Share

BR ~ 151

Penulis: Kanietha
last update Terakhir Diperbarui: 2024-11-09 20:51:57

Setelah liburan di Bali, hari-hari yang dijalani Anggun kembali seperti biasa. Rutinitas utamanya hanyalah mengasuh Putra dan sesekali melihat perkembangan perusahaan keluarga melalui laporan dari surat elektronik.

Yang Anggun lihat, April cukup mumpuni dalam mengelola perusahaan sehingga ia tidak menyesal telah memberikan suara untuk wanita itu. Memang ada penurunan jika dibandingkan dengan kepemimpinan Regan. Namun, usaha April untuk tetap mempertahankan dan memajukan perusahaan juga tidak bisa dianggap enteng.

Untuk satu hal itu, Anggun angkat topi dengan tulus atas dedikasi April pada perusahaan keluarga. Karena pada akhirnya, semua hal memang harus diserahkan kepada ahlinya dan orang itu bukanlah Anggun, tetapi April. Untuk satu hal itu, Anggun tidak akan membantah karena tahu kapasitas dirinya.

“Pagi.” Desty berjalan cepat menghampiri Putra yang baru saja didudukkan di kursi makan bayi.

“Pagi, Eyang Putri,” sapa Anggun segera memberi senyum pada Desty yang sudah datang sepagi in
Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP
Komen (23)
goodnovel comment avatar
Siti Juli
koit tu pak regan
goodnovel comment avatar
Christina Natalia
Regan tanda2 tuh masuk neraka...mas Wahyu modusnya buanyakkk....
goodnovel comment avatar
Bhebril_
wes lah Regan ndang mati ae,atau klu mau mati jadi walinya Anggun lagi saja ben plong semua
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

  • Bittersweet Revenge   BR ~ 152

    “Mama tahu, melupakan itu bukan sesuatu yang mudah.” Syifa menghampiri Anggun yang duduk di teras belakang seorang diri. Melihat Putra yang sedang bersama Wahyu dan bermain catur di taman belakang bersama Budiman. “Memaafkan dengan tulus juga sebenarnya nggak gampang. Tapi, kalau sudah berurusan dengan nyawa, mungkin perlu kamu pertimbangkan lagi.”Anggun menoleh pada Syifa berada di sebelahnya. Wanita itu berkata demikian pasti karena Regan yang semalam masuk ICU. Pagi ini, Desty berencana pergi ke rumah sakit untuk memberi dukungan moril pada Elsa serta April. Sementara Anggun, sama sekali belum mengambil keputusan.“Mama nggak maksa kamu ke rumah sakit, karena Mama sendiri juga sudah nggak mau berurusan dengan keluarga pak Regan,” sambung Syifa memberi penjelasan. “Tapi, Mama nggak mau suatu saat nanti kamu kembali menyesal, karena mau bagaimanapun juga pak Regan masih keluargamu walaupun sikapnya nggak bisa dibenarkan.”“Tapi aku malas ketemu dengan mereka semua,” ungkap Anggun ju

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-10
  • Bittersweet Revenge   BR ~ 153

    “Aku sudah minta Ken untuk urus semua dokumennya lebih dulu,” ujar Wahyu menghampiri Anggun yang duduk bersila di ruang keluarga. Tidak hanya Anggun, tetapi Syifa pun sedang duduk di samping Putra yang sedang sibuk melempar semua mainan yang ada di depannya. “Jadi, semuanya bisa selesai dengan cepat.”Begitu Putra melihat Wahyu duduk tidak jauh darinya, bayi itu mulai merangkak dan menghampiri pria itu.Akan tetapi, Anggun bergegas menarik tubuh putranya lalu mendudukkan di tempat semula.“Mas, kamu dari tadi pagi masih pake baju itu dan pasti belum mandi,” ujar Anggun geleng-geleng. Pria itu baru kembali ke kediaman Wisesa di sore hari setelah mengantarkan Anggun pulang dari rumah sakit. “Buruan mandi, habis itu baru boleh pegang Putra.”“Aku tahu,” jawab Wahyu sudah hafal dengan aturan Anggun yang satu itu. “Makanya aku nggak langsung ambil Putra, tapi dia sendiri yang mau datangin aku.”“No, no, no,” larang Anggun kembali menarik tubuh Putra yang hendak merangkak. “Mama bilang tida

