Pukul delapan malam pesawat yang membawaku lepas landas dengan mulus. Aku mendapat tempat duduk di dekat jendela. Di sebelahku adalah bapak-bapak yang sejak tadi batuk-batuk nggak karuan. Lalu tiap sebentar sibuk mengoles minyak angin yang baunya membuatku pusing.Kenapa penerbanganku jadi nggak asyik gini sih?Aku nggak bisa membayangkan selama penerbangan yang lamanya lebih dari dua puluh empat jam bersebelahan dengan orang ini.Maskapai yang kunaiki bukanlah langganan kami. Tempo hari aku hanya asal pilih agar bisa mendapat penerbangan secepatnya lalu bertemu dengan Ian. Malah tadi Mami marah-marah karena aku sotoy dan nggak lewat Paradisa pesan tiketnya. Gimana mau lewat Paradisa. Rencanaku bisa terdeteksi dari awal dan bisa-bisa gagal total. Jadi metode satset yang kugunakan adalah cara yang paling tepat yang akan kupakai kapan-kapan saat darurat.Sambil mencoba untuk tidur aku membayangkan di kepala apa reaksi Ian saat kami bertemu besok.Aku tebak dia akan mematung beberapa det
MELODIAku terbangun setelah tidur selama dua jam. Meski hanya sebentar tapi lumayan untuk memulihkan energi yang rontok ke mana-mana. Tadi setelah meminum air putih hangat seperti saran Bintang aku langsung tidur.Summer memberiku secangkir coklat panas yang membuat perutku terasa hangat."Bang Ian udah lo kabari, Kak?" Suara Summer terdengar bersama cangkir kosong yang kuletakkan. Aku berhasil menandaskan larutan coklat tersebut nggak lebih dari lima menit."Kok dikabari. Ke sini kan mau ngasih kejutan.""Oh iya juga." Summer nyengir menyebalkan."Ada cewek di sini?""Hah?""Kasur lo bau parfum cewek," tatapku curiga."Itu spreinya kan baru diganti jadi masih ada bau pewangi laundrynya. Gimana sih lo?""Awas aja pokoknya kalo macam-macam bakal gue aduin sama Mami dan Papi," ancamku nggak main-main."Dasar cepu.""Biarin."Kemudian Summer menyuruhku mandi. Dia juga memesankan makanan untukku.Aku keluar dari kamar mandi dengan tubuh menggigil."Busyet, baru autumn udaranya udah begi
MELODIIan dan perempuan itu serentak memandang ke arahku. Dan seperti yang sudah kuduga Ian terkejut melihat kedatanganku. Baru kali ini aku bisa membaca ekspresi Ian setelah selama ini yang ditunjukkannya di depan umum adalah poker face andalannya. Sedangkan si Siti-Siti itu hanya menatap bingung dengan penuh tanda tanya."Melodi ...," ucap Ian akhirnya setelah berhasil bangun dari kekagetannya.Tumben aku nggak dipanggil Princess. Apa karena saat ini sedang ada Siti?Ian melangkah mendekat. Aku menunggu dia menghampiriku."Kamu di sini?" Ian bergumam seakan sedang pada dirinya sendiri setelah jarakku dan dia hanya hitungan senti."Jadi aku nggak boleh ke sini?" ucapku merasa tersinggung. Seharusnya dia bahagia melihat kedatanganku. Tapi mana buktinya? Bintang bilang laki-laki juga suka diberi kejutan. Tapi kenapa itu nggak terbukti? Yang aku lihat Ian malah syok berat. Lebih kepada seperti sedang tertangkap basah. Bukan karena mendapat kejutan dariku. Dia juga nggak memeluk dan men
