MELODI"Ian!"Dia melirik melalui spion tengah."Kamu main pasir di mana sama Kak Kei?" Aku yang sudah nggak tahan terpaksa menanyakannya, daripada mati penasaran."Nggak penting," jawabnya nggak mau memberi tahu.Aku berdecak. Nggak penting buat dia tapi penting buatku.Kenapa sih dia nggak mau berterus terang? Apa itu begitu rahasia? Kenapa begitu banyak pertanyaanku yang nggak mau dia jawab? Selalu saja jual mahal. Apa harus kubayar juga biar dia buka mulut? Sematerialistis itu kah?Kemarahanku terjeda oleh suara ponsel. Aku mengambil benda itu. Agak kaget melihat nama Tante Evelyn di layar. Mamanya Juna."Halo, pagi, Tante," sapaku ramah. Kuselipkan sejumput rambut ke belakang telinga."Pagi, Melodi. Maaf ya Tante mengganggu.""Oh nggak kok. Nggak ganggu sama sekali.""Kamu lagi sibuk?""Aku lagi di jalan mau ke kampus, rencananya mau ketemu dosen pembimbing, Tan.""Oh."Oh-nya itu bikin aku penasaran. Tante Evelyn nggak mungkin menelepon tanpa ada tujuan. Pasti ini berkaitan de
MELODINasib baik sedang berpihak padaku. Setelah tiba di kampus aku hanya perlu menunggu sebentar lalu bertemu dengan Pak Braga. Dia hanya mencoret-coret sedikit kerangka yang kuajukan.Setelahnya aku kembali ke mobil. Dari jauh aku melihat Ian sedang mengamati ban mobil. Dia memang telaten dan selalu memastikan semua berjalan dengan baik.Aku nggak habis pikir. Terlepas dari bayaran tidak sedikit yang diberikan oleh orang tuaku, apa dia nggak berniat untuk mencari pekerjaan yang lebih prestise melebihi bodyguard dan supir pribadi?Ian dengan sigap membukakan pintu mobil untukku saat tahu aku datang."Aku mau ke toilet dulu," ujarku setelah meletakkan tas dan bundelan kertas yang merupakan skripsiku.Ian tidak menjawab. Mending tadi aku nggak usah bilang apa-apa padanya.Aku menghabiskan waktu sepuluh menit di toilet sebelum kembali ke mobil dan mendapati Ian sedang duduk di tempatnya. Bundelan kertasku ada di tangannya."Diapain skripsi aku?" tanyaku curiga."Cuma ngeliat," jawabny
MELODI Usapan Ian di bibirku seolah akan membuatku berhenti bernapas. Sentuhannya yang halus seringan bulu membuatku meremang. Itu hanya jarinya tapi aku merasa seolah bibirnya yang berpagut dengan bibirku. Aku mendadak gugup. Jadi yang kulakukan adalah menepis jarinya itu dari bibirku."Makin lama kamu makin nggak sopan!" kecamku ketus.Ian masih menatapku. Menikmati ketidaksukaan yang kuperlihatkan.Aku memperbaiki duduk sambil menyisipkan rambut ke balik telinga."Emang kamu jatuh cinta sama siapa? Sama Greya?"Ian nggak menanggapi. Berani taruhan. Kalau pun dia menjawab maka dia akan menggelengkan kepalanya atau mengatakan 'nggak penting'.Ian masih menatapku. Sorot matanya berubah. Terlihat lebih redup dari sebelumnya."Kamu pernah jatuh cinta sama siapa?" tanyaku lagi dengan lebih serius.Banyak pertanyaan menggumpal di benakku. Kapan Ian jatuh cinta? Kenapa aku nggak tahu? Apa dia jatuh cinta pada perempuan atau laki-laki? Lalu apa mereka pacaran? Berapa lama?Pertanyaanku men