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-10
  • Bittersweet Revenge   BR ~ 154

    “Maaf ...”Sembari memegang nisan yang bertuliskan nama Sabda, Anggun menunduk. Hatinya kembali terkoyak saat mengingat masa-masa yang dihabiskan bersama Sabda, baik saat bahagia maupun dalam perdebatan-perdebatan yang tidak terhindarkan. Meskipun singkat, setiap detik bersama pria itu tetap membekas di hatinya.Terutama rasa sesal yang sampai saat ini masih saja menghantui. Walaupun sudah mulai berdamai dengan semua yang telah terjadi, ada kalanya kenangan itu datang tanpa permisi. Merayap dalam kesendirian dan membuat Anggun kembali merasa sesak dengan kenangan yang kembali merajai.“Aku sudah nggak bisa berandai-andai lagi, karena semua itu makin terasa menyakitkan.” Anggun menarik napas panjang untuk menguatkan diri. Namun, pertahanannya tetap saja runtuh. Air mata itu kembali menitik, mengalir perlahan membasahi pipi.“Karena itu, aku ... mau pergi dari Jakarta,” lanjut Anggun sembari terus mengusap air mata yang tidak kunjung henti menitik. “Aku mau memulai hidup baru dengan Put

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-11
  • Bittersweet Revenge   BR ~ 155

    “Barang-barangnya Putra sudah semua, Ma,” ucap Anggun menghampiri Syifa yang tengah menjaga Putra. Bayi yang semakin pintar itu tengah tidur di ayunan elektrik dan tampak begitu damai.“Oke ...” Syifa menutup buku yang dibacanya dan meletakkan di atas paha. “Kalau gitu kita bisa kirim barang-barangnya besok pagi.”“Mama sudah yakin mau pindah ke Bali?” tanya Anggun sambil duduk melantai di samping ayunan putranya. “Soalnya, Mama sama papa sudah tinggal lama di Jakarta. Dari lahir sudah di sini, jadi ... beneran yakin mau pindah?”“Kita cuma pindah orang, tapi semua-semua juga masih di sini.” Syifa mengerti dengan keraguan Anggun. Namun, ia juga butuh menghirup udara segar dan tidak berkutat pada kesedihan yang masih terasa pahit jika dikenang. “Mama juga pasti masih ke Jakarta, karena Sabda ada di sini.”Mengingat Sabda, rasa perih itu kembali menyeruak. Namun, Anggun tidak bisa terus-terusan berkutat dengan rasa sakit yang selama ini dibawanya. Ia harus melepasnya, dengan pergi menin

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-12
  • Bittersweet Revenge   BR ~ 156

    “Mama, ini semua salah paham.” Anggun mempercepat kunyahan dan berdiri seketika saat mendengar suara Syifa. Wanita itu pasti sudah melihat hal yang tidak seharusnya dan bisa berpikir yang tidak-tidak. “Aku bisa jelasin. Mas Wahyu barusan ... barusan ...”“Barusan?” Syifa bertanya lembut tetapi dengan ekspresi menuntut. Kedua alisnya terangkat tinggi dan memberi tatapan tegas pada Anggun yang tampak serba salah.Tidak seperti Wahyu. Pria itu justru duduk di stool bar ketika Anggun berdiri terpaku. Dengan wajah tanpa dosa, Wahyu menarik piring yang tadi berada di hadapan Anggun ke arahnya.Sambil masih menggendong Putra, ia menyuapkan nasi di piring Anggun ke mulutnya.“Mas Wahyu yang salah, Ma,” celoteh Anggun begitu saja. “Dia dekat-dekat, ngerangkul, terus pake nyium kepala.”“Wahyu?” Syifa beralih pada Wahyu yang dengan sigap mengusap punggung Putra yang merengek.“Sshh ... Papa di sini,” ucap Wahyu kembali berdiri dan bergerak pelan karena Putra sepertinya tidak ingin berada diam d

