Seorang pria dengan dengan setelan jas hitam dan kemeja biru, sudah berdiri di pintu masuk. Rambutnya klimis di sisir kebelakang, iris matanya biru dan tersenyum ramah.Pria itu diikuti sepasang pria dan wanita dengan setelan jas hitam dan kemeja putih dibelakangnya. Keduanya masing-masing membawa koper kecil."Apa ini kamar tuan Dario?" tanya pria itu."Benar, tuan," Stefanie yang menjawab."Apa kedatangan saya mengganggu?" tanya pria itu lagi melihat dua wanita di ruangan itu sembab sehabis menangis."Tidak. Tidak apa. Silahkan masuk. Ada yang bisa kami bantu?" kata Stefanie balik bertanya.Ketiga orang itu pun masuk. Mereka memperkenalkan diri. Pria paling depan adalah Detektif Aaron. Sedangkan yang dua lagi adalah Detektif Bordon dan Hailey."Apakah anda nona Wendy?" tanya Aaron."Iya, benar detektif. Namaku Wendy," ucapnya."Aku ditugaskan dalam kasus penculikan anda. Mungkin aku akan sering mengganggu mu nanti. Apakah tidak masalah?""Tidak masalah, tuan Detektif.""Baiklah kalau
Boa Groups mempunyai banyak lini produksi dari berbagai bidang, seperti elektronik, fashion, perhiasan, makanan. ekspor impor bahkan perusahan keamanan pun ada.Proyek terbaru Stefanie berkaitan dengan produk makanan yang baru dikeluarkan oleh perusahaan, yaitu buah kalengan siap makan.Respon pasar cukup bagus. Makanya perusahaan memutuskan membangun pabrik di pinggiran kota dekat dengan perkebunan.Tujuannya tentu saja agar buah yang baru dipanen bisa langsung diproses di pabrik agar tetap segar."Bagaimana perkembangan proyek mu?" tanya Dario saat mereka makan siang bareng di atas atap. Seperti biasa, Stefanie sibuk dengan makanannya."Cukup bagus," jawab perempuan itu setelah menenggak setengah botol minuman. "Pembangunan jalan cukup lancar berkat bantuan mu kemarin itu.""Baguslah. Bagaimana dengan pabriknya?" tanya Dario lagi."Tingkat produksi sudah lumayan, tapi belum bisa memenuhi kuota yang diinginkan perusahaan. Rencananya perusahaan akan menambah pekerja lagi.""Kau bisa l
Image Dario di kantor adalah seorang kutu buku. Memakai kacamata hitam dengan bingkai besar, dia dianggap hanya karyawan titipan.Tidak banyak karyawan divisi Marketing yang mau dekat atau sekedar menjadi temannya.Stefanie yang sering ngobrol dengan Dario hanya di anggap sikap atasan kepada bawahan, tidak lebih.Minggu pertama, karena seringnya interaksi mereka, yang lain melihatnya mereka sudah tidak hanya atasan bawahan.Sering Stefanie kedapatan wajahnya merah dengan senyuman tersungging bila di dekat Dario. Tentu saja yang lain mengira mereka sudah pacaran.Hal itu menimbulkan kecemburuan di antara para pria. Karena Stefanie salah satu kembang di divisi marketing mereka.Ivan adalah yang paling benci dengan Dario. Tentu saja karena dia merasa lebih baik dari anak baru kutu buku itu.Dia sudah jatuh cinta pada Stefanie sejak hari pertama melihatnya. Tapi belum ada seminggu, Stefanie malah terlihat dekat dengan Dario.Dua orang preman melangkah masuk diikuti oleh seorang pemuda kli
