Share

BR ~ 149

Penulis: Kanietha
last update Terakhir Diperbarui: 2024-11-07 21:27:39

Anggun membuka pintu kamar dan terpaku sesaat. Ia melihat Wahyu dan Putra tidur di ranjangnya dengan begitu nyenyak. Dua buah botol susu kosong sudah tergeletak sembarangan. Satu di lantai dan satu lagi berada di atas kepala Putra.

“Ohh, ternyata mereka tidur,” ucap Syifa dengan sangat pelan di sebelah Anggun, yang masih berdiri di bibir pintu. “Pantas ditelpon nggak diangkat, mungkin hapenya di-silent biar Putra nggak kebangun.”

“Udah biarin aja,” timpal Desty yang juga melihat putranya tertidur dengan lelap bersama Putra. Sungguh sebuah pemandangan langka, tetapi hal tersebut benar-benar terlihat manis dan indah. “Mumpung Wahyu bisa tidur. Jangan diganggu.”

“Memangnya ...” Anggun kembali menarik handle pintu kamarnya dan menutup dengan sangat perlahan. Menghindari timbulnya suara, agar Wahyu tidak terbangun setelah mendengar informasi dari Desty barusan. “Mas Wahyu jarang bisa tidur?”

“Sering insomnia.” Desty pergi ke pantry dan membuka lemari pendingin. “Dia itu, tidur malam paling
Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP
Komen (33)
goodnovel comment avatar
Dona Verawati
hadir mba beb
goodnovel comment avatar
Iwan Susy 13
blm up beb
goodnovel comment avatar
tralala
Semoga tante desty/mama syifa bisa buat nasehatin anggun ya, atau biar anggun kehilangan sementara mas Wahyu nya baru kali anggun sadar ma perasaannya
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

  • Bittersweet Revenge   BR~150

    Pagi itu, menjadi momen pertama dan terakhir kalinya Anggun melihat matahari terbit bersama Wahyu. Dalam keheningan yang menyelimuti mereka, ia menyadari betapa dekatnya mereka di saat-saat seperti ini, dan itu membuatnya ingin menjaga jarak.Anggun sadar, perasaannya pada Wahyu sudah mulai mengusik batas-batas yang ingin ia pertahankan. Karena ia tahu, semakin sering ia berada berdua dengan pria itu, semakin sulit pula menjaga hatinya tetap di tempatnya.Untuk itulah, Anggun lebih memilih menjaga jarak di hari-hari berikutnya. Bersikap seperti biasa dan sebisa mungkin menghindari kesempatan di mana mereka hanya berdua. Setiap kali Wahyu mengajaknya berbincang, Anggun hanya membalas seperlunya dan tidak berusaha melempar obrolan agar ikatan emosional itu tidak semakin terasa erat.“Sudah siap semua, Nggun?” tanya Syifa sambil melihat koper Anggun, yang kini bertambah menjadi dua karena barang-barang Putra hasil pemberian Wahyu.Yang membuat Syifa heran ialah, Anggun tidak lagi mengome

  • Bittersweet Revenge   BR ~ 151

    Setelah liburan di Bali, hari-hari yang dijalani Anggun kembali seperti biasa. Rutinitas utamanya hanyalah mengasuh Putra dan sesekali melihat perkembangan perusahaan keluarga melalui laporan dari surat elektronik.Yang Anggun lihat, April cukup mumpuni dalam mengelola perusahaan sehingga ia tidak menyesal telah memberikan suara untuk wanita itu. Memang ada penurunan jika dibandingkan dengan kepemimpinan Regan. Namun, usaha April untuk tetap mempertahankan dan memajukan perusahaan juga tidak bisa dianggap enteng.Untuk satu hal itu, Anggun angkat topi dengan tulus atas dedikasi April pada perusahaan keluarga. Karena pada akhirnya, semua hal memang harus diserahkan kepada ahlinya dan orang itu bukanlah Anggun, tetapi April. Untuk satu hal itu, Anggun tidak akan membantah karena tahu kapasitas dirinya.“Pagi.” Desty berjalan cepat menghampiri Putra yang baru saja didudukkan di kursi makan bayi.“Pagi, Eyang Putri,” sapa Anggun segera memberi senyum pada Desty yang sudah datang sepagi in

