Setelah mencampurkan serbuk obat penenang miliknya dengan dosis ganda ke dalam teh, Rado tersenyum tipis lalu meletakkannya di atas baki.
"Kalau kemarin Mas Kian dapat perhatian sama kasih sayangnya Mbak Sasha, malam ini jatahku."
"Hidup Mas Kian amat sempurna. Aku mengaku iri."
"Nggak punya gangguan mental, karir cemerlang, otak cerdas, wajah ganteng, punya anak lucu, sama ... istri yang perhatian kayak Mbak Sasha."
"Satu aja, Mas. Satu aja. Aku pengen kita berbagi kasih sayangnya Mbak Sasha."
"Aku butuh perhatian, aku pengen disayang, aku pengen dicintai."
Rado, pemuda dengan gangguan mental akibat trauma lima belas tahun silam akhirnya merasakan apa itu jatuh cinta. Namun sayang, cintanya tumbuh untuk wanita yang salah, yaitu kakak iparnya sendiri.
"Mbak Sasha itu dulu harusnya nikah sama aku. Bukan sama kamu, Mas."
Dulu, saat Kian enggan menikahi Sasha akibat hamil di luar nikah, Rado lah yang digadang menikahinya. Namun siapa sangka, di tengah jalan Kian datang lalu bersedia bertanggung jawab.
Kini, Sasha sepenuhnya menjadi seorang ibu rumah tangga yang fokus pada anaknya dan Rado. Berawal dari itu semua, Rado merasakan cinta pada lawan jenis untuk pertama kali.
"Minum dulu, Mbak. Dingin-dingin gini biar hangat."
Rado membawa dua gelas teh menuju ruang tengah, tempat dimana Sasha tengah bermain bersama putrinya, Shakira. Buah cintanya bersama sang suami, Kian.
Sasha tersenyum hangat pada Rado yang usianya hanya terpaut lima tahun darinya.
"Duh, makasih banyak. Tahu aja kalau aku pengen teh tapi nggak sempet buat."
Gangguan kelekatan dan kecemasan yang diderita Rado selama ini membuatnya hanya perhatian pada orang-orang yang disayangi saja.
"Ah... segarnya. Langsung hangat di badan."
Senyum tipis tergambar di bibir Rado. Detik demi detik ia menunggu Sasha terlelap akibat obat tidur itu, dan selanjutnya Rado akan meminumkan teh yang sama untuk keponakan tersayangnya itu agar ikut terlelap pula. Rado tidak mau kesenangannya malam ini terusik karena tangis Shakira.
"Do, titip Shakira bentar ya? Aku ngantuk banget."
Rado mengangguk dengan senyum kemenangan.
Selang lima menit berlalu, Rado menggoyang tubuh Sasha yang tidak lagi merespon.
"Tidur yang nyenyak, sayangku Sasha." Ucapnya kemudian mencium pipi Sasha lembut.
Pandangan Rado beralih ke Shakira lalu membujuk balita itu untuk meminum teh berisi obat penenang. Tidak banyak yang diminum lalu Shakira pun ikut terlelap.
"Tidur yang nyenyak, keponakanku sayang."
Pertama, Rado memindahkan Shakira ke kasurnya. Lalu ia mengunci semua pintu rumah walau ini masih pukul tujuh malam.
Kebetulan, Kian memiliki urusan bisnis dengan Alfonso di luar kota dan besok baru kembali pulang.
Setelah semua terkunci, ia menggendong Sasha dengan begitu entengnya. Maklum, Rado yang sekarang adalah pemuda ahli ilmu bela diri dengan tubuh lebih berotot dan berisi.
Ia tatap wajah manis kakak iparnya yang terlelap itu dengan perasaan membuncah bahagia. Lalu menyingkirkan anak rambut Sasha dan mulai memberinya ciuman-ciuman di wajah.
"Aku mau kita senang-senang malam ini. Tanpa Mas Kian. Aku mencintaimu, Sasha."
