"Aku tahu apa konsekuensinya kalau Mas Kian tahu aku pernah meniduri Mbak Sasha secara diam-diam." Rado berucap dengan pandangan menunduk menerawang jauh.
"Tapi aku sendiri juga nggak bisa jauh dari Mbak Sasha. Dia penyemangatku, Kak Raf. Cinta pertamaku."
Dokter Rafael mengangguk sambil menepuk pundak Rado. "Masih banyak perempuan disana yang mau sama kamu, Do. Jangan berpikir perempuan yang bisa ngerti kamu cuma kakak iparmu aja."
Rado menggeleng. "Nggak, Kak Raf. Aku udah terlanjur nyaman sama perasaan ini meski salah."
"Aku tanya, tapi kamu harus jujur. Gimana caranya kamu bisa nidurin kakak iparmu?"
Rado menatapnya gamang.
"Bilang aja. Kan kita teman. Aku tempatmu berkeluh kesah."
"A... aku... " jeda, Rado seperti tidak siap mengatakannya tapi konseling adalah waktu dimana ia harus terbuka dengan Dokter Rafael untuk membuang segala kecemasannya.
"Aku... kasih... obat penenang milikku."
Selanjutnya Rado tertunduk takut dan malu tapi Dokter Rafael justru menepuk pundak Rado. Sebenarnya hatinya mencelos mendapati kenyataan bahwa Rado berjalan di luar koridor terlalu jauh.
"Dapat ide dari mana?"
"Lihat film."
Sebagai psikiater yang lama menangani Rado, ia paham sekali bagainamana membuat Rado kembali ke jalan yang benar.
"Baru sekali itu tidur sama kakak ipar?"
Rado menggeleng pelan. Dan kali ini ia merasa Rado benar-benar buta akan cinta hingga mulai berpikir menghalalkan segala cara.
"Berapa kali?"
"Tiga."
Dokter Rafael memaksa untuk tersenyum meski hatinya menyayangkan sikap yang Rado sudah diluar batas kewajaran.
"Rado, Tuhan itu kadang sengaja bikin seseorang jatuh cinta berkali-kali sebelum dipertemukan sama jodoh sebenarnya. Begitu juga kamu. Dan satu hal lagi, jangan ulangi lagi hal itu. Zina dilarang agama."
"Tapi aku cinta sama Mbak Sasha, Kak."
"Aku bantu kamu lepas dari perasaan itu. Kamu sibukin diri di organisasi bela diri sama jadi bodyguard."
"Aku nggak mau lepasin perasaan ini, Kak."
"Awalnya sulit tapi kamu pasti bisa. Pelan-pelan aja, Do. Sebelum Masmu tahu semuanya."
Rado tetap menggeleng. "Rekaman CCTV di rumah juga disimpan Mas Kian. Aku takut ketahuan, Kak. Tapi aku juga nggak mau lepasin Mbak Sasha!"
"Oke, oke. Kita coba bicarain lagi besok. Aku paham kamu perlu waktu."
Dokter Rafael ingin Rado beranjak dari zona nyamannya yang selama ini selalu berlindung di bawah ketiak Kian.
"Tadi, aku melakukan pekerjaan pertamaku, Kak."
Dokter Rafael terperanjat hingga menunjukkan ekspresi tidak terduga. "Apa yang kamu lakukan?"
"Dia minta aku menusukkan pisau ke keempat ban sama ngasih pilox di kaca mobil saudara tirinya."
"Wow! Berhasil?"
Rado mengangguk pelan. "Sekarang, aku takut. Aku tadi hampir ketahuan."
"Rado, apa yang kamu lakuin itu salah. Kelak kalau dia nyuruh kamu kayak gitu lagi, seenggaknya kamu bisa peringatin dia baik-baik."
"Dia nggak mau dilawan, Kak! Aku benci sama jalan hidupku! Aku benci!"
Sejurus kemudian Rado menarik rambutnya kesal. Karena apa yang dia jalani dan Dokter Rafael katakan semuanya berbanding terbalik.
"Oke, oke, tenang Rado. Tenang!"
