IAN"Belok kiri." Melodi memberiku instruksi. Dia mengajakku bertemu dengan Juna di kafe favorit mereka berdua.Aku menahan tangan Melodi sebelum turun dari mobil. Dia sontak memandang padaku. Tatapannya tajam dan menusuk. Begitu kontras dengan caranya memandang saat memintaku jadi pacar pura-puranya beberapa jam yang lalu."Selain kamu yang masih mencintai dia dan kamu yang nggak bisa hidup tanpa dia, apa yang bikin kamu tiba-tiba berubah pikiran? Siapa yang mempengaruhi kamu?" "Nggak ada.""Nggak mungkin," jawabku nggak percaya."Aku memang agak labil. Tapi kamu jangan baper gara-gara permintaan konyolku tadi.""Nggak ada yang baper. Tapi semua ini terlalu aneh.""Nggak ada yang aneh."Melodi menepis tanganku lalu turun dari mobil."Kenapa masih di sana? Ayo turun!" suruhnya melihatku tetap berada di tempat."Aku tunggu di sini.""Aku bilang turun ya turun. Lupa
MELODIAku masih merenungi nasib. Menjadi anak perempuan di keluarga ini tampaknya adalah sebuah bencana. Andai saja bisa aku ingin dilahirkan ulang sebagai anak laki-laki. Agar aku bisa seperti kedua adikku. Summer saat ini kuliah di Canada. Aku nggak ngerti pada pilihannya yang tidak biasa di saat orang lebih memilih kuliah di Amerika, Jerman atau England. Sedangkan Winter begitu beruntung karena diterima di Columbia University, NY. Bahagianya menjadi mereka.Hanya aku yang melestarikan kearifan lokal.Entah kebetulan atau tidak ponselku berbunyi. Summer yang menelepon."Ngapain lo nelfon?" tanyaku to the point."Ya ampun, Kak, jutek banget sama adek sendiri," jawabnya bernada protes. "Lo yang kelahi sama Bang Ian pelampiasannya jangan sama gue dong."Adik-adikku tahu bahwa aku alergi berat pada makhluk bernama Ian itu."Ada apa? Kalau mau ngobrol sama Mami langsung ke hpnya aja.""Gue mau ngomong sama Bang Ian tapi hpnya mati. Tolong dong lo panggilan bentar.""Mau ngapain emang?"
IANAku baru saja menelepon Summer. Meskipun tinggal di belahan dunia yang berbeda, tapi aku dan dia selalu keep on touch. Berbeda dengan kakaknya, sang adik jauh lebih humble."Ian, laptopnya aku pinjam bawa ke kamar ya?"Aku lupa kalau Lakeizia masih berada di sini."Bawa aja, Kei."Lakeizia melipat laptop dan siap-siap untuk keluar dari kamarku."Aku nggak ngerti deh. Tadi Melodi nyebut-nyebut Ritz Carlton lagi ada promo maksudnya apa ya?" Lakeizia menatapku keheranan."Entahlah. Mungkin cuma mau ngasih tahu.""Lucu juga ya tuh anak." Lakeizia tersenyum kecil. "By the way dia masih belum maafin aku ya? Dia pernah bilang ke kamu nggak?""Soal Nicholas?"Lakeizia menjawab dengan anggukan."Udah sejak lama. Dia nggak pernah ungkit-ungkit masalah itu. Dia orangnya nggak pendendam.""Jujur sih, sampai sekarang aku masih ngerasa nggak enak hati." Lakeizia tidak berbohong. Dia bukanlah drama queen. Aku bisa melihat di matanya."Let the past be the past ya, Kei. Lagian Melodi udah punya ga
MELODIBerhari-hari aku nggak bicara dengan Ian. Dan dia pun tidak menegurku. Dia tidak bertanya kenapa aku silent treatment. Kalau ini terjadi pada manusia normal pasti orang itu akan bertanya-tanya di dalam hati kesalahan besar apa yang sudah dilakukannya. Dia akan gelisah sepanjang hari dan terus memikirkannya.Ah iya, aku lupa. Ian bukan manusia normal. Jadi tentu saja dia merasa tidak terjadi apa-apa.Selama beberapa hari ini juga aku tidak ke mana-mana. Aku hanya di rumah. Tapi justru Ian sibuk pergi dengan Lakeizia.Pagi-pagi sekali di saat aku belum bangun mereka sudah berangkat. Lalu senja atau malam mereka baru pulang. Berdua. Ya. Hanya berdua.Lama-lama aku gondok juga. Apa Ian perlu diingatkan bahwa dia bekerja untukku, bukan Lakeizia?Apa dia lupa bahwa yang menggaji dia adalah orang tuaku, bukan Lakeizia?Pacaran sih pacaran, tapi harus tahu waktu dan situasi juga.Aku menghempaskan tubuh ke kasur. Sudah jam sepuluh malam, tapi keduanya belum pulang.Kerja apa sampai ja
