"Sekarang bagaimana keadaan kamu? Apa sudah jauh lebih baik?" Nathan melepas pelukannya sambil terus memandangi wajah Leona."Sudah lebih baik.""Syukurlah." Nathan menyelipkan anak rambut milik Leona ke belakang telinga. "Mas nggak nyangka Joshua akan senekat itu berani datang ke rumah, sayang. Pokoknya mas harus kasih pelajaran buat dia." Tegasnya."Terus mas mau apa?"Fahri menghela napas, dia sandarkan punggungnya di sofa dengan netra yang memandang langit-langit rumah. "Mas belum kepikiran mau memberikan pelajaran apa untuk Joshua supaya kapok. Tapi yang jelas, mas nggak terima sikap perlakuannya kali ini. Dan mas nggak akan biarin kamu kenapa-napa, sayang?" Sebenarnya Nathan berpikiran untuk membawa Leona pindah ke rumah baru yang jauh dari jangkauan Joshua. Tapi dia khawatir istrinya tidak setuju karena mengingat masih banyak urusan yang harus diselesaikan dalam waktu dekat."Jujur aku takut, mas." Leona menunduk dalam wajah lesu.Dengan lembut, ditariknya dagu Leona hingga se
Leona urung memberikan kopi tersebut karena terdengar ponsel Nathan yang tiba-tiba berdering. "Kamu angkat dulu, mas. Siapa tau penting.""Bentar ya, sayang."Leona mengangguk. Membiarkan Nathan mulai berbicara didalam telepon."Halo.""[Anda di mana Pak Joshua?]" Suara Arman terdengar formal meskipun masih kaku. "[Ada seseorang yang mencarimu?]""Siapa?""[Gue nggak tau, tapi gue baru liat orang ini di sini.]" Bisik Arman sangat lirih seolah tak membiarkan siapa pun dengar."Klien baru?" "[Bukan. Dia cewek, Nath.]"Untuk sekilas, Nathan menoleh pada Leona yang masih berdiri mematung sambil memegang secangkir kopi. Rasanya tak tega bila harus pergi lagi meskipun untuk urusan pekerjaan."Lo ajak ngobrol dulu. After lunch gue ke kantor."Puk!Arman menepuk jidat. "[Kalau bisa sekarang kenapa mesti nunggu nanti siang, sih.]""Gue lagi di rumah, Man.""[Astaga! Gini amat punya bos. Mentang-mentang perusahaan punya lo terus lo bisa seenaknya berangkat pulang kapan aja?]""Eh, diem lo. Kal
Nathan menutup pintu mobil, membenarkan dasi, lalu berjalan memasuki lobi kantor yang cukup luas. Tak sedikit karyawan yang menyapa sambil tersenyum memberi hormat."Selamat siang, Pak Nathan?" Lusi menghampiri. Gadis yang baru bekerja belum genap sebulan menggantikan Leona itu terlihat kewalahan membawa beberapa tumpukan berkas di tangan."Siang." "Bagaimana tentang laporan yang saya buat, pak? Apa sudah sesuai dengan yang bapak inginkan?" Lusi penasaran, masih sambil terus memegang tumpukan berkas yang tingginya hampir menutupi wajah imutnya.Bukan menjawab. Nathan malah berdecak sebal sekaligus kasihan. "Siapa yang menyuruhmu membawa berkas sebanyak ini, hm?" Nathan mengambil beberapa tumpukan berkas dari tangan Lusi hinggi wajah imut itu terlihat oleh netra."Pak Joshua, Pak." Polosnya."Joshua?" Nathan mengernyit."Benar, Pak. Pak Joshua menyuruh saya mengerjakan semua ini dalam waktu tiga hari." Lemas Lusi menampakkan wajah tak bersemangat. "Lalu kamu mau-mau saja?""Ya maulah
