Sebuah mobil mini berwarna merah muda disertai gambar Hello Kitty di bagian depan_sudut_bawah kaca mobil, berhenti tepat di depan kediaman Louison.
Para penjaga, yang tau siapa gerangan di dalam mobil pun bergegas membukakan pintu.
Dua manusia dari dalam mobil melangkahkan kaki keluar. Mereka beriringan memasuki rumah dibarengi dengan wajah tegas seperti ciri khas masing-masing.
"Di mana ayah?" Tanya Sky begitu masuk, dan langsung mengedar pandangan.
Biasanya akan ada Beni di depan atau di sekitar perapian tapi kali ini anjing botak itu tak menunjukan diri meski itu sekedar gonggongan.
"Tuan muda. Semalam tuan besar Lousion mengalami serangan jantung. Sekar
Hai,Othor kembali lagi, nih, setelah sekian hari tidak up. Hehe. Maafkeun. Othor lagi sibuk di dunia nyata. Harap maklum, yawww......Haiden membuang puntung rokoknya secara kasar. Ia sampai turun tangan. Ia merogoh saku di balik jas putihnya. Desert eagle produksi Israel tersimpan baik di sana. Beban seberat 3 kg sama sekali bukan penghalang. Ia arahkan senjata mematikan itu ke arah rumah Lousion.Orang awam tidak akan tau mulut senjata mengarah ke kepala Lousion. Namun, tidak dengan si empu kepala sendiri.Yes! Lousion paham. Haiden tengah mengarahkan senjata ke kepalanya. Tapi Lousion tidak begitu yakin tembakan Haiden bisa tepat sasaran. Maklum, jarak mereka cukup jauh.Di sebelah sana, Lousion menyeringai pongah. "Dasar keparat!"&nb
"Oh, kau ingin mengambil emas itu?"Edwin tak menggubris. Ia melirik jam tangannya sepintas. Detik demi detik berlalu. Waktu Edwin tidak banyak. Ia tak ingin basa-basi menanggapi pertanyaan Aleta. Sesuai arahan Haiden. Ia harus kembali sebelum jarum pendek berhenti di angka dua.Oke. Edwin balas tersenyum. Bukan tampan apalagi manis. Ia berwajah menyeramkan. Selayaknya preman pasar tapi lebih berkelas.Aleta memperhatikan baik-baik selangkah pria itu. Tepatnya burung yang pernah ia mainkan kemudian ia potong saat sedang tegang-tegangnya. Oh, saat itu Aleta sangat puas. Senyumnya pun mengembang."Edwin Scott," sebut Aleta untuk kali pertama memanggil nama Edwin dengan nama asli. Bukan julukan Hulk lagi."Aleta Lousion," balas Edwin, menyeringai tipis seraya merogoh saku celananya.Otomatis arah mata Aleta tertuju pada gerakan tangan Edwin. Ia lihat apa yang hendak Edwin ambil.Tanpa Aleta sadari itu adalah siasat guna mengalihkan perha
Di tengah padatnya jalanan Moskow. Mobil yang Haiden tumpangi melesat gesit. Supirnya sesekali melirik spion. Menemukan pengguna motor matic, yang di belakangnya ada boxs paket."Ada yang mengikuti kita, Mr," lapor si supir. Kebetulan ia belum tau menahu soal Jhon.Spontan Haiden dan Edwin serempak menoleh. Mereka temukan sebuah motor tengah selip sana sini guna mengejar mobil_mereka_tumpangi."Damn!" umpat Edwin. "Itu Jhon Christy. Bodyguard setan cilik ini."Alis Haiden terangkat sebelah. Sudah ia tebak, sosok Jhon pasti akan mengikuti kemanapun Aleta pergi. Lantas, pria itu merogoh saku jasnya. Ia keluarkan dessert eagle dan ia lempar ke pangkuan Edwin.Tanpa penjelasan. Edwin mengerti apa maksud Haiden. Edwin pun membuka kaca mobil secara keseluruhan. Tubuhnya menjulur keluar. Ia arahkan mulut dessert eagle ke arah Jhon.Sialan. Jhon lupa tidak memakai helm. Rombongan angin menerpa wajah Jhon. Meniup kencang rambutnya ke belakang. Memper
"Red Table nama tempat perdagangan manusia itu. Letaknya tidak jauh dari barat laut. Kemungkinan besar ada jembatan di sekitarnya. Aku belum pernah melihat secara langsung bangunan itu tapi harusnya bangunan perdagangan manusia tidak akan megah_mencolok. Pasti terletak tersembunyi, dan sulit diterima akal sehat kalau itu sebuah bangunan," terang Markus dari seberang gawai.Jhon mengikuti penerangan Markus. Ia melewati sebuah jembatan. Lajunya agak dikencangkan. Di sini ia cukup familiar karena dulu ia juga melewati jalanan ini guna mengawal petinggi sebuah perusahaan mesin roket di kota Khimki.Kemudian Jhon memasuki kawasan yang lebih ramai. Banyak bangunan di setiap sisinya. Jhon melihat-lihat mencari.Sejauh ia melajukan mobil. Ia tidak menemukan bangunan seperti yang Markus sebut."Aku tidak menemukan bangunan dengan ciri-ciri yang kau sebut," kata Jhon.Lembaran demi lembaran Markus bolak-balik. Gerakannya cepat. Suaranya sampai Jhon dengar.
