Victor berdiri di ambang pintu, menatap Camila yang terbaring di ranjang dengan wajah lelah. Lampu kamar redup, hanya menyisakan cahaya lembut yang memantulkan bayangan mereka di dinding.
Dengan langkah pelan, ia berjalan mendekat. Suara sepatunya nyaris tak terdengar, tapi Camila tetap merasakan kehadirannya. Matanya yang semula terpejam perlahan terbuka. Victor berhenti di sisi ranjang, menatapnya dengan sorot mata penuh perhatian. "Maaf, aku membangunkanmu." Camila menggeleng pelan. "Aku tidak tidur, hanya memejamkan mata saja," jawabnya lirih. Victor mengamati wajahnya dengan cermat. Ada sesuatu yang mengganjal dalam benaknya sejak tadi. "Camila," panggilnya hati-hati. Camila mengalihkan pandangan ke arahnya, seolah menunggu kelanjutan kata-katanya. "Kenapa kau tidak terlihat nyaman dengan keluargamu?" tanyanya, suaranya terdengar pelan namun serius.<Victor melepaskan pelukannya dari Camila begitu mendengar suara dari luar. Suara langkah kaki yang tegas dan mantap, suara yang sudah sangat dikenalnya. Raphael. Camila menatap Victor dengan sedikit kebingungan, tapi Victor hanya menatapnya lembut dan berkata. "Aku akan segera kembali." Tanpa menunggu jawaban, Victor berjalan keluar kamar. Di luar, Raphael sudah menunggunya dengan ekspresi serius. Tanpa membuang waktu, mereka berjalan menuju ruang tengah. "Sepertinya para penguasa terbagi menjadi dua kubu," Raphael langsung memulai pembicaraan begitu mereka sampai. Victor menyipitkan matanya. "Apa maksudmu?" Raphael menarik napas, lalu menjelaskan dengan nada hati-hati. "Sejak kejadian penghukuman Nathan, para penguasa terpecah. Beberapa mendukung keputusan Tuan, tapi sebagian lainnya mulai memihak Nathan. Mereka merasa penghukuman itu berlebihan, sementara sebagian lagi percaya
Dia bersandar ke kursinya, suaranya semakin dingin. “Kita akan menunggu sampai Victor merasa lengah. Sampai dia berpikir bahwa tidak ada lagi ancaman yang mengintainya. Saat itulah kita akan menyerang.” Alexander terdiam, mulai mencerna rencana itu. “Dan bagaimana kita tahu kapan saat yang tepat?” tanya Dominic. Nathan tersenyum licik. “Aku punya orang-orang yang bisa memantau pergerakan Victor. Kita akan tahu kapan dia mulai merasa nyaman. Saat itulah kita mengerahkan semua pasukan dan menyerang keluarga Aryasena.” Alexander menyipitkan mata. “Kau benar-benar ingin melenyapkan mereka semua?” “Tentu saja.” Nathan mengepalkan tangannya. “Jika hanya Victor yang diserang, keluarga Aryasena akan tetap ada. Selama nama mereka masih berdiri, mereka akan selalu punya kesempatan untuk bangkit kembali.” Dia menatap Alexander dan Dominic bergantian. “Kita tidak hanya akan menghancurkan Victor. Kita akan
Langit sore tampak tenang saat sebuah mobil hitam memasuki halaman kediaman keluarga Aryasena. Julian turun lebih dulu, lalu membuka pintu untuk Sophia. Perempuan itu tampak lebih tenang hari ini, matanya berbinar penuh antusias saat dia menatap rumah megah di hadapannya. "Camila," suara Sophia lembut namun penuh semangat. "Di mana bonekaku?" Julian menghela napas, menggenggam tangan istrinya sebelum membawanya masuk ke dalam mansion. Camila, yang telah diberitahu sebelumnya, menyambut kedatangan mereka dengan tenang. Senyuman hangat terukir di wajahnya saat dia melihat kedua mertuanya. "Selamat datang, Ayah, Ibu," sapanya sopan. Julian mengangguk, sementara Sophia yang melihat Camila langsung tersenyum lebar. Saat Camila merentangkan tangannya, Sophia tanpa ragu memeluknya erat. "Aku rindu padamu," bisik Sophia pelan. Camila mengelus punggung ibu mertuanya dengan lembut. "Terima kasih telah da
