IANSiti ternyata sedang menungguku di lobi saat aku tiba di hotel. Tadi sebelum ke apartemen Summer kami berpapasan di depan lift. Siti bertanya aku akan ke mana.Melihatku muncul Siti langsung berdiri."Belum tidur, Sit?""Siti waiting awak di sini. Korang masih begaduh kah?" ucapnya dengan bahasa campur-campur."Udah nggak apa-apa. Tenang aja."Dia menengadah menatap wajahku. Postur tubuhnya memang jauh lebih rendah."Siti jadi tak enak. Melodi pasti marah kat Siti.""Nggak kok. Dia nggak gitu orangnya. Dia baik.""Boleh Siti berjumpa dengan Melodi esok? Siti nak cakap sikit. Korang salah faham gara-gara Siti. Siti tak enak kat isteri awak." Dia terlihat benar-benar cemas karena merasa sudah mengacaukan hubunganku dengan Melodi."Nggak apa-apa, Sit, istri saya sudah mengerti duduk permasalahannya. Tak perlu cemas lagi." Aku terus meyakinkannya, membuat agar dia percaya pada kata-kataku. "Lagian besok Melodi sudah pulang ke Indonesia." Kami berjalan bersama memasuki lift menuju kama
IANNiatku untuk menuju kelas urung terjadi melihat Bintang berdiri di hadapanku.Dia tersenyum lalu menyapa. "Bisa minta waktunya sebentar?"Keberadaan Bintang saat ini pasti berhubungan dengan Melodi. Sedangkan apa pun yang berhubungan dengan Melodi adalah urusanku.Kuanggukkan kepala lalu menggiring Bintang keluar dari hotel.Aku menunggu dia menyampaikan apa yang akan dikatakannya. Dia jauh-jauh ke sini pasti bukan hanya kebetulan mampir kan?"Ian, gue nggak bisa basa-basi. Kedatangan gue ke sini buat minta izin sama lo. Gue sama Melodi mau balik ke Indonesia malam nanti."Ternyata Melodi benar-benar serius dengan keinginannya."Melodi udah cerita sedikit sama gue mengenai masalah kalian. Dan gue nggak tahu apa kalian ada masalah yang lain. Tapi intinya gue ke sini mau minta izin sama lo. Melodi udah bilang kalo lo udah ngizinin. Tapi gue pengen minta izin secara langsung sama lo.""Kenapa harus izin sama gue? Lo nggak percaya sama Melodi? Lo pikir Melodi bohong?""Nggak, bukan
MELODIBerbeda dengan saat berangkat, kepulanganku ke Indonesia begitu menyenangkan. Itu semua karena ada Bintang.Hingga tanpa terasa kami tiba di Tokyo. Aku suka transit di sini karena Jepang adalah salah satu negara kesukaanku. Thanks to Bintang dengan pilihan maskapainya yang tepat.Beberapa saat setelahnya pihak bandara menginformasikan bahwa pesawat akan delay dalam waktu yang tidak bisa ditentukan karena kondisi cuaca yang buruk.Tubuhku lemas seketika."Sorry, Melo, karena lo minta kita tetap terbang dan nggak mau nunggu, jadinya gue pilih rute ini. Karena hanya ini yang tersisa. Padahal awalnya mau pake Emirates atau Qatar Airways biar transit di Dubai," kata Bintang menyesali."Nggak apa-apa, Tang. Japan juga oke kok," jawabku.Bintang ini auranya positif sekali ya. Padahal ini bukanlah kesalahan dia tapi dia repot-repot minta maaf padaku. Coba kalau Ian. Aku pastikan dia akan memintaku untuk sabar. Lalu aku akan marah dan mengomelinya.Bintang mengajakku makan. Aku yang l