Salah satu preman itu melihat Dario menuruni tangga. Segera yang lain berlari mengejar kearah Dario berada.Puluhan tongkat kayu dan pemukul besi melayang di arah kan ke tubuh Dario. Salah satu preman maju dan melayangkan tongkat yang ia pegang dengan ganas.Dari belakang juga ada yang ikut menyerang. Dario menghindari keduanya sekaligus. Diraihnya tangan pria pertama dan mengarahkan tongkat yang ia pegang ke preman kedua hingga mengenai kepalanya. Satu jatuh.Dia kemudian merampas tongkat yang sudah menjatuhkan pria kedua dan menendang terbang pria pertama.Melihat hal itu, preman yang lain mulai lebih hati-hati. Mereka tidak ingin kena balik pukul oleh tongkat yang mereka pegang."Serang bersamaan!" teriak salah satunya.Puluhan orang yang mengepung Dario menurut. Mereka langsung mengarahkan senjata yang mereka pegang.Bak! Buk! Bak! Buk!Dengan lincah, tongkat yang dipegang Dario mendarat mulus diberbagai bagian tubuh para preman itu.Mereka jatuh satu persatu sambil memegang bagia
Dario seakan merasakan Dejavu. Bagaimana tidak, baru Minggu lalu dia melihat langit-langit dengan warna serba putih.Kali ini pun sama. Yang pertama kali dia lihat adalah langit-langit itu. Bedanya di luar sudah gelap. Kemerlip lampu kota terlihat dari balik kaca jendela.Dibagian perutnya yang terluka, ada perban tebal yang menempel. Dia masih bisa merasakan nyeri saat dipukuli oleh Delano."Kau bisa kalah juga?"Suara seroang wanita terdengar sinis. Dario tahu pemilik suara ini tanpa perlu melihatnya."Yah, mau bagaimana lagi. Kalah ya kalah." Kata-kata Dario terkesan acuh tak acuh."Payah, baru satu kali kalah saja sudah seperti dunia mau runtuh. Kemana orang kampung optimis yang aku temui malam itu?""Sudahlah, bos. Aku sudah kalah. Kalau kau ingin membuangku, aku akan segera pergi dari hadapanmu."Lili tertawa pelan. Dia menatap Dario yang masih melihat keluar jendela."Aku terlalu berharap tinggi padamu."Lili bangun dari tempat duduknya dan melangkah keluar."Tunggu! Bagaimana
"Lagi ngapain?"Sebuah suara menyela saat Dario sedang mengganti perban di perut. Lukanya sedikit terbuka setelah siang yang 'panas' tadi.Dario menengok kebelakang. Stefanie sedang berjalan ke arahnya dengan memakai kemeja flanel miliknya yang nampak kebesaran.Jujur saja di mata Dario, wanitanya ini terlihat sangat seksi. Apalagi rambut panjangnya diikat cepol ke atas menampakan leher jenjangnya yang putih."Sudah bangun? Enak tidurnya?" tanya Dario sambil meneruskan membersihkan luka dengan alkohol.Muka Stefanie bersemu merah ditanya seperti itu. Badannya pegal-pegal setelah hampir satu jam lebih dikerjai oleh pria dihadapannya ini."Terbuka lagi, ya?" tanya Stefanie lagi melihat dengan sedikit ngeri setelah duduk di samping pemuda itu.Dario mengangguk. Dia ambil salep dari rumah sakit dan mengoleskannya pada luka diperutnya. Setelah itu dia membalutnya dengan kapas dan perban."Tidak balik ke kantor?" ganti Dario yang bertanya."Hhmm, lebih enak disini," jawab Stefanie sambil te
Fiona membawa Dario ke dapur. Dario melihat ada dua pria berpakaian koki menatapnya dengan pandangan berbeda.Yang pertama adalah pria paruh baya yang duduk sambil meringis memegangi kakinya. Ada ruam kebiruan disana. Pria itu nampaknya keseleo.Sedangkan yang satu lagi lebih muda, mungkin seusia Fiona. Dia menatap Dario dengan tidak suka, apalagi tangan Fiona masih memegang tangannya."Ayah, ini Dario yang aku bilang. Dia bisa memasak. Aku sudah minta tolong padanya.""Aku masih bisa Fiona. Tidak perlu merepotkan temanmu," ujar Ayah Fiona.Dia mencoba berdiri, tapi kemudian kembali duduk sambil meringis menahan sakit."Sudah kubilang, aku saja cukup, Fiona. Biarkan paman Haris istirahat."Pria muda itu kini ikut bicara. Dia masih memandang Dario dengan tatapan bermusuhan.Dario hanya mengabaikan pria itu. Dia memandang Haris yang sudah masih meringis."Biarkan aku membantu, paman. Aku tadi lihat menu restoran. Aku bisa beberapa," ujarnya.Anak muda yang jadi pelayan di depan, masuk d