Mata Sarah berbinar bahagia karena bisa melihat pria yang sangat dia rindukan telah berdiri di hadapannya. Bak bertemu pangeran tampan di negeri dongeng, penampilan Nathan telah berubah drastis, sangat berbeda ketika masa pacaran dulu yang hanya selalu kaosan dipadukan jaket dan celana panjang biasa. Nathan sekarang telah tumbuh menjadi pria dewasa yang mengemban banyak tugas dan tanggung jawab. Apalagi setelah naik pangkat menjadi seorang suami sekaligus pimpinan di kantor milik almarhumah Ibu Diana. "Nath?" ucapnya lirih sambil beranjak dari tempat duduk dan hendak memeluk. Namun urung karena dengan cepat pria itu mengangkat tangan di udara sebagai tanda penolakan. "Maaf, Sarah. Tolong jaga sikapmu! Ini di kantor, dan hubungan kita sudah tak sama seperti yang dulu." Nathan berjalan ke arah kursi dan duduk. Netranya memandang lurus entah melihat apa. Sarah tersenyum. "Ya aku tau." Lanjut duduk di kursi yang berhadapan langsung dengan Nathan. "Untuk apa kamu datang menemuiku?" t
"Ada apa, Pak?" tanya sekretaris bernama Arman kepada bosnya. "Bapak tadi memanggil saya untuk datang, kan?" Pria itu tetap bersikap formal meskipun pada sahabatnya."Tolong kamu ajak Sarah ngobrol sebentar, saya masih ada perlu." Nathan hendak pergi tapi dicegah."Sebentar, pak?" Arman menghampiri Nathan dalam raut bingung. "Maksud bapak apa? Menemani mbak Sarah ngobrol? Ngobrol apa, pak?" Sekretaris itu mengedikkan bahu tak mengerti.Nathan berdecak sebal. Sesekali dia menatap sekeliling untuk memastikan tak ada karyawan yang melihat keduanya."Istriku mau datang. Tolong pastikan dia sudah keluar dari ruangan sebelum Leona datang!" Titah Nathan yang langsung pergi begitu saja meninggalkan Arman.Sekretaris itu meloading sebentar sambil menatap punggung bosnya yang mulai menghilang dibalik pintu lift.Bebarengan dengan seorang wanita yang tiba-tiba muncul dari ruangan Nathan. Wanita itu terlihat lesu dengan mata sembab seperti habis menangis. Arman pun mendekat seraya bertanya."Mbak
"Sayang?" Nathan berjongkok di depan istrinya yang masih memasang wajah kesal. Pasangan suami istri itu kini sudah berada di dalam ruangan, tidak lupa mengunci pintu.Leona tak menjawab. Wanita hamil itu terus membuang pandangan dari tatapan maut Nathan. Pria itu memang selalu pandai merayu siapapun wanita di luaran sana tak terkecuali Leona.Namun tetap saja, Leona masih kesal karena masih merasa Nathan belum terbuka sepenuhnya."Kamu masih marahkah?" Tanyanya dengan tampang memelas, bertopang dagu dengan paha Leona yang menjadi tumpuannya."Menurut mas aku lagi marah nggak?" Leona balik bertanya."Iya. Mas minta maaf, ya?""Buat apa minta maaf. Mas nggak salah apa-apa, kok."Nathan menggaruk leher yang tak gatal. Bingung harus berbuat apa. Sebenarnya bukan ia tak mau jujur, tapi Nathan merasa tak enak hati bila harus mengatakan perihal Sarah yang tak lain mantan kekasihnya sendiri."Kenapa mas diam saja?""Sayang. Mas–.""Jadi mas tetap nggak mau jujur sama aku?" Sela Leona memotong
"Ibu cuma terharu aja, nduk. Ibu nggak nyangka ternyata pemikiran kamu sudah dewasa," lanjut menyeka air mata yang membuat sembab di pipi."Ya iyalah, Bu. Alya udah 18 tahun. Sebentar lagi Alya mau ujian. Doain ya, Bu. Biar Alya lulus dengan nilai sempurna dan bisa masuk ke perguruan tinggi yang diinginkan.""Amin.""Jadi ibu izinin Alya kuliah kan?"Bu Leni mengangguk dalam senyuman. "Ibu akan selalu dukung apapun keputusan kamu selama itu baik, nduk. Buat ibumu bangga ya, nduk?""Insya Allah, Bu. Alya akan jadi orang yang sukses di masa depan. Alya pengin jadi guru, Bu." Jujurnya dengan netra yang membayangkan masa depannya mendidik anak bangsa."Masya Allah, nduk. Cita-cita kamu sungguh mulia. Ibu doakan semoga kamu bisa mencapai semua impian dan harapan kamu ya, nduk.""Amin, Bu." Alya memeluk Bu Leni dengan netra yang berkaca-kaca."Ya sudah, kamu tidur saja. Biar ibu yang tungguin baskom airnya sampai hujannya reda," ujarnya setelah melepas pelukan putra bungsunya yang kini tela