Tubuh Rado sudah cukup panas untuk menahan debaran yang menggila karena sudah lama ia menanti kepergian Kian kemudian membuat Sasha terlelap dan perlahan menjamah tubuhnya.
Meski memiliki gangguan kelekatan dan kecemasan, namun perasaan cinta dan gairah yang ia miliki, sama seperti pemuda pada umumnya.
"Nggak ada yang bisa bikin aku tergila-gila kayak gini kalau bukan kamu, Sha. Harusnya kita tuh yang nikah. Bukan kamu sama Mas Kian."
Perlahan Rado mulai menaiki tubuh Sasha yang telah terbuka sebagian karena ulah Rado. Dibalik ketidaksadarannya, Sasha menjadi boneka kesayangan Rado saat Kian tidak berada di rumah.
Puas menciumi Sasha, ia ingin memulai sesuatu yang sangat ia rindukan beberapa bulan ini. Menyatu bersama Sasha meski akhirnya hanya dia yang mengerang nikmat.
"Aku nggak masalah kalau Mas Kian nggak mau lepasin kamu. Aku juga nggak masalah kalau kita hanya bisa begini, sayangku."
Baru saja Rado memimpin permainan menggelora itu, tiba-tiba deru suara mobil mengalihkan perhatiannya.
Dengan tubuh tanpa busana, ia melepas penyatuan yang sudah setengah perjalanan lalu melihat keluar jendela.
"Shit! Mas Kian! Kok udah pulang!?"
Tanpa pikir panjang, Rado segera memakai kembali pakaiannya. Bahkan tanpa sadar ia memakai kaos terbalik. Dengan tangan bergetar dan nafas menggebu ia memakaikan pakaian Sasha ala kadarnya.
Hatinya bergemuruh takut bilamana Kian memergokinya tengah meniduri kakak iparnya sendiri. Rado tidak bisa membayangkan apa jadinya jika Kian mengamuk.
Gangguan kecemasan membuat pergerakannya lambat hingga tidak bisa menyelesaikan perbuatannya ketika Kian sudah berada di depan kamar.
"Sha? Kok dikunci? Bukain dong."
Jantung Rado berdetak tidak karuan saat Kian telah mencapai kamar begitu cepat. Kecemasannya bertambah dua kali lipat karena takut tertangkap basah.
Terlintas ide pura-pura bangun tidur. Kemudian Rado mengacak rambutnya sendiri dan menggelar selimut seadanya di lantai dan menaruh bantal disana.
"Sha? Buka pintunya sayang?"
Rado bergerak pelan menuju pintu lalu menyipitkan mata ketika membuka kunci pintu.
"Lho? Rado? Tidur disini juga?"
Rado mengangguk lalu pura-pura menguap. "Aku balik ke kamar, Mas."
Tanpa bertanya apapun, Rado segera menuju kamarnya. Lalu menekan kuat dada seakan jantungnya hendak melompat keluar. Kesenangan yang belum usai terganggu dengan kedatangan Kian diluar prediksi.
Tubuhnya meluruh ke lantai dengan nafas memburu dan tubuh gemetar.
***
"Rado, ayo sarapan dulu."
Langkah Rado hendak menuju garasi rumah akhirnya terhenti. Padahal ia ingin pergi sepagi ini dari rumah demi menghindari Kian.
"Nanti aja di kampus, Mas."
Belum mencapai pintu garasi, Kian meraih pundaknya dari belakang lalu menariknya menuju meja makan.
"Makan dulu. Biar nggak lemes."
Satu meja dengan Sasha dan Kian membuatnya cemas. Jantungnya mulai berdebar cepat, pandangan terlihat gelisah, hingga keringat dingin keluar dari kedua telapak tangan.
"Ayo dimakan. Kok diem aja?"
Ia menyuapkan roti bakar perlahan ke mulut dengan tangan sedikit gemetar.