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-13
  • Bittersweet Revenge   BR ~ 157

    “Tante, ini nggak seperti—”“Kami lagi bicara.” Wahyu menyela tanpa melepas pelukannya. “Mama mau ngapain?”“Mau jenguk Putra.” Desty mengangguk-angguk, tidak terpengaruh sedikit pun dengan apa yang disaksikannya di depan mata. Baginya, hal seperti itu sudah sangat umum terlihat dalam pergaulan saat ini. Bahkan, hubungan Wahyu dengan April dahulu kala hanya bisa membuat Desty geleng-geleng kepala.Lantas, Desty beralih melihat pintu kamar Anggun yang terbuka dan menunjuknya. “Katanya demam, ya? Tante boleh masuk, kan?”“Boleh,” jawab Wahyu lalu melepas kedua tangannya. Namun, Wahyu dengan segera meraih pergelangan tangan Anggun agar wanita itu tidak pergi darinya. “Masuk aja, Ma. Putra baru aja tidur.”“Oke ...” Desty melangkah melewati kedua orang yang masih berdiri di tempatnya. “Nanti kita bicarakan masalah barusan. Langsung dengan keluarga besar, karena mama juga sudah tahu apa yang terjadi tadi pagi. Jadi, silakan lanjutkan bicaranya.”“Maaas!” Anggun mendesis. Merapatkan geligin

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-13
  • Bittersweet Revenge   BR ~ 158

    “Mama, bisa bicara sebentar,” pinta Anggun mendatangi Syifa yang berada di kamar, ketika keluarga Sadhana sudah kembali ke rumahnya. Hanya Wahyu yang menetap dan akan menginap, karena ingin memantau perkembangan Putra.“Masuk sini,” ucap Syifa pada Anggun yang berdiri di bibir pintu. Ia tahu, Anggun pasti sedang mengalami kegundahan, akibat pertemuan keluarga yang terjadi beberapa waktu lalu. “Putra sama Wahyu?”“Iya.” Anggun mengangguk sembari melangkah masuk. Ia duduk pada sofa panjang yang baru ditunjuk Syifa. Sementara, wanita itu sedang duduk di depan meja rias dan melakukan ritual malamnya sebelum tidur. “Mereka di kamar.”“Sebentar, ya.” Syifa buru-buru meratakan pelembab di wajahnya dengan gerakan cepat, lalu beranjak menghampiri Anggun. Setelah duduk di samping sang menantu, barulah Syifa mempersilakan Anggun bicara lebih dulu dengan lembut. “Silakan, kamu pasti mau bicara masalah pertemuan tadi, kan?”Lagi-lagi Anggun mengangguk. Tanpa mau membuang waktu, ia lantas mengeluar

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-14
  • Bittersweet Revenge   BR ~ 159

    “Masih panas?” tanya Wahyu ketika Anggun baru saja membuka pintu kamar. Belum sempat Anggun menjawab, ia langsung merangsek masuk dan mendapati Putra masih terlelap di tempat tidur. “Rewel nggak?”“Nggak terlalu.” Anggun berbalik dan berjalan lesu menuju tempat tidurnya. “Titip bentar, ya, Mas. Aku mau mandi.”“Mandilah dulu.” Melihat Putra masih anteng di tempatnya, Wahyu mematikan pendingin ruangan dan beralih menuju jendela. Menarik tirainya, lalu membuka daun jendela lebar-lebar. Membiarkan udara pagi nan segar masuk ke dalam kamar.Sembari menunggu Anggun, Wahyu duduk bersandar pada bingkai jendela, menekuk satu kakinya. Menikmati embusan udara pagi dengan senyum lebar yang tersemat bahagia. Hati Anggun yang selama ini membatu, akhirnya menunjukkan retakan-retakan kecil yang memberi harapan. Wahyu tahu, semua itu bukanlah proses yang mudah. Namun, ini adalah sebuah langkah kecil yang membawa mereka lebih dekat pada kebahagiaan yang baru.“Udah gila, Mas?” tanya Anggun sembari kel

