enjoy reading ...
"Jangan bikin gue besar rasa, Ris." Risty tersenyum lebar dengan mata menatapku lekat. Lalu ia menarik sangah tangannya kemudian bersedekap. "Gue cuma pengen tahu aja apa isi hati lo ke gue, Do." "Nggak penting," jawabku acuh kemudian meneguk kopi panas yang baru saja pramusaji bar and restaurant cruise ini sajikan untuk kami. "Tapi penting buat gue." Usai menyesap kopi itu sedikit, aku kembali menoleh ke Risty yang tidak memutus perhatiannya. Hingga kedua mata kami beradu dan saling mengunci. Namun itu hanya beberapa detik saja kemudian aku memilih memutus pandangan. "Lo mau tunangan sama Richard, Ris. Nggak penting untuk tahu gimana perasaan gue ke lo." "Lo mau tahu gimana perasaan gue ke lo setelah lo curhat sama angin malam tadi?" Lagi, aku menoleh dengan sorot ingin tahu padanya yang masih setia memandangku. "Kita saling terbuka tentang perasaan masing-masing. Lo tahu perasaan gue saat ini tapi lo juga harus bilang perasaan lo ke gue, Do." "Apa untungnya buat kita pa
"Kalau lo mau, gue bisa nekat ngajak lo lari dari pertunangan besok, Ris." Risty tersenyum dengan wajah cerah lalu berdiri di hadapanku dengan jemari kami saling bertaut. Jika dulu aku nekat meniduri kakak ipar karena cinta yang terbungkus nafsu, maka kali ini tidak demikian. Aku ingin cintaku dan Risty yang terjalin secara alami ini hanya terbungkus oleh cinta yang suci. Tak akan kunodai seperti dulu. Mataku terus menatap wajahnya tanpa teralihkan sedikitpun. Dia ibarat satu tujuan yang menjadi target utama yang tidak akan kulepaskan. Perempuan terindahku.Seperti macan jantan yang mengintai mangsa terindah dari balik semak-semak. Apapun gerakan Risty tidak luput dari pandanganku, sekalipun senyumannya. Andai diizinkan menangkup wajahnya yang tersenyum menggemaskan seperti ini, detik ini juga akan kulakukan. Risty kemudian berjinjit sembari mendekatkan wajahnya ke telinga kiriku. "Gue tunggu besok, Rado," bisiknya. Hembusan nafasnya yang menyentuh kulit telinga seperti sebuah ra
Aku menegakkan badan lalu mengusap air putih yang membasahi wajah dan sebagian leher sweater. Jantungku juga berdetak tidak karuan usai mendapat siraman air dari tangan neneknya Risty. Lalu otak berkelana mencari tahu dimana titik kesalahanku. Ketika mata kami saling bertemu, neneknya Risty menatapku dengan raut dipenuhi emosi. Kedua matanya membulat sempurna dengan dada kembang kempis. "Bodyguard nggak tahu diri! Kamu nggak punya malu, heh?!" teriak beliau dengan menunjuk mukaku berulang kali. Sedang Paman Piere hanya duduk sambil bersedekap dan menaikkan kaki kiri ke paha kaki kanan sembari menatapku dengan sorot acuh. Aku memberanikan diri membuka suara dengan tetap berdiri di hadapan mereka. "Apa salah saya, Nyonya?" "Apa salahmu? Kamu itu benar-benar pandai memutarbalikkan kenyataan!" "Setidaknya Nyonya mengatakan pada saya dimana titik kesalahan yang saya perbuat," belaku. "Piere, kasih tahu apa kesalahan bodyguard sialan ini!" Paman Piere merogoh ponsel dari saku celana
