Long story short. Dengan bantuan Bintang kafe kami akhirnya beroperasi. Mami dan Papi senang karena aku akhirnya memiliki kegiatan. Kafe itu diberi nama Maple Café yang berlokasi di rooftop sebuah gedung perkantoran. Gedung itu sendiri ternyata punya papanya Bintang. Otomatis tempat kafe ini juga miliknya.Setiap Rabu dan Sabtu malam ada pertunjukan live music di sana yang membuat kafe jadi semakin ramai. Semua Bintang yang mengatur. Bahkan dia juga sering ikutan nyanyi.Hampir setiap hari waktuku dihabiskan di kafe. Aku menyibukkan diri agar pikiranku nggak lagi tertuju pada Ian. Tanpa terasa dua minggu lagi Ian akan pulang. Aku nggak tahu bagaimana cara menghadapinya jika nanti kami bertemu."Hei, ngelamun mulu. Bintang ngeliat lo mulu tuh!" Amanda menepuk lenganku.Aku memandang ke arah panggung. Ada Bintang di sana yang sedang perform."Oke, Guys, semoga kalian terhibur dengan lagu yang tadi. Buat menemani malam minggu kalian gue bakal bawain satu lagu lagi. Kali ini khusus buat
MELODISeperti dugaanku Mami menyusul ke kamar. Mami duduk di dekatku lalu meraba-raba pipi, kening dan leherku."Mi, tolong mintain tolak angin sama Bibi," pintaku lemah."Sebentar ya, Mami—""Huek ... huek ..." Aku refleks menutup mulut dengan telapak tangan lalu lari ke kamar mandi.Aku muntah lagi. Lebih parah dari tadi.Mami sudah berada di belakangku, memijit-mijit tengkukku dan mengusap punggungku."Mi, lemes banget ..." Aku merengek setelah selesai membersihkan mulut dan mencuci muka. Seluruh tenagaku rasanya disedot sampai habis."Ke kamar yuk. Istirahat." Mami memapahku seakan aku sedang sakit parah.Aku kembali berbaring di tempat tidur. Mami menyelimutiku setinggi perut dan mengatur suhu ruangan agar nggak terlalu dingin."Tolak anginnya mana, Mi?" Aku menagihnya."Nooo. Nggak boleh minum obat sembarangan kalau belum jelas penyakitnya.""Ya ampun, Mi, ini hanya masuk angin. Aku udah pernah dikasih Bibi obat itu, mujarab kok.""Nggak usah dulu sampai kita ke dokter."Apaa
MELODIMami dan Papi datang ke kamar mandi setelah teriakanku yang bikin heboh mengalahkan penyanyi rock."Kenapa, Melodi?""Gimana hasilnya, Sayang?"Papi dan Mami bertanya bergantian dengan raut khawatir."Ini, Mi. Lihat ini." Aku memberikan testpack di tanganku pada Mami dengan gemetar.Mami menerimanya dengan cepat. Lalu memakukan mata beberapa detik di benda pipih itu. Papi ikut melihat.Kemudian keduanya terdengar histeris seperti aku tadi."Kamu hamil, Melodi!!!""Akhirnya kita bakal punya cucu made in Canada, Mi."Tubuhku semakin lemas. Ucapan Mami memvalidasi dugaanku.Aku hamil!Ya Tuhan, bagaimana mungkin aku hamil? Kenapa aku bisa hamil? Aku baru 22 tahun tapi sudah hamil. Sedangkan Mami baru menikah di umur 35."Ah, Melodi ... Mami bahagia, Sayang." Sepasang mata Mami berkaca-kaca karena terharu. Kemudian Mami memelukku.Tubuhku membeku di dalam dekapan Mami. Entah bagaimana cara menyikapi semua ini. Yang baru saja kualami bagaikan mimpi.Kenapa semua bisa terjadi? Kena
