enjoy reading ...
Kunikmati ciuman pertama sekaligus terakhir ini hingga tidak ada tanda-tanda ingin mengakhirinya. Risty pun sama, dia masih mengalungkan tangannya di leherku. Tanganku masih mendekap pinggang rampingnya agar tidak berjarak sedikit pun dari tubuhku. Bahkan aku membiarkan dia merasakan bukti kelelakianku mengeras dan mengenai perutnya. Ketika cruise bergerak karena sapuan gelombang air laut, barulah kusudahi ciuman kami. Hingga aku bisa melihat wajah Risty yang memerah malu. “Rado?” “Apa?” “Lo nggak berubah pikiran setelah menikmati ciuman kita?” Wajahnya menyiratkan permohonan agar aku maju ke Paman Piere untuk membatalkan pertunangannya dengan Richard. Lalu jemari kanakku mengusap sudut bibirnya yang seksi lalu memberi satu kecupan kecil disana dan Risty tidak memberontak. Ia justru tersenyum imut. “Maaf, Ris.” Kepalanya mengangguk paham lalu ekspresi wajahnya berubah sedih. “Gue juga sakit kalau lo nggak tahu, Ris. Melepas lo tuh nggak semudah membalik telapak tangan, tapi …
Lima tahun kemudian ... Penerbangan kelas eksekutif yang kami tumpangi telah tiba di Bandara Changi, Singapura. Usai semua penumpang berharta melimpah itu keluar, aku segera berdiri di depan bos dengan beliau berada di belakangku. Dan satu bodyguard yang lain berdiri di belakang bos kami. Mengenakan topi, jaket, baju, celana, dan sepatu hitam serta alat komunikasi yang terpasang di telinga kanan untuk saling berkomunikasi. Kemudian aku berjalan lebih dulu untuk memastikan jika di depan tidak ada gangguan yang mengancam nyawa bos kami. Aku dan Andry adalah bodyguard yang dipekerjakan oleh perusahaan asing di Jakarta untuk melindungi bos kami kemanapun beliau pergi. Maklum saja, beliau merupakan salah satu deputi penting perusahaan yang memiliki kekayaan melimpah. Begitu kaki kami menapaki lantai bandara, aku dan Andry segera menggiring langkah bos dengan cepat menuju lobby bandara dengan mata tajam melihat kesana kemari untuk memastikan keamanannya. Mobil mini bus putih mewah kelua
Berdansa dengan para wanita malam dan hampir mabuk.Ini adalah hal gila pertama yang kulakukan selama hidup dua puluh enam tahun ini. Jika bukan karena Andry yang menarikku kemari dengan alibi untuk menikmati surga dunia, mungkin aku hanya akan di kamar hotel."Hai, beatiful," sapaku tanpa tahu malu dengan kesadaran tinggal setengah. Perempuan cantik berpakaian seksi itu terus menari di depanku dengan erotisnya mengikuti dentuman lagu bar. Jika sudah malam seperti ini, bar hotel bintang lima ini menampakkan wajah aslinya. Gemerlap lampu bar, penuh perempuan malam berpakaian kurang bahan, lelaki haus belaian, dan banyak hal lainnya. "You want me?" tanyanya dengan kerlingan nakal dan tubuh yang sengaja didekatkan padaku. Reflek sisi kelelakianku tergugah tanpa mengindahkan baik buruk efeknya di kemudian hari. Dia sengaja membusungkan dadanya dan meletakkan kedua tanganku di pinggangnya. Tatapan kami tidak berpindah sedikit pun kemudian ia memberiku ciuman singkat di bibir.Dengan na
Pasangan? Lupakan! Aku tidak membutuhkan perempuan! Bagiku untuk apa berhubungan dengan para perempuan jika pada akhirnya dipisahkan? Dijauhkan? Lalu membuat luka di dalam dada? Seperti kata Pak Chang kemarin, aku akan menemani beliau dengan kedua anak kembarnya ke Maldives untuk berlibur. Tanpa istri Pak Chang. Di sebuah apartemen yang berada di kawasan Daan Mogot, aku tengah mengemasi pakaian ke dalam koper. Sudah dua tahun aku tinggal di apartemen ini setelah Mas Kian lelah menyuruh orang untuk terus mengikutiku. Karena aku pasti akan berpindah-pindah apartemen untuk membuat Mas Kian terus kehilangan jejakku. Dan akhirnya, ia menyerah. Ya, lima tahun ini aku memilih untuk menarik diri dari apapun yang membuatku terhubung dengan masa lalu dan keluarga. Aku hanya ingin membuka lembaran baru dengan gangguan mental attachment disorder yang sudah bisa kuatasi dengan baik. Lalu ponselku yang berada di atas kasur, berbunyi nyaring. Kupikir itu dari Pak Chang, ternyata dari ... "Mas