MELODIIan berhenti bertanya. Agaknya dia sudah mengerti apa yang aku inginkan. Dia terus membawaku tanpa arah tujuan. Sampai kami berhenti di sebuah taman."Ngapain di sini?" tanyaku waspada setelah dia mematikan mesin mobil. Aku harus hati-hati kalau saja dia berniat melakukan hal-hal yang tidak senonoh. Apalagi kami hanya berdua dan tempat ini sepi."Spending time," jawabnya pendek lalu turun. Dia melangkah memutari mobil kemudian membukakan pintu untukku dari luar.Aku terpaksa turun dari mobil. Angin dingin langsung menyerbu kulitku. Membuatku tersadar bahwa saat ini hanya mengenakan celana tidur, tanktop coklat dan slipper boneka. Sedangkan Ian mengenakan kaos oblong putih dilapisi kemeja jeans biru yang kancingnya dibiarkan terbuka, plus jeans dan sneakers. Dia nggak sempat ganti baju karena tadi langsung kuseret. Aku nggak tahu ternyata dia punya baju putih. Sama dengan tidak tahunya entah sejak kapan dia memilikinya. Mungkin Lakeizia yang membelikan dan mencoba membawanya kel
MELODIKeesokan harinya aku meminta Ian membawa ke taman semalam. Aku ingin membuktikan kata-katanya mengenai taman itu. Dan hasilnya membuatku ingin ngamuk padanya. Taman itu benar-benar nyata. Begitu pun dengan bunga-bunga dan bangku di sana."Jadi ternyata itu cuma modus kamu doang?" Aku memelototinya marah."Modus apa?" balasnya ringan."Biar kamu bisa gendong aku terus peluk kamu.""Nggak ada yang menyuruh kamu meluk aku. Kamu sendiri yang meluk," jawabnya membuatku malu.Hawa hangat menjalari pipiku. Kenapa juga aku bisa senaif itu hingga mau-maunya dibodohi?"Jelasin sekarang kenapa kamu ngarang cerita dan nipu aku?""Iseng.""Iseng? Kamu pikir aku teka-teki silang? Kamu pikir aku anak kecil yang mudah ditipu? Aku nggak bodoh. Dengar ya, aku nggak rela kamu gendong kemarin. Aku nggak ikhlas kamu menikmati pelukanku. Pokoknya aku nggak sudi pada semua yang terjadi kemarin!" Aku mencerocos memuntahkan semua rasa sakit hati.Saat tidak ada lagi yang bisa kukatakan aku terdiam lal
MELODI"Jason, aku sama pacarku mau makan siang. Kamu silakan duluan ke kantor.""Aku ikut kalian, aku juga mau makan siang," jawab Jason dengan tidak tahu malunya.Eh, apa bedanya denganku? Aku juga ngekor tanpa diajak.Ekspresi Lakeizia tampak kurang senang tapi sungkan untuk menolak. Apa dia juga merasakan yang sama dengan kehadiranku di sini? Apa dia merasa terganggu karena hanya ingin pacaran berdua dengan Ian?"Oh, oke."Aku tahu Lakeizia berat hati mengucapkannya."Kita makan di mana, Sayang?"Sejak tadi entah sudah berapa kata sayang diobral. Aku sampai eneg."Terserah kamu." Ian menjawab.Ian dan Lakeizia berjalan bergandengan tangan di depanku. Sedangkan aku dan Jason membuntuti di belakang mereka. Untung ada Jason. Kalau tidak aku sukses menjadi kambing congek."Temennya Kei?" Jason mengajakku berbicara."Sepupunya.""Wah, Kei nggak pernah cerita punya sepupu cantik kayak lo." Jason terlihat antusias.Aku hanya tersenyum masam. Tentu Kei nggak akan cerita. Buat apa? Ada jur