MELODISetiba di apartemen Summer ternyata bocah itu nggak ada. Tapi kami bisa masuk karena Summer memberi Ian akses."Beneran datang sendiri ternyata. Abang pikir kamu ke sini bareng Mami dan Papi," kata Ian setelah melihat bahwa nggak ada siapa-siapa selain kami berdua.Kenapa sih orang-orang meragukanku bisa melakukan perjalanan sendiri?"Itu Mami ada nitip makanan banyak banget buat kamu." Aku menunjuk kotak berisi titipan dari Mami.Ian membukanya lalu tersenyum. "Mami sampe repot-repot begini.""Itu karena dia sayang sama kamu. Kamunya aja yang nggak tahu diri nyakitin putrinya.""Nyakitin gimana sih, Princess?" Tatapan Ian beralih padaku. Masih pura-pura nggak ngerti dia.Aku masuk ke kamar Summer lalu membungkus diri dengan selimut. Ian menyusulku ke kamar. Dia ikut berbaring dan menelusupkan diri ke bawah selimut yang sama denganku.Dia menatapku lembut sambil membelai kepalaku.Aku pengin dengar dia bilang kangen, tapi itu nggak terjadi."Gimana penerbangannya tadi?"Aku t
MELODIIan nggak langsung pergi setelah kami selesai berbagi kehangatan. Aku menahannya karena belum rela berpisah dengannya. Tapi dia malah menyuruhku menanak nasi."Abang udah lama nggak makan nasi. Udah kepingin banget, kayak orang ngidam.""Ih, kasihan ya." Aku mencibir meledeknya."Makanya tolong masakkan.""Aku nggak bisa masak. Lupa ya?""Abang nggak pernah melupakan hal sekecil apa pun tentang kamu. Nanti Abang ajarin caranya.""Kenapa bukan kamu langsung yang masak?" Aku merasa keberatan. Baru satu bulan berpisah tapi Ian berubah bossy."Abang mau olahan tangan kamu karena rasanya beda banget."Aku mencibir. Itu hanya modusnya biar aku nggak bisa istirahat.Lagian aku nggak yakin Summer punya stok beras. Orang modelan Summer bakal menanak nasi? Daripada berurusan dengan dapur baginya lebih baik nggak usah makan sekalian.Tapi Ian mematahkan segala dugaanku. dia membuka tempat penyimpanan makanan kemudian mengeluarkan beras dari dalamnya.Dia meletakkan beras di wadah lalu men
MELODI⭐: Gimana liburannya?Me: Sooo happy 🥰⭐: Udah nyobain main ski di Whistler? Di sana seru banget.Walau heran Bintang tahu tempat itu tapi aku nggak bertanya.Me: Ian belum sempat. Dia sibuk.⭐: Hari ini mau ke mana?Me: Paling lunch bareng di dekat hotel.⭐: Take care 🎶Me: 🎶?⭐: MelodiMe: 😄Setelah chat dengan lelaki yang belakangan akrab denganku, aku bersiap-siap pergi ke Galaxy Hotel.Summer ingin mengantar tapi aku nekat sendiri. Agar orang-orang tahu aku sudah dewasa dan bisa sendiri. Nggak perlu dikawal-kawal lagi.Di dalam sky train aku membayangkan apa yang akan kulakukan selama dua bulan di sini. Nggak mungkin kan aku tidur setiap hari?Masih dengan pikiran penuh khayalan, kulangkahkan kaki memasuki komplek Galaxy Hotel. Aku nggak tahu Ian menunggu di mana. Saat menghubungi via handphone Ian nggak menjawab. Kumat lagi penyakit lamanya yang membuatku sebal setengah mati.Resepsionis yang kutemui mengatakan saat ini para peserta training sedang berada di restoran
MELODIAku bangun dari tempat yang kududuki, lalu berdiri berhadapan dengan Bintang. Kutatap dia dengan perasaan heran yang nggak tersembunyikan dari wajahku."Lo kok bisa di sini?""Biar lo nggak nangis lagi."Jawabannya membuat air mataku mengalir deras. Aku nggak tahu bagaimana caranya Bintang bisa muncul di hadapanku. Tapi kehadirannya begitu berarti buatku. Di saat begini aku butuh tempat bersandar. Aku mau seseorang yang bisa menghiburku.Aku yang terlalu sedih dan butuh tempat untuk bersandar langsung memeluk Bintang dan menangis di dadanya. Bintang terlalu terkejut dengan tindakanku sehingga nggak memberi respon apa pun. Namun kemudian kurasakan tangannya melingkari tubuhku."Gue nggak tahu masalah apa yang lo alami. Tapi kalo nangis bikin lo jadi ngerasa lebih baik lo nangis aja."Tangisku yang tadi tertahan akhirnya pecah. Aku terisak di dada Bintang. Terakhir kali kumenangis dengan vibes seperti ini adalah ketika Mami sakit dan diopname cukup lama di rumah sakit. Aku khawat