"Ini enak. Rasanya berbeda dari yang aku biasa masak."Haris mulai bicara duluan, sedangkan Fiona dan Fino berlomba menghabiskan makanan di piring.Ian tidak percaya. Dia ambil sendok sendiri dan ikut makan masakan Dario. Matanya melotot setelah memakannya.Benar kata Haris, masakan Dario berbeda dengan yang biasa Haris dan dia masak. Rasa bumbunya lebih terasa. Dagingnya juga tidak lembek atau pun keras."Bagaimana kau bisa hasil masakan mu seenak ini? Kau pakai resep apa?" Ian berbalik menghadap Dario dan menghujaninya dengan pertanyaan."Aku hanya memasak lagi dagingnya dengan beberapa bumbu sampai setengah matang sebelum dicampurkan dengan yang lain," jawab Dario santai."Apakah memang ada seperti itu, paman?" tanya Ian penasaran. Fiona dan Fino pun sama."Iya, memang ada. Kenapa tidak terpikirkan oleh ku dari dulu ya."Keempatnya kemudian memandang Dario dengan tatapan yang sama, mereka kagum dengan hasil masakannya."Kenapa? Apa aku tampan?" tanya Dario iseng.Keempatnya kompak
Pria yang baru datang itu tidak memiliki badan sekekar para bajingan yang menggangu Stefanie. Sosoknya terlihat kurus dengan sebuah kacamata kotak yang terpasang di wajahnya.Namun meski begitu, tangan Jhon tidak bisa lepas dari genggaman pria itu bagaimanapun dia mencoba. Hanya tatapan dingin dari pria itu yang membuat dia merasa merinding."Dario," Stefanie membisikan sebuah nama."Apakah kalian tidak mengerti bahasa manusia? Pelayan ini hanya ingin kalian tidak membuat keributan."Dengan sekali hentakan, Jhon terhuyung mundur yang langsung ditahan oleh Tomi. Bajingan itu merasa malu ketika tidak bisa lepas dari genggaman lawannya dihadapan banyak orang."Siapa kau bajingan? Berani menggangu kesenangan kami geng Red Bull!"Untuk menutupi rasa malunya, Jhon langsung menyerang Dario. Dia tidak ingin terlihat seperti badut dihadapan semua orang.Sementara dua temannya hanya melihat dengan tatapan galak, Jhon malah tersungkur setelah se
Fabian hanya bisa mengulum senyum melihat bosnya makan dengan lahap. Dia masih berdiri dengan tenang di samping Lili. Meskipun terlihat sederhana, masakan yang dibawa Fabian terasa berbeda. Tadinya sang bos muda terlihat ragu begitu tudung saji dibuka. Baginya yang sudah pernah berkeliling dunia, semua makanan sudah pernah dicoba. Dia pun agak skeptis dengan apa yang dilucapkan Fabian. Namun saat suapan pertama memasuki mulutnya, gadis itu tanpa sadar segera menghabiskan makanan yang di meja. Nafsu makannya yang sudah hilang beberapa Minggu ini, langsung bangkit begitu saja. "Dimana kau menemukan koki ini, Fabian? Apa kau tidak memesan makanan ini dari restoran terkenal?" Ada nada penasaran yang keluar dari pertanyaan yang Lili ucapkan. "Bukannya sudah saya bilang tadi nona, anda malah bertemu koki ini terlebih dahulu daripada saya." Lili tentu saja berpikir siapa saja orang yang dia kenal. Belakangan ini kecuali Dario, yang lain sudah dia kenal sejak lama. Dia hanya