  • Bittersweet Revenge   BR ~ 152

    “Mama tahu, melupakan itu bukan sesuatu yang mudah.” Syifa menghampiri Anggun yang duduk di teras belakang seorang diri. Melihat Putra yang sedang bersama Wahyu dan bermain catur di taman belakang bersama Budiman. “Memaafkan dengan tulus juga sebenarnya nggak gampang. Tapi, kalau sudah berurusan dengan nyawa, mungkin perlu kamu pertimbangkan lagi.”Anggun menoleh pada Syifa berada di sebelahnya. Wanita itu berkata demikian pasti karena Regan yang semalam masuk ICU. Pagi ini, Desty berencana pergi ke rumah sakit untuk memberi dukungan moril pada Elsa serta April. Sementara Anggun, sama sekali belum mengambil keputusan.“Mama nggak maksa kamu ke rumah sakit, karena Mama sendiri juga sudah nggak mau berurusan dengan keluarga pak Regan,” sambung Syifa memberi penjelasan. “Tapi, Mama nggak mau suatu saat nanti kamu kembali menyesal, karena mau bagaimanapun juga pak Regan masih keluargamu walaupun sikapnya nggak bisa dibenarkan.”“Tapi aku malas ketemu dengan mereka semua,” ungkap Anggun ju

  • Bittersweet Revenge   BR ~ 153

    “Aku sudah minta Ken untuk urus semua dokumennya lebih dulu,” ujar Wahyu menghampiri Anggun yang duduk bersila di ruang keluarga. Tidak hanya Anggun, tetapi Syifa pun sedang duduk di samping Putra yang sedang sibuk melempar semua mainan yang ada di depannya. “Jadi, semuanya bisa selesai dengan cepat.”Begitu Putra melihat Wahyu duduk tidak jauh darinya, bayi itu mulai merangkak dan menghampiri pria itu.Akan tetapi, Anggun bergegas menarik tubuh putranya lalu mendudukkan di tempat semula.“Mas, kamu dari tadi pagi masih pake baju itu dan pasti belum mandi,” ujar Anggun geleng-geleng. Pria itu baru kembali ke kediaman Wisesa di sore hari setelah mengantarkan Anggun pulang dari rumah sakit. “Buruan mandi, habis itu baru boleh pegang Putra.”“Aku tahu,” jawab Wahyu sudah hafal dengan aturan Anggun yang satu itu. “Makanya aku nggak langsung ambil Putra, tapi dia sendiri yang mau datangin aku.”“No, no, no,” larang Anggun kembali menarik tubuh Putra yang hendak merangkak. “Mama bilang tida

  • Bittersweet Revenge   BR ~ 154

    “Maaf ...”Sembari memegang nisan yang bertuliskan nama Sabda, Anggun menunduk. Hatinya kembali terkoyak saat mengingat masa-masa yang dihabiskan bersama Sabda, baik saat bahagia maupun dalam perdebatan-perdebatan yang tidak terhindarkan. Meskipun singkat, setiap detik bersama pria itu tetap membekas di hatinya.Terutama rasa sesal yang sampai saat ini masih saja menghantui. Walaupun sudah mulai berdamai dengan semua yang telah terjadi, ada kalanya kenangan itu datang tanpa permisi. Merayap dalam kesendirian dan membuat Anggun kembali merasa sesak dengan kenangan yang kembali merajai.“Aku sudah nggak bisa berandai-andai lagi, karena semua itu makin terasa menyakitkan.” Anggun menarik napas panjang untuk menguatkan diri. Namun, pertahanannya tetap saja runtuh. Air mata itu kembali menitik, mengalir perlahan membasahi pipi.“Karena itu, aku ... mau pergi dari Jakarta,” lanjut Anggun sembari terus mengusap air mata yang tidak kunjung henti menitik. “Aku mau memulai hidup baru dengan Put