MELODIKubawa kakiku masuk. Seketika aroma kopi menyergap hidungku. Bukan karena ada kopi di sana. Melainkan bersumber dari pewangi ruangan.Aku hampir tidak pernah masuk ke kamar Ian meskipun dia juga hampir tidak pernah menguncinya. Ketika menapakkan kaki di lantai aku dibuat tertegun oleh pemandangan yang mengisi ruang mataku.Kamar Ian bernuansa dark dengan wallpaper abu-abu tua yang memoles dinding. Alih-alih merasa suram, aku malah merasa tenang berada di dalamnya. Entah karena penataannya yang rapi atau karena di dekat jendela kamar Ian ada pohon yang mengirim vibes rindangnya sampai ke sini.Hitungan menit aku terpaku tanpa tahu melakukan apa. Bagaimana caranya agar aku tahu siapa pacar Ian?I have no clue.Aku bergerak mendekati meja di pojok kamar. Ada beberapa buku berbahasa Inggris di atasnya. Tidak ada apa pun yang ditemukan di laci meja selain printilan tidak penting.Ada poster besar Kurt Cobain sedang merokok sambil main gitar tertempel di dinding. Poster bernuansa hita
IANLaptop, kertas-kertas serta sejumlah literatur berserakan di atas tempat tidur ketika aku tiba di kamar Melodi.Malam ini dia cukup aneh. Biasanya Melodi mana pernah sudi aku menyentuh skripsinya. Dia selalu bilang, "Kamu nggak bakalan ngerti apa-apa."Melodi mengambil kertasnya lalu menunjukkan padaku mana saja yang akan kukerjakan."Yang ini ya, sampai di sini. Jangan lupa italic sama bold-nya. Jangan ada yang typo ya," katanya mengajariku.Aku mengambil kertas-kertas tersebut lalu mengumpulkannya menjadi satu.Aku bermaksud mengetik di meja. Tapi gerakan Melodi lebih cepat menahan tanganku."Ketik di sini," pintanya.Aku membatalkan niat mengetik di meja dan memenuhi apa yang dia inginkan.Aku baru memulai ketika mendengar pertanyaan terlontar dari bibirnya."Kamu tadi ke mana?" Dia menanyakan hal yang sudah diketahuinya."Ke dokter hewan. Greya sakit.""Kenapa nggak pergi sendiri? Kenapa Kak Kei juga ikut?""Ada yang salah dengan itu?""Nggak ada. Cuma tumben aja."Aku tidak
IANAku baru saja keluar dari bengkel ketika Lakeizia menelepon."Ian, kamu di mana?""Baru dari bengkel.""Bisa ke kantor aku nggak? Jason mau ke sini. Aku mau ngenalin kamu sebagai pacarku. Tolong aku ya?""I'll be there in no time."Aku mengemudikan mobil ke kantor Lakeizia. Tapi pikiranku bukan berada di dalam sini. Tapi pada Melodi. Pada permintaannya yang absurd. Akhirnya pikiran Melodi terbuka. Tapi permintaannya sekali pun tidak pernah melintas di dalam benakku.Lakeizia sudah menunggu di depan kantornya saat aku tiba. Senyum terkembang di bibirnya."Thanks udah datang. Kita ke sebelah aja ya." Dia mengajakku ke kafe sebelah kantor.Aku tidak melihat mantan Lakeizia di sana."Mana dia, Kei?""Sebentar lagi dia datang. Dia nggak percaya aku udah punya pacar jadi aku suruh ke sini."Kami duduk bersisian di kursi di dekat pintu masuk, menunggu mantan Lakeizia yang akan tiba."Ian, biar Jason lebih yakin, nanti aku minta ada skinship sedikit. Tolong genggam tanganku dan cium pipik
IAN"Belok kiri." Melodi memberiku instruksi. Dia mengajakku bertemu dengan Juna di kafe favorit mereka berdua.Aku menahan tangan Melodi sebelum turun dari mobil. Dia sontak memandang padaku. Tatapannya tajam dan menusuk. Begitu kontras dengan caranya memandang saat memintaku jadi pacar pura-puranya beberapa jam yang lalu."Selain kamu yang masih mencintai dia dan kamu yang nggak bisa hidup tanpa dia, apa yang bikin kamu tiba-tiba berubah pikiran? Siapa yang mempengaruhi kamu?" "Nggak ada.""Nggak mungkin," jawabku nggak percaya."Aku memang agak labil. Tapi kamu jangan baper gara-gara permintaan konyolku tadi.""Nggak ada yang baper. Tapi semua ini terlalu aneh.""Nggak ada yang aneh."Melodi menepis tanganku lalu turun dari mobil."Kenapa masih di sana? Ayo turun!" suruhnya melihatku tetap berada di tempat."Aku tunggu di sini.""Aku bilang turun ya turun. Lupa