Perubahan tampaknya jelas sedang terjadi di Boa Groups. Baik di kantor pusat atau kantor cabang, beberapa orang yang dicurigai telah ditangkap atas tuduhan penggelapan dana dan menerima suap.Mereka-mereka yang ditangkap tidak hanya dari pihak eksekutif dan manajerial, beberapa di antaranya malah hanya karyawan biasa tapi bisa membeli barang-barang yang kelihatannya cukup mahal.Hal ini tentu membuat kaget para kolega yang bekerja dengan benar untuk perusahaan. Efeknya timbul rasa saling curiga antar karyawan.Efek lainnya membuat kepercayaan publik jatuh sehingga membuat saham perusahaan menurun. Beberapa perusahaan lain yang bekerja sama dengan Boa Groups juga meninjau kembali kerjasama mereka.Sebagai orang yang sudah berkutat dengan bisnis selama puluhan tahun, Edinson sudah meramal hal itu akan terjadi.Saat ini dia tak perduli dengan saham perusahaannya yang turun dan lusinan telepon dari para pemegang saham menanyakan komitmennya.Edinson hanya ingin menyelamatkan sesuatu yang d
Sore menjelang malam, saat sang surya berada di ujung ufuk sebelah barat, sebuah kereta berhenti di stasiun kecil yang sepi. Hanya ada satu atau dua petugas yang terlihat di stasiun itu.Sepasang pria dan wanita turun dari gerbong belakang kereta. Tak lama kemudian, kereta itu berjalan kembali meneruskan perjalanannya. Deru suaranya kemudian hilang setelah kereta menjauh.Sang pria menuntun sang wanita dengan hati-hati. Perut sang wanita yang membuncit, menandakan ada satu kehidupan yang akan menyongsong dunia sebentar lagi."Hei Revano, kau akhirnya pulang juga!" sapa salah satu petugas yang berdiri di dekat pintu keluar masuk stasiun. " Apakah dia istrimu?""Ah, tuan Galileo, lama tak jumpa," balas pria bernama Revano itu sambil tersenyum. Dia memandang lembut ke arah sang wanita." Ya, dia istriku, Jovanka. Kami akan disini sampai anak kami lahir.""Salam, tuan Galileo." Kini giliran Jovanka yang menyapa pria paruh baya yang berusia akhir 30an."Ah, senangnya. Kau pergi begitu lama
Sosok cantik dengan penampilannya yang elegan masuk tanpa permisi. Kehadiran sosok itu membuat Raven dan Dario berhenti tertawa. "Selamat datang, Nona." Ucap ketiga orang di ruangan serentak. Lili masuk diiringi Fabian dibelakangnya. "Apa kalian sedang menertawakan Rhino?" Lili kembali bertanya. Raven hanya tersenyum simpul. Rhino terlihat suram, sedangkan Dario hanya bisa nyengir saja. "Rhino kalah cepat dalam memburu tersangka yang meracuni saya, nona Lili. Ada yang berhasil menangkapnya sebelum dia. Makanya lihatlah wajahnya bagai rebusan ubi sekarang." "Sial kau, Raven. Semoga kakimu membusuk dan kau hanya bisa diam di ranjang selamanya." "Hei... Hei... Bukannya itu terlalu kejam?" Fabian yang sedari tadi diam ikut bicara. "Biarkan saja, Fabian. Orang tua itu kalau stress memang seperti itu." Raven kembali terkekeh. "Huh, aku jadi kangen dengan Raven kecil yang tidak banyak omong." Rhino hanya mendengus kesal. Lili hanya bisa tersenyum melihat interaksi dua sahabat itu. Da
Mobil Ferrari yang dikendarai oleh Connor perlahan memasuki gerbang rumah utama keluarga Wallace. Saat itu jam makan malam, lampu-lampu cantik sudah menyala, berderet memenuhi taman yang berada di sebelah parkiran. Sebuah mobil VW hitam sudah terparkir tak jauh dari Connor menghentikan mobilnya. Beberapa penjaga yang berjaga menyapanya dengan hormat. Setelah di parkir, Gerald sudah menunggunya di depan pintu masuk. Wajah Connor tidak terlihat baik-baik saja. Dia bisa menebak kenapa dia dipanggil kesini. "Selamat datang, tuan muda. Tuan Besar sudah menunggu di meja makan." Ucap Gerald sopan. Dia membukakan pintu dan membiarkan cucu tertua majikannya untuk masuk. "Apakah tuan besar sendirian?" tanya Connor yang berjalan di depan. "Tidak, tuan. Ada tuan Gustav yang menemani tuan besar." Desahan pelan keluar dari mulut Connor. Malam ini bisa jadi malam yang berat untuknya. Gustav seingatnya adalah teman dekat kakeknya. Saat Perusahaan Penjaga Boa didirikan, Gustav menjadi instruktur