Dengan sekuat tenaga Dokter Rafael menahan Rado melukai dirinya sendiri karena apa yang ia jalani tidak sejalan dengan apa yang seharusnya.
Kontra yang ada membuat konflik di dalam hatinya dan harus teratasi dengan baik. Beruntung ia segera mendatangi Dokter Rafael atau gangguan itu semakin mengambil kewarasannya.
***
Ketika masih petang, Rado menyelinap ke dalam dapur untuk mengisi perutnya dengan makanan apapun yang masih tersisa. Dia harus minum obat penenang yang Dokter Rafael resepkan kemarin. Dan ia tidak mungkin berangkat kuliah tanpa pengaruh obat. Rado bisa mengamuk seperti orang gila.
Walau Kian dan Sasha tidak pernah memaksanya bercerita selama seminggu ini, namun keduanya berusaha mendekati Rado agar mau mengatakan rahasia yang ia pendam.
"Rado?"
Seketika Rado waspada begitu mendengar suara lembut itu memanggilnya dengan nada lirih.
"Kamu ngapain?"
Rado menyembunyikan roti bakar yang belum habis di belakang tubuhnya dengan mimik waspada. Ia tidak mau sampai ketahuan bahkan dicurigai.
"Lapar ya? Sini aku buatin sarapan yang lebih bergizi." Tawar Sasha dengan penuh perhatian.
Masih dengan pakaian tidurnya yang berbahan satin, Sasha melewati Rado lalu menghangatkan ayam parmigiana dari dalam kulkas. Melihat itu hati Rado merasa lebih tenang karena Sasha tidak mencari tahu tentang keanehannya, justru bersikap seperti tidak ada masalah.
Itulah yang ia sukai dari Sasha. Ia bisa mencari kapan waktu yang tepat bahkan suasana yang mendukung untuk bertanya apa masalahnya, dan itu membuat Rado merasa cukup disayang bahkan dicintai sedalam-dalamnya.
Kemudian dorongan naluri kelelakian membuat langkah kaki Rado bergerak maju dan ketika jaraknya dengan punggung Sasha hanya satu jengkal, tangannya tiba-tiba terulur memeluk Sasha dari belakang. Matanya memejam erat sambil merasakan kenyamanan dengan kepalanya direbahkan di pundak Sasha. Bahkan di dalam dadanya seperti ada ledakan kebahagiaan yang tidak bisa dijelaskan karena begitu ingin memeluk Sasha.
"Rado?" Sasha terperanjat ketika ia sedang memanaskan makanan.
"Rado, lepas. Aku lagi masak."
Rado menggeleng lalu tangannya makin memeluk erat Sasha. Jika tempo hari ia gagal meraih puncak kenikmatannya karena kedatangan Kian yang mendadak, maka ia ingin menyalurkan kerinduannya pada Sasha pagi ini sebelum Kian mencegahnya.
"Rado, kamu... kenapa begini?" Sasha bertanya dengan penuh kebingungan.
Pasalnya ini pertama kalinya Rado begitu terang-terangan memeluknya. Tanpa ijin pula. Namun sayang Rado kembali diam sembari menikmati pelukan yang membuat kerinduan yang mengekangnya terlepas satu demi satu.
Tangan Sasha menyentuh tangan Rado untuk disingkirkan perlahan tapi Rado enggan. Ingin sekali mulutnya berkata cinta dan sayang namun ia tidak mau kedekatan yang ada berubah rusak akibat ulahnya sendiri.
"Do, ada Mas Kian. Jangan begini."
Sasha berusaha menyadarkan Rado agar tidak seperti ini karena hubungan mereka sudah jelas sebatas kakak dan adik ipar. Namun Sasha juga tidak mau terlalu frontal memarahi Rado akan tindakannya yang melewati batas. Ia ingat jika hati Rado sangat sensitif jika menyangkut anggota keluarganya akibat gangguan kelekatan yang diderita.
"Kalau nggak ada Mas Kian, apa aku boleh begini yang lama?"