  • Bittersweet Revenge   BR ~ 155

    “Barang-barangnya Putra sudah semua, Ma,” ucap Anggun menghampiri Syifa yang tengah menjaga Putra. Bayi yang semakin pintar itu tengah tidur di ayunan elektrik dan tampak begitu damai.“Oke ...” Syifa menutup buku yang dibacanya dan meletakkan di atas paha. “Kalau gitu kita bisa kirim barang-barangnya besok pagi.”“Mama sudah yakin mau pindah ke Bali?” tanya Anggun sambil duduk melantai di samping ayunan putranya. “Soalnya, Mama sama papa sudah tinggal lama di Jakarta. Dari lahir sudah di sini, jadi ... beneran yakin mau pindah?”“Kita cuma pindah orang, tapi semua-semua juga masih di sini.” Syifa mengerti dengan keraguan Anggun. Namun, ia juga butuh menghirup udara segar dan tidak berkutat pada kesedihan yang masih terasa pahit jika dikenang. “Mama juga pasti masih ke Jakarta, karena Sabda ada di sini.”Mengingat Sabda, rasa perih itu kembali menyeruak. Namun, Anggun tidak bisa terus-terusan berkutat dengan rasa sakit yang selama ini dibawanya. Ia harus melepasnya, dengan pergi menin

  • Bittersweet Revenge   BR ~ 156

    “Mama, ini semua salah paham.” Anggun mempercepat kunyahan dan berdiri seketika saat mendengar suara Syifa. Wanita itu pasti sudah melihat hal yang tidak seharusnya dan bisa berpikir yang tidak-tidak. “Aku bisa jelasin. Mas Wahyu barusan ... barusan ...”“Barusan?” Syifa bertanya lembut tetapi dengan ekspresi menuntut. Kedua alisnya terangkat tinggi dan memberi tatapan tegas pada Anggun yang tampak serba salah.Tidak seperti Wahyu. Pria itu justru duduk di stool bar ketika Anggun berdiri terpaku. Dengan wajah tanpa dosa, Wahyu menarik piring yang tadi berada di hadapan Anggun ke arahnya.Sambil masih menggendong Putra, ia menyuapkan nasi di piring Anggun ke mulutnya.“Mas Wahyu yang salah, Ma,” celoteh Anggun begitu saja. “Dia dekat-dekat, ngerangkul, terus pake nyium kepala.”“Wahyu?” Syifa beralih pada Wahyu yang dengan sigap mengusap punggung Putra yang merengek.“Sshh ... Papa di sini,” ucap Wahyu kembali berdiri dan bergerak pelan karena Putra sepertinya tidak ingin berada diam d

  • Bittersweet Revenge   BR ~ 157

    “Tante, ini nggak seperti—”“Kami lagi bicara.” Wahyu menyela tanpa melepas pelukannya. “Mama mau ngapain?”“Mau jenguk Putra.” Desty mengangguk-angguk, tidak terpengaruh sedikit pun dengan apa yang disaksikannya di depan mata. Baginya, hal seperti itu sudah sangat umum terlihat dalam pergaulan saat ini. Bahkan, hubungan Wahyu dengan April dahulu kala hanya bisa membuat Desty geleng-geleng kepala.Lantas, Desty beralih melihat pintu kamar Anggun yang terbuka dan menunjuknya. “Katanya demam, ya? Tante boleh masuk, kan?”“Boleh,” jawab Wahyu lalu melepas kedua tangannya. Namun, Wahyu dengan segera meraih pergelangan tangan Anggun agar wanita itu tidak pergi darinya. “Masuk aja, Ma. Putra baru aja tidur.”“Oke ...” Desty melangkah melewati kedua orang yang masih berdiri di tempatnya. “Nanti kita bicarakan masalah barusan. Langsung dengan keluarga besar, karena mama juga sudah tahu apa yang terjadi tadi pagi. Jadi, silakan lanjutkan bicaranya.”“Maaas!” Anggun mendesis. Merapatkan geligin