MELODI"Makan di mana kita?" tanya Bintang."Up to you.""Western or Indonesian cuisine?""Yang bikin gue bisa ngelupain segalanya ada nggak?"Bintang memberiku senyum tipis. "Sayangnya nggak ada. Walaupun lo mabuk tapi nanti kalo efeknya udah hilang lo bakal ingat lagi semuanya."Aku terdiam dan nggak lagi menanggapi kata-kata Bintang.Lima belas menit kemudian kami sudah duduk berhadapan di sebuah bistro. Tempatnya homey, teduh dan menyenangkan. Aku dan Bintang memilih tempat duduk di luar. Kami menikmati makanan sambil menikmati pemandangan kesukaanku. Deretan pohon maple dan daun merahnya yang berguguran."Nyaman banget ya di sini," ucapku sambil menjejalkan irisan steak yang baru kupotong ke dalam mulut."Tempatnya yang nyaman atau orang yang nemenin yang bikin nyaman?" Bintang nyeletuk dengan suara pelan."Apa?"Dia pura-pura nggak mendengar lalu menunduk berkonsentrasi melahap hidangannya.Entah mana yang paling tepat. Karena udara dingin atau pertengkaran dengan Ian menghabisk
EpilogMELODISatu dekade terlewati seperti busur panah yang melesat cepat. Waktu berjalan begitu kilat. Anak-anak yang dulu masih bayi sekarang sudah duduk di kelas empat SD.Usiaku 33 tahun saat ini. Dalam sepuluh tahun terakhir begitu banyak yang terjadi. Delapan tahun lamanya aku mengabdi menjadi ibu rumah tangga secara penuh. Hidupku hanya untuk mengurus anak-anak dan suamiku. Seluruh kasih sayang kulimpahkan untuk mereka. Menyaksikan pertumbuhan anak-anak dari waktu ke waktu adalah hal yang paling membahagiakan untukku.Ketiganya tumbuh dengan sehat, normal dan menjadi anak-anak yang manis dan cerdas.Seperti yang sudah dikatakan banyak orang, semakin ke sini Sean bertambah mirip dengan Ian. Kulitnya yang terang, hidungnya yang mancung, bibirnya yang merah, alis hitamnya yang lebat dan tatapannya yang khas. Bahkan rahangnya mulai terbentuk dengan bagus. Ada dua cekukan di pipinya. Melihat Sean nggak ubahnya seperti memandang Ian. Aku yakin saat dewasa nanti Sean akan menjadi idol
MELODISembilan tahun sudah berlalu sejak kelahiran mereka. Anak-anak sekarang sudah duduk di kelas tiga SD. Membuatku kadang ingin menangis haru. Betapa aku sangat menikmati peranku sebagai ibu.Membesarkan tiga orang anak nggak pernah gampang bagiku. Apalagi mereka dengan segala tingkah ajaibnya membuatku kadang ingin mengeluh. Namun ketika akan menggerutu sesuatu menyadarkanku. Mereka adalah anugerah paling besar dan terindah yang kumiliki sepanjang usia.Selama sembilan tahun ini amat sangat banyak yang terjadi. Tentang aku yang akhirnya melanjutkan kuliah. Tentang karir Ian yang meroket tinggi. Dan tentu saja tentang anak-anak.Sean semakin dekat dengan Rara. Hubungan mereka seperti love hate relationship. Kadang mereka bertengkar dan nggak bertegur sapa. Tapi nggak begitu lama. Setelahnya keduanya akan kembali akrab, bercengkerama dan bercanda tawa seperti biasa.Sedangkan Javio, dia makin persis seperti papanya yang kalem dan lempeng. Aku masih ingat waktu dulu dia bilang akan