MELODIAku masih merenungi nasib. Menjadi anak perempuan di keluarga ini tampaknya adalah sebuah bencana. Andai saja bisa aku ingin dilahirkan ulang sebagai anak laki-laki. Agar aku bisa seperti kedua adikku. Summer saat ini kuliah di Canada. Aku nggak ngerti pada pilihannya yang tidak biasa di saat orang lebih memilih kuliah di Amerika, Jerman atau England. Sedangkan Winter begitu beruntung karena diterima di Columbia University, NY. Bahagianya menjadi mereka.Hanya aku yang melestarikan kearifan lokal.Entah kebetulan atau tidak ponselku berbunyi. Summer yang menelepon."Ngapain lo nelfon?" tanyaku to the point."Ya ampun, Kak, jutek banget sama adek sendiri," jawabnya bernada protes. "Lo yang kelahi sama Bang Ian pelampiasannya jangan sama gue dong."Adik-adikku tahu bahwa aku alergi berat pada makhluk bernama Ian itu."Ada apa? Kalau mau ngobrol sama Mami langsung ke hpnya aja.""Gue mau ngomong sama Bang Ian tapi hpnya mati. Tolong dong lo panggilan bentar.""Mau ngapain emang?"
EpilogMELODISatu dekade terlewati seperti busur panah yang melesat cepat. Waktu berjalan begitu kilat. Anak-anak yang dulu masih bayi sekarang sudah duduk di kelas empat SD.Usiaku 33 tahun saat ini. Dalam sepuluh tahun terakhir begitu banyak yang terjadi. Delapan tahun lamanya aku mengabdi menjadi ibu rumah tangga secara penuh. Hidupku hanya untuk mengurus anak-anak dan suamiku. Seluruh kasih sayang kulimpahkan untuk mereka. Menyaksikan pertumbuhan anak-anak dari waktu ke waktu adalah hal yang paling membahagiakan untukku.Ketiganya tumbuh dengan sehat, normal dan menjadi anak-anak yang manis dan cerdas.Seperti yang sudah dikatakan banyak orang, semakin ke sini Sean bertambah mirip dengan Ian. Kulitnya yang terang, hidungnya yang mancung, bibirnya yang merah, alis hitamnya yang lebat dan tatapannya yang khas. Bahkan rahangnya mulai terbentuk dengan bagus. Ada dua cekukan di pipinya. Melihat Sean nggak ubahnya seperti memandang Ian. Aku yakin saat dewasa nanti Sean akan menjadi idol
MELODISembilan tahun sudah berlalu sejak kelahiran mereka. Anak-anak sekarang sudah duduk di kelas tiga SD. Membuatku kadang ingin menangis haru. Betapa aku sangat menikmati peranku sebagai ibu.Membesarkan tiga orang anak nggak pernah gampang bagiku. Apalagi mereka dengan segala tingkah ajaibnya membuatku kadang ingin mengeluh. Namun ketika akan menggerutu sesuatu menyadarkanku. Mereka adalah anugerah paling besar dan terindah yang kumiliki sepanjang usia.Selama sembilan tahun ini amat sangat banyak yang terjadi. Tentang aku yang akhirnya melanjutkan kuliah. Tentang karir Ian yang meroket tinggi. Dan tentu saja tentang anak-anak.Sean semakin dekat dengan Rara. Hubungan mereka seperti love hate relationship. Kadang mereka bertengkar dan nggak bertegur sapa. Tapi nggak begitu lama. Setelahnya keduanya akan kembali akrab, bercengkerama dan bercanda tawa seperti biasa.Sedangkan Javio, dia makin persis seperti papanya yang kalem dan lempeng. Aku masih ingat waktu dulu dia bilang akan