MELODI"Pulang-pulang kok cemberut?" Papi menyambutku dengan pertanyaan setibanya aku di rumah.Tadi dari bandara aku dan Bintang menumpang taksi yang sama. Bintang bermaksud mampir sebentar dan bicara dengan orang tuaku bahwa dia sudah mengantarku pulang dengan selamat. Tapi kutolak. Aku nggak mau membuat Mami mengomel."Capek, Pi," jawabku seadanya."Gimana honeymoon-nya? Seru nggak?" Mami menimpali.Aku mendengkus pelan yang tentu saja nggak akan terdengar oleh Mami dan Papi."Gimana mau honeymoon, Mi. Jadwal Bang Ian super padat. Jadi ya seadanya.""Wah nggak jadi dong Papi sama Mami punya cucu made in Canada?" imbuh Papi dengan rona jenaka."Apa sih, Pi?" Aku memberengut."Katanya mau nunggu Ian sampai selesai, baru beberapa hari kenapa udah pulang?""Udara di sana nggak cocok sama aku, Pi. Lama-lama aku bisa demam."Mami dan Papi tertawa pelan lalu mengizinkanku naik ke kamar ketika kukatakan pada mereka bahwa aku sangat lelah dan ingin beristirahat.Setiba di kamar kujatuhkan
MELODIDua minggu pasca pulang dari Canada aku masih uring-uringan. Kerjaanku tiap hari adalah tidur-tiduran. Sampai sejauh ini aku dan Ian nggak berkomunikasi dalam bentuk apa pun. Kami benar-benar lost contact seperti yang diinginkannya. Aku tahu dia pasti bahagia dengan keadaan ini. Nggak ada aku yang merecokinya dan menuntut untuk terus dihubungi. Dia bebas sebebasnya."Melodi!" Seseorang memanggil namaku sambil mengetuk pintu kamar."Masuk aja, nggak dikunci!"Daun pintu terbuka bersamaan dengan kedatangan Lakeizia. Dia mendekatiku lalu duduk di pinggir tempat tidur tempatku berbaring."Melo lagi sakit?" tanyanya melihatku membungkus diri dengan selimut."Nggak, Kak. Cuma lagi pengin rebahan. Kak Kei nggak kerja?""Aku lagi cuti haid.""Cuti haid?""Jadi di kantor aku ada jatah cuti haid dua hari, di hari pertama dan kedua," terang sepupuku itu."Wah enak ya, Kak?"Lakeizia tersenyum. "Kuliah masih lama ya?""Banget." Sekarang baru bulan Oktober. Tahun ajaran baru beberapa bulan
Long story short. Dengan bantuan Bintang kafe kami akhirnya beroperasi. Mami dan Papi senang karena aku akhirnya memiliki kegiatan. Kafe itu diberi nama Maple Café yang berlokasi di rooftop sebuah gedung perkantoran. Gedung itu sendiri ternyata punya papanya Bintang. Otomatis tempat kafe ini juga miliknya.Setiap Rabu dan Sabtu malam ada pertunjukan live music di sana yang membuat kafe jadi semakin ramai. Semua Bintang yang mengatur. Bahkan dia juga sering ikutan nyanyi.Hampir setiap hari waktuku dihabiskan di kafe. Aku menyibukkan diri agar pikiranku nggak lagi tertuju pada Ian. Tanpa terasa dua minggu lagi Ian akan pulang. Aku nggak tahu bagaimana cara menghadapinya jika nanti kami bertemu."Hei, ngelamun mulu. Bintang ngeliat lo mulu tuh!" Amanda menepuk lenganku.Aku memandang ke arah panggung. Ada Bintang di sana yang sedang perform."Oke, Guys, semoga kalian terhibur dengan lagu yang tadi. Buat menemani malam minggu kalian gue bakal bawain satu lagu lagi. Kali ini khusus buat
MELODISeperti dugaanku Mami menyusul ke kamar. Mami duduk di dekatku lalu meraba-raba pipi, kening dan leherku."Mi, tolong mintain tolak angin sama Bibi," pintaku lemah."Sebentar ya, Mami—""Huek ... huek ..." Aku refleks menutup mulut dengan telapak tangan lalu lari ke kamar mandi.Aku muntah lagi. Lebih parah dari tadi.Mami sudah berada di belakangku, memijit-mijit tengkukku dan mengusap punggungku."Mi, lemes banget ..." Aku merengek setelah selesai membersihkan mulut dan mencuci muka. Seluruh tenagaku rasanya disedot sampai habis."Ke kamar yuk. Istirahat." Mami memapahku seakan aku sedang sakit parah.Aku kembali berbaring di tempat tidur. Mami menyelimutiku setinggi perut dan mengatur suhu ruangan agar nggak terlalu dingin."Tolak anginnya mana, Mi?" Aku menagihnya."Nooo. Nggak boleh minum obat sembarangan kalau belum jelas penyakitnya.""Ya ampun, Mi, ini hanya masuk angin. Aku udah pernah dikasih Bibi obat itu, mujarab kok.""Nggak usah dulu sampai kita ke dokter."Apaa