"Sha, gimana? Udah enakan?"Tanya Kian.
Sasha mengangguk dengan wajah bantal. "Aku heran kenapa bisa ngantuk banget."
"Kamu kecapekan tingkat dewa mungkin."
Kepalanya menggeleng. "Nggak, Mas. Aku kemarin nggak masak banyak. Lagian ada Mbok Nah yang tiap hari bantu bersih-bersih rumah."
"Ya kali aja badan kamu butuh istirahat lebih. Shakira aja masih ngantuk."
Jantung Rado makin berdegub kencang. Khawatir Shakira kenapa-kenapa karena ulahnya.
"Do? Kok ngelamun? Kamu kenapa?"
Kian begitu hafal dengan raut wajah Rado yang tidak bisa ditipu ketika sedang tidak baik-baik saja.
"A... aku... Nggak apa-apa."
Ekor matanya melirik Sasha yang masih begitu mengantuk karena racikan obat tidurnya.
"Do? Bilang Mas, ada apa? Kamu nggak ada masalah kan?" Kian bertanya lembut sembari duduk di dekatnya.
"Aku berangkat."
Secepat kilat Rado berlari menuju garasi lalu menyalakan motornya.
"Rado! Tunggu!"
Sebelum Kian menjangkaunya, Rado bergegas melajukan motornya.
"Rado! Berhenti!"
Kian hanya bisa berteriak menyuruh Rado berhenti, karena tidak mungkin mengejar Rado dengan berlari.
***
Di tas kuliahnya, Rado mengambil satu buku kecil berisi catatan kesehatan mentalnya yang telah dinyatakan usai oleh psikiater, Dokter Rafael.
Kecemasan yang telah lama 'tidur' kini 'terbangun' karena ketakutan bilamana Kian memergoki ulahnya meniduri Sasha secara diam-diam. Bahkan malam harinya, ia tidak bisa tidur nyenyak.
"Kalau gue bilang Mas Kian pengen ambil konseling lagi, gue pasti bakal di suruh masuk rumah konseling."
Baginya rumah konseling seperti rumah sakit jiwa mini yang amat dibenci. Ia tidak sudi jika Kian memaksanya dengan beragam bujuk rayu untuk kembali dibina disana.
"Gue butuh konseling dan obat. Tapi duit dari mana buat bayar konseling yang nggak murah itu?"
"Calarado Zimario Mahardika. Aktif di organisasi bela diri. Udah pegang sabuk biru. Cenderung introvert, nggak punya teman, nggak ada yang tahu siapa keluarganya. Tapi dari pantauan detektif, dia dari keluarga berada."Kaika menunjukkan foto rumah Rado yang terpotret oleh detektif sewaan Risty. "Di kelas dia juga pendiam banget. Nilainya juga nggak lebih bagus dari gue."Rado berada satu kelas perkuliahan bersama Kaika dan Risty. Dan sudah menjadi rahasia seluruh kampus jika Risty memiliki julukan Nona Muda karena berasal dari keluarga bergelimang harta."Terus, kamu mau apain si Rado?"Risty membuka salep untuk mengobati memar yang nampak samar di pipinya akibat pertengkaran dengan saudara tirinya, Ziany. Mereka sama-sama menuntut ilmu di universitas terkenal itu namun berbeda fakultas. "Hubungi dia, bilang aja Risty pengen ketemu.""Ris, stop berantem sama saudara tiri lo! Emang lo nggak takut kalau Ziany khilaf bawa pisau?!" Ucap Kaika, sahabat sekaligus tangan kanan Risty di kam