Nathan menggaruk kepala hampir frustrasi. Di tengah hasrat liar menggebu, bahkan tonggak kebesarannya di bawah sana sudah sangat tegap, berdiri kokoh layaknya tugu monas."Sayang?" panggilnya dengan nada super lembut."Pergi, mas! Aku ingin waktu sendiri," usir Leona seraya mendorong tubuh suaminya agar menjauh. Wanita itu lantas bangkit dari ranjang, memunguti satu per satu pakaiannya yang berserakan di lantai lantas memakainya."Kamu mengusirku?" Nathan tak percaya. Mimiknya berubah lesu, bahkan sesuatu yang telah berdiri itu perlahan mulai melemah karena ucapan Leona."Aku tidak mengusirmu, aku hanya butuh waktu untuk sendiri," tegasnya. "Kamu bisa tidur di kamar tamu atau di manapun sesuka hati, asal tidak di sini."Mata bulat Nathan refleks membola. Dia tak percaya istrinya seserius itu jika sedang marah hanya gara-gara mengetahui masa lalu yang sudah ia kubur dalam-dalam. 'Semua ini gara-gara Sarah,' batinnya kesal. Tetapi Nathan tak lantas menuruti keinginan Leona, pria itu m
Nathan panik hingga terus memaksa istrinya untuk pergi le rumah sakit. Apalagi ini kehamilan pertama untuk keluarga Leonath. Tentu tidak akan Nathan biarkan hal buruk menimpa istri dan janin dalam kandungan."Aku nggak papa, mas. Perutku cuma kram," lembut Leona berusaha menenangkan sang suami. "Yakin nggak papa?" Nathan memastikan.Wanita cantik itu mengangguk sebelum akhirnya mengembangkan senyuman. "Aku udah sempet konsultasi sama dokter kandungan, bahkan aku juga punya nomor teleponnya. Hal ini wajar terjadi karena biasanya karena kecapekkan, mas?" Leona menjelaskan dengan netra yang menatap lekat kedua bola mata suaminya."Betul, le. Leona memang sepertinya kecapekkan, belum sempat istirahat usai acara empat bulanan, eh langsung gas pulang kampung," imbuh Bu Leni yang sudah berpengalaman itu. "Saran ibu, apa tidak sebaiknya Leona istirahat dulu. Kalau kamu nggak keberatan, Leona bisa tinggal di sini sama ibu dan Alya," usul Bu Leni."Asal Mas Nathan ngizinin, aku iya aja sih, Bu
Nathan baru sempat menyusul masuk setelah obrolannya lewat telepon dengan Joshua selesai. Pria pemilik Diana Beauty itu tidak habis pikir dengan pemikiran Joshua yang terus saja berkeinginan untuk menghancurkan rumah tangganya dengan sang istri."Halo.""[Nathan. Gue pikir lo udah nggak mau angkat telepon gue lagi.]""Mau apa lagi?""[Gue cuma mau istri lo, Nath.]""Ck." Nathan mendecih. "Itu nggak akan pernah terjadi, Jo. Leona itu istriku. Kami sudah sah secara agama dan hukum.""[Tapi kalian masih bisa bercerai. Dan aku akan menikahi Leona.]""Jangan mimpi, Jo. Leona sedang mengandung anakku.""[Kamu tenang saja! Aku akan merawat anak itu seperti anak kandungku sendiri.]""Kurang ajar! Kenapa—.""[Kalau gue enggak bisa bahagia dengan Leona. Gue juga enggak akan biarkan Leona bahagia dengan siapapun termasuk lo, Nath.]" Tandas Joshua yang langsung memutuskan panggilan secara sepihak.'Keterlaluan.' Geram Nathan. Dia tidak terima dengan pernyataan Joshua. Tidak cukupkah dia yang ingi
