Diran terganggu oleh suara-suara itu. Teriakan memilukan yang bohong jika tak membuatnya merinding dan waspada. Jika wujudnya sekarang adalah seekor serigala, maka telinga Diran akan terbuka lebar dan bulu-bulu putihnya menegang. Diran memperhatikan sekelilingnya, kepakan jendela tak tertutup memperlihatkan langit yang hitam. Diran heran sendiri, tak menyadari kapan dirinya tertidur.
Baru saja ia ingin bangun, terasa berat di dadanya. Rin, ia mendekap Diran dan tertidur di posisi itu. Hampir Diran mengira pertemuannya pada Rin hanyalah mimpi. Dan tak mengerti harus
“Biarkan aku ikut!” lirih Isabel hampir tak sanggup menegakkan tubuhnya. Efek kehilangan banyak darah, walau tak akan membuatnya mati.Diran dan William diam saja. William, sepertinya itu yang ia inginkan. Tak ingin melibatkan siapa pun dalam perjalanannya menemukan kunci spiral Denova. Kunci itu, Rin yang membawanya ke Slavidion dan ia tak sengaja menjatuhkannya. “Aku tak menyangka benar benda itu yang kalian cari,”ucapnya ketika Diran bertanya soal kunci. “Rick Albert, kupikir dia tahu soal kunci spiral Denova. Dia juga tahu soal kembarannya France Albert mendatangi Diana u
...[Aku bisa mengingatanya, selama 600 tahun dan tak pernah lekang. Saat matahari bergerak ke bawah dan ketika tak sengaja melihatmu di antara cahayanya yang menyilaukan, aku merasa berdosa karena telah membiarkan detik itu merekam keanggunan yang kau miliki. Aku seorang pangeran, tapi aku sadar aku tak berdaya di hadapan raja, ayahku sendiri. Ironi seperti apa yang membuat seorang anak berani merebut calon ratu ayahnya sendiri? Terkutuklah aku dan aku tahu aku mulai gila saat berpikir seperti itu.Tapi, Putri! Tidakkah kau juga melihatku saat itu? Dan kita saling bicara dalam diam. Lalu, batinku bertanya, “Bisakah kau menjadi Queen of Rose saja, agar aku bisa memandangimu setiap saat?”Di jalan tempat aku melihatmu, adalah jalan dengan batu alam tersusun rapi. Di sisi-sisinya berjejer bangunan sederhana tak terlalu tinggi, yang seolah hanya terbuat dari tanah. Yang sebenarnya, tempat itu adalah benteng istana yang akan lebih dulu hancur j
Mata Isabel memicing. Dalam, dan lebih dalam pada dasar kolam Houston. Airnya yang jernih, membuat dasarnya terlihat sangat dekat. Atau, itu hanyalah sebuah ilusi. Bahkan Diran tidak tahu persis seberapa dalam kolam itu. Yang jelas, siapa pun mencoba masuk ke sana, akan tenggelam. Tidak sedikit catatan tentang mayat mengapung di kolam itu. Beberapa berhasil diselamatkan karena Diran yang coba menarik dan mengeluarkan mereka. "Seperti ada yang menarikku, mengikat kaki dan mendekap tubuhku. Aku mencoba berteriak, tapi air bukan jalannya gelombang suara," begitulah kesaksian mereka.