"Risty, duduk! Jangan permalukan keluarga kita dihadapan keluarga Richard dan para pengunjung cruise VIP yang sengaja Paman undang untuk menyaksikan pertunanganmu dengan Richard!" bisik Paman Piere. Risty menoleh dengan ekspresi tidak senang lalu Paman Piere kembali berbisik. "Paman tahu apa yang kamu lakukan dengan Rado semalam! Jadi, jangan membuat Nenekmu menanggung malu di hadapan banyak orang, seperti yang pernah Mamamu lakukan pada Papamu di hadapan keluarga besar!" "Berselingkuh dengan sopir keluarga hingga hamil tapi mengaku itu anak Papamu. Jangan ikuti jejaknya dan lakukan pertunangan ini sesuai rencana." Risty mengalihkan perhatian dengan ekspresi salah tingkah karena apa yang kami lakukan semalam diketahui oleh Paman Piere. Aku yakin, dia ingin memberontak lepas dari acara pertunangannya dengan Richard. Tapi, sepertinya itu akan sulit terjadi karena Paman Piere telah mewanti-wanti. "Paman, aku dan Rado ---" "Sudah. Ayo duduk!" Richard yang melihat gelagat janggal R
“Rado, bisa kita bicara sebentar?” Aku yang sedang fokus menatap beriak air yang menghantam bagian bawah cruise ini pun menoleh. Ternyata Paman Piere sudah berdiri di belakangku dengan memasukkan kedua tangan ke dalam saku celana hitamnya. Lelaki dengan paras blasteran Indonesia-Norwegia itu menatapku dengan sorot datar namun tajam. Sama denganku yang memiliki perawakan wajah dingin dan acuh, berbalik menatap Paman Piere tanpa rasa gentar. “Sejak kapan kamu dan Risty punya hubungan terlarang kayak gini?!” “Sejak semalam, Paman.” Paman Piere kemudian mendengus dan tersenyum remeh sambil menoleh ke kanan. Angin dan cuaca lembut di dermaga Tromso seakan mendukung percakapan kami pagi ini di atas porthand Havoy Cruise. “Apa yang kamu tawarkan pada Risty sampai dia mau memelukmu, heh?! Apa kamu meracuni pikirannya dengan menjelek-jelekkan reputasi Richard?!” Kepalaku menggeleng tegas, “Tanpa menjelek-jelekkan Richard di hadapan Risty, saya bisa mendapatkan hatinya, Paman.” “Rado!” p
"Risty?" Mataku membola melihat kedatangannya yang tetiba. Lalu tanpa aba-aba, dengan wajah bersungut kesal, ia membuka suara lantang."Kenapa lo nggak tepat janji, Do? Apa lo sengaja pengen mempermainin perasaan gue? Apa lo sengaja pengen ngetes gimana perasaan gue ke lo yang sebenarnya?! Iya?!" emosinya terlihat jelas di wajah. Aku tahu, dia sedang marah dan kecewa karena aku tidak menepati janji untuk membawanya pergi dari pertunangannya tadi bersama Richard. Bagaimana lagi, aku tidak memiliki pilihan selain mundur.Kepalaku menggeleng pelan dengan menatapnya sendu. "Gue nggak punya niatan mempermainin perasaan lo, Ris." "Lalu, kenapa lo cuma diem aja waktu semua orang nyuruh gue nerima lamaran Richard, heh?! Kenapa lo diem aja, bodoh?!" teriak Risty marah. Lalu dia maju dan melayangkan pukulan bertubi-tubi ke dadaku. Kubiarkan dia melampiaskan kekesalannya meski dadaku terasa sakit menerima serangannya. "Gue benci lo, Rado! Lo permainin gue! Sialan lo! Mati sana lo kalau git
Kunikmati ciuman pertama sekaligus terakhir ini hingga tidak ada tanda-tanda ingin mengakhirinya. Risty pun sama, dia masih mengalungkan tangannya di leherku. Tanganku masih mendekap pinggang rampingnya agar tidak berjarak sedikit pun dari tubuhku. Bahkan aku membiarkan dia merasakan bukti kelelakianku mengeras dan mengenai perutnya. Ketika cruise bergerak karena sapuan gelombang air laut, barulah kusudahi ciuman kami. Hingga aku bisa melihat wajah Risty yang memerah malu. “Rado?” “Apa?” “Lo nggak berubah pikiran setelah menikmati ciuman kita?” Wajahnya menyiratkan permohonan agar aku maju ke Paman Piere untuk membatalkan pertunangannya dengan Richard. Lalu jemari kanakku mengusap sudut bibirnya yang seksi lalu memberi satu kecupan kecil disana dan Risty tidak memberontak. Ia justru tersenyum imut. “Maaf, Ris.” Kepalanya mengangguk paham lalu ekspresi wajahnya berubah sedih. “Gue juga sakit kalau lo nggak tahu, Ris. Melepas lo tuh nggak semudah membalik telapak tangan, tapi …