MELODIMami dan Papi datang ke kamar mandi setelah teriakanku yang bikin heboh mengalahkan penyanyi rock."Kenapa, Melodi?""Gimana hasilnya, Sayang?"Papi dan Mami bertanya bergantian dengan raut khawatir."Ini, Mi. Lihat ini." Aku memberikan testpack di tanganku pada Mami dengan gemetar.Mami menerimanya dengan cepat. Lalu memakukan mata beberapa detik di benda pipih itu. Papi ikut melihat.Kemudian keduanya terdengar histeris seperti aku tadi."Kamu hamil, Melodi!!!""Akhirnya kita bakal punya cucu made in Canada, Mi."Tubuhku semakin lemas. Ucapan Mami memvalidasi dugaanku.Aku hamil!Ya Tuhan, bagaimana mungkin aku hamil? Kenapa aku bisa hamil? Aku baru 22 tahun tapi sudah hamil. Sedangkan Mami baru menikah di umur 35."Ah, Melodi ... Mami bahagia, Sayang." Sepasang mata Mami berkaca-kaca karena terharu. Kemudian Mami memelukku.Tubuhku membeku di dalam dekapan Mami. Entah bagaimana cara menyikapi semua ini. Yang baru saja kualami bagaikan mimpi.Kenapa semua bisa terjadi? Kena
EpilogMELODISatu dekade terlewati seperti busur panah yang melesat cepat. Waktu berjalan begitu kilat. Anak-anak yang dulu masih bayi sekarang sudah duduk di kelas empat SD.Usiaku 33 tahun saat ini. Dalam sepuluh tahun terakhir begitu banyak yang terjadi. Delapan tahun lamanya aku mengabdi menjadi ibu rumah tangga secara penuh. Hidupku hanya untuk mengurus anak-anak dan suamiku. Seluruh kasih sayang kulimpahkan untuk mereka. Menyaksikan pertumbuhan anak-anak dari waktu ke waktu adalah hal yang paling membahagiakan untukku.Ketiganya tumbuh dengan sehat, normal dan menjadi anak-anak yang manis dan cerdas.Seperti yang sudah dikatakan banyak orang, semakin ke sini Sean bertambah mirip dengan Ian. Kulitnya yang terang, hidungnya yang mancung, bibirnya yang merah, alis hitamnya yang lebat dan tatapannya yang khas. Bahkan rahangnya mulai terbentuk dengan bagus. Ada dua cekukan di pipinya. Melihat Sean nggak ubahnya seperti memandang Ian. Aku yakin saat dewasa nanti Sean akan menjadi idol
MELODISembilan tahun sudah berlalu sejak kelahiran mereka. Anak-anak sekarang sudah duduk di kelas tiga SD. Membuatku kadang ingin menangis haru. Betapa aku sangat menikmati peranku sebagai ibu.Membesarkan tiga orang anak nggak pernah gampang bagiku. Apalagi mereka dengan segala tingkah ajaibnya membuatku kadang ingin mengeluh. Namun ketika akan menggerutu sesuatu menyadarkanku. Mereka adalah anugerah paling besar dan terindah yang kumiliki sepanjang usia.Selama sembilan tahun ini amat sangat banyak yang terjadi. Tentang aku yang akhirnya melanjutkan kuliah. Tentang karir Ian yang meroket tinggi. Dan tentu saja tentang anak-anak.Sean semakin dekat dengan Rara. Hubungan mereka seperti love hate relationship. Kadang mereka bertengkar dan nggak bertegur sapa. Tapi nggak begitu lama. Setelahnya keduanya akan kembali akrab, bercengkerama dan bercanda tawa seperti biasa.Sedangkan Javio, dia makin persis seperti papanya yang kalem dan lempeng. Aku masih ingat waktu dulu dia bilang akan