MELODI"Melodi, apa nggak sebaiknya kita sekolahkan anak-anak?" kata Ian pada suatu hari meminta pertimbanganku."Uhm, sekolah ya, Bang?"Ian mengangguk.Saat ini baby triplet sudah berumur lima tahun. Sudah sepantasnya mereka bersosialisasi dengan dunia luar. Tapi kenapa aku yang nggak rela? Kalau mereka sekolah itu artinya waktuku bersama mereka akan jauh berkurang."Abang pikir dengan bersekolah maka mereka juga jadi mengenal dunia luar. Mereka juga butuh bersosialisasi.""Biar nggak kayak kamu kan? Temannya cuma dikit." Sesekali aku memang suka meledek Ian.Ian tersenyum. Dibelainya kepalaku. "Iya, biar nggak kayak Abang," ucapnya mengalah. Dia memang selalu mengalah untukku."Cieee ngambek." Aku tertawa.Dia hanya menatapku sambil memamerkan senyum segarisnya yang khas."Anak-anak emangnya mau, Bang?" tanyaku ragu."Abang yakin mereka pasti mau," ujar Ian mantap. Ian kemudian memanggil tiga bersaudara itu."Sean! Javio! Chiara!"Javio dan Chiara datang bersamaan dalam satu kali p
MELODIMenjadi seorang ibu bukan hanya perkara melahirkan lalu memiliki anak. Lebih dari itu menjadi seorang ibu adalah perjalanan paling menakjubkan dalam hidupku.Aku mengorbankan banyak hal untuk hal menakjubkan itu. Termasuk membatalkan rencana meneruskan S2.Aku sempat merasa sedih karena gagal mewujudkannya. Terlebih ketika melihat feed sosmed teman-teman yang pulang kuliah hangout di mal, ngopi, nonton, atau sekadar window shopping. Namun ketika melihat wajah tiga malaikat kecilku plus bapaknya, semua keinginan tadi sirna. Sean, Javio, serta Chiara jauh lebih berarti ketimbang gelar Melodi Paradisa Evano, SE, MM.Hari ini Amanda datang ke rumah. Dia baru saja pulang kuliah. Aku sedang menyuapi anak-anak makan dibantu oleh baby sitter. Saat ini Sean, Javio dan Chiara sudah berusia tujuh bulan dan telah memasuki masa MPASI sejak satu bulan yang lalu.Aku yang langsung turun tangan ke dapur untuk menyiapkan makanan mereka demi memastikan ketiganya mendapatkan yang terbaik. Bukan
MELODIHari ini rumah kami begitu ramai dan semarak. Tamu-tamu para undangan sudah berdatangan dan menjadikan tiga bayi kembarku dan Ian sebagai pusat atensi."Lucu-lucu ya mereka.""Ih, gemes banget.""Ini gedenya pasti cakep-cakep."Komentar-komentar tersebut berdatangan dari mulut para tamu yang hadir menyaksikan tiga bayi kembar: Sean, Javio dan Chiara.Tidak satu pun dari orang yang datang tidak merasa tertarik pada baby triplet itu. Mereka lucu, manis dan sangat menggemaskan. Tingkahnya membuat hari-hari di rumah kami menjadi lebih berwarna.Hari ini di bangunan megah berarsitektur mediterania milik Papi atau rumahku tersebut sedang digelar acara tedak siten.Acara tersebut begitu meriah. Bukan hanya karena banyaknya para tamu yang hadir, tetapi karena para bayi tersebut terlahir kembar tiga dengan orang tua yang masih belia.Rumah sudah dihias sedemikian rupa, disulap menjadi istana anak-anak yang mewah. Sama seperti aku dan Ian, baby triplet juga mengenakan pakaian adat denga
IANSetelah dua hari berada di rumah sakit hari ini Melodi diizinkan pulang.Rumah kami, maksudku rumah mertuaku terasa jauh lebih hidup. Tangis bayi menggema di mana-mana. Dan Sean adalah bintangnya.Semua penghuni rumah bersukacita. Termasuk Bi Inem dan Pak Pri.Begitu masuk ke kamar bayi kami disambut oleh balon-balon huruf dengan tulisan, 'Welcome babies made in Canada.'Papi memang seniat itu.Siapa sangka keteledoranku dulu membuahkan hasil. Melodi nggak percaya sampai sekarang kalau aku memang nggak sengaja ngeluarinnya di dalam. Tapi serius, aku nggak bohong. Aku memang nggak sengaja. Gara-gara Melodi terlalu nikmat aku jadi telat ngangkat.Hari-hari sebagai ayah pun dimulai. Aku menemani Melodi begadang setiap malam. Si kecil kami bergantian ingin disusui. Ada saja tingkah mereka.Kalau Sean menyusu maka Javio pup, dan Chiara akan menangis karena ingin digendong.Sejujurnya kami memang kewalahan. Tapi aku dan Melodi begitu menikmati masa-masa bahagia itu.Aku pikir Melodi