Sedari Jhon masuk. Ia tidak melihat satupun penjaga. Tidak semacam club. Pasti ada penjaganya entah dua atau tiga."Kelihatannya di sini tidak ada penjaga. Sengaja begitu atau ada udang di balik batu?" tanya Jhon.Markus bergumam. "Jangan tertipu. Di setiap titik ada CCTV yang memantau semua kegiatan mereka. Bahkan kau pun sudah terekam di CCTV. Saat mereka menemukan kecurigaan, otomatis anak buah Haiden akan keluar secara tiba-tiba. Seperti saat kau di basement. Apa kau mengira ada orang di sana?"Oh, sial. Jhon baru ngeh."Artinya aku harus ekstra hati-hati karena Haiden dan Edwin sudah mengenal wajah ku.""Iya. Kalau bisa kau gunakan sesuatu untuk menutupi wajah mu. Misal topeng atau apalah tapi jangan sampai mengundang perhatian pemantau CCTV itu," saran Markus.Damn. Jhon mengumpat kesal. Datang ke tempat Haiden ternyata serumit ini. Tau begitu ia pasti bersiap-siap atau setidaknya meminta bantuan Romis juga."Jhon," panggil Mark
"Edwin!"Darah mengalir deras dari urat leher Edwin. Tampak segaris sayatan yang dalam hingga urat leher pria itu putus."Edwin!"Haiden berubah panik. Ia berjongkok kemudian memastikan Edwin masih hidup atau sudah pergi ke neraka.Tiba-tiba Haiden terduduk lemas. Baginya ini seperti mimpi. Baru saja ia melihat Edwin berdiri dengan gagahnya tapi sekarang pria itu sudah menjadi mayat.Semua pengunjung saling melihat satu sama lain. Wajah mereka tidak lagi tenang.Jhon menurunkan senapannya. Sudut bibir Jhon terangkat perlahan. Ia tau seorang wanita di balik tirai adalah si pelaku.Di balik tirai Aleta memandang lekat pisau cincin miliknya dari sang sahabat. Senyum Aleta mengembang. Darah mengalir, menghiasi punggung tangannya yang putih bagai salju.Jadi, saat Edwin menutup tirai. Sebenarnya obat pemberian Haiden telah berhenti bekerja. Namun, Aleta tidak bisa langsung bergerak karena tubuhnya telah beberapa jam tidak difungsika
"Argh!"Spontan sepupu Edwin itu melepas dagu Aleta. Darah segar mengalir dari pergelangan tangannya, tetapi luka yang Aleta berikan belum dalam. Tidak sampai memotong urat nadi laki-laki tersebut."Sayang sekali," gumam Aleta dapat laki-laki itu dengar."Setan cilik!"Aleta terkekeh-kekeh kecil. Netra indahnya mengarah pada tombak lelaki itu. Keinginan Aleta untuk memilikinya terlalu menggebu. Otaknya terus berpikir. Bagaimana caranya supaya tombak itu jatuh ke tangan Aleta.SaatttAlih-alih tengah memikirkan segudang rencana. Lelaki itu mengangkat tombaknya kemudian ia arahkan ke Aleta. Sigap Aleta menghindar."Aku peringatkan! Mengalah atau akan ku buat seluruh bagian tubuh mu terpisah!" ancam lelaki itu. "Ingat! Aku bukan Edwin yang bisa kau kelabui dan mudah kau kalahkan. Aku Tiger, Tiger yang sekali menginginkan mangsa pasti tercapai.""Tiger," ulang Aleta disusul tawa kecil terkesan mentertawakan, "apa kau tidak tau jika