Lima tahun kemudian ... Penerbangan kelas eksekutif yang kami tumpangi telah tiba di Bandara Changi, Singapura. Usai semua penumpang berharta melimpah itu keluar, aku segera berdiri di depan bos dengan beliau berada di belakangku. Dan satu bodyguard yang lain berdiri di belakang bos kami. Mengenakan topi, jaket, baju, celana, dan sepatu hitam serta alat komunikasi yang terpasang di telinga kanan untuk saling berkomunikasi. Kemudian aku berjalan lebih dulu untuk memastikan jika di depan tidak ada gangguan yang mengancam nyawa bos kami. Aku dan Andry adalah bodyguard yang dipekerjakan oleh perusahaan asing di Jakarta untuk melindungi bos kami kemanapun beliau pergi. Maklum saja, beliau merupakan salah satu deputi penting perusahaan yang memiliki kekayaan melimpah. Begitu kaki kami menapaki lantai bandara, aku dan Andry segera menggiring langkah bos dengan cepat menuju lobby bandara dengan mata tajam melihat kesana kemari untuk memastikan keamanannya. Mobil mini bus putih mewah kelua
Akhirnya persidangan perceraian Risty dan Richard selesai digelar. Perjuangan berat dan besar Kak Alfonso memenangkan harta Risty yang tidak seharusnya dibagi akhirnya dikabulkan oleh pengadilan. Richard mendapatkan harta gono gini namun tidak dengan warisan Risty dari Papanya yang telah tiada. Walau begitu, masih ada masalah lain yang belum terselesaikan tapi Risty memilih untuk mundur. "Aku mundur, Mas Al," ucapnya pada Kak Alfonso. Aku, Risty, Kak Alfonso, dan pengacaranya sedang duduk bersama di ruang tamu rumah Mas Kian untuk membahas hasil persidangan hari ini. Kemudian Risty meletakkan berkas pengadilan yang tebal itu di meja kaca ruang tamu. "Aku bertekad mandiri, Mas Al. Masalah warisanku yang masih dikuasai Nenek dan Kakek, aku nggak peduli lagi. Terserah mau mereka apakan harta Papa." Kak Alfonso memandang Risty tidak habis pikir. "Ris, itu hakmu. Warisan itu bisa kamu pakai untuk modal bisnismu." "Lalu berjuang lagi di pengadilan? Aku lelah, Mas Al." "Kakek da
Perceraian Risty sudah diserahkan pada pengacara kepercayaan Kak Alfonso. Dia hanya tidak mau waktunya terkuras habis memikirkan perceraian yang diprediksi bakal alot itu. “Aku mau perceraian kami tahu beres, Mas. Masa bodoh sama harta dan warisan itu. Yang penting aku bisa lepas dulu dari Richard,” ucap Risty malam itu di rumah Mas Kian. “Apa yang jadi hakmu bakal aku perjuangin sama pengacara, Ris.” Kepala Risty mengangguk, “Makasih, Mas. Tapi aku nggak berharap banyak.” “Belum dicoba. Jangan pesimis dulu.” Aku yakin jika Kak Alfonso bisa membantu Risty memenangkan perceraian itu secara adil Semoga saja karena Risty benar-benar seperti perempuan tanpa keluarga. Bahkan Risty merelakan warisan dari Papanya jatuh ke tangan nenek kakeknya karen tetap memilih bercerai dari Richard. Apapun konsekuensinya Risty sudah pasrah dan memilih menjalani kehidupan selanjutnya sesuai versi dan kemampuannya sendiri. Kini, ia jauh lebih selektif menggunakan uang dari pada biasanya. Sudah pasti k
