enjoy reading ...
Tanganku bergerak untuk membuat topi hitam yang terpasang di kepala sedikit lebih menutupi wajah dengan membuat bagian depannya lebih turun. Kemudian kakiku melangkah lebar menuju apotek dengan perasaan tidak karuan. Lebih tepatnya takut jika bertemu 'dia' kembali. Aku mengangsurkan kotak obat pada petugas apotek dan meminta untuk cepat diambilkan. Pandanganku tidak beralih sedikit pun dari perempuan yang sedang mengambilkan obat untuk putri Pak Chang. Otak terus memberi perintah agar mataku tidak melirik ke kanan kiri. Bahaya jika apa yang kulihat bisa membangkitkan kenangan lama yang selama lima tahun ini berusaha kukubur rapat-rapat. Di dalam apotek ini, aku memiliki banyak kenangan dengan 'dia'. Begitu obatnya sudah di kasir, aku segera mengulurkan dua lembar uang berwarna merah dan menerima kembaliannya. Tanpa basa basi aku segera kembali ke mobil dengan nafas naik turun lalu mengulurkan obatnya dengan sopan pada baby sitter putri Pak Chang. "Kamu kenapa, Do?" "Oh, tidak ke
"Ny ... Nyonya?" gumamku terbata-bata dengan pandangan tertuju ke depan. Wanita berusia lebih dari lima puluh tahun itu menatap dengan sorot sama terkejutnya denganku. Sudah lima tahun lamanya kami tidak pernah bertemu sama sekali. Aku pernah berjanjii di hadapannya jika tidak akan pernah menampakkan diri. Tapi mengapa kini takdir membuatku kembali bertemu dengannya? "Rado?" Rupanya beliau masih ingat dengan wajahku padahal saat itu kami hanya bertemu selama satu minggu saja. Dan betapa bagus ingatan beliau hingga tidak melupakan wajahku sama sekali meski penampilanku sudah berubah. Kemudian matanya tertuju pada Elicia yang berdiri di sebelahku dan tangan kami saling bergandengan. "Apa dia ... putrimu?" Bukannya menjawab, guncangan tangan Elicia membuatku menoleh padanya. "Gelangku mana?" Aku teringat akan tujuan kami yang hendak mengambil gelang Elicia yang terjatuh di dekat koper wanita paruh baya yang berdiri di hadapanku ini. "M ... maaf, saya hanya ingin mengambil ge
"Aku punya banyak uang bahkan untuk membeli celana dalammu, Tuan!" Mataku hampir membelalak tidak percaya melihat siapa yang kini sedang berbicara dengan sombongnya di hadapan kami berdua. Risty. "Maaf, saya tidak punya urusan dengan anda," jawab Pak Chang dingin. "But, I have!" Risty justru berlagak menantang. "What's problem? Kita nggak saling kenal." "Setidaknya anda harus mengucapkan terima kasih pada laki-laki yang udah menyelamatkan nyawa kedua anak anda! Bukan memarahinya seperti orang tidak berguna! Dimana hatimu, Tuan?! Sudah mengeras? Sudah tidak memiliki empati karena sering dilukai?" Risty dan segala keberaniannya adalah hal yang tidak pernah terbantah sejak kami kenal hingga saat ini. Bahkan dengan penampilannya yang jauh lebih dewasa, kini ia menjelma menjadi perempuan cantik mempesona, dan bijaksana. "Tolong pergi, Nona. Anda bukan tamu saya," usir Pak Chang. "Rado, lo tahu dimana harus nemuin gue setelah ini. Dan satu lagi, mending lo lepas dari bos yang nggak
"Tumben ke gelanggang?" Aku menghentikan tinjuan ke samsak begitu sebuah suara yang sangat familiar bertanya. Kemudian aku sedikit membungkukkan tubuh dengan nafas masih berkejar-kejaran dan peluh yang membasahi sekujur tubuh. "Istirahat dulu. Dari tadi aku perhatiin, kamu nggak ada berhentinya ninju samsak." Kepalaku mengangguk pada senior di gelanggang ini, Pak Teguh. Lalu mengikuti langkah kakinya hingga kami duduk bersama di kursi panjang yang ada di tepian gelanggang ini. Beliau menyodorkan sebotol air mineral yang tidak terlalu dingin lalu aku meneguknya hingga tersisa setengah. "Kamu ada masalah, Do?" Aku memilih diam sambil memandang air mineral yang ada di dalam botol. "Apapun masalahnya, kamu boleh melampiaskannya ke samsak gelanggang ini bahkan sampai samsak itu hancur pun aku nggak masalah. Tapi, jangan lupa untuk menyelasaikan apa yang jadi masalahmu, anak muda." Sudah dua minggu ini aku rajin mengunjungi gelanggang yang dulu sering kugunakan untuk mengasah ke