MELODI"Meloooo!" Amanda melambaikan tangan kepadaku dan melihat melalui kaca. Rambutnya sedang dipotong. Ada Anya juga yang hanya menjadi penonton."Haaiii!" Aku membalas lambaiannya.Tante Evelyn mendekat melihatku muncul."Melodi sayang, datang juga kamu." Tante Evelyn memelukku lalu kami cipika cipiki."Tadi Amanda yang telfon katanya lagi di sini," jelasku.Tante Evelyn tersenyum. "Makin cantik aja menantu Tante. Kamu mau apa, Sayang? Manicure? Pedicure?""Nggak usah, Tan. Aku ngeliat Amanda aja.""Jangan dong. Masa udah jauh-jauh cuma mau ngeliat."Tante Evelyn menyentuh rambutku yang tergerai lalu menilainya."Melo, ujung rambut kamu agak bercabang. Potong dikit ya, Sayang?""Boleh deh, Tan. Dikit aja tapi."Si tante kemudian memanggil karyawannya untuk menanganiku."Melo, kira-kira kapan ya Tante bisa ketemu Papi Mami kamu untuk membicarakan hubungan kamu dan Juna?"Pertanyaan Tante Evelyn membuatku tersenyum bahagia."Aku tanya Mami dulu ya, Tan. Nanti aku kabari.""Tante tun
EpilogMELODISatu dekade terlewati seperti busur panah yang melesat cepat. Waktu berjalan begitu kilat. Anak-anak yang dulu masih bayi sekarang sudah duduk di kelas empat SD.Usiaku 33 tahun saat ini. Dalam sepuluh tahun terakhir begitu banyak yang terjadi. Delapan tahun lamanya aku mengabdi menjadi ibu rumah tangga secara penuh. Hidupku hanya untuk mengurus anak-anak dan suamiku. Seluruh kasih sayang kulimpahkan untuk mereka. Menyaksikan pertumbuhan anak-anak dari waktu ke waktu adalah hal yang paling membahagiakan untukku.Ketiganya tumbuh dengan sehat, normal dan menjadi anak-anak yang manis dan cerdas.Seperti yang sudah dikatakan banyak orang, semakin ke sini Sean bertambah mirip dengan Ian. Kulitnya yang terang, hidungnya yang mancung, bibirnya yang merah, alis hitamnya yang lebat dan tatapannya yang khas. Bahkan rahangnya mulai terbentuk dengan bagus. Ada dua cekukan di pipinya. Melihat Sean nggak ubahnya seperti memandang Ian. Aku yakin saat dewasa nanti Sean akan menjadi idol
MELODISembilan tahun sudah berlalu sejak kelahiran mereka. Anak-anak sekarang sudah duduk di kelas tiga SD. Membuatku kadang ingin menangis haru. Betapa aku sangat menikmati peranku sebagai ibu.Membesarkan tiga orang anak nggak pernah gampang bagiku. Apalagi mereka dengan segala tingkah ajaibnya membuatku kadang ingin mengeluh. Namun ketika akan menggerutu sesuatu menyadarkanku. Mereka adalah anugerah paling besar dan terindah yang kumiliki sepanjang usia.Selama sembilan tahun ini amat sangat banyak yang terjadi. Tentang aku yang akhirnya melanjutkan kuliah. Tentang karir Ian yang meroket tinggi. Dan tentu saja tentang anak-anak.Sean semakin dekat dengan Rara. Hubungan mereka seperti love hate relationship. Kadang mereka bertengkar dan nggak bertegur sapa. Tapi nggak begitu lama. Setelahnya keduanya akan kembali akrab, bercengkerama dan bercanda tawa seperti biasa.Sedangkan Javio, dia makin persis seperti papanya yang kalem dan lempeng. Aku masih ingat waktu dulu dia bilang akan