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-15

Bab terbaru

  • Bittersweet Revenge   BR ~ 175 (FIN)

    “Tarik napas.”“Aku tahu, aku dengeerr,” rintih Anggun di sela-sela proses persalinannya. Tatapan kesalnya ia tujukan pada Wahyu, karena suaminya selalu mengulang perintah dari dokter.Padahal, Anggun juga mendengar semua perkataan dokter, tetapi Wahyu tetap saja tidak mau menutup mulutnya. Kalau tahu begini, lebih baik Syifa saja yang menemaninya melahirkan seperti dahulu kala, karena wanita itu begitu sabar ketika menemani Anggun. Tidak seperti Wahyu yang hanya bisa memberi perintah padanya.“Sedikit lagi, Bu,” ujar sang dokter yang sejak tadi tetap sabar menghadapi pasien dan suaminya.“Sedikit lagi, Sweet—”“Dieeem kamu, Mas!” Anggun menggenggam tangan Wahyu dengan kekuatan yang cukup membuat pria itu meringis kesakitan. Dengan sengaja, ia menancapkan kuku-kukunya agar Wahyu juga merasakan nyeri yang kini dirasakan Anggun.Meskipun sakit yang dirasakan Wahyu mungkin tidak seberapa, tetapi Anggun cukup merasa senang ketika melihat pria itu meringis menatapnya. Penderitaan Wahyu saat

  • Bittersweet Revenge   BR ~ 174

    “Papa ...” Putra berseru girang, berlari kecil ke arah Wahyu yang baru saja melangkah masuk ke ruang keluarga. Tanpa menunggu aba-aba, bocah kecil itu melompat ke dalam gendongan Wahyu, tangannya yang mungil menunjuk ke arah mainan barunya dengan semangat yang menggebu.“Boana banak!” Putra mengoceh tanpa jeda, menunjuk tenda bermotif Cars, dengan terowongan yang mengarah ke bak besar penuh bola.“Dibeliin eyangnya,” ujar Anggun yang hanya duduk di sofa sambil menyelonjorkan kedua kaki. Kehamilan keduanya hampir-hampir tidak ada keluhan, karena semua rasa tidak nyaman di kala kehamilan diambil alih oleh Wahyu. Dan ya, Anggun tetap mengatakan jika semua itu adalah karma yang harus diterima. “Mereka baru pulang sejam yang lalu.”“Sudah kubilang, kan, kalau kita memang harus beli rumah di sebelah.” Wahyu menurunkan Putra di dalam kubangan bola kecilnya, lalu menghampiri Anggun. Berlutut di samping sofa lalu meletakkan telinganya di perut yang sudah cukup besar itu. Saat merasakan pergerak

  • Bittersweet Revenge   BR ~ 173

    “Ssshh ...” Anggun meletakkan telunjuk di bibirnya sambil menunduk. Memberi isyarat pada Putra, agar tidak membuat keributan setelah membuka pintu kamar. “Papa bobok, nggak boleh ribut.”Putra geleng-geleng, sambil menirukan sikap Anggun. Ikut meletakkan telunjuk kecilnya di bibir. “Papa bobok.”“Iya,” ucap Anggun lalu membuka pintu dengan perlahan dan membiarkan Putra masuk lebih dulu. Hanya lampu tidur yang menyala di dalam sana, memancarkan cahaya redup yang membuat suasana kamar terasa tenang dan hangat.Namun, perintah Anggun ternyata tidak berjalan sesuai rencana. Putra memang tidak mengeluarkan sepatah kata dari mulutnya, tetapi balita itu justru berlari menuju tempat tidur dan berbaring di samping Wahyu. Memeluk sang papa.“Mas, ayo bobok di kasur bawah sama Mama,” ujar Anggun dengan suara yang sangat pelan. “Papa—”“Nggak papa,” sela Wahyu tanpa membuka mata dan membalas pelukan Putra. “Dia mau tidur sama papanya. Lagian baunya Putra enak, bau minyak telon.”Anggun tertawa de