MELODI"Melodi, apa nggak sebaiknya kita sekolahkan anak-anak?" kata Ian pada suatu hari meminta pertimbanganku."Uhm, sekolah ya, Bang?"Ian mengangguk.Saat ini baby triplet sudah berumur lima tahun. Sudah sepantasnya mereka bersosialisasi dengan dunia luar. Tapi kenapa aku yang nggak rela? Kalau mereka sekolah itu artinya waktuku bersama mereka akan jauh berkurang."Abang pikir dengan bersekolah maka mereka juga jadi mengenal dunia luar. Mereka juga butuh bersosialisasi.""Biar nggak kayak kamu kan? Temannya cuma dikit." Sesekali aku memang suka meledek Ian.Ian tersenyum. Dibelainya kepalaku. "Iya, biar nggak kayak Abang," ucapnya mengalah. Dia memang selalu mengalah untukku."Cieee ngambek." Aku tertawa.Dia hanya menatapku sambil memamerkan senyum segarisnya yang khas."Anak-anak emangnya mau, Bang?" tanyaku ragu."Abang yakin mereka pasti mau," ujar Ian mantap. Ian kemudian memanggil tiga bersaudara itu."Sean! Javio! Chiara!"Javio dan Chiara datang bersamaan dalam satu kali p
MELODIMenjadi seorang ibu bukan hanya perkara melahirkan lalu memiliki anak. Lebih dari itu menjadi seorang ibu adalah perjalanan paling menakjubkan dalam hidupku.Aku mengorbankan banyak hal untuk hal menakjubkan itu. Termasuk membatalkan rencana meneruskan S2.Aku sempat merasa sedih karena gagal mewujudkannya. Terlebih ketika melihat feed sosmed teman-teman yang pulang kuliah hangout di mal, ngopi, nonton, atau sekadar window shopping. Namun ketika melihat wajah tiga malaikat kecilku plus bapaknya, semua keinginan tadi sirna. Sean, Javio, serta Chiara jauh lebih berarti ketimbang gelar Melodi Paradisa Evano, SE, MM.Hari ini Amanda datang ke rumah. Dia baru saja pulang kuliah. Aku sedang menyuapi anak-anak makan dibantu oleh baby sitter. Saat ini Sean, Javio dan Chiara sudah berusia tujuh bulan dan telah memasuki masa MPASI sejak satu bulan yang lalu.Aku yang langsung turun tangan ke dapur untuk menyiapkan makanan mereka demi memastikan ketiganya mendapatkan yang terbaik. Bukan
MELODIHari ini rumah kami begitu ramai dan semarak. Tamu-tamu para undangan sudah berdatangan dan menjadikan tiga bayi kembarku dan Ian sebagai pusat atensi."Lucu-lucu ya mereka.""Ih, gemes banget.""Ini gedenya pasti cakep-cakep."Komentar-komentar tersebut berdatangan dari mulut para tamu yang hadir menyaksikan tiga bayi kembar: Sean, Javio dan Chiara.Tidak satu pun dari orang yang datang tidak merasa tertarik pada baby triplet itu. Mereka lucu, manis dan sangat menggemaskan. Tingkahnya membuat hari-hari di rumah kami menjadi lebih berwarna.Hari ini di bangunan megah berarsitektur mediterania milik Papi atau rumahku tersebut sedang digelar acara tedak siten.Acara tersebut begitu meriah. Bukan hanya karena banyaknya para tamu yang hadir, tetapi karena para bayi tersebut terlahir kembar tiga dengan orang tua yang masih belia.Rumah sudah dihias sedemikian rupa, disulap menjadi istana anak-anak yang mewah. Sama seperti aku dan Ian, baby triplet juga mengenakan pakaian adat denga
IANSetelah dua hari berada di rumah sakit hari ini Melodi diizinkan pulang.Rumah kami, maksudku rumah mertuaku terasa jauh lebih hidup. Tangis bayi menggema di mana-mana. Dan Sean adalah bintangnya.Semua penghuni rumah bersukacita. Termasuk Bi Inem dan Pak Pri.Begitu masuk ke kamar bayi kami disambut oleh balon-balon huruf dengan tulisan, 'Welcome babies made in Canada.'Papi memang seniat itu.Siapa sangka keteledoranku dulu membuahkan hasil. Melodi nggak percaya sampai sekarang kalau aku memang nggak sengaja ngeluarinnya di dalam. Tapi serius, aku nggak bohong. Aku memang nggak sengaja. Gara-gara Melodi terlalu nikmat aku jadi telat ngangkat.Hari-hari sebagai ayah pun dimulai. Aku menemani Melodi begadang setiap malam. Si kecil kami bergantian ingin disusui. Ada saja tingkah mereka.Kalau Sean menyusu maka Javio pup, dan Chiara akan menangis karena ingin digendong.Sejujurnya kami memang kewalahan. Tapi aku dan Melodi begitu menikmati masa-masa bahagia itu.Aku pikir Melodi
