enjoy reading ...
"Aku heran dengan kedekatan kalian. Memangnya, sespesial apa kamu bagi Risty?" Baru saja kami turun dari mobil, neneknya Risty sudah melontarkan pertanyaan sesengit ini padaku. Kebetulan Risty sudah melangkah lebih dulu masuk ke dalam rumah bersama Kaika. Sedang Richard dan kedua orang tuanya sudah diturunkan di hotel tempat mereka menginap. "Kami ... hanya sebatas majikan dan bodyguard, Nyonya," ucapku sopan. "Tapi kenapa Risty kelihatan begitu lebih menyanyangi kamu dari pada Richard? Bukankah seharusnya ia lebih menyayangi calon tunangannya itu?" Akibat amarah Risty di Oslo Opera House karena Richard tidak mengizinkanku ikut masuk menonton pertunjukan ballet. suasana hati Risty menjadi tidak kondusif. Aku paham, Risty bersikeras ingin mengajakku masuk ke dalam gedung pertunjukan karena selama ini dia selalu menarikku ada di dekatnya. Dan Richard memisahkan kami untuk pertama kalinya dalam hal profesionalitas dengan sedikit bumbu cinta di dalamnya. "Kami ---" "Jangan ter
Akhirnya Risty kembali pulang setelah aku dan Kak Alfonso menunggunya di ujung jalan masuk komplek perumahan kakek dan neneknya. Dia menepikan mobilnya begitu Kak Alfonso melambaikan tangan. Dia tidak keluar dari bangku kemudi namun aku segera berlari mendekati kaca pintu kemudi untuk memastikan jika Risty baik-baik saja. Jemariku mengetuk kaca jendela berulang kali lalu Risty menurunkannya sedikit. Matanya menatapku degan sorot kecewa bercampur sedih dan itu membuatku merasa sangat bersalah. "Lo dari mana, Ris? Kita berdua bingung nyariin lo!" ucap Kak Alfonso tak sabar yang sudah berdiri di sebelahku. "Nyari angin," jawabnya asal tanpa mau menatap kami berdua. Kak Alfonso berdecak lalu berkacak pinggang, "Lusa tuh lo tunangan, Ris! Pamali pergi jauh sendirian apalagi dalam keadaan lagi emosi!" Nasehat baiknya itu hanya ditanggapi Risty dengan ekspresi masa bodoh. "Gue balik dulu ke rumah Nenek." "Ya udah, hati-hati. Rado biar bareng sama lo sekalian." "Biar jalan sendiri.
Havoy Cruise telah tiba. Di dermaga Svolvaer ini, selain keluarga Risty yang akan berlayar menggunakan kapal pesiar ini, juga ada rombongan lain yang akan naik. Dari penampilan mereka, semuanya terlihat seperti kaum borjuis dengan harta melimpah. Sadar jika sebagai seorang bodyguard itu selevel dengan asisten rumah tangga, aku yang tengah bersandar di bodi mobil sambil menatap keindahan Havoy Cruise, mendapat colekan dari sopir untuk menurunkan koper seluruh keluarga Risty. Dari belakang, aku bisa melihat Richard yang berusaha mengakrabkan diri dengan Risty. Entah itu memakaikan sweater tebalnya di pundak Risty karena angin malam yang berhembus sangat dingin atau meraih jemarinya untuk digenggam. Begitu pintu utama menuju kabin Havoy Cruise terbuka, mereka masuk lebih dulu. Sedang aku dan sopir yang bertugas membawa koper, berjalan paling akhir. Di dalam Havoy Cruise, sudah ada staff kapal pesiar yang bertugas menghandle jenis tiket yang telah dipesan. Lalu rombongan keluarga Rist
"Sejak lo bilang cinta ke gue." Aku semakin terbatuk-batuk ketika mendapati kenyataan bahwa Risty sudah berada di belakangku sejak tadi. Itu artinya dia mendengar semua ungkapan hati ini. Memalukan sekali! Rasa panas akibat anggur merah yang membakar tenggorokan terasa makin menyiksa hingga mataku berair karena terus terbatuk. Lalu Risty berlari menuju bar and restaurant yang ada di cruise ini dan keluar membawa sebotol air mineral. "Buruan minum!" Tanganku segera meraih botol air mineral itu dan meneguknya hingga habis setengah botol. Lumayan untuk mengurangi rasa panas di tenggorokan. Lalu tanganku bergerak mengusap sisa air mata yang masih tersangkut di sudut mata. Gelas kaki berisi sisa red wine milikku masih ada di meja yang sengaja diletakkan di porthand atau ujung cruise ini. Risty bersedekap sambil berdiri dengan mata menatap lekat ketika aku sudah tidak terbatuk seperti tadi. Dari bahasa tubuhnya saja kentara sekali jika ia sedang menunggu aku siap untuk dibombardir deng