Bab terbaru

  • Bittersweet Revenge   BR ~ 166

    “Sepertinya, kasur di kamar atas harus dibawa ke kamarmu,” ujar Wahyu setelah memberi kecupan pada bahu terbuka Anggun. Ia memeluk sang istri dari belakang, setelah melewati momen yang membuat keduanya lelah dalam kehangatan.“Hm.” Anggun menarik napas panjang. Masih menenangkan detak jantungnya yang berpacu kencang. Menunggu dengan sabar, hingga tubuhnya kembali tenang dari luapan dopamin yang baru saja menyergap.“Tapi, aku rasa kita harus cepat-cepat pindah dari sini.” Wahyu menyandarkan dagunya pada bahu Anggun dan semakin memeluk erat. “Kamar Putra ini terlalu kecil. Apalagi tempat tidurnya cuma ukuran single. Terlalu sempit.”“Hm.” Anggun kembali menggumam, masih sibuk menenangkan gejolak yang baru saja menguasai tubuhnya. Sesaat, ia menutup mata, merasakan dekapan Wahyu yang hangat dan nyaman di punggungnya.“Aku serius, tapi cuma dijawab ham hem ham hem.” Wahyu berdecak lalu menggigit pelan daun telinga Anggun dan wanita itu langsung menyikut pelan perutnya.“Mas,” desis Anggu

  • Bittersweet Revenge   BR ~ 165

    “Pagi Papa Wahyu,” sapa Anggun ketika melihat pria itu membuka mata. “Gimana tidurnya? Nyenyak?” tanyanya dengan nada meledek.Wahyu hanya membuka mata. Melihat Anggun yang tampak sudah segar dan baru saja duduk di depan meja rias. Ia masih mengumpulkan kesadaran dan tidak bergerak karena kedua kaki Putra melintang di dadanya.Tidak hanya itu, Wahyu bahkan beberapa kali merasakan tendangan dari kaki mungil itu ketika tidur tadi malam. Putranya itu, ternyata tidak bisa tidur dengan anteng dan terus bergerak ke mana-mana.Jadi, bagaimana bisa Wahyu tidur nyenyak tadi malam, jika wajah, dada, perut, dan bagian tubuh lain kerap mendapatkan tendangan dengan tiba-tiba.“Apa dia selalu mutar-mutar begini kalau tidur?” tanya Wahyu dengan suara berat.“Sudah ngerasain tendangan Putra belum.” Anggun terkekeh sembari memakai pelembabnya. “Pasti sudah, kan?”Wahyu ikut terkekeh. Menyingkirkan kedua kaki mungil itu dengan perlahan, lalu meregangkan tubuh dan menatap langit-langit kamar Anggun.“Har

  • Bittersweet Revenge   BR ~ 164

    “Mas! Kamu itu nggak ada kerjaan apa?” desis Anggun melotot pada Wahyu yang selalu mengekorinya sejak tadi.“Nggak ada,” jawab Wahyu cuek dan terus berada di sisi Anggun yang sedang membuka lemari pendingin.Ia memang sengaja mengikuti sang istri sejak tadi, karena masih saja kesal dengan ulah Anggun yang menutup pintu pintu kamar dan mengunci Wahyu dari dalam.“Apa kamu lupa kalau aku lagi cuti, jadi memang nggak ada kerjaan,” lanjut Wahyu menambahkan. “Maunya ngerjain kamu. Apalagi Putra lagi sama oma opanya. Sepertinya, mereka memang ngasih kita waktu buat berdua.”Setelah meletakkan kantung ASI-nya di freezer dan menutup pintunya, Anggun bersedekap. “Apa kamu lupa, aku juga lagi ‘cuti’?” ucap Anggun mengingatkan perkataannya siang tadi. “Jadi—”“Banyak jalan menuju Roma,” putus Wahyu tetap tenang. “Di mana ada kemauan, di situ pasti ada jalan. Setiap ada masalah, pasti ada solusinya. Masa’ yang begitu aja nggak tahu. Apa perlu aku ajari? Kalau perlu bilang, karena aku bisa jadi gu