MELODITernyata hamil itu nggak enak ya?Aku hanya bisa berbaring di tempat tidur nyaris sepanjang hari. Nggak ada satu pun makanan yang berhasil lolos ke lambungku. Kalau bukan berakhir di kitchen sink pasti di lubang WC.Yang bisa kukonsumsi hanya cairan seperti teh dan susu. Aku nggak bisa mencium aroma masakan apalagi makan nasi.Setiap malam aku nggak bisa tidur. Aku selalu ingat Ian. Aku kangen dia. Aku ingin dia ada di sini memelukku dalam dekapannya yang hangat.Aku membencinya sekaligus merindukannya di saat yang sama. Dua perasaan yang sangat bertolak belakang.Beberapa kali tanganku hampir memencet nomor Ian untuk menghubunginya, tapi untung akal sehatku masih bekerja dengan baik. Aku berhasil menahan diri walau rasanya sangat-sangat sulit.Malam ini aku berbaring dengan gelisah. Lagi-lagi karena merindukan Ian. Desember sudah datang, cuaca semakin dingin. Dan dingin-dingin begini enaknya tidur dipeluk.Jauh dari suami yang nggak pernah menghubungiku serta fakta bahwa aku
MELODIAmanda muncul sore-sore saat aku sedang leyeh-leyeh."Halo, bumil, coba deh tebak gue bawa apa?" Kepala Amanda menyembul di balik pintu yang sedikit terbuka."Gue nggak mau brownies," ucapku langsung. Dalam kondisi normal brownies adalah makanan favoritku. Tapi itu nggak berlaku untuk saat ini."Siapa bilang gue bawa brownies?" bantah Amanda. Dia menggeser posisi berdiri, menampakkan seseorang yang sejak tadi disembunyikannya di balik punggung.Anya muncul dengan tawa lebarnya lalu bergegas menghampiriku."Melooo, bumil gue tersayang." Anya mengembangkan tangannya memelukku yang langsung aku sambut dengan dekapan hangat.Selama beberapa saat kami melepas rindu."Lo ke mana aja sih nggak pernah ngunjungin gue?" Aku pura-pura marah padanya setelah pelukan kami terurai."Gue kan sibuk nyari cuan, baru sempet ke sini.""Cuan mulu yang dipikirin.""Ya iyalah, gue kan bukan princess kayak lo."Kucubit lengannya. Dia tertawa kencang."Di kasur aja lo?" tanya Amanda yang kini juga dud
MELODIAku langsung diam mendengar bisikan itu. Mendadak suaraku tertelan ke dalam tenggorokan.Satu-satunya yang memanggil dirinya Abang adalah Ian.Masa sih dia ada di sini?Dengan cepat kuputar badanku ke belakang. Terkejut ketika mendapati Ian benar-benar ada. Dia ada bersamaku. Dan ini nyata, bukan hanya halusinasiku atau khayalan yang kulakukan setiap akan tidur malam."Bang Ian ..." tanganku naik menyentuh pipinya kemudian bergerak perlahan mengusap rahangnya seakan ingin memastikan bahwa dia benar-benar nyata bersamaku."I'm here," ucapnya membalas tatapanku.Aku ingin memeluknya, tapi saat ingat tingkahnya yang membuatku kesal, keinginan itu pun urung terjadi."Kenapa nggak bilang sama aku dulu kalau mau pulang?" Kupukul dadanya sedikit keras. Aku tahu itu sakit. Tapi Ian nggak mengelak apalagi melawan."Jadi nggak senang Abang pulang? Bukannya dipeluk malah dipukul," ucapnya sambil mengusap-usap dadanya."Nggak. Kamu nyebelin," jawabku kemudian naik ke tempat tidur dan memu
MELODIAku membiarkan tangan Ian menjalar di atas tubuhku. Kemudian melepaskan pakaianku satu demi satu. Sepasang matanya diliputi kabut gairah saat memindai anggota tubuhku tanpa ada yang terlewat."Abang baru sadar kalau ini jauh lebih besar dari saat terakhir Abang lihat," ucapnya sambil menangkup payudaraku dengan tangannya yang besar. Tapi kalah besar dari payudaraku.Aku mendengkus di dalam hati. Akhirnya dia sadar juga ada yang berbeda."Kamu suka?" Aku mengujinya."Sangat suka. Abang menyukai apa pun yang ada pada diri kamu, Melodi."Apa pun?" ulangku penuh penekanan. Nggak yakin aku kalau dia menyukai APA PUN tentangku."Ya apa pun. Kecuali satu. Abang nggak suka kalau kamu udah marah-marah dan membentak Abang," jawabnya sambil mencubit sebelah nipple-ku dengan jempol dan telunjuknya."Aku marah-marah kan ada sebabnya. Nggak mungkin dong aku marah-marah nggak jelas. Aku bukan orang gila. Kamu yang selalu bikin aku marah," jawabku sambil cemberut."Tuh kan, baru juga Abang bil