"Halo, Kai. Ini gue, Rado.""Rado? Oh ya, kenapa?""Bisa hubungin gue ke Risty?""Tunggu bentar."Terdengar suara gelak tawa beberapa perempuan di sambungan telfon."Halo?""Ris, gue Rado."Tawa Risty terdengar mengejek. Selain cantik, kaya, dia juga sedikit sombong."Butuh gue juga lo heh?!"Rado mengangguk meski Risty tidak melihatnya. "Ya.""Untung gue masih berbaik hati nerima lo.""Bisa ketemu dimana?""Nggak sabaran banget? Lo butuh duit banget emangnya heh?!"Tidak dipungkiri jika Rado teramat membutuhkan uang itu. Hatinya sangat gusar karena tidak mampu melawan gangguan kecemasan dan kelekatan ini seorang diri.Pun, obat penenang yang ia simpan baik-baik hanya tinggal satu butir. Obat itu tidak bisa dibeli sembarangan tanpa resep dokter."Bisa ketemu sore ini?""Oke. Gue share tempatnya."Dan sore yang mendung itu, Rado memaksa keluar dan beralasan pada Kian dan Sasha akan berlatih bela diri karena perubahan jadwal. Semenjak ia kuliah di kota dan tinggal satu atap bersama, per
Rado menghentikan aksinya dengan jantung berdegub kencang. Bahkan bisa dipastikan tubuhnya dipenuhi kecemasan yang luar biasa. Beruntung ia tidak bersembunyi di balik mobil Ziany, melainkan di mobil sebelahnya dengan memejamakan mata begitu erat. Nafasnya seperti orang sehabis lari tanpa berhenti sama sekali. "Oey, Man! Buruan! Ngapain lo kesana." Kali ini dewi fortuna berada di pihak Rado. Beruntung seseorang memanggil lelaki yang meneriaki aksi Rado. Tanpa melanjutkan langkahnya menuju mobil Ziany, lelaki itu berbalik arah ke temannya. Tubuh Rado meluruh di badan mobil lalu kembali terpejam sesaat untuk mengumpulkan kewarasan dan tenaga yang mendadak tersedot entah kemana. Setelah tenaganya sedikit kembali dan degub jantungnya tidak sekencang tadi, Rado berdiri dengan susah payah sambil berpegangan pada badan mobil.Selesai?Tidak. Ia masih harus memotretnya sebagai bukti pada Risty jika tugasnya telah usai. Bukannya memotret, jemari tangan Rado yang telah basah keringat dingin
"Aku tahu apa konsekuensinya kalau Mas Kian tahu aku pernah meniduri Mbak Sasha secara diam-diam." Rado berucap dengan pandangan menunduk menerawang jauh."Tapi aku sendiri juga nggak bisa jauh dari Mbak Sasha. Dia penyemangatku, Kak Raf. Cinta pertamaku."Dokter Rafael mengangguk sambil menepuk pundak Rado. "Masih banyak perempuan disana yang mau sama kamu, Do. Jangan berpikir perempuan yang bisa ngerti kamu cuma kakak iparmu aja."Rado menggeleng. "Nggak, Kak Raf. Aku udah terlanjur nyaman sama perasaan ini meski salah.""Aku tanya, tapi kamu harus jujur. Gimana caranya kamu bisa nidurin kakak iparmu?"Rado menatapnya gamang."Bilang aja. Kan kita teman. Aku tempatmu berkeluh kesah.""A... aku... " jeda, Rado seperti tidak siap mengatakannya tapi konseling adalah waktu dimana ia harus terbuka dengan Dokter Rafael untuk membuang segala kecemasannya."Aku... kasih... obat penenang milikku."Selanjutnya Rado tertunduk takut dan malu tapi Dokter Rafael justru menepuk pundak Rado. Sebena
POV RADOTidak kupungkiri jika Mbak Sasha adalah cinta pertamaku, wanita kedua setelah Mama yang merawatku dengan penuh kasih ketika aku sudah pindah ke kota. Dia bisa meraih hatiku yang keras dan dingin menjadi penuh cinta dan sayang meski itu masih hanya untuknya dan keluargaku. "Rado, jangan begini.""Aku capek, Mbak.""Kalau capek kamu duduk. Bukan nempel ke aku kayak gini.""Kan biasanya aku juga kayak gini ke kamu, Mbak."Bukan hal baru jika aku sering memeluk dan