"Siap?" "Lets, go!" Sorak Leona yang antusias akan pergi ke kampung halamannya. Wanita hamil empat bulan itu terlihat cantik meskipun hanya mengenakan dress selutut warna putih yang dibalut dengan blazer berwarna navy. Senada dengan sang suami - Nathan juga mengenakan kemeja panjang berwarna Navy berpadu dengan celana jeans hitam panjang.Tepat jam sepuluh pagi, setelah semuanya siap dengan barang-barang yang akan di bawa, mobil Nathan melaju dengan kecepatan rendah membelah jalanan Ibukota yang cukup ramai."Ibu belum ngabarin Alya kan kalau kita sedang perjalanan pulang?" tanya Leona kepada Bu Leni yang duduk di kursi belakang."Ini ibu baru mau ngabarin," jawabnya sembari mengeluarkan ponsel dari dalam tas berlogo dior itu. Ya, wanita berhijab coklat tua itu selain mendapat hadiah rumah dari sang mantu, dia juga mendapat tas branded dari Leona. Katanya Leona sudah bosan pakai tas tersebut, itu sebabnya dia memberikan tas tersebut untuk Bu Leni."Jangan dulu, bu!" Sergah Leona cepa
Jam 7 pagi"Ibu mau ngapain?" tanya Ijah yang tengah sibuk dengan aktivitasnya mencuci piring sisa semalam di wastafel."Saya mau bikin sarapan, Bi?" Bu Leni membuka kulkas, mengambil beberapa bahan masakan seperti sayuran dan daging. Alhamdulillah, semua makanan untuk acara empat bulanan Leona ludes tak bersisa.Semua orang terlihat menikmati semua makanan olahan yang disajikan dalam prasmanan malam itu. Sisanya dibagikan ke warga supaya tidak mubadzir."Ibu duduk saja! Nanti biar saya yang masak.""Nggak papa, Bi. Santai aja, nggak usak sungkan begitu.""Hehe ....""Ini Leona sama mantuku belum bangunkah?" lirihnya ketika mengupas kentang di meja. Wanita itu merasa menyesal karena mengingat kejadian semalam yang lagi-lagi tak sengaja memergoki menantu dan anaknya yang hendak beribadah.Pluk!Bu Leni menepuk jidat."Kenapa, Bu? Sakit kepala?""Nggak papa, Bi.""Ehem-ehem!" Suara seseorang berdehem yang tak asing itu membuat Bu Leni dan Ijah kompak menoleh menuju sumber suara. Mendapa
Nathan menghela napas lega. "Syukurlah semuanya berjalan dengan lancar," ucapnya saat duduk mengamati setiap rangkaian acara yang sedang berlangsung.Pria berpakaian koko putih yang dipadukan dengan kain sarung berwarna hitam itu tampak tersenyum senang melihat acara 4 bulanan istrinya berjalan dengan khidmat. Pembacaan ayat suci Al-quran pun ikut mengiringi hari bahagia mereka di rumah keluarga Nathan."Alhamdulillah," ucap syukur Bu Leni."Leone lega banget, bu. Akhirnya acara ini berjalan dengan lancar tanpa ada halangan apapun," senyum bumil itu merekah dari kedua sudut bibirnya yang dihiasi lipstik berwarna nude."Iya, nduk. Jujur tadi pagi ibu sempet panik gara-gara masalah ayam. Untung suamimu cerdas bisa menyelesaikan masalah dengan cepat.""Ya kalau nggak cerdas mana mungkin anakmu mau, bu." Leona terkekeh mengingat usaha keras sang suami yang patut diacungi jempol.Tak bisa dibayangkan bagaimana sulitnya mengendalikan persoalan ayam yang belum disembelih, belum lagi urusan m
Leona terkejut. Wanita hamil itu pun langsung berbalik ke belakang untuk membangunkan sang suami."Eh, belum dijawab ibu le tanya kok udah ditinggal pergi." Bu Leni garuk-garuk kaki, bukan. Maksudnya kepala.Sementara di dalam, Leona sedang susah payah membangunkan Nathan yang terlihat masih mimpi di pulau kapuk hingga nampak pulau baru yang tergambar di bantal.'Ganteng-ganteng kok ngiler sih kamu, mas.' Gumamnya sambil mengguncang tubuh atletis pria itu yang masih polos tanpa sehelai benang.Keterlaluan sih, bisa-bisanya mereka bermain tanpa jeda hingga adzan subuh. Ente kadang-kadang ente."Mas!" Nathan tak bergeming. Pemilik pabrik kosmetik itu tetap mendengkur dengan posisi tengkurap dengan bibir yang mengaga sedikit."Nduk?" Leona menoleh menuju sumber suara lantas menepuk jidat. "Ya Allah, ibu masih nunggu di luar." Buru-buru dia keluar untuk menemui Bu Leni. "Kenapa, bu? Ngapain ibu masih di sini?" Khawatir Leona kalau sampai ibu tak sengaja melihat suaminya belum memakai b