POV RADOTidak kupungkiri jika Mbak Sasha adalah cinta pertamaku, wanita kedua setelah Mama yang merawatku dengan penuh kasih ketika aku sudah pindah ke kota. Dia bisa meraih hatiku yang keras dan dingin menjadi penuh cinta dan sayang meski itu masih hanya untuknya dan keluargaku. "Rado, jangan begini.""Aku capek, Mbak.""Kalau capek kamu duduk. Bukan nempel ke aku kayak gini.""Kan biasanya aku juga kayak gini ke kamu, Mbak."Bukan hal baru jika aku sering memeluk dan bermanja-manja pada Mbak Sasha. Dan itu kerap kulakukan tanpa sepengetahuan Mas Kian jika aku merasa pelukan ini terlalu intim dan berani."Tapi aku yang nggak bisa siapin makan buat kamu kalau kayak gini, Do." Perlahan Mbak Sasha melepas rengkuhan tanganku yang melingkar di perutnya. Debaran, gairah, dan hasrat bisa begitu dekat dengannya yang hanya memakai pakaian tidur berbahan satin, terpaksa harus diakhiri. Sebenarnya aku tidak mau kesenangan ini cepat berlalu. "Kamu duduk di sini aja gih." Dengan lembut dia m
Kata pepatah, lebih baik mencintai dari pada dicintai. Karena itu sama dengan lebih baik memberi dari pada diberi. Tapi bagaimana jika hanya bisa mencintai tapi tidak pernah dicintai kembali? Bagi lelaki introvert, nyatanya aku lebih banyak tersenyum dan bisa berbicara dengan beragam konteks bila itu bersama Mbak Sasha. Karena dia yang membuat hatiku berbungah bahkan berdebar walau hanya berada di dekatnya. Perasaan hebat ini datang untuk pertama kalinya meski bermuara pada wanita yang keliru. Namun aku tidak menyesalinya karena jatuh cinta membuat hidupku berwarna dan merasa selalu ingin mendapatkannya.Namun, sebelum jatuh cinta ini menjadi bumerang karena Mas Kian telah menyimpan rekaman CCTV rumah, aku memberanikan diri mencarinya sebelum berangkat ke apartemen Risty. Aku tidak mau Mas Kian melihat ulah brengsekku karena telah lancang mencumbu istrinya. "Sial! Dimana Mas Kian nyimpen rekaman itu?!" Geramku. Tanganku bergerak tergesa-gesa membuka dan menutup laci meja yang ada
Brak!Usai menutup pintu unit apartemennya dengan tergesa-gesa hingga berbunyi keras, Risty menatapku dengan raut cuek. Bahkan ia tidak peduli dengan pakaian minimnya yang memperlihatkan dengan jelas lengan tangannya yang putih merit tanpa lemak itu. Rambutnya yang digerai bebas dengan bagian ujungnya di bentuk rol seperti rambut para noni-noni Belanda, membuat tampilannya begitu berkelas. Khas anak gadis jaman sekarang dari keluarga terpandang. "Santai aja lagi, Do." Ucapnya santai lalu berlalu ke dalam unit apartemennya. Aku hanya berdiri mematung sembari menatap kepergiannya. Dia benar-benar memiliki kehidupan bebas hingga tidak mengapa aku melihat bagian lekuk tubuhnya. Perempuan kaya nan berkelas macam apa dirinya ini? Bukankah sebagai seorang perawan dia seharusnya menjaga keindahan tubuhnya untuk seorang yang berarti untuknya? Bukan mengumbarnya dihadapanku yang hanya bertugas sebagai bodyguardnya saja?Pantas jika bodyguard sebelum aku tidak bisa menahan nafsunya untuk tida