Pandangan Aleta beralih ke samping. "Setan!"Lima meter di depannya ada mayat terbujur kaku dengan rambut awut-awutan serta wajah menghadap ke arah Aleta, dan wajah itu membusuk.Meskipun ruangan begitu gelap tapi Aleta mampu melihat dengan sedikit cahaya. Itu sangat menyeramkan. Ia berpaling cepat, dan mendapati Tiger tersenyum lebar dengan deretan gigi putih berkilau."Bajingan! Tempat apa ini?"Tiger terbahak-bahak. Ia senang melihat ekspresi takut dari wajah seorang Aleta. Baginya ini adalah sesuatu yang langka karena ekspresi takut Aleta sangat natural.Aleta tidak mengerti. Tempat yang ia datangi adalah satu-satunya tempat yang sangat menjijikan serta menakutkan.Tempat ini terletak paling belakang dari semua ruangan di gedung ini sendiri. Untuk mengambil nyawa para wanita pembangkang, yang Haiden miliki. Tiger, Edwin dan anak buahnya biasa menyiksa mereka di sini. Mereka berteriak kesakitan, meminta tolong, memohon ampunan hingga nyaw
Dorrr!Tarr!Peluru berdesing. Kaca belakang mobil Jhon pecah. Meski serpihan kaca tidak lari ke depan tapi Jhon reflek melindungi Aleta dengan satu tangannya, sedang tangan lain tetap memegang kendali setir."Kamu tidak terluka, hah?" Jhon bertanya khawatir.Aleta melihat ke depan. "Fokus saja ke depan! Biar aku yang menghadapi mereka!"Jhon tak yakin tapi dia tahu Aleta tak bisa diremehkan. "Jika merasa tak aman, kamu harus segera sembunyi!"Aleta seolah tak menghiraukan. Gadis yang beberapa jam lalu mengucapkan janji suci pernikahan di hadapan Pendeta, Jhon dan banyak orang itu, kini mengeluarkan senjata api dari saku jok lalu berpindah ke belakang walau sulit sekalipun."Dua mobil!" seru Aleta.Jhon melirik kaca spion. Dia yakin mobil paling depan ditumpangi Sky dan Markus, sedang mobil di belakangnya mungkin anak buah Sky.Dorrr!Tak mau kalah, melalui celah pecahan kaca mobil, Aleta menembakkan senjata apinya.Tarrr!Bidikkan Aleta berhasil menembus kaca mobil depan mobil yang d
Waktu bergulir.Jhon berhasil membujuk Ibunya segera pergi dari acara pernikahan anak temannya itu usai dirinya berbohong jadi tak sabar ingin menikah juga.Ibunya sangat senang, hingga sepulang dari sana mereka langsung mampir ke kantor catatan sipil guna mendaftarkan pernikahan Jhon bersama Aleta minggu depan.Lebih bagus lagi, Jhon berhasil merayu Ibunya tidak pergi ke pasar karena jika wanita itu sudah pergi ke pasar maka kaki Jhon bisa dibuat bergetar saking lelahnya berkeliling.Sekarang mereka berada di rumah.Ibunya Jhon menikmati secangkir teh di lantai dua yang berhadapan dengan bukit-bukit, sedang Jhon bersama Aleta berhadap-hadapan secara serius."Mereka dalam perjalanan ke sini," ungkap Jhon sungguh-sungguh.Aleta mengangguk tak kalah serius. "Lalu bagaimana?""Kedatangan mereka pasti akan membuat kekacauan," tebak Jhon, "jadi kita harus pergi dari sini setelah menikah nanti."Aleta mengangguk sekali lagi. "Setuju!""Kamu punya tempat rekomendasi?""Moskow," jawab Aleta m
Aleta dan Jhon duduk berdampingan di salah satu kursi tamu.Kebingungan tampak jelas di mata Aleta, sedang di mata Jhon hanya ada perasaan campur aduk yang bisa saja membuatnya mencekik siapapun.Ibu pria itu tidak duduk bersama mereka tapi bergabung dengan Ibu-ibu lain untuk bergosip dan tertawa renyah tanpa beban."Bisa-bisanya anak sebesar diriku dibawa kondangan!" geram Jhon tertahan.Aleta menoleh bertanya. "Kondangan itu apa?""Mendatangi hajat orang lain. Contohnya seperti ini. Kita datang sebagai tamu yang menyaksikan pernikahan mereka," jawab Jhon.Aleta manggut-manggut. "Kalau begitu, aku juga pernah kondangan.""Kapan?" tanya Jhon balik."Sudah lama, jauh dari Moskow.""Apa seperti ini?" tanya Jhon lagi.Aleta mengedarkan pandangan lalu menggeleng samar. "Tidak ada pisang sebanyak itu."Jhon mengarahkan pandangannya pada pisang dua tundun yang menempel pada tiang-tiang akses masuk Pendopo."Tidak ada tumpukan makanan yang berjajar seperti itu, tidak ada toples cemilan dan a