MELODIKeesokan harinya aku bangun dalam keadaan berpakaian. Tapi Ian nggak ada di sampingku."Iaaaan!" Aku memanggilnya. Aku merasa sangat mual.Nggak ada sahutan apa-apa. Tapi di nakas sudah tersaji segelas susu, air putih, serta roti bakar saus alpukat dilapisi selai Nutella."Iaannn!"Ke mana dia? Kenapa nggak siaga untukku?Aku meloncat dari tempat tidur lalu bergegas ke kamar mandi. Aku muntah sejadinya di sana sampai badanku lemas. Dan Ian masih nggak muncul juga. Dia bikin aku sebal.Aku keluar dari kamar. Firasatku mengatakan Ian sedang berada di istana Greya.Kulangkahkan kaki ke sana dan ternyata tepat dugaanku. Ada Ian, Kei, plus Greya dan Toro.Mereka asyik mengobrol bersama membicarakan para binatang itu.Ian memangku Greya sambil mengelus-elusnya. Si betina itu tampak sangat menikmati belaian Ian.Dasar nggak punya perasaan. Harusnya aku yang diperhatikan, bukannya hewan. Mungkin aku mulai nggak waras karena aku merasa cemburu pada Greya."Ian, buat mastiinnya lebi
EpilogMELODISatu dekade terlewati seperti busur panah yang melesat cepat. Waktu berjalan begitu kilat. Anak-anak yang dulu masih bayi sekarang sudah duduk di kelas empat SD.Usiaku 33 tahun saat ini. Dalam sepuluh tahun terakhir begitu banyak yang terjadi. Delapan tahun lamanya aku mengabdi menjadi ibu rumah tangga secara penuh. Hidupku hanya untuk mengurus anak-anak dan suamiku. Seluruh kasih sayang kulimpahkan untuk mereka. Menyaksikan pertumbuhan anak-anak dari waktu ke waktu adalah hal yang paling membahagiakan untukku.Ketiganya tumbuh dengan sehat, normal dan menjadi anak-anak yang manis dan cerdas.Seperti yang sudah dikatakan banyak orang, semakin ke sini Sean bertambah mirip dengan Ian. Kulitnya yang terang, hidungnya yang mancung, bibirnya yang merah, alis hitamnya yang lebat dan tatapannya yang khas. Bahkan rahangnya mulai terbentuk dengan bagus. Ada dua cekukan di pipinya. Melihat Sean nggak ubahnya seperti memandang Ian. Aku yakin saat dewasa nanti Sean akan menjadi idol
MELODISembilan tahun sudah berlalu sejak kelahiran mereka. Anak-anak sekarang sudah duduk di kelas tiga SD. Membuatku kadang ingin menangis haru. Betapa aku sangat menikmati peranku sebagai ibu.Membesarkan tiga orang anak nggak pernah gampang bagiku. Apalagi mereka dengan segala tingkah ajaibnya membuatku kadang ingin mengeluh. Namun ketika akan menggerutu sesuatu menyadarkanku. Mereka adalah anugerah paling besar dan terindah yang kumiliki sepanjang usia.Selama sembilan tahun ini amat sangat banyak yang terjadi. Tentang aku yang akhirnya melanjutkan kuliah. Tentang karir Ian yang meroket tinggi. Dan tentu saja tentang anak-anak.Sean semakin dekat dengan Rara. Hubungan mereka seperti love hate relationship. Kadang mereka bertengkar dan nggak bertegur sapa. Tapi nggak begitu lama. Setelahnya keduanya akan kembali akrab, bercengkerama dan bercanda tawa seperti biasa.Sedangkan Javio, dia makin persis seperti papanya yang kalem dan lempeng. Aku masih ingat waktu dulu dia bilang akan