Tangan Risty memukul kedua tanganku yang bertengger di kedua pundaknya lalu menyorotku dengan tatapan kesal bercampur marah. Bukan apa-apa, tapi secara reflek aku ingin melindunginya. "Apa-apaan sih lo, Do?! Lepasin deh!" "Lo nggak lihat Ziany ngejar kita, heh?! Belum lagi premannya yang bisa aja udah nungguin kita di depan pagar!" Ekor mataku menangkap sosok perempuan yang tidak kukenal namun memiliki selera gaya berpakaian yang sama dengan Risty. Kurang bahan dan sebenarnya ... memalukan! Dia berjalan cepat ke arah kami dengan rambut rebondingnya diterpa angin pagi setengah siang di area parkir motor apartemen Risty. Namun, sebelum dia mencapai tempat dimana aku dan Risty berdiri, dengan sigap aku segera melingkarkan kedua lengan hoodie hitam milikku ke perut Risty. "Rado! Apaan sih?!" "Bisa diem nggak?!" Tanyaku lirih namun tajam. Risty sedikit terhenyak ketika mendapatiku untuk pertama kalinya bersikap begitu tegas kepadanya. "Gue nggak mau bonceng cewek yang pakaiannya
"Gimana rasanya boncengan sama cewek cantik, seksi, dan tajir kayak Risty heh!?" Aku menoleh begitu pundakku ditepuk sedikit kencang oleh lelaki yang kutahu bernama Richard. Lelaki berkulit putih dengan wajah setengah bule yang hobi bermain basket sekaligus ketua BEM fakultasku. Sekilas dari yang pernah kudengar, dia pernah dekat dengan Risty namun belakangan ini anak-anak kerap membicarakan hubungan mereka yang telah kandas. Alasannya simple, Risty sudah merasa bosan dengan Richard. Seperti itulah Risty. Dia memiliki harta, kecantikan, dan otak yang tidak bodoh. Wajar jika banyak lelaki yang ingin menjadikan dia sebagai kekasih. Dan mungkin Richard tidak terima jika bunga seindah Risty ingin mengakhiri hubungan atas nama 'bosan'. "Sorry, gue nggak ada urusan sama lo." Ucapku datar. Aku segera menuruni motor sport hitam milikku. Tapi sebelum aku melangkah pergi, tangan Richard kembali meraih pundakku. Reflek aku menggunakan seujung tenagaku untuk melepaskan diri darinya. Bela dir
Mengembalikan uang Risty yang telah kupakai? Yang benar saja! Uang dari mana lagi untuk mengembalikan uang Risty? Sedang aku saja bekerja untuk dia demi mendapatkan uang yang langsung kupergunakan untuk membiayai konsultasi kejiwaan dan penebusan obatku. Meski Mas Kian berlimpah harta, namun dia tidak pernah memberiku uang berlebih. Khawatir aku menggunakannya untuk hal menyimpang mengingat aku masih belum sepenuhnya sembuh dari gangguan kelekatan ini. Ucapan Kaika masih terus terulang di otakku hingga jam mata kuliah berikutnya. Aku yang biasa menunggu jam mata kuliah dengan menyendiri di atas gedung rektorat seorang diri ditemani semilir angin dan pancaran mentari di siang hari, akhirnya turun menggunakan lift menuju gedung fakultasku yang berada di sebelah gedung pusat kampus ini. Seperti biasa, Risty, Kaika, Greys, dan Livy akan duduk di satu bangku yang sama. Sedang aku selalu duduk di pojok, berseberangan jauh di belakang mereka berempat. Risty dan segala daya tariknya, mu
"An**ng lo! Rasain!" Helm full face-ku ditarik paksa hingga penguncinya terlepas secara kasar, bahkan daguku terasa panas terkena gesekannya. Kedua tangan dan leherku dipegang erat oleh tiga lelaki yang sama-sama menggunakan masker. Lalu satu lelaki berambut tebal sedikit pirang itu meninjukan tangannya yang telah terbungkus sarung tangan keras ke wajahku. Sebuah sarung tangan kaku yang dipakai untuk menghasilkan tinjuan dengan efek jera pada lawan. Hasilnya tidak mengecewakan. Dibawah terik mentari siang itu dengan sekali pukulan di pipi kiri cukup membuatku kesakitan. "Ayo lawan! Mana keberanian lo?! Banci!" Saat dia akan menghantamkan tinju keduanya ke wajah, aku sigap mengayunkan kaki kanan sekuat tenaga ke perutnya dengan tepat. Hingga ia terhuyung ke belakang. Skor 1-1. Hasil latihan di gelanggang bela diri mengajariku untuk menghasilkan pukulan yang tepat ketika berada dalam kondisi yang tidak menguntungkan. Dan beruntungnya lagi, aku sudah meminum obat penenang sebelum be
