaian yang rapi dan cantik. Namun, sayangnya tampak seoerti ada yang kurang. Baju pemberian Reynald yang telah Rania pakai memang sudah menunjang penampilannya, tapi sayangnya wajah Rania tanpa polesan make up. Wanita itu hanya memakai lip tint berwarna merah di bibirnya. Ditambah lagi Rania tetap mengenakan sepatu kumal yang selalu ia pakai setiap harinya. Benar-benar tak habis pikir.Mirna, ibu dari Rania itu sontak menoleh saat melihat putrinya sudah keluar dengan berpakaian rapi, lalu menghampiri putrinya."Kamu udah mau berangkat, Ran?" tanya Mirna."Iya, Ma. Rania mau berangkat lebih awal," jawab Rania.Mirna memandang putrinya dari ujung kaki hingga sampai kepala Rania dengan dahi yang berkerut. Wanita paruh baya itu benar-benar tak habis pikir dengan penampilan putrinya yang terlihat aneh. Bagaimana tidak? Pasalnya Rania
“Sebenarnya dia itu orang yang juga sudah membantu membiayai pengobatan Ayah saat operasi kemarin,” ungkap Rania.Dengan terpaksa gadis itu harus berkata jujur pada orang tuanya, siapa orang yang telah membelikan baju-baju mahal pada dirinya agar kedua orang tuanya tidak salah paham.“Hah? Serius kamu, Ran? Kamu udah nemuin orang yang bantu biaya pengobatan Ayah?” Mirna terkejut setengah mati saat mendengar ucapan anaknya.“Iya, Bu. Rania udah tahu siapa orangnya.”“Siapa itu, Ran? Ayah mau ketemu sama dia, dong!” Bagas benar-benar penasaran dengan orang yang telah membantu menolong dirinya untuk biaya operasi di rumah sakit.“Jadi, ternyata orang yang udah bantu bayarin pengobatan Ayah itu adalah Bos di kantor Rania. Mungkin karena dia kasihan ngelihat Rania kesusahan cari pinjaman atau gimana, akhirnya dia mau bantuin Rania buat bayar biata tagihan rumah sakit kita.”“Oh jadi yang bayarin biaya rumah sakit Ayah itu bos kamu?” Mirna benar-benar tidak menyangka jika bos di tempat kerj