MELODI"Melodi, apa nggak sebaiknya kita sekolahkan anak-anak?" kata Ian pada suatu hari meminta pertimbanganku."Uhm, sekolah ya, Bang?"Ian mengangguk.Saat ini baby triplet sudah berumur lima tahun. Sudah sepantasnya mereka bersosialisasi dengan dunia luar. Tapi kenapa aku yang nggak rela? Kalau mereka sekolah itu artinya waktuku bersama mereka akan jauh berkurang."Abang pikir dengan bersekolah maka mereka juga jadi mengenal dunia luar. Mereka juga butuh bersosialisasi.""Biar nggak kayak kamu kan? Temannya cuma dikit." Sesekali aku memang suka meledek Ian.Ian tersenyum. Dibelainya kepalaku. "Iya, biar nggak kayak Abang," ucapnya mengalah. Dia memang selalu mengalah untukku."Cieee ngambek." Aku tertawa.Dia hanya menatapku sambil memamerkan senyum segarisnya yang khas."Anak-anak emangnya mau, Bang?" tanyaku ragu."Abang yakin mereka pasti mau," ujar Ian mantap. Ian kemudian memanggil tiga bersaudara itu."Sean! Javio! Chiara!"Javio dan Chiara datang bersamaan dalam satu kali p
MELODIMenjadi seorang ibu bukan hanya perkara melahirkan lalu memiliki anak. Lebih dari itu menjadi seorang ibu adalah perjalanan paling menakjubkan dalam hidupku.Aku mengorbankan banyak hal untuk hal menakjubkan itu. Termasuk membatalkan rencana meneruskan S2.Aku sempat merasa sedih karena gagal mewujudkannya. Terlebih ketika melihat feed sosmed teman-teman yang pulang kuliah hangout di mal, ngopi, nonton, atau sekadar window shopping. Namun ketika melihat wajah tiga malaikat kecilku plus bapaknya, semua keinginan tadi sirna. Sean, Javio, serta Chiara jauh lebih berarti ketimbang gelar Melodi Paradisa Evano, SE, MM.Hari ini Amanda datang ke rumah. Dia baru saja pulang kuliah. Aku sedang menyuapi anak-anak makan dibantu oleh baby sitter. Saat ini Sean, Javio dan Chiara sudah berusia tujuh bulan dan telah memasuki masa MPASI sejak satu bulan yang lalu.Aku yang langsung turun tangan ke dapur untuk menyiapkan makanan mereka demi memastikan ketiganya mendapatkan yang terbaik. Bukan
MELODIHari ini rumah kami begitu ramai dan semarak. Tamu-tamu para undangan sudah berdatangan dan menjadikan tiga bayi kembarku dan Ian sebagai pusat atensi."Lucu-lucu ya mereka.""Ih, gemes banget.""Ini gedenya pasti cakep-cakep."Komentar-komentar tersebut berdatangan dari mulut para tamu yang hadir menyaksikan tiga bayi kembar: Sean, Javio dan Chiara.Tidak satu pun dari orang yang datang tidak merasa tertarik pada baby triplet itu. Mereka lucu, manis dan sangat menggemaskan. Tingkahnya membuat hari-hari di rumah kami menjadi lebih berwarna.Hari ini di bangunan megah berarsitektur mediterania milik Papi atau rumahku tersebut sedang digelar acara tedak siten.Acara tersebut begitu meriah. Bukan hanya karena banyaknya para tamu yang hadir, tetapi karena para bayi tersebut terlahir kembar tiga dengan orang tua yang masih belia.Rumah sudah dihias sedemikian rupa, disulap menjadi istana anak-anak yang mewah. Sama seperti aku dan Ian, baby triplet juga mengenakan pakaian adat denga
IANSetelah dua hari berada di rumah sakit hari ini Melodi diizinkan pulang.Rumah kami, maksudku rumah mertuaku terasa jauh lebih hidup. Tangis bayi menggema di mana-mana. Dan Sean adalah bintangnya.Semua penghuni rumah bersukacita. Termasuk Bi Inem dan Pak Pri.Begitu masuk ke kamar bayi kami disambut oleh balon-balon huruf dengan tulisan, 'Welcome babies made in Canada.'Papi memang seniat itu.Siapa sangka keteledoranku dulu membuahkan hasil. Melodi nggak percaya sampai sekarang kalau aku memang nggak sengaja ngeluarinnya di dalam. Tapi serius, aku nggak bohong. Aku memang nggak sengaja. Gara-gara Melodi terlalu nikmat aku jadi telat ngangkat.Hari-hari sebagai ayah pun dimulai. Aku menemani Melodi begadang setiap malam. Si kecil kami bergantian ingin disusui. Ada saja tingkah mereka.Kalau Sean menyusu maka Javio pup, dan Chiara akan menangis karena ingin digendong.Sejujurnya kami memang kewalahan. Tapi aku dan Melodi begitu menikmati masa-masa bahagia itu.Aku pikir Melodi