"Kenapa lo senyam-senyum?" Senyum Risty tidak lekang dari bibirnya sejak kami duduk di salah satu kafe berkelas yang ada di sebuah hotel berbintang yang tidak jauh dari kantorku. Berbeda denganku yang memasang wajah kurang senyum untuk menyembunyikan degub jantungku yang berdetak cepat. "Emang gue nggak boleh senyum?" Kemudian ia melihat Elicia yang begitu lahap dengan es krimnya. Sedikit belepotan di dekat bibirnya lalu Risty mengambil tisyu untuk mengusapnya. "Suka, El?" tanya Risty. "Iya, Tante. Terima kasih." Risty tersenyum lalu ikut malahap es krimnya yang masih utuh di dalam mangkok gelas. Sedang aku hanya menatap datar dirinya sambil bersedekap dan menyandarkan tubuh di punggung kursi. Ada rasa bahagia bertemu dengannya tapi juga ada rasa khawatir jika pertemuan kami ini bisa menimbulkan petaka untukku. Aku masih ingat dengan janji untuk menjauh dari Risty. "Katakan apa yang pengen lo omongin, Ris. Gue sibuk banget." "Kenapa terburu-buru? Lagian lo lagi cuti da
Kupikir setelah Pak Chang memutuskan untuk menghentikanku menjadi bodyguardnya, aku akan memiliki bos baru yang tak lain adalah rekan kerjanya dalam satu kantor ini. Tapi ternyata dugaanku salah, beliau memintaku kembali menjadi bodyguardnya. "Alasan Pak Chang minta lo kembali jadi bodyguardnya masih jadi tanda tanya, Do," itu suara Andry. Rekan satu bodyguardku dan kami sudah bekerja sama selama lima tahun untuk Pak Chang. "Gue juga nggak ngerti, Ndry. Karena waktu di Maldives, Pak Chang marah banget karena gue lalai," ucapku dengan menatap ke luar jendela kaca besar kantor. Kumasukkan kedua tangan ke dalam saku celana hitam yang kukenakan pagi ini sambil bersandar di jendela kaca yang bening. Hingga mataku bisa melihat dengan jelas gumpalan awan putih yang bergerombol di langit ibu kota. "Lo lalai karena apa emangnya?" Untuk satu pertanyaan itu, aku tidak yakin jika harus mengatakannya pada Andry. Lalu pandanganku tertunduk ke lantai. "Lo masih nganggep gue orang lain sampai n
“Dimana suamiku?!” Aku berdiri sopan dengan menundukkan kepala di hadapan Nyonya Chang, istri Pak Chang. “Rado, kamu dengar aku ‘kan?!” tanyanya lagi dengan nada menuntut. Mulutku terkatup rapat karena teringat dengan pesan Pak Chang untuk tidak mengatakan pada orang rumah alias istrinya kemana beliau berada malam ini. Tapi herannya, bagaimana bisa Nyonya Chang berada disini? Padahal baik aku maupun Andry tidak mengatakan dimana keberadaan kami sekarang. Apakah beliau mengikuti kami? Atau menyewa mata-mata? “Rado! Jawab!” bentaknya sambil mendorong dadaku. Kakiku mundur selangkah karena ulahnya. “Maaf, Nyonya. Saya … kurang tahu dimana Pak Chang berada,” ucapku sopan dengan pandangan tetap menunduk. “Omong kosong! Kebohonganmu itu terlalu naif! Memangnya kamu bekerja untuk siapa sampai nggak tahu dimana suamiku, heh?! Kamu pikir aku anak baru kemarin yang bisa kamu kibuli, heh?!” tantangnya. “Saya … benar-benar tidak tahu, Nyonya.” Lalu tangan Nyonya Chang menampar pipi kirik
"Kenapa diem aja?" tanya Risty dengan menatapku dari samping. Sedang aku masih fokus menatap minuman kaleng pemberiannya yang masih berada dalam genggaman. "Seenggak pengen tahunyakah lo sama kehidupan gue lima tahun silam, Do? Apa gue udah nggak ada lagi di dalam hidup lo selama ini?" tanyanya dengan sorot sendu. Sebenarnya aku meronta ingin mengatakan isi hati ini. Hanya saja sudah terikat janji untuk menjauhi Risty dan tidak mau membahayakan diri sendiri juga keluarga besarku.Risty mendengus lirih lalu meneguk minumannya sambil menatap ke depan. "Berarti cuma gue yang paling bego disini. Gue pikir, lo masih nyimpen satu rasa buat gue.""Mending kita kembali ke lounge, Ris. Pak Chang pasti nyariin lo." Sepertinya menghentikan pertemuan kami dengan menyarankan Risty kembali ke Pak Chang adalah solusi terbaik. Dari pada aku tidak bisa menghentikan perasaan ini. Ketika aku sudah berbalik badan dan mendapat dua langkah, Risty membuka suara. "Tahun pertama pernikahan gue sama Ric