Tanganku bergerak untuk membuat topi hitam yang terpasang di kepala sedikit lebih menutupi wajah dengan membuat bagian depannya lebih turun. Kemudian kakiku melangkah lebar menuju apotek dengan perasaan tidak karuan. Lebih tepatnya takut jika bertemu 'dia' kembali. Aku mengangsurkan kotak obat pada petugas apotek dan meminta untuk cepat diambilkan. Pandanganku tidak beralih sedikit pun dari perempuan yang sedang mengambilkan obat untuk putri Pak Chang. Otak terus memberi perintah agar mataku tidak melirik ke kanan kiri. Bahaya jika apa yang kulihat bisa membangkitkan kenangan lama yang selama lima tahun ini berusaha kukubur rapat-rapat. Di dalam apotek ini, aku memiliki banyak kenangan dengan 'dia'. Begitu obatnya sudah di kasir, aku segera mengulurkan dua lembar uang berwarna merah dan menerima kembaliannya. Tanpa basa basi aku segera kembali ke mobil dengan nafas naik turun lalu mengulurkan obatnya dengan sopan pada baby sitter putri Pak Chang. "Kamu kenapa, Do?" "Oh, tidak ke
"Ny ... Nyonya?" gumamku terbata-bata dengan pandangan tertuju ke depan. Wanita berusia lebih dari lima puluh tahun itu menatap dengan sorot sama terkejutnya denganku. Sudah lima tahun lamanya kami tidak pernah bertemu sama sekali. Aku pernah berjanjii di hadapannya jika tidak akan pernah menampakkan diri. Tapi mengapa kini takdir membuatku kembali bertemu dengannya? "Rado?" Rupanya beliau masih ingat dengan wajahku padahal saat itu kami hanya bertemu selama satu minggu saja. Dan betapa bagus ingatan beliau hingga tidak melupakan wajahku sama sekali meski penampilanku sudah berubah. Kemudian matanya tertuju pada Elicia yang berdiri di sebelahku dan tangan kami saling bergandengan. "Apa dia ... putrimu?" Bukannya menjawab, guncangan tangan Elicia membuatku menoleh padanya. "Gelangku mana?" Aku teringat akan tujuan kami yang hendak mengambil gelang Elicia yang terjatuh di dekat koper wanita paruh baya yang berdiri di hadapanku ini. "M ... maaf, saya hanya ingin mengambil ge
"Aku punya banyak uang bahkan untuk membeli celana dalammu, Tuan!" Mataku hampir membelalak tidak percaya melihat siapa yang kini sedang berbicara dengan sombongnya di hadapan kami berdua. Risty. "Maaf, saya tidak punya urusan dengan anda," jawab Pak Chang dingin. "But, I have!" Risty justru berlagak menantang. "What's problem? Kita nggak saling kenal." "Setidaknya anda harus mengucapkan terima kasih pada laki-laki yang udah menyelamatkan nyawa kedua anak anda! Bukan memarahinya seperti orang tidak berguna! Dimana hatimu, Tuan?! Sudah mengeras? Sudah tidak memiliki empati karena sering dilukai?" Risty dan segala keberaniannya adalah hal yang tidak pernah terbantah sejak kami kenal hingga saat ini. Bahkan dengan penampilannya yang jauh lebih dewasa, kini ia menjelma menjadi perempuan cantik mempesona, dan bijaksana. "Tolong pergi, Nona. Anda bukan tamu saya," usir Pak Chang. "Rado, lo tahu dimana harus nemuin gue setelah ini. Dan satu lagi, mending lo lepas dari bos yang nggak
"Tumben ke gelanggang?" Aku menghentikan tinjuan ke samsak begitu sebuah suara yang sangat familiar bertanya. Kemudian aku sedikit membungkukkan tubuh dengan nafas masih berkejar-kejaran dan peluh yang membasahi sekujur tubuh. "Istirahat dulu. Dari tadi aku perhatiin, kamu nggak ada berhentinya ninju samsak." Kepalaku mengangguk pada senior di gelanggang ini, Pak Teguh. Lalu mengikuti langkah kakinya hingga kami duduk bersama di kursi panjang yang ada di tepian gelanggang ini. Beliau menyodorkan sebotol air mineral yang tidak terlalu dingin lalu aku meneguknya hingga tersisa setengah. "Kamu ada masalah, Do?" Aku memilih diam sambil memandang air mineral yang ada di dalam botol. "Apapun masalahnya, kamu boleh melampiaskannya ke samsak gelanggang ini bahkan sampai samsak itu hancur pun aku nggak masalah. Tapi, jangan lupa untuk menyelasaikan apa yang jadi masalahmu, anak muda." Sudah dua minggu ini aku rajin mengunjungi gelanggang yang dulu sering kugunakan untuk mengasah ke