Tiba-tiba, biskuit yang tadi ada di mulutnya terjatuh ke pangkuannya. Wajah Sophia menegang, bibirnya bergetar sebelum tangisnya pecah begitu saja. "Victoria …," bisiknya lirih, suaranya dipenuhi kesedihan yang menusuk. "Victoria, maafkan Ibu … maafkan Ibu." Camila tersentak melihat perubahan drastis itu. Tanpa berpikir panjang, dia segera menarik Sophia ke dalam pelukannya, mencoba menenangkan perempuan itu yang kini terisak seperti anak kecil yang kehilangan mainannya. "Ssshh, Ibu … tenang … semuanya baik-baik saja," bisik Camila lembut, mengusap punggung ibu mertuanya dengan sabar. Walaupun sebenarnya Camila masih sangat bingung siapa nama yang ibu mertuanya sebutkan tadi. Namun, Sophia terus menangis, tangannya mencengkeram lengan Camila dengan erat. "Victoria sudah tidak ada. Aku sendirian … aku sendirian." Hati Camila mencelos. Rasa sakit yang terdengar dari suara Sophia begitu nyata, sea
Malam telah larut, namun Victor masih terjaga. Cahaya lampu tidur yang temaram membiaskan siluet lembut wajah Camila yang terlelap di sampingnya. Napas istrinya terlihat tenang, naik turun dengan ritme yang damai, seolah tidak ada satu pun beban yang menghantuinya. Victor menggeser tubuhnya sedikit lebih dekat, lengan kekarnya melingkari pinggang Camila, menariknya ke dalam pelukan yang lebih erat. Tangannya bergerak perlahan, mengelus perut Camila yang masih datar tetapi di dalamnya sedang tumbuh anak mereka—darah dagingnya. Dia menelan ludah, hatinya terasa berat. "Bagaimana jika dia tahu?" Bagaimana jika suatu hari nanti, Camila mengetahui bahwa dia berbohong? Bahwa Victor menyembunyikan tentang Selena yang ternyata masih hidup? Victor menggigit bibirnya, imajinasi buruk memenuhi kepalanya—Camila berdiri di ambang pintu dengan tatapan kecewa, mengucapkan kata-kata perpisahan sebelum pergi membawa anak mere
Di sebuah ruangan kedap suara yang hanya diterangi oleh lampu gantung di tengah langit-langit, Victor duduk di kursi kayu dengan kedua tangan bertaut di depan wajahnya. Di hadapannya, Raphael berdiri dengan ekspresi serius, sementara sebuah laptop terbuka di atas meja, menampilkan beberapa rekaman CCTV yang baru saja mereka dapatkan. "Ini semua diambil dalam seminggu terakhir," Raphael membuka suara, menekan tombol untuk memutar salah satu rekaman. Layar menunjukkan suasana jalanan kota yang ramai. Kamera menangkap sosok seorang wanita berambut panjang yang melintas di trotoar dengan mantel hitam panjang. Wajahnya tertutup sebagian oleh bayangan, tetapi Victor tidak butuh kejelasan lebih. Dia mengenal gerakan itu, langkah itu. Jari-jarinya mengetuk permukaan meja pelan, matanya tidak berkedip. "Selena ...," bisiknya nyaris tak terdengar. Raphael menekan tombol jeda. "Kami juga menemukan rekaman lain. Ini diam
Victor melangkah masuk ke ruang kerjanya dengan ekspresi datar. Namun, alisnya langsung berkerut saat melihat Evelyn berdiri di sana, menatap sesuatu di mejanya. "Kenapa kau ada di sini?" tanyanya dingin. Evelyn menoleh, menatapnya dengan tatapan yang sulit diartikan. Bibirnya melengkung samar sebelum mengangkat sebuah bingkai foto dari meja Victor. "Aku hanya ingin bertanya," ucapnya santai, "sejak kapan kau memajang foto pernikahanmu di sini?" Victor berjalan mendekat, lalu mengambil foto itu dari tangan Evelyn dan meletakkannya kembali ke tempat semula. "Tentu saja sejak aku menikah," jawabnya tenang, tanpa ekspresi. Evelyn tertawa kecil, nada suaranya penuh sarkasme. "Jadi sekarang kau benar-benar menerima pernikahan ini? Bahkan memajang fotonya di ruang kerja?" Victor tidak menjawab. Dia hanya menatap Evelyn dengan pandangan tajam, menunggu apa yang ingin wanita itu katakan.