MELODI"Melodi, apa nggak sebaiknya kita sekolahkan anak-anak?" kata Ian pada suatu hari meminta pertimbanganku."Uhm, sekolah ya, Bang?"Ian mengangguk.Saat ini baby triplet sudah berumur lima tahun. Sudah sepantasnya mereka bersosialisasi dengan dunia luar. Tapi kenapa aku yang nggak rela? Kalau mereka sekolah itu artinya waktuku bersama mereka akan jauh berkurang."Abang pikir dengan bersekolah maka mereka juga jadi mengenal dunia luar. Mereka juga butuh bersosialisasi.""Biar nggak kayak kamu kan? Temannya cuma dikit." Sesekali aku memang suka meledek Ian.Ian tersenyum. Dibelainya kepalaku. "Iya, biar nggak kayak Abang," ucapnya mengalah. Dia memang selalu mengalah untukku."Cieee ngambek." Aku tertawa.Dia hanya menatapku sambil memamerkan senyum segarisnya yang khas."Anak-anak emangnya mau, Bang?" tanyaku ragu."Abang yakin mereka pasti mau," ujar Ian mantap. Ian kemudian memanggil tiga bersaudara itu."Sean! Javio! Chiara!"Javio dan Chiara datang bersamaan dalam satu kali p
MELODIMenjadi seorang ibu bukan hanya perkara melahirkan lalu memiliki anak. Lebih dari itu menjadi seorang ibu adalah perjalanan paling menakjubkan dalam hidupku.Aku mengorbankan banyak hal untuk hal menakjubkan itu. Termasuk membatalkan rencana meneruskan S2.Aku sempat merasa sedih karena gagal mewujudkannya. Terlebih ketika melihat feed sosmed teman-teman yang pulang kuliah hangout di mal, ngopi, nonton, atau sekadar window shopping. Namun ketika melihat wajah tiga malaikat kecilku plus bapaknya, semua keinginan tadi sirna. Sean, Javio, serta Chiara jauh lebih berarti ketimbang gelar Melodi Paradisa Evano, SE, MM.Hari ini Amanda datang ke rumah. Dia baru saja pulang kuliah. Aku sedang menyuapi anak-anak makan dibantu oleh baby sitter. Saat ini Sean, Javio dan Chiara sudah berusia tujuh bulan dan telah memasuki masa MPASI sejak satu bulan yang lalu.Aku yang langsung turun tangan ke dapur untuk menyiapkan makanan mereka demi memastikan ketiganya mendapatkan yang terbaik. Bukan
MELODIHari ini rumah kami begitu ramai dan semarak. Tamu-tamu para undangan sudah berdatangan dan menjadikan tiga bayi kembarku dan Ian sebagai pusat atensi."Lucu-lucu ya mereka.""Ih, gemes banget.""Ini gedenya pasti cakep-cakep."Komentar-komentar tersebut berdatangan dari mulut para tamu yang hadir menyaksikan tiga bayi kembar: Sean, Javio dan Chiara.Tidak satu pun dari orang yang datang tidak merasa tertarik pada baby triplet itu. Mereka lucu, manis dan sangat menggemaskan. Tingkahnya membuat hari-hari di rumah kami menjadi lebih berwarna.Hari ini di bangunan megah berarsitektur mediterania milik Papi atau rumahku tersebut sedang digelar acara tedak siten.Acara tersebut begitu meriah. Bukan hanya karena banyaknya para tamu yang hadir, tetapi karena para bayi tersebut terlahir kembar tiga dengan orang tua yang masih belia.Rumah sudah dihias sedemikian rupa, disulap menjadi istana anak-anak yang mewah. Sama seperti aku dan Ian, baby triplet juga mengenakan pakaian adat denga
IANSetelah dua hari berada di rumah sakit hari ini Melodi diizinkan pulang.Rumah kami, maksudku rumah mertuaku terasa jauh lebih hidup. Tangis bayi menggema di mana-mana. Dan Sean adalah bintangnya.Semua penghuni rumah bersukacita. Termasuk Bi Inem dan Pak Pri.Begitu masuk ke kamar bayi kami disambut oleh balon-balon huruf dengan tulisan, 'Welcome babies made in Canada.'Papi memang seniat itu.Siapa sangka keteledoranku dulu membuahkan hasil. Melodi nggak percaya sampai sekarang kalau aku memang nggak sengaja ngeluarinnya di dalam. Tapi serius, aku nggak bohong. Aku memang nggak sengaja. Gara-gara Melodi terlalu nikmat aku jadi telat ngangkat.Hari-hari sebagai ayah pun dimulai. Aku menemani Melodi begadang setiap malam. Si kecil kami bergantian ingin disusui. Ada saja tingkah mereka.Kalau Sean menyusu maka Javio pup, dan Chiara akan menangis karena ingin digendong.Sejujurnya kami memang kewalahan. Tapi aku dan Melodi begitu menikmati masa-masa bahagia itu.Aku pikir Melodi