Seperti kilat, cahaya itu menyambar dari sisi kiri Isabel. Tubuh Rin melayang, kemudian turun dengan perlahan. Ada seseorang yang menyembutnya, “Kamu baik-baik saja?” tanyanya. Pertanyaan yang terdengar tak berguna, karena sebenarnya Diran bisa melihat sendiri bagaimana Rin dalam genggamannya.Isabel berpaling, feeling-nya terasah untuk setiap kehadiran makhluk setengah iblis di belakang. Berjalan dengan lambat, tapi aroma kemarahan jelas terlihat dari api-api kecil berwarna hitam yang berkobar di seluruh tubuhnya. Jemari William terselip di saku celananya sendiri, mungkin untuk menyembunyikan betapa mengerikan dan berbahayanya jari itu.“Kenapa kamu bisa ada di sini?” Isabel terbata.William memakunya, dalam diam dan sorot mata yang membuat tangan Isabel bergetar. Isabel tersudut. Tidak ada celah untuknya berlari saat itu. Ia sempat melangkah mundur untuk menjauhi William, tapi kini, ada lemari buku besar di belakangnya.“Menurutmu, k
“William tidak akan menyakitimu, apa pun yang terjadi.”Diran mengucapkan kalimat itu tanpa sedikit pun keraguan. Isabel percaya. Tapi, tetap saja ia menyimpan rasa bersalah yang membuatnya ingin membatasi diri terhadap William.“Aku tidak tahu bagaimana memperbaiki ini. Sekarang aku merasa lebih buruk lagi karena telah melarikan diri,” ucap Isabel pada Rin sambil memperhatikan leaflet yang ada di tangannya. Leaflet berisi informasi tentang sekolah seni yang akan mereka datangi. Lady Vanvier mengirim semua murid Slavidion ke beberapa sekolah seni yang ada di kota itu sampai batas waktu yang tidak ditentukan. Sebuah kebijakan agar siswa-siswi Slavidion tetap bisa melanjutkan pendidikan mereka setelah sekolah itu ditutup.Sudah terlihat gerbangnya, Clair Art School, sekolah seni setingkat SMA yang berjarak sekitar 10 menit dengan kereta cepat. Turun dari stasiun kereta, Rin dan Isabel masih harus berjalan lagi
Sudah hampir dua jam William berdiri di dekat gerbang Slavidion. Tarikan napas agar bisa lebih rileks, ia terapkan setiap tiga puluh detik dan berakhir dengan beban untuk memulai ritual dari awal lagi.“Apa Anda tidak malu dengan mereka?” tanya Diran yang lebih dulu berada di luar gerbang Slavidion. Di sekitar mereka, makhluk Slavidon lain bersliweran seperti sedang berada di pintu pasar malam. Makhluk dengan gradasi warna samar dan pucat itu memperhatikan William heran. Sejak tadi, pangeran itu hanya mengacungkan tangannya tanpa berani menyentuh batas antara Slavidion dan dunia luar. Jika dulu Diran melihat dinding pembatas itu sebagai sesuatu yang hitam dan tidak konsisten, sekarang semua itu telah hilang. Jernih. Bening. Pandangannya jadi semakin luas.“Apa tidak jadi saja? Anda bilang sendiri ‘kan makhluk malam Slavidion, kecuali Black Finger, tidak ada yang punya kekuatan.”“Tidak. Kita tetap harus mencari Isabel. Makhluk Slavidion tidak akan mampu membu
Isabel sibuk mengepak pakaiannya sambil sesekali memandang ke luar jendela, ke langit hitam yang bergemuruh.“Aku kecewa kamu tidak di sini lebih lama,” Rin menjatuhkan diri ke samping Isabel. Ke tempat tidurnya sendiri yang memang cukup untuk dua orang.Bagi Isabel, kamar Rin terlihat bagus, bahkan mungkin terlalu bagus. Bergaya victorian, kamar itu diliputi warna putih dengan aksen keemasan. Puluhan kali lebih bagus daripada kamar asrama, bahkan lebih luas dari ruang keluarga di rumah Isabel sendiri. Satu hal yang menarik perhatian Isabel sejak memasuki kamar tersebut, lukisan Queen of Rose yang terpajang di sisi samping tempat tidur.“Maaf, aku tidak memberitahumu. Aku sengaja membelinya di galeri,” terang Rin soal lukisan yang dibuat oleh Isabel.“Aku tidak yakin kalau ini terlihat bagus. Aku hanya meletakkan di galeri seni, tanpa ekspektasi akan ada yang membelinya.”Sekarang. Lukisan itu lebih seperti zat adiktif untuk mereka ter
“Aku mau ke toko depan. Ada yang harus kubeli,” Isabel turun dari tempat tidur. Kurang enam menit dari pukul 00.00.“Mau kutemani?” pungggung Rin menegak. Di tangannya ada satu buku di antara puluhan buku tua yang ia bawa dari Slavidion.“Tidak perlu. Kamu juga tidak perlu membaca semua buku itu malam ini. Tidurlah!”Rin kembali menyandarkan punggungnya ke bantal yang sengaja disusun lebih tinggi. Fantasinya berlanjut, bersama barisan kalimat yang masuk lewat matanya.Pintu kamar tertutup, suara hentakan kaki menggema pelan dan Isabel keluar dari pintu belakang. Ada toserba di seberang jalan, Isabel hanya akan membeli beberapa perlengkapan mandi dan cadangan makanan untuk dibawa ke asrama barunya.Namun, ia terganggu sejak angin malam menyapanya. Seolah ada yang mengawasi, Isabel mendekap dirinya lebih rapat. Kadang-kadang ia merasa perlu untuk menunduk agar makhluk-makhluk dari dimensi lain tak begitu saja tertangkap