Hap!Tangan Jhon sigap menangkap. Dan tak mau menunggu celurit lain datang, Jhon langsung melarikan diri ke kamarnya.Brak!Tepat setelah pintu tertutup, ujung celurit berhasil menembus pintu kayu kamar Jhon dan itu hampir saja mengenai kakinya kalau dia tidak segera melompat."Ya Tuhan, baru ditinggal beberapa bulan bar-barnya semakin mengerikan!""Jhon! Keluar!" teriak Ibunya.Jhon berlari melompati tempat tidur lalu buru-buru membuka lemari. Dia menggeledah seluruh isinya sampai menemukan set pakaian anti benda tajam yang dulu digunakan sebagai perlindungan ekstra.Sekarang set pakaian itu kembali dipakai lantas Jhon membuka pintu kamar sebelum pintunya rusak akibat serangan Ibunya."Cukup!" teriak Jhon setengah emosi, "pintu kamarku bisa ganti tujuh kali nanti!"Ibunya masih berdiri di tempat. Dengan seringai lebar, dia mengisyaratkan Jhon naik maka Jhon pun mengikuti."Lumayan," ucap Ibunya sambil memperhatikan Jhon dari ujung ke ujung."Di sana aku bekerja sebagai Bodyguard. Har
Jhon menarik Ibunya masuk. Sambil sesekali melihat ke luar, pria itu memprotes wanita tersebut. "Apa-apaan Ibu ini!"Ibunya menanggapi dengan santai. "Aleta bilang kalian sudah tidur bersama, tentu menikah cepat adalah jalan terbaik."Jhon melotot ternganga. Pria itu tak menyangka Aleta bisa berkata terang-terangan seperti yang diakui Ibunya."Gadis itu tidak bohong, bukan? Kamu dan dia sudah …" Ibunya sengaja menggantung kalimat sambil mengisyaratkan sesuatu.Karena sudah terlanjur diketahui, Jhon pun tak mengelak meski sebenarnya sangat malu. "Iy–a, itu ben–ar tapi pernikahan kita tidak bisa secepat itu, Ibu!"Ibunya menggerakkan jari telunjuknya ke kanan dan kiri. "Tidak bisa, Jhon! Kamu sudah merenggut kesuciannya jadi kamu harus sesegera mungkin menikahi Aleta.""Bu!""Ingat, Jhon! Kamu ini tinggal di Indonesia. Adatmu disini jangan disamakan dengan negara di luaran sana!" Marah Ibunya. "Masih syukur Ibu tidak memukulmu!"Jhon tahu maksud ibunya namun dia tetap tak bisa menerima
Lima jam berselang."Sudah hampir lima jam tapi Ibumu belum datang," keluh Aleta, "apakah rumahmu sejauh Arab Saudi, hah?"Jhon mendaratkan telunjuknya ke permukaan bibir gadis itu. Dan pacarnya yang bar-bar langsung membuka mulut menggigit ujung jarinya."Awh!" pekik Jhon refleks."Kalau masih lama, aku ingin tidur saja." Kesal Aleta.Jhon melirik jam tangannya pelan. Waktu menunjukkan pukul tiga sore, dan seakan sudah tahu sebentar lagi Ibunya datang, pria itu langsung mengemas barang sekaligus mengambil fasilitas hotel yang boleh dibawa pulang."Apa-apaan ini?" Protes Aleta padahal dia sudah siap tidur.Jhon menjawab santai. "Siapkan dirimu, sebentar lagi Ibuku sampai."Aleta melotot kesal luar biasa. "Ya Tuhan!"Drrr! Ponsel Jhon bergetar. Setelah membaca isi pesan, pria itu tanpa komando menggandeng tangan Aleta serta membawanya keluar.Aleta pasrah mengikuti. Dan begitu mereka sampai di pelataran parkir hotel, Aleta dibuat membatu karena rupanya mobil yang digunakan Ibunya Jhon