MELODIIan sudah mengambil cuti sejak kemarin. Kalau sesuai rencana aku akan melahirkan melalui prosedur operasi caesar besok lusa.Semua persiapan sudah dilakukan. Mamilah yang paling repot. Oh iya, jangan lupakan Papi yang paling antusias menyambut babies made in Canada. Sejak tahu akan punya cucu kembar, Papi merenovasi kamar Ian menjadi lebih besar dan menyulapnya menjadi istana bayi.Sampai hari kemarin Mami masih mengisi lemari dengan baju-baju bayi menggemaskan. Mami sama gregetannya denganku. Aku juga membeli banyak baju-baju lucu untuk si triplet. Sampai Ian geleng-geleng kepala melihat tingkahku. Tapi nggak ada yang bisa dilakukannya selain membiarkanku. Ini adalah anugerah luar biasa bagi kami. Dan belum tentu juga aku akan hamil lagi.Sekarang tinggal aku yang harus menyiapkan mental untuk operasi lusa."Dimakan dulu, Princess." Ian meletakkan sepiring apple pie di hadapanku."Thanks, Bang Ian." Aku menjawab tanpa mengalihkan perhatian dari gawai yang berada di tangan. S
MELODIIan benar-benar suami yang bisa diandalkan. Aku tahu dia lelah tapi seperti biasa dia tetap memenuhi permintaanku. Hampir setiap hari aku merengek padanya meminta keinginan yang berbeda, tapi dia nggak pernah mengeluh atau menunjukkan wajah lelah padaku. Pernah tengah malam aku membangunkannya karena aku pengen gelato padahal saat itu sedang hujan deras. Lagi-lagi tanpa mengeluh atau protes Ian mencarikannya. Saat Ian pulang aku malah nggak mau makan gelato tersebut dan membuangnya. Dia juga nggak pernah kesal atau mencoba mensubstitusi dengan yang lain. Aku mendapatkan semua yang kuinginkan dari Ian.Sambil mengusap-usap perut aku menunggu Ian pulang. Semakin besar usia kandunganku aku semakin malas bergerak ke mana-mana. Ruang gerakku hanya seputar rumah. Semingguan ini aku juga semakin sering jalan pagi seperti yang dianjurkan dokter. Ian menemaniku. Dan terkadang kami jalan pagi berempat dengan Mbak Karen dan suaminya.Saat aku sedang melamun Ian muncul membawa cemilanku."
IANHubungan persahabatan Melodi dan Anya akhirnya terputus sejak hari itu. Praktis sahabat Melodi hanya tinggal Amanda. Dan ... aku.Maksudku, sekarang Melodi sudah lebih terbuka padaku. Dia mau berbagi denganku menceritakan hal-hal yang selama ini hanya diceritakan pada sahabatnya.Sejak dia hamil, sejak Greya pergi, sejak fakta tentang Anya terungkap, dan khususnya sejak kami mengakui perasaan masing-masing, Melodi sudah mulai berubah. Hanya sedikit. Dia tetap Melodi yang pemarah dan emosian. Tapi untuk saat ini hal itu sudah cukup untukku."Jadi sampai kapan mau disembunyiin dari Melodi?"Pertanyaan Lakeizia membuatku mengembaIikan fokus pada Greya dan anak-anaknya. Sama seperti manusia dia juga sangat menyayangi anak-anaknya."Entahlah. Mungkin tunggu sampai situasinya tepat dulu," jawabku. Kalau sekarang tentu saja keadaannya belum memungkinkan. Melodi sedang hamil. Aku ingin menjaga perasaannya. Aku sering berpikir kenapa Melodi begitu cemburu pada Greya. Masalahnya Greya buka