MELODI"Melodi, apa nggak sebaiknya kita sekolahkan anak-anak?" kata Ian pada suatu hari meminta pertimbanganku."Uhm, sekolah ya, Bang?"Ian mengangguk.Saat ini baby triplet sudah berumur lima tahun. Sudah sepantasnya mereka bersosialisasi dengan dunia luar. Tapi kenapa aku yang nggak rela? Kalau mereka sekolah itu artinya waktuku bersama mereka akan jauh berkurang."Abang pikir dengan bersekolah maka mereka juga jadi mengenal dunia luar. Mereka juga butuh bersosialisasi.""Biar nggak kayak kamu kan? Temannya cuma dikit." Sesekali aku memang suka meledek Ian.Ian tersenyum. Dibelainya kepalaku. "Iya, biar nggak kayak Abang," ucapnya mengalah. Dia memang selalu mengalah untukku."Cieee ngambek." Aku tertawa.Dia hanya menatapku sambil memamerkan senyum segarisnya yang khas."Anak-anak emangnya mau, Bang?" tanyaku ragu."Abang yakin mereka pasti mau," ujar Ian mantap. Ian kemudian memanggil tiga bersaudara itu."Sean! Javio! Chiara!"Javio dan Chiara datang bersamaan dalam satu kali p
MELODIMenjadi seorang ibu bukan hanya perkara melahirkan lalu memiliki anak. Lebih dari itu menjadi seorang ibu adalah perjalanan paling menakjubkan dalam hidupku.Aku mengorbankan banyak hal untuk hal menakjubkan itu. Termasuk membatalkan rencana meneruskan S2.Aku sempat merasa sedih karena gagal mewujudkannya. Terlebih ketika melihat feed sosmed teman-teman yang pulang kuliah hangout di mal, ngopi, nonton, atau sekadar window shopping. Namun ketika melihat wajah tiga malaikat kecilku plus bapaknya, semua keinginan tadi sirna. Sean, Javio, serta Chiara jauh lebih berarti ketimbang gelar Melodi Paradisa Evano, SE, MM.Hari ini Amanda datang ke rumah. Dia baru saja pulang kuliah. Aku sedang menyuapi anak-anak makan dibantu oleh baby sitter. Saat ini Sean, Javio dan Chiara sudah berusia tujuh bulan dan telah memasuki masa MPASI sejak satu bulan yang lalu.Aku yang langsung turun tangan ke dapur untuk menyiapkan makanan mereka demi memastikan ketiganya mendapatkan yang terbaik. Bukan
MELODIHari ini rumah kami begitu ramai dan semarak. Tamu-tamu para undangan sudah berdatangan dan menjadikan tiga bayi kembarku dan Ian sebagai pusat atensi."Lucu-lucu ya mereka.""Ih, gemes banget.""Ini gedenya pasti cakep-cakep."Komentar-komentar tersebut berdatangan dari mulut para tamu yang hadir menyaksikan tiga bayi kembar: Sean, Javio dan Chiara.Tidak satu pun dari orang yang datang tidak merasa tertarik pada baby triplet itu. Mereka lucu, manis dan sangat menggemaskan. Tingkahnya membuat hari-hari di rumah kami menjadi lebih berwarna.Hari ini di bangunan megah berarsitektur mediterania milik Papi atau rumahku tersebut sedang digelar acara tedak siten.Acara tersebut begitu meriah. Bukan hanya karena banyaknya para tamu yang hadir, tetapi karena para bayi tersebut terlahir kembar tiga dengan orang tua yang masih belia.Rumah sudah dihias sedemikian rupa, disulap menjadi istana anak-anak yang mewah. Sama seperti aku dan Ian, baby triplet juga mengenakan pakaian adat denga
IANSetelah dua hari berada di rumah sakit hari ini Melodi diizinkan pulang.Rumah kami, maksudku rumah mertuaku terasa jauh lebih hidup. Tangis bayi menggema di mana-mana. Dan Sean adalah bintangnya.Semua penghuni rumah bersukacita. Termasuk Bi Inem dan Pak Pri.Begitu masuk ke kamar bayi kami disambut oleh balon-balon huruf dengan tulisan, 'Welcome babies made in Canada.'Papi memang seniat itu.Siapa sangka keteledoranku dulu membuahkan hasil. Melodi nggak percaya sampai sekarang kalau aku memang nggak sengaja ngeluarinnya di dalam. Tapi serius, aku nggak bohong. Aku memang nggak sengaja. Gara-gara Melodi terlalu nikmat aku jadi telat ngangkat.Hari-hari sebagai ayah pun dimulai. Aku menemani Melodi begadang setiap malam. Si kecil kami bergantian ingin disusui. Ada saja tingkah mereka.Kalau Sean menyusu maka Javio pup, dan Chiara akan menangis karena ingin digendong.Sejujurnya kami memang kewalahan. Tapi aku dan Melodi begitu menikmati masa-masa bahagia itu.Aku pikir Melodi