MELODIIan sudah mengambil cuti sejak kemarin. Kalau sesuai rencana aku akan melahirkan melalui prosedur operasi caesar besok lusa.Semua persiapan sudah dilakukan. Mamilah yang paling repot. Oh iya, jangan lupakan Papi yang paling antusias menyambut babies made in Canada. Sejak tahu akan punya cucu kembar, Papi merenovasi kamar Ian menjadi lebih besar dan menyulapnya menjadi istana bayi.Sampai hari kemarin Mami masih mengisi lemari dengan baju-baju bayi menggemaskan. Mami sama gregetannya denganku. Aku juga membeli banyak baju-baju lucu untuk si triplet. Sampai Ian geleng-geleng kepala melihat tingkahku. Tapi nggak ada yang bisa dilakukannya selain membiarkanku. Ini adalah anugerah luar biasa bagi kami. Dan belum tentu juga aku akan hamil lagi.Sekarang tinggal aku yang harus menyiapkan mental untuk operasi lusa."Dimakan dulu, Princess." Ian meletakkan sepiring apple pie di hadapanku."Thanks, Bang Ian." Aku menjawab tanpa mengalihkan perhatian dari gawai yang berada di tangan. S
MELODIIan benar-benar suami yang bisa diandalkan. Aku tahu dia lelah tapi seperti biasa dia tetap memenuhi permintaanku. Hampir setiap hari aku merengek padanya meminta keinginan yang berbeda, tapi dia nggak pernah mengeluh atau menunjukkan wajah lelah padaku. Pernah tengah malam aku membangunkannya karena aku pengen gelato padahal saat itu sedang hujan deras. Lagi-lagi tanpa mengeluh atau protes Ian mencarikannya. Saat Ian pulang aku malah nggak mau makan gelato tersebut dan membuangnya. Dia juga nggak pernah kesal atau mencoba mensubstitusi dengan yang lain. Aku mendapatkan semua yang kuinginkan dari Ian.Sambil mengusap-usap perut aku menunggu Ian pulang. Semakin besar usia kandunganku aku semakin malas bergerak ke mana-mana. Ruang gerakku hanya seputar rumah. Semingguan ini aku juga semakin sering jalan pagi seperti yang dianjurkan dokter. Ian menemaniku. Dan terkadang kami jalan pagi berempat dengan Mbak Karen dan suaminya.Saat aku sedang melamun Ian muncul membawa cemilanku."
IANHubungan persahabatan Melodi dan Anya akhirnya terputus sejak hari itu. Praktis sahabat Melodi hanya tinggal Amanda. Dan ... aku.Maksudku, sekarang Melodi sudah lebih terbuka padaku. Dia mau berbagi denganku menceritakan hal-hal yang selama ini hanya diceritakan pada sahabatnya.Sejak dia hamil, sejak Greya pergi, sejak fakta tentang Anya terungkap, dan khususnya sejak kami mengakui perasaan masing-masing, Melodi sudah mulai berubah. Hanya sedikit. Dia tetap Melodi yang pemarah dan emosian. Tapi untuk saat ini hal itu sudah cukup untukku."Jadi sampai kapan mau disembunyiin dari Melodi?"Pertanyaan Lakeizia membuatku mengembaIikan fokus pada Greya dan anak-anaknya. Sama seperti manusia dia juga sangat menyayangi anak-anaknya."Entahlah. Mungkin tunggu sampai situasinya tepat dulu," jawabku. Kalau sekarang tentu saja keadaannya belum memungkinkan. Melodi sedang hamil. Aku ingin menjaga perasaannya. Aku sering berpikir kenapa Melodi begitu cemburu pada Greya. Masalahnya Greya buka