  • Bittersweet Revenge   BR ~ 163

    Sah.Akhirnya, penantian Wahyu selama ini berbuah manis. Setelah melewati berbagai rintangan terutama ketidakpastian, akhirnya hari ini datang juga. Hari dimana ia mengucapkan ikrar suci pernikahan, dengan wanita yang selama ini telah menjadi ratu di hatinya.“Sekarang, manggilnya juga harus mama sama papa,” ucap Desty ketika mereka sudah berada di parkiran Lembaga Pemasyarakatan. “Nggak usah sungkan. Kalau Wahyu macam-macam, kamu tinggal adukan sama Mama.”“Makasih, Ma.” Anggun mengangguk. Merasa sedikit aneh, karena panggilannya pada Desty harus berubah.“Sekali lagi selamat, ya,” ujar Darwin menepuk bahu Anggun dua kali. “Semoga Wahyu nggak bikin ulah lagi. Dan tolong sabar ngadapin dia yang suka seenaknya. Tapi kalau dia sampai kelewatan, langsung telpon Papa.”“Iya, Pa.” Anggun kembali mengangguk. “Makasih juga.”“Kami balik duluan, ya,” pamit Desty sembari memeluk Anggun dengan singkat, pun dengan Wahyu. “Jaga Anggun dan nggak usah lagi macam-macam.”“Memangnya kapan aku pernah

  • Bittersweet Revenge   BR ~ 162

    “Mau apa kamu ke sini?” Regan hanya bisa diam di kursi roda. Menatap mantan menantu yang tiba-tiba datang menjenguknya di penjara. “Kita sudah nggak punya urusan lagi.”Wahyu bersandar pada kursi besi lalu menyilang kaki. Mereka tidak bertemu di tempat para pengunjung biasa bertemu, karena itu ia bisa dengan bebas menatap dan menelisik penampilan Regan yang sangat jauh berbeda.Tubuh Regan tampak semakin kurus dengan cekungan mata hitam yang semakin membuat raganya terlihat renta. Rambut putih yang sudah menghiasi kepala, semakin menegaskan tanda-tanda penuaan yang tidak lagi bisa disembunyikan.Semua sudah berubah. Tidak ada lagi Regan yang selalu tampil rapi dan bugar di setiap kesempatan. Semua telah musnah, termakan usia dan karma yang didapat di dalam penjara.“Aku mau menikah dengan Anggun,” jawab Wahyu tidak mau berputar-putar. “Dan aku butuh pak Regan untuk jadi walinya,” ucapnya berusaha menjaga kesopanan di depan Regan.Regan menghela pelan dan memejam sejenak. “Apa kamu ngg

  • Bittersweet Revenge   BR~161

    “Lamaran apa ini!” Anggun melihat cincin yang tersemat di jari manisnya dengan mencebik. Mengingat kembali, momen tidak terduga yang terjadi sore tadi. Yakni ketika Wahyu melamarnya di sela-sela ulang tahun Putra yang terjeda. “Ck! Ada orang ngelamar mode maksa begitu.”“Ada,” jawab Wahyu santai, sekaligus lega karena sudah menyematkan sebuah cincin di jari wanita itu.Mungkin caranya tidak biasa dan jauh dari kata romantis. Namun, hal itu akan menjadi momen yang tidak akan terlupakan dalam perjalanan mereka di masa depan nanti.“Ah!” Anggun masih saja kesal karena lamaran Wahyu sungguh berada di luar ekspektasinya. Meskipun begitu, ia tetap menerima lamaran tersebut karena tidak bisa memungkiri rasa nyaman yang ada ketika berada bersama Wahyu.Entah apa itu cinta dan bagaimana cara menjelaskannya. Yang Anggun tahu hanyalah, ada perasaan hangat yang tidak biasa jika pria itu ada bersamanya. Terlebih ketika melihat interaksi Wahyu dengan Putra. Semua itu mampu meruntuhkan kebekuan yang