bermanja-manja pada Mbak Sasha. Dan itu kerap kulakukan tanpa sepengetahuan Mas Kian jika aku merasa pelukan ini terlalu intim dan berani."Tapi aku yang nggak bisa siapin makan buat kamu kalau kayak gini, Do." Perlahan Mbak Sasha melepas rengkuhan tanganku yang melingkar di perutnya. Debaran, gairah, dan hasrat bisa begitu dekat dengannya yang hanya memakai pakaian tidur berbahan satin, terpaksa harus diakhiri. Sebenarnya aku tidak mau kesenangan ini cepat berlalu. "Kamu duduk di sini aja gih." Dengan lembut dia m
Kata pepatah, lebih baik mencintai dari pada dicintai. Karena itu sama dengan lebih baik memberi dari pada diberi. Tapi bagaimana jika hanya bisa mencintai tapi tidak pernah dicintai kembali? Bagi lelaki introvert, nyatanya aku lebih banyak tersenyum dan bisa berbicara dengan beragam konteks bila itu bersama Mbak Sasha. Karena dia yang membuat hatiku berbungah bahkan berdebar walau hanya berada di dekatnya. Perasaan hebat ini datang untuk pertama kalinya meski bermuara pada wanita yang keliru. Namun aku tidak menyesalinya karena jatuh cinta membuat hidupku berwarna dan merasa selalu ingin mendapatkannya.Namun, sebelum jatuh cinta ini menjadi bumerang karena Mas Kian telah menyimpan rekaman CCTV rumah, aku memberanikan diri mencarinya sebelum berangkat ke apartemen Risty. Aku tidak mau Mas Kian melihat ulah brengsekku karena telah lancang mencumbu istrinya. "Sial! Dimana Mas Kian nyimpen rekaman itu?!" Geramku. Tanganku bergerak tergesa-gesa membuka dan menutup laci meja yang ada
Brak!Usai menutup pintu unit apartemennya dengan tergesa-gesa hingga berbunyi keras, Risty menatapku dengan raut cuek. Bahkan ia tidak peduli dengan pakaian minimnya yang memperlihatkan dengan jelas lengan tangannya yang putih merit tanpa lemak itu. Rambutnya yang digerai bebas dengan bagian ujungnya di bentuk rol seperti rambut para noni-noni Belanda, membuat tampilannya begitu berkelas. Khas anak gadis jaman sekarang dari keluarga terpandang. "Santai aja lagi, Do." Ucapnya santai lalu berlalu ke dalam unit apartemennya. Aku hanya berdiri mematung sembari menatap kepergiannya. Dia benar-benar memiliki kehidupan bebas hingga tidak mengapa aku melihat bagian lekuk tubuhnya. Perempuan kaya nan berkelas macam apa dirinya ini? Bukankah sebagai seorang perawan dia seharusnya menjaga keindahan tubuhnya untuk seorang yang berarti untuknya? Bukan mengumbarnya dihadapanku yang hanya bertugas sebagai bodyguardnya saja?Pantas jika bodyguard sebelum aku tidak bisa menahan nafsunya untuk tida
Tangan Risty memukul kedua tanganku yang bertengger di kedua pundaknya lalu menyorotku dengan tatapan kesal bercampur marah. Bukan apa-apa, tapi secara reflek aku ingin melindunginya. "Apa-apaan sih lo, Do?! Lepasin deh!" "Lo nggak lihat Ziany ngejar kita, heh?! Belum lagi premannya yang bisa aja udah nungguin kita di depan pagar!" Ekor mataku menangkap sosok perempuan yang tidak kukenal namun memiliki selera gaya berpakaian yang sama dengan Risty. Kurang bahan dan sebenarnya ... memalukan! Dia berjalan cepat ke arah kami dengan rambut rebondingnya diterpa angin pagi setengah siang di area parkir motor apartemen Risty. Namun, sebelum dia mencapai tempat dimana aku dan Risty berdiri, dengan sigap aku segera melingkarkan kedua lengan hoodie hitam milikku ke perut Risty. "Rado! Apaan sih?!" "Bisa diem nggak?!" Tanyaku lirih namun tajam. Risty sedikit terhenyak ketika mendapatiku untuk pertama kalinya bersikap begitu tegas kepadanya. "Gue nggak mau bonceng cewek yang pakaiannya