  • Bittersweet Revenge   BR ~ 172

    Wahyu memeluk Anggun begitu erat. Tangannya masih menggenggam tespek yang baru saja ditunjukkan oleh sang istri. Menatap dua garis merah yang muncul di sana, walaupun salah satunya masih tampak samar.“Sepertinya rumah sebelah bakal aku beli.” Wahyu tersenyum lebar. “Kita jebol temboknya supaya makin luas dan bisa dipake anak-anak main.”Anggun memutar bola matanya. “Mas, Putra masih kecil dan—”“Sebentar lagi dia punya adek,” sela Wahyu sembari mengurai pelukannya dan mengangkup kedua bahu Anggun. Tangan kanannya masih memegang sebuah tespek, seolah tidak ingin melepas benda itu dari genggaman. “Gimana kalau oma sama eyangnya mau nginap di sini? Rumahnya jadi kurang luas.”“Papa!” Putra mulai menarik-narik jemari Wahyu dengan tidak sabar. “Ayok, ayok”“Mas—”“Nggak papa.” Wahyu kembali menyela, lalu menunduk dan menggendong Putra. “Nanti aku langsung hubungi pak Johan biar urusan cepat.”“Dengerin aku dulu.” Nada bicara Anggun mulai meninggi. Ia kesal karena Wahyu selalu memutus ucap

  • Bittersweet Revenge   BR ~ 171

    Pagi itu, tawa kecil dan suara decitan sandal karet Putra yang berbunyi khas, terdengar sejak tadi dari area depan rumah. Bocah yang sebentar lagi berusia dua tahun itu sedang menyibukkan diri dengan bermain bola bersama Wahyu, sembari menunggu Desty yang akan menjemput.“Yayaaa ...” Putra segera bangkit ketika melihat Desty memasuki pagar. Berlari kecil menghampiri, tetapi tubuhnya langsung ditangkap oleh Darwin dan membawa ke dalam gendongannya.“Sudah siap?” tanya Darwin pada Putra.“Iaap!” jawab Putra bersemangat.“Dia sudah nunggu dari tadi,” ujar Anggun menghampiri sambil membawa tas ransel kecil milik Putra. “Kacamata sama topi kesayangannya ada di dalam,” ucapnya sambil menyerahkan tas kecil tersebut pada sang mama mertua.Desty terkekeh saat membuka tas ransel Putra dan melihat topi merah dengan tiga tanduk kuning yang warnanya sudah memudar. Topi yang akan selalu dipakai Putra, ketika berpergian ke mana pun.Desty kemudian mengeluarkan topi tersebut, beserta kacamata berwarn

  • Bittersweet Revenge   BR ~ 170

    “Ayo, Ma,” ajak Wahyu dengan senyuman penuh semangat.Anggun hanya menggeleng pelan sambil memegang gelas susunya. “Aku nggak ikut. Capek.” jawabnya tegas. Menolak ajakan Wahyu bersepeda pagi di hari libur, seperti yang biasa pria itu.Anggun hanya ingin menikmati harinya dengan bersantai, karena Putra biasanya akan pergi berkeliling bersama Wahyu dengan sepedenya. Putra akan duduk di depan dengan helm kecilnya, lengkap dengan kacamata mungil yang membuat balita itu semakin menggemaskan.“Me time, aku mau rebahan aja di rumah,”“Oke.” Wahyu menatap Putra yang berada di gendongannya sambil tersenyum. “Nanti kita ke pantai dan main bola sama tante-tante bule di sana!”“Ohhh ... jadi itu kegiatan kalian berdua kalau jalan-jalan pagi?” Anggun meletakkan gelas susunya dengan perlahan. Namun, tatapannya tertuju tajam pada Wahyu. Kemudian, ia menunjuk ke arah tanah kosong yang berada di sebelah dapur. Tepatnya berada setelah kolam renang. “Kalau mau main bola, main bola di sana.”“No,” ucap W