"Nenek dan kakek nggak akan percaya gitu aja sama ucapanmu, Ris! Kecuali kamu punya bukti kalau Richard memang main perempuan kayak tuduhanmu!" Neneknya berseru tidak terima dengan menatap Risty tajam. "Aku malas kalau harus buka cctv rumah, Nek. Buat apa aku menenggelamkan diri ke tempat yang selama ini cuma bikin aku menderita. Itu bukan rumah, tapi ne-ra-ka!""Itu artinya kamu cuma fitnah! Bisa bicara tapi nggak ada bukti yang nyata! Ini lebih kejam dari pembunuhan, Ris! Apalagi yang kamu fitnah itu suamimu sendiri!" giliran Ibunya Richard yang berseru tidak terima dengan menunjuk wajah Risty.Risty menatap semua yang ada di ruangan ini lalu berdiri dari duduknya. Kemudian aku ikut berdiri. "Silahkan kalian lihat dan cek sendiri. Masih ada di cctv rumah. Jangan suruh aku ngurusin hal sam-pah kayak gitu! Aku muak! Lebih muak lagi menjadi anggota keluarga ini!" ucapnya sungguh-sungguh dengan hati kesal sekali. Kemudian ia menatap nenek dan kakeknya bergantian. "Kalau nenek dan kak
Malam ini, Mas Kian mengizinkanku tidur di rumahnya dengan alasan harus menjaga Risty yang tidak stabil emosinya. Sekaligus ingin berbicara empat mata dengan Mas Kian tentang perasaanku pada istrinya, Mbak Sasha, yang kini sudah tidak ada lagi. Berharap Mas Kian tidak perlu khawatir aku akan melakukan hal tidak benar seperti masa lalu pada istrinya."Hatiku benar-benar udah buat Risty, Mas. Udah nggak ada lagi cinta buat Mbak Sasha. Tapi, demi kebaikan bersama, setelah kakek neneknya Risty tiba di Indonesia, aku bakal balik ke apartemen." Kepala Mas Kian mengangguk pelan. Kami tengah duduk bersama di dapur, malam-malam begini. Membicarakan urusan lelaki."Apapun itu, Do. Mas akan dukung selama kamu bisa mengendalikan isi hatimu pada orang yang nggak seharusnya. Oh ya, kapan kakek neneknya Risty datang ke Indonesia?" "Diusahakan secepatnya sama Kak Al." Keesokan harinya, aku sengaja mengetuk pintu kamar Risty lebih dulu sambil membawa segelas susu hangat. Semoga saja dia sudah bangu
"Rado, kamu dimana? Risty mengurung diri di kamar. Mas takut dia nekat!" ucap Mas Kian melalui sambungan telfon dengan suara panik. Bulu kudukku meremang begitu mendengar ucapan Mas Kian. Apa Risty berpikir ingin mengakhiri hidupnya? Astaga, Tuhan! Tolong halangi Risty melakukan itu! Baru saja aku selesai membuat kesepakatan dan negoisasi dengan Richard tentang pernikahan mereka, mengapa Risty justru seperti ini? "Mas, coba terus bujuk Risty biar buka pintunya! Aku kesana sekarang!" "Oke. Cepat, Do!" Aku segera memasukkan ponsel ke dalam saku celana lalu memasang helm. Melihatku yang tergesa-gesa, Kak Alfonso kemudian membuka suara. "Kenapa, Do?" "Risty nggak mau buka pintu kamarnya, Kak." "Apa?!" Kak Alfonso ikut terkejut. "Aku balik dulu. Makasih untuk bantuannya malam ini." Aku segera melajukan motor sport milikku menuju kediaman Mas Kian. Meninggalkan Kak Alfonso dan para bodyguardnya yang masih bersiap kembali pulang. Semoga jalanan tidak terlalu macet karena ini ham
"Rado, aku bilang pu-lang!" Risty kembali memekik di ujung sambungan telfon. Aku membasahi bibir sambil berperang dengan pikiran sendiri. "Sekali lagi aku tegasin kalau aku nggak cinta kamu! Jadi, jangan bahayakan dirimu demi aku! Nggak usah berjuang terlalu dalam demi aku karena nggak pernah ada cinta di hatiku buat kamu!" Serius kah Risty berkata demikian? Benarkah dia tidak mencintaiku barang setitik pun? Kenyamanan yang selama ini kuberikan dan segenap perhatian? "Aku tahu, kalau yang paling jatuh cinta tuh aku, Ris. Aku cinta kamu, sangat! Karena aku cinta kamu, aku putusin untuk ngasih satu kenangan yang bikin kamu bisa selalu ingat sama siapa itu Rado. Kenangan baik yang bikin kamu ingat aku dan bikin kamu bisa lepas dari pernikahan yang cuma bisa bikin kamu tertekan." "Bodoh! Aku bilang balik, Rado!" Kepalaku menggeleng dengan telfon masih menempel di telinga. "Sekali ini aja, Ris. Biar aku bantu kamu lepas dari Richard." "Kalau tahu begini, mending kamu nggak usah