"Aku nggak mau ke dokter dan nggak mau lapor polisi, Mbak." Ucapku dengan tetap memeluk pinggangnya. Kepalaku juga sangat nyaman berada di pangkuan dan menghadap perut Mbak Sasha. Justru aku ingin berlama-lama seperti ini dengannya. Kakak ipar yang sangat kucintai dan ingin kurebut dari genggaman Mas Kian, kakak kandungku. Perhatiannya adalah obat terbaik untukku yang memiliki gangguan kelekatan. Sebuah gangguan mental yang kuderita sejak kecil akibat ulah Papa bersikap kasar pada Mama yang dilakukan dihadapanku. "Do, apa yang udah mereka lakuin ke kamu ini termasuk tindak pidana. Mereka harus dilaporin!" "Ntar aja." Aku hanya tidak mau kesempatan berduaan dan bermanja-manja dengan Mbak Sasha di ruang tengah terganggu hanya karena masalah pelaporan. Bisa mendapatkan kehangatan dari dia itu jauh lebih utama dari sekedar rasa sakit di ragaku ini. "Tapi mereka bisa bikin ulah lagi kalau nggak dilaporin, Rado!" Ucapnya geram. Aku terkekeh pelan lalu melirik wajahnya yang nampa
Akhirnya persidangan perceraian Risty dan Richard selesai digelar. Perjuangan berat dan besar Kak Alfonso memenangkan harta Risty yang tidak seharusnya dibagi akhirnya dikabulkan oleh pengadilan. Richard mendapatkan harta gono gini namun tidak dengan warisan Risty dari Papanya yang telah tiada. Walau begitu, masih ada masalah lain yang belum terselesaikan tapi Risty memilih untuk mundur. "Aku mundur, Mas Al," ucapnya pada Kak Alfonso. Aku, Risty, Kak Alfonso, dan pengacaranya sedang duduk bersama di ruang tamu rumah Mas Kian untuk membahas hasil persidangan hari ini. Kemudian Risty meletakkan berkas pengadilan yang tebal itu di meja kaca ruang tamu. "Aku bertekad mandiri, Mas Al. Masalah warisanku yang masih dikuasai Nenek dan Kakek, aku nggak peduli lagi. Terserah mau mereka apakan harta Papa." Kak Alfonso memandang Risty tidak habis pikir. "Ris, itu hakmu. Warisan itu bisa kamu pakai untuk modal bisnismu." "Lalu berjuang lagi di pengadilan? Aku lelah, Mas Al." "Kakek da
Perceraian Risty sudah diserahkan pada pengacara kepercayaan Kak Alfonso. Dia hanya tidak mau waktunya terkuras habis memikirkan perceraian yang diprediksi bakal alot itu. “Aku mau perceraian kami tahu beres, Mas. Masa bodoh sama harta dan warisan itu. Yang penting aku bisa lepas dulu dari Richard,” ucap Risty malam itu di rumah Mas Kian. “Apa yang jadi hakmu bakal aku perjuangin sama pengacara, Ris.” Kepala Risty mengangguk, “Makasih, Mas. Tapi aku nggak berharap banyak.” “Belum dicoba. Jangan pesimis dulu.” Aku yakin jika Kak Alfonso bisa membantu Risty memenangkan perceraian itu secara adil Semoga saja karena Risty benar-benar seperti perempuan tanpa keluarga. Bahkan Risty merelakan warisan dari Papanya jatuh ke tangan nenek kakeknya karen tetap memilih bercerai dari Richard. Apapun konsekuensinya Risty sudah pasrah dan memilih menjalani kehidupan selanjutnya sesuai versi dan kemampuannya sendiri. Kini, ia jauh lebih selektif menggunakan uang dari pada biasanya. Sudah pasti k