  • Bittersweet Revenge   BR ~ 169

    “Aku deja vu,” ujar Anggun setelah berpamitan pada tamu yang menghampirinya. “Jadi ingat nikahanmu sama April waktu itu.” Anggun menatap Wahyu yang berjalan di sebelahnya. “Konsepnya sama, kan?”Wahyu memaksakan senyumnya ketika menatap Anggun. “Dari dulu, kamu itu memang suka cari gara-gara.” Sebenarnya, hanya konsep pernikahannya yang sama. Selain itu, menurut Wahyu semuanya jelas berbeda. Dari dekorasi, gaun, suasana, bahkan perasaan yang menyelubungi hatinya saat ini juga jauh berbeda. Pernikahan sebelumnya terasa seperti formalitas dan prosesi yang dijalaninya terasa tanpa makna. Namun, kali ini, setiap detail memancarkan kehangatan dan memiliki arti yang mendalam.“Aku bicara fakta.” Anggun kembali tersenyum saat tatapannya bertemu dengan seorang tamu.“Nggak usah merusak suasana,” kata Wahyu berbisik tepat di telinga Anggun. “Nikmati aja yang ada sekarang dan nggak usah bahas masa lalu.”“Aku tahu.”“Aku tahu, tapi masih aja dibahas,” sindir Wahyu.“Kamu mau kita ribut?”“Ngg

  • Bittersweet Revenge   BR ~ 168

    “Kenapa harus pindah?” Syifa menekuk wajah ketika Wahyu menyampaikan maksudnya. Sudah terbiasa tinggal bersama Anggun dan Putra, membuatnya berat untuk melepas kedua orang itu.Syifa bukannya tidak paham dengan keputusan yang disampaikan Wahyu. Namun, ia pasti akan merasa sangat kehilangan jika Anggun dan Putra benar-benar pindah dari kediaman Wisesa.“Ma, rumahnya dekat,” ujar Wahyu harus memberi pemahaman. “Jalan kaki cuma 10 menit. Cuma nyebrang jalan ke kompleks depan. Kalau mau naik motor lebih cepat lagi.”“Kamu setuju, Nggun?” tanya Syifa beralih pada Anggun.“A—”“Anggun setuju, Ma.” Wahyu segera menyerobot, karena melihat sang istri masih ragu untuk pindah rumah. “Tadi sudah cocok juga dengan rumahnya karena ada kolam renang. Jadi, Putra bisa sekalian belajar berenang juga.”“Mama tanya Anggun.” Syifa memutar bola matanya. Kalau sudah ada maunya, Wahyu memang sering bersikap seperti itu.“Cuma 10 menit dari sini, Ma,” sambar Budiman sudah paham dengan keinginan Wahyu. Mereka

  • Bittersweet Revenge   BR ~ 167

    “Aku punya tiga pilihan.” Wahyu menyerahkan sebuah brosur yang sudah diterima dari Farhat pada Anggun. “Resepsi di ruang tertutup, terbuka dengan view pantai, atau terbuka dengan view alam. Kamu yang pilih karena buatku di semua sama aja.”“Aku terserah aja,” ujar Anggun sembari membuka brosur yang baru diterimanya. “Lihat undangannya dulu, ada berapa orang terus disesuaikan aja tempatnya.”“25 orang.”“Katanya 50?”“Kalau 25 orang datang bawa pasangan, jumlahnya jadi 50.”“Iya, sih.” Anggun jadi merasa bodoh sendiri karena tidak memikirkan hal tersebut. “Jangan di pantai deh, aku nggak mau Putra masuk angin karena acaranya biasanya sore jelang malam gitu, kan? Jadi, view pantai dicoret dari list.”“View alam juga nggak jauh beda.” Wahyu dengan sigap menangkap Putra yang melepas baby walker dan berjalan ke arahnya. “Anginnya lumayan.”“Kalau gitu indoor aja.” Karena sudah memutuskan, Anggun meletakkan brosurnya di lantai begitu saja.“Kenapa kamu nggak tidur-tidur hem?” Wahyu merebahk

DMCA.com Protection Status