MELODIIan sudah mengambil cuti sejak kemarin. Kalau sesuai rencana aku akan melahirkan melalui prosedur operasi caesar besok lusa.Semua persiapan sudah dilakukan. Mamilah yang paling repot. Oh iya, jangan lupakan Papi yang paling antusias menyambut babies made in Canada. Sejak tahu akan punya cucu kembar, Papi merenovasi kamar Ian menjadi lebih besar dan menyulapnya menjadi istana bayi.Sampai hari kemarin Mami masih mengisi lemari dengan baju-baju bayi menggemaskan. Mami sama gregetannya denganku. Aku juga membeli banyak baju-baju lucu untuk si triplet. Sampai Ian geleng-geleng kepala melihat tingkahku. Tapi nggak ada yang bisa dilakukannya selain membiarkanku. Ini adalah anugerah luar biasa bagi kami. Dan belum tentu juga aku akan hamil lagi.Sekarang tinggal aku yang harus menyiapkan mental untuk operasi lusa."Dimakan dulu, Princess." Ian meletakkan sepiring apple pie di hadapanku."Thanks, Bang Ian." Aku menjawab tanpa mengalihkan perhatian dari gawai yang berada di tangan. S
MELODIIan benar-benar suami yang bisa diandalkan. Aku tahu dia lelah tapi seperti biasa dia tetap memenuhi permintaanku. Hampir setiap hari aku merengek padanya meminta keinginan yang berbeda, tapi dia nggak pernah mengeluh atau menunjukkan wajah lelah padaku. Pernah tengah malam aku membangunkannya karena aku pengen gelato padahal saat itu sedang hujan deras. Lagi-lagi tanpa mengeluh atau protes Ian mencarikannya. Saat Ian pulang aku malah nggak mau makan gelato tersebut dan membuangnya. Dia juga nggak pernah kesal atau mencoba mensubstitusi dengan yang lain. Aku mendapatkan semua yang kuinginkan dari Ian.Sambil mengusap-usap perut aku menunggu Ian pulang. Semakin besar usia kandunganku aku semakin malas bergerak ke mana-mana. Ruang gerakku hanya seputar rumah. Semingguan ini aku juga semakin sering jalan pagi seperti yang dianjurkan dokter. Ian menemaniku. Dan terkadang kami jalan pagi berempat dengan Mbak Karen dan suaminya.Saat aku sedang melamun Ian muncul membawa cemilanku."
IANHubungan persahabatan Melodi dan Anya akhirnya terputus sejak hari itu. Praktis sahabat Melodi hanya tinggal Amanda. Dan ... aku.Maksudku, sekarang Melodi sudah lebih terbuka padaku. Dia mau berbagi denganku menceritakan hal-hal yang selama ini hanya diceritakan pada sahabatnya.Sejak dia hamil, sejak Greya pergi, sejak fakta tentang Anya terungkap, dan khususnya sejak kami mengakui perasaan masing-masing, Melodi sudah mulai berubah. Hanya sedikit. Dia tetap Melodi yang pemarah dan emosian. Tapi untuk saat ini hal itu sudah cukup untukku."Jadi sampai kapan mau disembunyiin dari Melodi?"Pertanyaan Lakeizia membuatku mengembaIikan fokus pada Greya dan anak-anaknya. Sama seperti manusia dia juga sangat menyayangi anak-anaknya."Entahlah. Mungkin tunggu sampai situasinya tepat dulu," jawabku. Kalau sekarang tentu saja keadaannya belum memungkinkan. Melodi sedang hamil. Aku ingin menjaga perasaannya. Aku sering berpikir kenapa Melodi begitu cemburu pada Greya. Masalahnya Greya buka