Hasil perlombaan hari kedua benar-benar di luar dugaan. Dua kontestan paling potensial sama-sama tidak mendapatkan poin karena gagal finish.Penyebab keduanya gagal adalah karena anak buah Lili yang dipertengahan lomba malah disangsikan untuk bisa melanjutkan. Di kubu Reynold, hasil kurang bagus yang mereka terima dalam dua hari lomba membuat ayah dan anak kelimpungan. Mereka sudah menyiapkan para pengawal terbaik untuk kontes ini. Namun adanya insiden kecelakaan beberapa pengawal, membuatnya kekurangan kekuatan. "Sudah ku bilang dari dulu, fokus untuk mengembangkan anak buahmu!" Suara Robert terdengar gusar. Dihadapannya ada Reynold dan Rose. Tampang keduanya tidak terlalu bagus. "Jika tidak ada insiden sebelum lomba, anak buahku bisa melakukannya dengan lebih baik," Reynold mencoba membela diri, tidak mau disalahkan sepenuhnya. Brakk! "Omong kosong! Kau tidak lihat apa yang terjadi dengan anak buah Lili? Dia juga mengalami
Seorang pria tinggi besar melangkah santai mendekati Eros dan Randolf berada. Jaket kulit, celana serta sepatu tentara yang dia kenakan menunjukan aura yang mendominasi. "Jedi?" Sebelum ada jawaban, Randolf terlihat mengambil senjatanya dengan tangan kiri. Eros segera berlari kemudian setengah melayang menerjang tubuh sang lawan. Tanpa ampun Randolf langsung terlempar menabrak dinding. Seteguk darah keluar dari mulutnya. Erang kesakitan tak bisa tertahan. Setelah melakukan tendangan tadi, Eros juga ikut terjatuh. Dia bangkit dan mengambil pistol. Setelah mengeluarkan isinya, dia melempar senjata itu ke sungai. Jedi datang dengan senyum sumringah. Sementara Eros masih merasa De Javu dengan kejadian tadi. Dia mengingat ketika di keroyok di sebuah gang dan diselamatkan Jedi. Keduanya berpelukan. Jedi jadi orang yang terlihat paling bahagia. "Aku sudah mencari mu keliling kota selama berbulan-bulan. Tidak kusangka Eros yang melegenda malah mau mati di bawah kolong ini." Senyum meri
Dulu sewaktu sudah belajar mengingat, keadaaan yang membuat Eros menjadi pribadi yang dingin dan hanya ingin sendirian.Hidup hanya dengan nenek tanpa kasih orang tua, membuatnya berpikir dunia bukan tercipta untuknya. Meski pikirannya sedikit berubah saat dia bersama Jedi mengukir legenda sebagai yang terkuat di kota, pikiran itu kembali terbawa sampai dia tiba di Roswell.Kesialan satu persatu menghampirinya yang masih hijau untuk hidup di kota besar. Dia pernah ditipu hingga semua uang yang dia bawa hilang.Pernah juga disiram sang pemilik toko ketika pagi menjelang setelah semalaman menumpang untuk sekedar memejamkan mata.Bahkan harus mengorek tempat sampah mencari makanan sisa hanya untuk sekedar memenuhi perutnya yang lapar. Berbulan-bulan Eros bekerja serabutan dengan tidur dimana saja. Dia kerap berpindah-pindah hingga bisa kenal dengan beberapa orang yang senasib dengannya.Dengan mereka, Eros belajar arti sebuah ketulusan. Meski sama-sama kekurangan, mereka siap selalu sa