  • Bittersweet Revenge   BR ~ 160

    Sebenarnya, sejak kepindahannya ke Bali, Anggun sudah dua kali pergi ke Jakarta bersama Syifa dan Budiman. Mereka bergantian mengunjungi makam Sabda, lalu kembali lagi ke Bali.Namun, kali ini berbeda. Seluruh keluarga besar pergi ke Jakarta karena Budiman dan Darwin akan menghadiri rapat pemegang saham di Warta. Satu-satunya perusahaan keluarga yang tersisa dan Budiman masih menjadi pemegang saham mayoritas di sana.“Harusnya Ken juga disuruh ke Jakarta,” ujar Anggun sembari menempelkan balon-balon yang sudah diberi double-tape ke dinding. Ia sedang membuat dekorasi sederhana, di salah satu dinding ruang keluarga untuk merayakan hari ulang tahun Putra yang pertama.“Dia lagi sibuk ngurusin resor,” ucap Wahyu yang hanya berbaring di karpet menemani Putra bermain dengan balon-balon kecil yang baru ditiupnya. “Memangnya kenapa Ken disuruh ke Jakarta juga?” tanya Desty yang juga ikut sibuk menempel bendera kertas berbentuk segitiga warna warni di dinding.“Anggun dari dulu mau jodohin

  • Bittersweet Revenge   BR ~ 159

    “Masih panas?” tanya Wahyu ketika Anggun baru saja membuka pintu kamar. Belum sempat Anggun menjawab, ia langsung merangsek masuk dan mendapati Putra masih terlelap di tempat tidur. “Rewel nggak?”“Nggak terlalu.” Anggun berbalik dan berjalan lesu menuju tempat tidurnya. “Titip bentar, ya, Mas. Aku mau mandi.”“Mandilah dulu.” Melihat Putra masih anteng di tempatnya, Wahyu mematikan pendingin ruangan dan beralih menuju jendela. Menarik tirainya, lalu membuka daun jendela lebar-lebar. Membiarkan udara pagi nan segar masuk ke dalam kamar.Sembari menunggu Anggun, Wahyu duduk bersandar pada bingkai jendela, menekuk satu kakinya. Menikmati embusan udara pagi dengan senyum lebar yang tersemat bahagia. Hati Anggun yang selama ini membatu, akhirnya menunjukkan retakan-retakan kecil yang memberi harapan. Wahyu tahu, semua itu bukanlah proses yang mudah. Namun, ini adalah sebuah langkah kecil yang membawa mereka lebih dekat pada kebahagiaan yang baru.“Udah gila, Mas?” tanya Anggun sembari kel

  • Bittersweet Revenge   BR ~ 158

    “Mama, bisa bicara sebentar,” pinta Anggun mendatangi Syifa yang berada di kamar, ketika keluarga Sadhana sudah kembali ke rumahnya. Hanya Wahyu yang menetap dan akan menginap, karena ingin memantau perkembangan Putra.“Masuk sini,” ucap Syifa pada Anggun yang berdiri di bibir pintu. Ia tahu, Anggun pasti sedang mengalami kegundahan, akibat pertemuan keluarga yang terjadi beberapa waktu lalu. “Putra sama Wahyu?”“Iya.” Anggun mengangguk sembari melangkah masuk. Ia duduk pada sofa panjang yang baru ditunjuk Syifa. Sementara, wanita itu sedang duduk di depan meja rias dan melakukan ritual malamnya sebelum tidur. “Mereka di kamar.”“Sebentar, ya.” Syifa buru-buru meratakan pelembab di wajahnya dengan gerakan cepat, lalu beranjak menghampiri Anggun. Setelah duduk di samping sang menantu, barulah Syifa mempersilakan Anggun bicara lebih dulu dengan lembut. “Silakan, kamu pasti mau bicara masalah pertemuan tadi, kan?”Lagi-lagi Anggun mengangguk. Tanpa mau membuang waktu, ia lantas mengeluar

DMCA.com Protection Status