Akhirnya persidangan perceraian Risty dan Richard selesai digelar. Perjuangan berat dan besar Kak Alfonso memenangkan harta Risty yang tidak seharusnya dibagi akhirnya dikabulkan oleh pengadilan. Richard mendapatkan harta gono gini namun tidak dengan warisan Risty dari Papanya yang telah tiada. Walau begitu, masih ada masalah lain yang belum terselesaikan tapi Risty memilih untuk mundur. "Aku mundur, Mas Al," ucapnya pada Kak Alfonso. Aku, Risty, Kak Alfonso, dan pengacaranya sedang duduk bersama di ruang tamu rumah Mas Kian untuk membahas hasil persidangan hari ini. Kemudian Risty meletakkan berkas pengadilan yang tebal itu di meja kaca ruang tamu. "Aku bertekad mandiri, Mas Al. Masalah warisanku yang masih dikuasai Nenek dan Kakek, aku nggak peduli lagi. Terserah mau mereka apakan harta Papa." Kak Alfonso memandang Risty tidak habis pikir. "Ris, itu hakmu. Warisan itu bisa kamu pakai untuk modal bisnismu." "Lalu berjuang lagi di pengadilan? Aku lelah, Mas Al." "Kakek da
Perceraian Risty sudah diserahkan pada pengacara kepercayaan Kak Alfonso. Dia hanya tidak mau waktunya terkuras habis memikirkan perceraian yang diprediksi bakal alot itu. “Aku mau perceraian kami tahu beres, Mas. Masa bodoh sama harta dan warisan itu. Yang penting aku bisa lepas dulu dari Richard,” ucap Risty malam itu di rumah Mas Kian. “Apa yang jadi hakmu bakal aku perjuangin sama pengacara, Ris.” Kepala Risty mengangguk, “Makasih, Mas. Tapi aku nggak berharap banyak.” “Belum dicoba. Jangan pesimis dulu.” Aku yakin jika Kak Alfonso bisa membantu Risty memenangkan perceraian itu secara adil Semoga saja karena Risty benar-benar seperti perempuan tanpa keluarga. Bahkan Risty merelakan warisan dari Papanya jatuh ke tangan nenek kakeknya karen tetap memilih bercerai dari Richard. Apapun konsekuensinya Risty sudah pasrah dan memilih menjalani kehidupan selanjutnya sesuai versi dan kemampuannya sendiri. Kini, ia jauh lebih selektif menggunakan uang dari pada biasanya. Sudah pasti k
"Nenek dan kakek nggak akan percaya gitu aja sama ucapanmu, Ris! Kecuali kamu punya bukti kalau Richard memang main perempuan kayak tuduhanmu!" Neneknya berseru tidak terima dengan menatap Risty tajam. "Aku malas kalau harus buka cctv rumah, Nek. Buat apa aku menenggelamkan diri ke tempat yang selama ini cuma bikin aku menderita. Itu bukan rumah, tapi ne-ra-ka!""Itu artinya kamu cuma fitnah! Bisa bicara tapi nggak ada bukti yang nyata! Ini lebih kejam dari pembunuhan, Ris! Apalagi yang kamu fitnah itu suamimu sendiri!" giliran Ibunya Richard yang berseru tidak terima dengan menunjuk wajah Risty.Risty menatap semua yang ada di ruangan ini lalu berdiri dari duduknya. Kemudian aku ikut berdiri. "Silahkan kalian lihat dan cek sendiri. Masih ada di cctv rumah. Jangan suruh aku ngurusin hal sam-pah kayak gitu! Aku muak! Lebih muak lagi menjadi anggota keluarga ini!" ucapnya sungguh-sungguh dengan hati kesal sekali. Kemudian ia menatap nenek dan kakeknya bergantian. "Kalau nenek dan kak