Malam semakin larut, rintik hujan perlahan mulai turun membasahi bumi. Angin berembus masuk melalui celah tirai.Pasutri itu tampak asyik dengan dunianya, hawa dingin yang mencekam pun seolah sirna oleh hangatnya sentuhan raga yang tengah memadu kasih malam itu. Sayup-sayup, terdengar rintihan lembut di tengah guncangan hebat yang semakin membabi buta."Apa kamu sudah keluar?" Entah apa itu. Suara Leona bergetar di tengah pertempuran di medan perang nan hebatnya.Wanita yang tengah hamil memasuki bulan ke empat itu masih memejamkan mata, menikmati setiap permainan indah yang Nathan ciptakan dalam naluri."Belum.""Ke-napa?" Nafas Leona tersengal menahan sesuatu yang ingin menyembur di liang hangat miliknya."Aku masih ingin bermain lebih lama lagi, sayang?" Kecupan singkat mendarat dengan sempurna di bibir legit Leona yang menggoda."Aish, kok bisa? Ini udah hampir satu jam, mas?" Dusta. Tapi itu faktanya. Pasangan suami istri itu telah melewatkan waktu yang tak sebentar hanya untuk
Nathan menghela napas panjang ketika sudah sampai di kamar, duduk bersandar bantal di punggung, sambil mengelus-elus kepala sang istri yang ada di pahanya."Capek ya, mas?""Lumayan, sayang. Ayamnya lari mulu. Susah nangkepnya.""Lagian ngapain mas beli ayam hidup? Mana nggak ngomong dulu sama aku lagi," ucap Leona sambil memainkan kuku jari."Maaf, sayang. Niat mas cuma pengin nurutin ngidam kamu pingin makan ayam goreng kampung. Tapi karena keinget acara 4 bulanan, mas pikir sekalian aja beli ayamnya. Kan lebih enak kalau menyembelih sendiri.""Astaghfirullah." Leona refleks bangkit dari rebahannya."Kenapa, sayang?""Mas udah sembelih ayamnya?" Mimik Leona berubah cemas."Belum.""Mas tau nggak?"Nathan menggeleng polos. "Tau apa, sayang. Kamu kan belum ngomong apa-apa.""Mas, kalau istrinya lagi hamil itu pamali menyakiti hewan apalagi sampai membunuh.""Serius, sayang?" Nathan baru tau."Serius, mas. Jadi jangan pernah mas berpikirin buat sembelih ayam sendiri, ya? Aku nggak mau
Aslinya Nathan masih keturunan orang Jawa. Ayah kandungnya bernama Kusuma. D masih asli orang Jawa yang berasal dari Semarang. "Hah?" Leona terperanjat hingga hampir oleng ketika membawa secangkir kopi untuk sang suami."Pelan-pelan, sayang?" Nathan menerima cangkir tersebut dan menyeruputnya pelan."Masih panas, mas." Duduk di samping Nathan."Ah. Seger banget, sayang. Dari tadi di kantor mas udah kangen minum kopi buatan kamu." Jujurnya usai meletakkan cangkir di meja."Mas bisa aja. Baru juga tadi pagi minum kopi.""Nggak tau tuh. Kayaknya mas mulai kecanduan kopimu, sayang.""Mas ada-ada aja. Tapi nggak boleh berlebihan, mas. Mesti tau batasannya juga. Tadi gimana? Aku nggak salah dengarkah? Mas masih keturunan asli orang Jawa?" Serius Leona karena penasaran."Iya, Le. Ibu ko baru tau kamu punya gen asli orang Jawa." Pria itu menghela napas panjang. "Ayahku asli orang Semarang, dia pemilik hotel Muria yang ada di depan perusahaan INTI SEJAHTERA. Kamu tau 'kan?" Leona berusaha m