Victor pulang lebih larut dari biasanya, tapi begitu ia memasuki rumah, rasa lelahnya seakan menghilang dalam sekejap. Camila berdiri di depan pintu dengan senyum lembut di wajahnya, menyambutnya seperti seorang istri yang telah menantinya sepanjang hari. Melihat senyum itu, Victor merasa ada sesuatu yang hangat menyebar di dadanya. Dulu, Camila tidak pernah menyambutnya seperti ini. Dulu, yang ada di wajah Camila hanyalah ketegangan dan ketakutan. Tapi sekarang—sekarang ia bisa melihat kebahagiaan yang nyata dalam mata istrinya. Tanpa ragu, Victor melangkah mendekat dan menarik Camila dalam pelukannya. Ia mencium istrinya dengan segenap hati, mencurahkan semua perasaan yang selama ini tumbuh perlahan dalam dirinya. "Kau terlihat bahagia bersamaku sekarang," ujar Victor pelan, menatap dalam mata Camila. Camila tersenyum lebih lebar, mengangguk kecil. "Itu semua karena kau memperlakukanku dengan baik, Victor."
Camila duduk di sisi ranjang, menatap layar tablet yang memperlihatkan beberapa artikel dan foto tentang Elena—putri dari William, sekutu Victor.Cantik, anggun, berpendidikan tinggi, dan yang paling membuatnya terdiam lama… Elena berasal dari keluarga terpandang, memiliki reputasi mentereng di dunia bisnis dan sosial. Camila menghela napas berat, menutup layar tabletnya perlahan.Pikiran-pikiran gelap mulai mengendap di benaknya. Ia memandang bayangannya di cermin besar di seberang ruangan, mengamati dirinya yang kini tengah hamil, dengan lingkaran gelap di bawah mata karena sering sulit tidur akhir-akhir ini.“Elena memiliki segalanya …,” gumamnya lirih. “Sedangkan aku .…”Ia menggigit ujung jarinya, kebiasaan lamanya saat sedang gelisah. Wajahnya mengerut, hatinya diliputi kecemasan. Bagaimana pun, Elena adalah tawaran menarik dalam dunia Victor. Ia takut jika Victor berpaling. Seperti yang dulu dilakukan Victor pada Selena—meninggalkan seorang perempuan untuk perempuan lain.Camil
Udara sore itu terasa hangat, langit dihiasi semburat jingga yang perlahan memudar ke ungu, menyiratkan senja yang menenangkan. Camila melangkah masuk ke dalam mansion dengan senyum ceria yang tak bisa ia sembunyikan. Pertemuan dengan Selena memberi kelegaan dalam hatinya, seolah satu beban besar telah terangkat. Wajahnya bersinar ketika melihat Victor tengah menunggunya di ruang tengah, seperti biasa dengan tatapan lembut yang hanya diperuntukkan untuknya.Victor berdiri, menghampiri Camila dengan langkah ringan, lalu menyentuh pipinya dengan jemari hangat. “Kau tersenyum,” katanya lirih, penuh makna. “Aku senang melihatmu seperti ini lagi.”Camila menatapnya sambil tersipu, lalu menjawab, “Aku juga lega. Setelah semua yang terjadi … aku merasa ini pertama kalinya aku bisa bernapas tanpa beban.”Victor mengangguk, memandangi istrinya dengan mata yang berbinar. “Kalau begitu … setelah ini, apa yang ingin kau lakukan, hm?”Camila menggenggam tangan Victor dengan manja. “Aku ingin makan