"Indonesia," ulang Aleta dengan mata menerawang."Efek obat pemberian Ayahmu seharusnya sudah hilang. Apa sekarang kamu mengingat setiap momen di sana?" tanya Jhon serius.Aleta mengedikkan bahu secara malas. "Aku malas mengingatnya kecuali ..." Dengan kalimat menggantung, gadis itu menatap dan membelai wajah Jhon begitu lembut."Tentang pertemuan kita," sambung Jhon disertai seulas senyum.Aleta balas tersenyum, tetapi kali ini senyumannya benar-benar terlihat tulus. "Asal bersamamu, kemanapun aku tidak masalah."Bunga-bunga bagai bermekaran di hati Jhon. Sudut bibirnya terangkat tinggi, dan sekali lagi dia merangkul Aleta penuh cinta.Kemudian hari berganti.Persiapan keberangkatan Jhon dan Aleta ke Indonesia telah siap keseluruhan. Guna mempermudah pelarian mereka bila mana musuh tiba-tiba menyergap, mereka sengaja tidak membawa banyak barang.Pada pukul sepuluh malam, mereka akhirnya memasuki pesawat dan duduk saling bersebelahan. Tak kurang dari sepuluh menit, pesawat terbang men
Cittt!Aleta menghentikan laju mobilnya tepat di depan kantor agen bodyguard milik Romis.Berhubung sudah lewat dari pukul sebelas malam, suasana kantor telah begitu sepi bak tak berpenghuni. Hanya saja, akses utama masuk masih bisa dibuka dan sekarang Aleta melewatinya dengan langkah lebar.Ceklek! Byur!Gadis itu membuka pintu ruangan Romis tanpa aba-aba. Alhasil Romis yang tengah menyeruput kopi sembari menatap laptop, pun seketika menyemburkan kopinya."Kamu …" Penampilan Aleta sungguh jauh berbeda dari kali terakhir dia meninggalkan ruangan Romis, terutama pada bagian belahan pahanya yang nyaris menyentuh pinggul. "Mengambil pakaian di bak sampah mana kamu sampai robek-robek seperti itu?"Aleta tak memperdulikan pertanyaan Romis. Gadis itu membuka genggaman tangannya, sehingga tampak robekan dari gaunnya yang sudah berlumuran darah serta mengeluarkan bau anyir.Perasaan Romis mendadak tak enak. Jakunnya naik turun, ancang-ancang mengambil posisi melarikan diri.Seraya tersenyum
Beberapa detik setelah Haiden keluar, Aleta langsung menghampiri sasarannya!Aleta duduk menyilangkan kaki. Berkat belahan rok yang tinggi, paha mulus gadis itu terekspos di mata sasaran tersebut.Gluk! Sasarannya menelan ludah diikuti jakunnya yang naik turun seakan menahan dahaga.Aleta memanfaatkan hal ini dengan menatap sasarannya penuh gairah. "Izinkan aku bermain, Tuan!"Gluk! Sasarannya menelan ludah sekali lagi lalu mempersilahkan Aleta ikut andil dalam permainan casino mereka. "Silahkan."Aleta lekas meletakkan uangnya di atas meja.Lantaran nominalnya terlalu kecil di mata para pemain casino kelas kakap ini, nominal itu menjadi bahan lelucon mereka. "Nona! Kalau tidak punya uang tidak perlu bertaruh!""Ha ha ha, cantik tapi miskin!""Terlalu sedikit tapi kalau disandingkan dengan tubuhmu mungkin akan seimbang!"Rasanya, Aleta ingin menembak mulut mereka atau merobeknya menjadi tujuh bagian. Hanya saja, sekarang dia masih harus berakting terlihat lembut, anggun dan menggiu