Malam ini, Mas Kian mengizinkanku tidur di rumahnya dengan alasan harus menjaga Risty yang tidak stabil emosinya. Sekaligus ingin berbicara empat mata dengan Mas Kian tentang perasaanku pada istrinya, Mbak Sasha, yang kini sudah tidak ada lagi. Berharap Mas Kian tidak perlu khawatir aku akan melakukan hal tidak benar seperti masa lalu pada istrinya."Hatiku benar-benar udah buat Risty, Mas. Udah nggak ada lagi cinta buat Mbak Sasha. Tapi, demi kebaikan bersama, setelah kakek neneknya Risty tiba di Indonesia, aku bakal balik ke apartemen." Kepala Mas Kian mengangguk pelan. Kami tengah duduk bersama di dapur, malam-malam begini. Membicarakan urusan lelaki."Apapun itu, Do. Mas akan dukung selama kamu bisa mengendalikan isi hatimu pada orang yang nggak seharusnya. Oh ya, kapan kakek neneknya Risty datang ke Indonesia?" "Diusahakan secepatnya sama Kak Al." Keesokan harinya, aku sengaja mengetuk pintu kamar Risty lebih dulu sambil membawa segelas susu hangat. Semoga saja dia sudah bangu
"Rado, kamu dimana? Risty mengurung diri di kamar. Mas takut dia nekat!" ucap Mas Kian melalui sambungan telfon dengan suara panik. Bulu kudukku meremang begitu mendengar ucapan Mas Kian. Apa Risty berpikir ingin mengakhiri hidupnya? Astaga, Tuhan! Tolong halangi Risty melakukan itu! Baru saja aku selesai membuat kesepakatan dan negoisasi dengan Richard tentang pernikahan mereka, mengapa Risty justru seperti ini? "Mas, coba terus bujuk Risty biar buka pintunya! Aku kesana sekarang!" "Oke. Cepat, Do!" Aku segera memasukkan ponsel ke dalam saku celana lalu memasang helm. Melihatku yang tergesa-gesa, Kak Alfonso kemudian membuka suara. "Kenapa, Do?" "Risty nggak mau buka pintu kamarnya, Kak." "Apa?!" Kak Alfonso ikut terkejut. "Aku balik dulu. Makasih untuk bantuannya malam ini." Aku segera melajukan motor sport milikku menuju kediaman Mas Kian. Meninggalkan Kak Alfonso dan para bodyguardnya yang masih bersiap kembali pulang. Semoga jalanan tidak terlalu macet karena ini ham
"Rado, aku bilang pu-lang!" Risty kembali memekik di ujung sambungan telfon. Aku membasahi bibir sambil berperang dengan pikiran sendiri. "Sekali lagi aku tegasin kalau aku nggak cinta kamu! Jadi, jangan bahayakan dirimu demi aku! Nggak usah berjuang terlalu dalam demi aku karena nggak pernah ada cinta di hatiku buat kamu!" Serius kah Risty berkata demikian? Benarkah dia tidak mencintaiku barang setitik pun? Kenyamanan yang selama ini kuberikan dan segenap perhatian? "Aku tahu, kalau yang paling jatuh cinta tuh aku, Ris. Aku cinta kamu, sangat! Karena aku cinta kamu, aku putusin untuk ngasih satu kenangan yang bikin kamu bisa selalu ingat sama siapa itu Rado. Kenangan baik yang bikin kamu ingat aku dan bikin kamu bisa lepas dari pernikahan yang cuma bisa bikin kamu tertekan." "Bodoh! Aku bilang balik, Rado!" Kepalaku menggeleng dengan telfon masih menempel di telinga. "Sekali ini aja, Ris. Biar aku bantu kamu lepas dari Richard." "Kalau tahu begini, mending kamu nggak usah