Udara sore hari membawa semilir angin lembut yang menyusup masuk ke dalam ruang tamu vila kecil di pinggiran kota. Sebuah tempat netral yang dipilih Victor untuk mempertemukan dua perempuan yang pernah—dan masih—menjadi bagian dari kehidupannya.Camila duduk dengan tubuh tegak di sofa, bersebelahan dengan Victor, namun ada jeda kecil di antara mereka. Tangannya bertaut di atas pangkuan, dan tatapannya sesekali mencuri pandang ke arah wanita yang duduk di seberang, Selena. Wajah Camila terlihat canggung, dan kepalanya lebih sering tertunduk.Selena menyambut kedatangan mereka dengan senyum merekah. Ia tampak begitu hangat dan ramah, seolah tidak ada beban di antara mereka bertiga. Rambut panjangnya tergerai lembut, dan perutnya yang mulai membuncit terlihat jelas di balik gaun panjang berwarna pastel.“Terima kasih sudah datang, Victor, Camila.” Suara Selena terdengar tenang dan bersahabat.Camila membalas senyuman itu dengan anggukan kecil, berusaha keras menyembunyikan rasa canggungn
Pagi di rumah besar keluarga Aryasena masih terasa lengang. Cahaya matahari menyusup pelan lewat jendela besar, menciptakan bayangan hangat di lantai marmer. Di ruang tengah yang hening, Victor duduk bersama Camila. Tangannya menggenggam tangan perempuan itu erat, seolah tak ingin melepaskannya barang sedetik pun.Camila menatapnya dengan tenang, bibirnya membentuk senyum kecil yang lembut. “Victor … kau tidak perlu melakukan semua itu hanya untuk membuatku percaya. Aku sudah percaya padamu. Percaya sepenuh hati.”Victor tidak langsung menjawab. Ia memandangi wajah Camila dalam-dalam, seolah ingin menyimpan tiap detailnya di ingatan. “Aku tahu kau sudah percaya,” katanya akhirnya. “Tapi aku tidak bisa merasa lega jika aku belum membuktikannya langsung di depan matamu. Aku ingin menghapus semua keraguan yang mungkin masih bersisa—meski hanya sedikit.”Camila menghela napas pelan. Ia tahu Victor bukan sekadar berkata—pria itu memang tipe yang akan menyelesaikan semuanya dengan jelas dan
Senja semakin meredup saat Camila dan Victor duduk di teras belakang mansion Aryasena. Bayangan pohon-pohon tinggi memanjang, menciptakan kesunyian yang bersahaja. Namun di hati Camila, gelombang ketidakpastian masih bergulung.“Kau benar-benar bisa melupakan Selena?” tanya Camila pelan, hatinya berdegup kencang. “Evelyn mirip sekali dengannya … Aku takut, kau akan teringat lagi padanya.”Victor menatap Camila dengan lembut, merangkul pinggang istrinya. “Haruskah aku membawa Selena ke hadapanmu, lalu bersumpah di depan Tuhan bahwa hubungan kami telah benar‑benar kandas?” ucapnya tenang, suaranya mantap. “Aku menegaskan sekali lagi, yang kusayangi sekarang hanyalah kau, Camila. Tak ada yang lain. Apa itu saja belum cukup setelah semua perjuanganmu?”Camila terdiam, mengerjakan pergumulan di dalam dada. Benar, Victor telah menanggalkan segala kekuasaannya, mempertaruhkan nyawa, bahkan melupakan rasa sakit lamanya hanya demi menyelamatkan dirinya. Air matanya mengalir perlahan saat ia me
Suasana ruang penghakiman masih menegang ketika vonis terhadap Nathan diumumkan. Desis kebencian dan gumaman setuju membanjiri ruangan, namun belum sempat semua kembali tenang, suara berat dan bergetar terdengar dari sisi kanan ruangan.“Bukankah … hukuman itu terlalu berlebihan?” tanya Lucas Ardhana dengan suara serak yang ditahan oleh amarah sekaligus kepanikan. Tubuhnya berdiri tegak, namun sorot matanya jelas gelisah.Semua kepala keluarga menoleh padanya, termasuk Victor yang berdiri di tengah dengan Camila di sisinya. Victor menatap Lucas tanpa berkedip, lalu melangkah maju dengan langkah lambat dan penuh tekanan.“Berlebihan?” ulang Victor dingin, suaranya memotong udara seperti pisau. “Ibuku mati ditusuk berulang kali. Camila—istriku—hampir kehilangan nyawanya dan anak kami. Dan kau ingin bilang hukuman ini … berlebihan?”Lucas mengepal tangannya. “Tapi kau membuat anakku tak lagi bisa hidup normal! Kau memotong dua tangannya, satu kakinya. Itu sama saja menyuruhnya mati perla