"Nenek dan kakek nggak akan percaya gitu aja sama ucapanmu, Ris! Kecuali kamu punya bukti kalau Richard memang main perempuan kayak tuduhanmu!" Neneknya berseru tidak terima dengan menatap Risty tajam. "Aku malas kalau harus buka cctv rumah, Nek. Buat apa aku menenggelamkan diri ke tempat yang selama ini cuma bikin aku menderita. Itu bukan rumah, tapi ne-ra-ka!""Itu artinya kamu cuma fitnah! Bisa bicara tapi nggak ada bukti yang nyata! Ini lebih kejam dari pembunuhan, Ris! Apalagi yang kamu fitnah itu suamimu sendiri!" giliran Ibunya Richard yang berseru tidak terima dengan menunjuk wajah Risty.Risty menatap semua yang ada di ruangan ini lalu berdiri dari duduknya. Kemudian aku ikut berdiri. "Silahkan kalian lihat dan cek sendiri. Masih ada di cctv rumah. Jangan suruh aku ngurusin hal sam-pah kayak gitu! Aku muak! Lebih muak lagi menjadi anggota keluarga ini!" ucapnya sungguh-sungguh dengan hati kesal sekali. Kemudian ia menatap nenek dan kakeknya bergantian. "Kalau nenek dan kak
Malam ini, Mas Kian mengizinkanku tidur di rumahnya dengan alasan harus menjaga Risty yang tidak stabil emosinya. Sekaligus ingin berbicara empat mata dengan Mas Kian tentang perasaanku pada istrinya, Mbak Sasha, yang kini sudah tidak ada lagi. Berharap Mas Kian tidak perlu khawatir aku akan melakukan hal tidak benar seperti masa lalu pada istrinya."Hatiku benar-benar udah buat Risty, Mas. Udah nggak ada lagi cinta buat Mbak Sasha. Tapi, demi kebaikan bersama, setelah kakek neneknya Risty tiba di Indonesia, aku bakal balik ke apartemen." Kepala Mas Kian mengangguk pelan. Kami tengah duduk bersama di dapur, malam-malam begini. Membicarakan urusan lelaki."Apapun itu, Do. Mas akan dukung selama kamu bisa mengendalikan isi hatimu pada orang yang nggak seharusnya. Oh ya, kapan kakek neneknya Risty datang ke Indonesia?" "Diusahakan secepatnya sama Kak Al." Keesokan harinya, aku sengaja mengetuk pintu kamar Risty lebih dulu sambil membawa segelas susu hangat. Semoga saja dia sudah bangu
"Rado, kamu dimana? Risty mengurung diri di kamar. Mas takut dia nekat!" ucap Mas Kian melalui sambungan telfon dengan suara panik. Bulu kudukku meremang begitu mendengar ucapan Mas Kian. Apa Risty berpikir ingin mengakhiri hidupnya? Astaga, Tuhan! Tolong halangi Risty melakukan itu! Baru saja aku selesai membuat kesepakatan dan negoisasi dengan Richard tentang pernikahan mereka, mengapa Risty justru seperti ini? "Mas, coba terus bujuk Risty biar buka pintunya! Aku kesana sekarang!" "Oke. Cepat, Do!" Aku segera memasukkan ponsel ke dalam saku celana lalu memasang helm. Melihatku yang tergesa-gesa, Kak Alfonso kemudian membuka suara. "Kenapa, Do?" "Risty nggak mau buka pintu kamarnya, Kak." "Apa?!" Kak Alfonso ikut terkejut. "Aku balik dulu. Makasih untuk bantuannya malam ini." Aku segera melajukan motor sport milikku menuju kediaman Mas Kian. Meninggalkan Kak Alfonso dan para bodyguardnya yang masih bersiap kembali pulang. Semoga jalanan tidak terlalu macet karena ini ham
"Rado, aku bilang pu-lang!" Risty kembali memekik di ujung sambungan telfon. Aku membasahi bibir sambil berperang dengan pikiran sendiri. "Sekali lagi aku tegasin kalau aku nggak cinta kamu! Jadi, jangan bahayakan dirimu demi aku! Nggak usah berjuang terlalu dalam demi aku karena nggak pernah ada cinta di hatiku buat kamu!" Serius kah Risty berkata demikian? Benarkah dia tidak mencintaiku barang setitik pun? Kenyamanan yang selama ini kuberikan dan segenap perhatian? "Aku tahu, kalau yang paling jatuh cinta tuh aku, Ris. Aku cinta kamu, sangat! Karena aku cinta kamu, aku putusin untuk ngasih satu kenangan yang bikin kamu bisa selalu ingat sama siapa itu Rado. Kenangan baik yang bikin kamu ingat aku dan bikin kamu bisa lepas dari pernikahan yang cuma bisa bikin kamu tertekan." "Bodoh! Aku bilang balik, Rado!" Kepalaku menggeleng dengan telfon masih menempel di telinga. "Sekali ini aja, Ris. Biar aku bantu kamu lepas dari Richard." "Kalau tahu begini, mending kamu nggak usah