"Jangan bikin gue besar rasa, Ris." Risty tersenyum lebar dengan mata menatapku lekat. Lalu ia menarik sangah tangannya kemudian bersedekap. "Gue cuma pengen tahu aja apa isi hati lo ke gue, Do." "Nggak penting," jawabku acuh kemudian meneguk kopi panas yang baru saja pramusaji bar and restaurant cruise ini sajikan untuk kami. "Tapi penting buat gue." Usai menyesap kopi itu sedikit, aku kembali menoleh ke Risty yang tidak memutus perhatiannya. Hingga kedua mata kami beradu dan saling mengunci. Namun itu hanya beberapa detik saja kemudian aku memilih memutus pandangan. "Lo mau tunangan sama Richard, Ris. Nggak penting untuk tahu gimana perasaan gue ke lo." "Lo mau tahu gimana perasaan gue ke lo setelah lo curhat sama angin malam tadi?" Lagi, aku menoleh dengan sorot ingin tahu padanya yang masih setia memandangku. "Kita saling terbuka tentang perasaan masing-masing. Lo tahu perasaan gue saat ini tapi lo juga harus bilang perasaan lo ke gue, Do." "Apa untungnya buat kita pa
"Kalau lo mau, gue bisa nekat ngajak lo lari dari pertunangan besok, Ris." Risty tersenyum dengan wajah cerah lalu berdiri di hadapanku dengan jemari kami saling bertaut. Jika dulu aku nekat meniduri kakak ipar karena cinta yang terbungkus nafsu, maka kali ini tidak demikian. Aku ingin cintaku dan Risty yang terjalin secara alami ini hanya terbungkus oleh cinta yang suci. Tak akan kunodai seperti dulu. Mataku terus menatap wajahnya tanpa teralihkan sedikitpun. Dia ibarat satu tujuan yang menjadi target utama yang tidak akan kulepaskan. Perempuan terindahku.Seperti macan jantan yang mengintai mangsa terindah dari balik semak-semak. Apapun gerakan Risty tidak luput dari pandanganku, sekalipun senyumannya. Andai diizinkan menangkup wajahnya yang tersenyum menggemaskan seperti ini, detik ini juga akan kulakukan. Risty kemudian berjinjit sembari mendekatkan wajahnya ke telinga kiriku. "Gue tunggu besok, Rado," bisiknya. Hembusan nafasnya yang menyentuh kulit telinga seperti sebuah ra
Aku menegakkan badan lalu mengusap air putih yang membasahi wajah dan sebagian leher sweater. Jantungku juga berdetak tidak karuan usai mendapat siraman air dari tangan neneknya Risty. Lalu otak berkelana mencari tahu dimana titik kesalahanku. Ketika mata kami saling bertemu, neneknya Risty menatapku dengan raut dipenuhi emosi. Kedua matanya membulat sempurna dengan dada kembang kempis. "Bodyguard nggak tahu diri! Kamu nggak punya malu, heh?!" teriak beliau dengan menunjuk mukaku berulang kali. Sedang Paman Piere hanya duduk sambil bersedekap dan menaikkan kaki kiri ke paha kaki kanan sembari menatapku dengan sorot acuh. Aku memberanikan diri membuka suara dengan tetap berdiri di hadapan mereka. "Apa salah saya, Nyonya?" "Apa salahmu? Kamu itu benar-benar pandai memutarbalikkan kenyataan!" "Setidaknya Nyonya mengatakan pada saya dimana titik kesalahan yang saya perbuat," belaku. "Piere, kasih tahu apa kesalahan bodyguard sialan ini!" Paman Piere merogoh ponsel dari saku celana
"Risty, duduk! Jangan permalukan keluarga kita dihadapan keluarga Richard dan para pengunjung cruise VIP yang sengaja Paman undang untuk menyaksikan pertunanganmu dengan Richard!" bisik Paman Piere. Risty menoleh dengan ekspresi tidak senang lalu Paman Piere kembali berbisik. "Paman tahu apa yang kamu lakukan dengan Rado semalam! Jadi, jangan membuat Nenekmu menanggung malu di hadapan banyak orang, seperti yang pernah Mamamu lakukan pada Papamu di hadapan keluarga besar!" "Berselingkuh dengan sopir keluarga hingga hamil tapi mengaku itu anak Papamu. Jangan ikuti jejaknya dan lakukan pertunangan ini sesuai rencana." Risty mengalihkan perhatian dengan ekspresi salah tingkah karena apa yang kami lakukan semalam diketahui oleh Paman Piere. Aku yakin, dia ingin memberontak lepas dari acara pertunangannya dengan Richard. Tapi, sepertinya itu akan sulit terjadi karena Paman Piere telah mewanti-wanti. "Paman, aku dan Rado ---" "Sudah. Ayo duduk!" Richard yang melihat gelagat janggal R