Camila duduk di kursi kayu di sudut ruangan, matanya tak pernah lepas dari tubuh Victor yang kini tengah diperban dan dirawat oleh dokter lain. Biasanya Liam yang akan mengurus semua luka Victor, tapi kondisi Liam yang tengah kritis membuat hal itu mustahil. Kini, seorang dokter tua dengan gerakan cekatan menyeka darah yang masih tersisa dan membalut luka panjang di sisi tubuh Victor dengan hati-hati.Victor menahan nyeri tanpa suara. Hanya napasnya saja yang sesekali terdengar berat. Namun saat matanya bertemu dengan pandangan Camila, senyum kecil ia hadirkan seolah ingin menyampaikan bahwa semuanya baik-baik saja.Camila hanya bisa menggenggam tangannya sendiri erat-erat, menahan semua rasa khawatir yang menggelegak dalam dadanya. Ketika sang dokter akhirnya selesai, ia hanya mengangguk sopan sebelum keluar meninggalkan ruangan tanpa banyak kata.Camila segera bangkit, menghampiri sisi tempat tidur dan duduk di tepinya.“Kau harus beristirahat sekarang,” ucapnya lirih sambil mengelu
Sinar matahari pagi menyusup pelan lewat celah jendela kamar yang setengah tertutup tirainya. Udara terasa sunyi, berat oleh duka yang masih menggantung di antara napas-napas yang tertahan. Di depan cermin, Camila berdiri dalam diam, memandang pantulan dirinya yang dibalut gaun hitam sederhana. Warna gelap itu menambah pucat pada wajahnya yang memang sudah kehilangan rona sejak hari-hari penuh luka itu datang bertubi-tubi.Pintu kamar terbuka perlahan. Langkah kaki mendekat pelan di belakangnya. Lalu sepasang lengan kuat memeluknya dari belakang, membawa kehangatan di antara dinginnya suasana berkabung. Victor menyandarkan dagunya di pundak Camila, menghela napas panjang sebelum akhirnya berbisik, “Kau tak perlu ikut, Camila. Seperti yang aku bilang tadi di mobil … kau cukup istirahat.”Camila menatap bayangan Victor di cermin, lalu menggeleng pelan dengan senyum kecil yang lebih mirip luka daripada kebahagiaan. “Aku masih kuat …,” bisiknya lirih. “Aku harus ikut … aku ingin mengantar
Langit malam semakin gelap, ditingkahi angin yang dinginnya menusuk tulang. Bau darah dan asap masih menggantung di udara. Di tengah kekacauan itu, terkapar tubuh seorang pria—penuh luka dan darah mengalir deras dari bahunya yang tertembak. Napasnya tersengal, tersisa dalam hembusan pendek dan berat.Itu adalah Leon Wibisana.Ia tergeletak di antara semak dan batang pohon tumbang, tangan kirinya menggenggam tanah seolah mencoba bertahan lebih lama.Beberapa langkah dari sana, Victor datang sambil memapah Camila yang masih terpukul secara emosional. Namun pandangannya langsung berubah saat matanya menangkap sosok yang terbaring tak berdaya itu.“Kak Leon!” teriak Camila.Tanpa pikir panjang, Camila melepaskan diri dari Victor dan berlari sekuat tenaga ke arah kakaknya. Langkahnya tertatih, tubuhnya masih gemetar, tapi naluri seorang adik yang putus asa mengalahkan segalanya. Ia langsung berlutut di samping Leon, tangannya mengguncang tubuh kakaknya yang penuh luka.“Jangan tinggalin ak