MELODIIan sudah mengambil cuti sejak kemarin. Kalau sesuai rencana aku akan melahirkan melalui prosedur operasi caesar besok lusa.Semua persiapan sudah dilakukan. Mamilah yang paling repot. Oh iya, jangan lupakan Papi yang paling antusias menyambut babies made in Canada. Sejak tahu akan punya cucu kembar, Papi merenovasi kamar Ian menjadi lebih besar dan menyulapnya menjadi istana bayi.Sampai hari kemarin Mami masih mengisi lemari dengan baju-baju bayi menggemaskan. Mami sama gregetannya denganku. Aku juga membeli banyak baju-baju lucu untuk si triplet. Sampai Ian geleng-geleng kepala melihat tingkahku. Tapi nggak ada yang bisa dilakukannya selain membiarkanku. Ini adalah anugerah luar biasa bagi kami. Dan belum tentu juga aku akan hamil lagi.Sekarang tinggal aku yang harus menyiapkan mental untuk operasi lusa."Dimakan dulu, Princess." Ian meletakkan sepiring apple pie di hadapanku."Thanks, Bang Ian." Aku menjawab tanpa mengalihkan perhatian dari gawai yang berada di tangan. S
MELODIIan benar-benar suami yang bisa diandalkan. Aku tahu dia lelah tapi seperti biasa dia tetap memenuhi permintaanku. Hampir setiap hari aku merengek padanya meminta keinginan yang berbeda, tapi dia nggak pernah mengeluh atau menunjukkan wajah lelah padaku. Pernah tengah malam aku membangunkannya karena aku pengen gelato padahal saat itu sedang hujan deras. Lagi-lagi tanpa mengeluh atau protes Ian mencarikannya. Saat Ian pulang aku malah nggak mau makan gelato tersebut dan membuangnya. Dia juga nggak pernah kesal atau mencoba mensubstitusi dengan yang lain. Aku mendapatkan semua yang kuinginkan dari Ian.Sambil mengusap-usap perut aku menunggu Ian pulang. Semakin besar usia kandunganku aku semakin malas bergerak ke mana-mana. Ruang gerakku hanya seputar rumah. Semingguan ini aku juga semakin sering jalan pagi seperti yang dianjurkan dokter. Ian menemaniku. Dan terkadang kami jalan pagi berempat dengan Mbak Karen dan suaminya.Saat aku sedang melamun Ian muncul membawa cemilanku."
IANHubungan persahabatan Melodi dan Anya akhirnya terputus sejak hari itu. Praktis sahabat Melodi hanya tinggal Amanda. Dan ... aku.Maksudku, sekarang Melodi sudah lebih terbuka padaku. Dia mau berbagi denganku menceritakan hal-hal yang selama ini hanya diceritakan pada sahabatnya.Sejak dia hamil, sejak Greya pergi, sejak fakta tentang Anya terungkap, dan khususnya sejak kami mengakui perasaan masing-masing, Melodi sudah mulai berubah. Hanya sedikit. Dia tetap Melodi yang pemarah dan emosian. Tapi untuk saat ini hal itu sudah cukup untukku."Jadi sampai kapan mau disembunyiin dari Melodi?"Pertanyaan Lakeizia membuatku mengembaIikan fokus pada Greya dan anak-anaknya. Sama seperti manusia dia juga sangat menyayangi anak-anaknya."Entahlah. Mungkin tunggu sampai situasinya tepat dulu," jawabku. Kalau sekarang tentu saja keadaannya belum memungkinkan. Melodi sedang hamil. Aku ingin menjaga perasaannya. Aku sering berpikir kenapa Melodi begitu cemburu pada Greya. Masalahnya Greya buka