"Aborsi."Kedua mataku membelalak tidak percaya mendengar pengakuan Risty. "Aku pernah hamil anaknya Richard. Karena aku benci sama dia dan pernikahan kami, akhirnya aku mutusin untuk ... aborsi, Do.""Ris?" panggilku lirih dengan kepala menggeleng tidak percaya. "Kenapa? Apa kamu mikir aku gila? Tukang tega?" ucapnya lirih dengan sorot sendu.Aku hanya memandang Risty tanpa berani berkata-kata lagi. Takut melukai egonya yang sudah lama terluka karena pernikahannya dengan Richard. Khawatir dia tidak nyaman jika aku terlalu menghakimi perbuatannya. Karena aku yakin Risty melakukan aborsi itu karena ada alasannya. "Waktu itu aku mikirnya, kehamilan ini terjadi karena Richard ngasih aku obat perangsang berkali-kali. Lalu, apa yang harus aku lakuin selain gugurin anak ini.""Aku nggak mau anak itu nanti hidup di dalam keluarga yang toxic. Keluarga yang nggak pernah ada cinta di dalamnya. Karena sampai kapanpun aku nggak akan bisa mencintai Richard atau nerima dia sebagai suami sebenarn
Hatiku takluk karena Risty memelukku dari belakang seerat ini. Amarah yang tadinya membumbung tinggi, mendadak tenggelam oleh sentuhannya yang sangat kudamba. Kepalaku menunduk lalu melihat eratan jemari indahnya yang melingkari perutku. Perlahan aku menyentuh tangannya itu. Apakah ini benar atau hanya tipuan? Benarkah Risty memintaku tetap ada di sisinya? "Jangan marah kayak tadi lagi, Do. Aku takut. Lalu, kalau kamu pergi, aku hidup sama siapa? Aku udah keluar dari rumah. Udah mengingkari janji pernikahanku sama Richard. Dan sekarang, aku cuma punya kamu. Please, jangan pergi." Aku pergi meninggalkan Risty? Itu tidak mungkin. Kecuali dia yang menyuruhku pergi. "Maaf, Ris. Tadi aku kebawa emosi," ucapku dengan mengusap tangannya lembut yang masih melingkari perutku. Bagaimana tidak emosi jika Risty menganggap keseriusanku tadi sebagai guyonan semata. Kemudian ia melepas tangannya lalu berjalan ke depanku. "Aku nggak tahu apa aku cinta kamu atau nggak. Yang pasti untuk
Di apartemenku yang sederhana, aku mengundang Risty untuk bermalam di sini usai melepaskan diri dari pernikahan beracunnya dengan Richard. Risty merebahkan tubuhnya di sofa panjang sambil memejamkan mata usai aku meletakkan kopernya. "Mau makan apa, Ris?" tanyaku dengan duduk di single sofa. "Tidur." Lalu Risty memiringkan tubuhnya ke kanan dengan nyaman. Kemudian senyumku terbit melihat tingkahnya yang masih saja menggemaskan. Meski perabotan di apartemenku tidak semewah di rumahnya, aku bersyukur Risty tidak merasa terganggu. "Aku keluar bentar. Beli stok isi kulkas. Kamu di sini atau ikut?" Risty membalik tubuhnya lalu menghadapku sambil berbaring. "Apa lo bilang? Kamu? Aku?" Kepalaku mengangguk karena telah merubah panggilan ke Risty dengan sebutan lebih akrab. "Kesambet angin apaan lo berubah seratus delapan puluh derajat?" ucapnya dengan senyum tipis sarat akan ejekan.Aku mengangkat bahu santai sambil menatapnya."Aku cuma mau membiasakan diri manggil kamu dengan sebut