MELODIIan sudah mengambil cuti sejak kemarin. Kalau sesuai rencana aku akan melahirkan melalui prosedur operasi caesar besok lusa.Semua persiapan sudah dilakukan. Mamilah yang paling repot. Oh iya, jangan lupakan Papi yang paling antusias menyambut babies made in Canada. Sejak tahu akan punya cucu kembar, Papi merenovasi kamar Ian menjadi lebih besar dan menyulapnya menjadi istana bayi.Sampai hari kemarin Mami masih mengisi lemari dengan baju-baju bayi menggemaskan. Mami sama gregetannya denganku. Aku juga membeli banyak baju-baju lucu untuk si triplet. Sampai Ian geleng-geleng kepala melihat tingkahku. Tapi nggak ada yang bisa dilakukannya selain membiarkanku. Ini adalah anugerah luar biasa bagi kami. Dan belum tentu juga aku akan hamil lagi.Sekarang tinggal aku yang harus menyiapkan mental untuk operasi lusa."Dimakan dulu, Princess." Ian meletakkan sepiring apple pie di hadapanku."Thanks, Bang Ian." Aku menjawab tanpa mengalihkan perhatian dari gawai yang berada di tangan. S
MELODIIan benar-benar suami yang bisa diandalkan. Aku tahu dia lelah tapi seperti biasa dia tetap memenuhi permintaanku. Hampir setiap hari aku merengek padanya meminta keinginan yang berbeda, tapi dia nggak pernah mengeluh atau menunjukkan wajah lelah padaku. Pernah tengah malam aku membangunkannya karena aku pengen gelato padahal saat itu sedang hujan deras. Lagi-lagi tanpa mengeluh atau protes Ian mencarikannya. Saat Ian pulang aku malah nggak mau makan gelato tersebut dan membuangnya. Dia juga nggak pernah kesal atau mencoba mensubstitusi dengan yang lain. Aku mendapatkan semua yang kuinginkan dari Ian.Sambil mengusap-usap perut aku menunggu Ian pulang. Semakin besar usia kandunganku aku semakin malas bergerak ke mana-mana. Ruang gerakku hanya seputar rumah. Semingguan ini aku juga semakin sering jalan pagi seperti yang dianjurkan dokter. Ian menemaniku. Dan terkadang kami jalan pagi berempat dengan Mbak Karen dan suaminya.Saat aku sedang melamun Ian muncul membawa cemilanku."
IANHubungan persahabatan Melodi dan Anya akhirnya terputus sejak hari itu. Praktis sahabat Melodi hanya tinggal Amanda. Dan ... aku.Maksudku, sekarang Melodi sudah lebih terbuka padaku. Dia mau berbagi denganku menceritakan hal-hal yang selama ini hanya diceritakan pada sahabatnya.Sejak dia hamil, sejak Greya pergi, sejak fakta tentang Anya terungkap, dan khususnya sejak kami mengakui perasaan masing-masing, Melodi sudah mulai berubah. Hanya sedikit. Dia tetap Melodi yang pemarah dan emosian. Tapi untuk saat ini hal itu sudah cukup untukku."Jadi sampai kapan mau disembunyiin dari Melodi?"Pertanyaan Lakeizia membuatku mengembaIikan fokus pada Greya dan anak-anaknya. Sama seperti manusia dia juga sangat menyayangi anak-anaknya."Entahlah. Mungkin tunggu sampai situasinya tepat dulu," jawabku. Kalau sekarang tentu saja keadaannya belum memungkinkan. Melodi sedang hamil. Aku ingin menjaga perasaannya. Aku sering berpikir kenapa Melodi begitu cemburu pada Greya. Masalahnya Greya buka