"Aborsi."Kedua mataku membelalak tidak percaya mendengar pengakuan Risty. "Aku pernah hamil anaknya Richard. Karena aku benci sama dia dan pernikahan kami, akhirnya aku mutusin untuk ... aborsi, Do.""Ris?" panggilku lirih dengan kepala menggeleng tidak percaya. "Kenapa? Apa kamu mikir aku gila? Tukang tega?" ucapnya lirih dengan sorot sendu.Aku hanya memandang Risty tanpa berani berkata-kata lagi. Takut melukai egonya yang sudah lama terluka karena pernikahannya dengan Richard. Khawatir dia tidak nyaman jika aku terlalu menghakimi perbuatannya. Karena aku yakin Risty melakukan aborsi itu karena ada alasannya. "Waktu itu aku mikirnya, kehamilan ini terjadi karena Richard ngasih aku obat perangsang berkali-kali. Lalu, apa yang harus aku lakuin selain gugurin anak ini.""Aku nggak mau anak itu nanti hidup di dalam keluarga yang toxic. Keluarga yang nggak pernah ada cinta di dalamnya. Karena sampai kapanpun aku nggak akan bisa mencintai Richard atau nerima dia sebagai suami sebenarn
Hatiku takluk karena Risty memelukku dari belakang seerat ini. Amarah yang tadinya membumbung tinggi, mendadak tenggelam oleh sentuhannya yang sangat kudamba. Kepalaku menunduk lalu melihat eratan jemari indahnya yang melingkari perutku. Perlahan aku menyentuh tangannya itu. Apakah ini benar atau hanya tipuan? Benarkah Risty memintaku tetap ada di sisinya? "Jangan marah kayak tadi lagi, Do. Aku takut. Lalu, kalau kamu pergi, aku hidup sama siapa? Aku udah keluar dari rumah. Udah mengingkari janji pernikahanku sama Richard. Dan sekarang, aku cuma punya kamu. Please, jangan pergi." Aku pergi meninggalkan Risty? Itu tidak mungkin. Kecuali dia yang menyuruhku pergi. "Maaf, Ris. Tadi aku kebawa emosi," ucapku dengan mengusap tangannya lembut yang masih melingkari perutku. Bagaimana tidak emosi jika Risty menganggap keseriusanku tadi sebagai guyonan semata. Kemudian ia melepas tangannya lalu berjalan ke depanku. "Aku nggak tahu apa aku cinta kamu atau nggak. Yang pasti untuk
Di apartemenku yang sederhana, aku mengundang Risty untuk bermalam di sini usai melepaskan diri dari pernikahan beracunnya dengan Richard. Risty merebahkan tubuhnya di sofa panjang sambil memejamkan mata usai aku meletakkan kopernya. "Mau makan apa, Ris?" tanyaku dengan duduk di single sofa. "Tidur." Lalu Risty memiringkan tubuhnya ke kanan dengan nyaman. Kemudian senyumku terbit melihat tingkahnya yang masih saja menggemaskan. Meski perabotan di apartemenku tidak semewah di rumahnya, aku bersyukur Risty tidak merasa terganggu. "Aku keluar bentar. Beli stok isi kulkas. Kamu di sini atau ikut?" Risty membalik tubuhnya lalu menghadapku sambil berbaring. "Apa lo bilang? Kamu? Aku?" Kepalaku mengangguk karena telah merubah panggilan ke Risty dengan sebutan lebih akrab. "Kesambet angin apaan lo berubah seratus delapan puluh derajat?" ucapnya dengan senyum tipis sarat akan ejekan.Aku mengangkat bahu santai sambil menatapnya."Aku cuma mau membiasakan diri manggil kamu dengan sebut