"Aborsi."Kedua mataku membelalak tidak percaya mendengar pengakuan Risty. "Aku pernah hamil anaknya Richard. Karena aku benci sama dia dan pernikahan kami, akhirnya aku mutusin untuk ... aborsi, Do.""Ris?" panggilku lirih dengan kepala menggeleng tidak percaya. "Kenapa? Apa kamu mikir aku gila? Tukang tega?" ucapnya lirih dengan sorot sendu.Aku hanya memandang Risty tanpa berani berkata-kata lagi. Takut melukai egonya yang sudah lama terluka karena pernikahannya dengan Richard. Khawatir dia tidak nyaman jika aku terlalu menghakimi perbuatannya. Karena aku yakin Risty melakukan aborsi itu karena ada alasannya. "Waktu itu aku mikirnya, kehamilan ini terjadi karena Richard ngasih aku obat perangsang berkali-kali. Lalu, apa yang harus aku lakuin selain gugurin anak ini.""Aku nggak mau anak itu nanti hidup di dalam keluarga yang toxic. Keluarga yang nggak pernah ada cinta di dalamnya. Karena sampai kapanpun aku nggak akan bisa mencintai Richard atau nerima dia sebagai suami sebenarn
Hatiku takluk karena Risty memelukku dari belakang seerat ini. Amarah yang tadinya membumbung tinggi, mendadak tenggelam oleh sentuhannya yang sangat kudamba. Kepalaku menunduk lalu melihat eratan jemari indahnya yang melingkari perutku. Perlahan aku menyentuh tangannya itu. Apakah ini benar atau hanya tipuan? Benarkah Risty memintaku tetap ada di sisinya? "Jangan marah kayak tadi lagi, Do. Aku takut. Lalu, kalau kamu pergi, aku hidup sama siapa? Aku udah keluar dari rumah. Udah mengingkari janji pernikahanku sama Richard. Dan sekarang, aku cuma punya kamu. Please, jangan pergi." Aku pergi meninggalkan Risty? Itu tidak mungkin. Kecuali dia yang menyuruhku pergi. "Maaf, Ris. Tadi aku kebawa emosi," ucapku dengan mengusap tangannya lembut yang masih melingkari perutku. Bagaimana tidak emosi jika Risty menganggap keseriusanku tadi sebagai guyonan semata. Kemudian ia melepas tangannya lalu berjalan ke depanku. "Aku nggak tahu apa aku cinta kamu atau nggak. Yang pasti untuk
Di apartemenku yang sederhana, aku mengundang Risty untuk bermalam di sini usai melepaskan diri dari pernikahan beracunnya dengan Richard. Risty merebahkan tubuhnya di sofa panjang sambil memejamkan mata usai aku meletakkan kopernya. "Mau makan apa, Ris?" tanyaku dengan duduk di single sofa. "Tidur." Lalu Risty memiringkan tubuhnya ke kanan dengan nyaman. Kemudian senyumku terbit melihat tingkahnya yang masih saja menggemaskan. Meski perabotan di apartemenku tidak semewah di rumahnya, aku bersyukur Risty tidak merasa terganggu. "Aku keluar bentar. Beli stok isi kulkas. Kamu di sini atau ikut?" Risty membalik tubuhnya lalu menghadapku sambil berbaring. "Apa lo bilang? Kamu? Aku?" Kepalaku mengangguk karena telah merubah panggilan ke Risty dengan sebutan lebih akrab. "Kesambet angin apaan lo berubah seratus delapan puluh derajat?" ucapnya dengan senyum tipis sarat akan ejekan.Aku mengangkat bahu santai sambil menatapnya."Aku cuma mau membiasakan diri manggil kamu dengan sebut