Banyak mata menyoroti kehadiran Anggun di Kalingga Tower. Dari ia memasuki lobi, hingga berada di lantai direksi. Anggun tahu, mereka tidak hanya memperhatikan, tetapi berkasak-kusuk di belakang karena pamornya di perusahaan memang tidak terlalu baik. Semua yang dilakukannya pada Regan dan keluarganya beberapa waktu, membuat citra Anggun benar-benar tercoreng.Namun, Anggun tidak pernah mau peduli.“Bilang ke April saya ada di sini,” titah Anggun berhenti di sisi meja sekretaris di depan ruangan April. Sebenarnya, Anggun bisa saja langsung menerobos masuk ke ruangan wanita itu. Namun, ia sudah tidak mau mencari masalah dan ingin mengakhiri semuanya agar tidak ada lagi rasa dendam di masa depan. Seperti kata Wahyu.“Tapi, Bu—”“Ini perintah,” ucap Anggun meraih gagang telpon lalu menyerahkan pada sekretaris April. “Bilang ke dia, saya ada di sini.”Sang sekretaris tidak lagi berkomentar. Ia segera menghubungi atasannya dan menuruti perintah Anggun.“Silakan masuk, Bu,” ujar sang sekr
Di lobi gedung pengadilan, suasana terasa lebih tenang dibandingkan saat sidang sebelumnya. Darwin dan Budiman berdiri di samping istri mereka, menatap Anggun yang duduk di kursi roda dan memberi senyum kecil. Hasil restorative justice telah diumumkan, dan meskipun mereka dinyatakan bersalah, proses ini membawa sedikit kelegaan bagi semua pihak.Tidak ada lagi beban yang mengganjal, karena setelah ini Darwin dan Budiman akan bersiap menjalani hukuman.Perihal kasus tes DNA, Regan pun mendapatkan ganjaran yang sama. Anggun tidak terlalu mempermasalahkan kasus ini, karena hanya akan fokus pada kecelakaan yang melibatkan Regan di dalamnya.“Cuma tiga bulan,” ucap Budiman pada Syifa. “Tolong sabar sebentar.”“Kami bukannya nggak bisa minta keringanan lagi,” sambar Darwin ingin menjelaskan. “Tapi, ada opini publik yang harus tekan.”“Itu aja, pasti ada yang nyinyir,” tambah Budiman. “Karena tiga bulan terlalu sedikit.”“Kita nggak perlu dengar omongan orang,” pinta Syifa mengusap lengan su
“Selamat.” Wahyu mengulurkan tangan dengan formal pada April. Setelah perbincangan alot dalam rapat pemegang saham, akhirnya wanita itu terpilih untuk memimpin Grup Kalingga dengan perbedaan suara yang sangat tipis dengan pesaingnya.“Selamat untuk apa?” April menepis pelan tangan Wahyu dan enggan menyambutnya. Kendati ada rasa lega setelah mengukuhkan kekuasaannya, tetapi April tidak bahagia. “Papaku masuk penjara dan kita lagi proses cerai. Kamu pasti senang.”Wahyu memberi senyum kecil pada pemegang saham yang berpamitan silih berganti. Tidak menanggapi ucapan April, karena masalah tersebut hanya untuk dikonsumsi mereka berdua.Setelah tidak ada lagi yang menghampiri, barulah Wahyu membuka suara. “Bukan cuma papamu yang masuk penjara, tapi papaku dan om Budiman juga. Mereka pantas ada di sana, karena sudah berbuat kecurangan.”April berdecak dan menggeleng menatap Wahyu. Pria pujaan hatinya itu, semakin terasa dingin dan menjaga jarak dengan April. Semakin April kejar, semakin pria
“Wahyu!” April segera melangkah cepat menghampiri Wahyu, yang baru berbelok di lorong menuju kamar tempat Regan dirawat. “Kami nggak dibolehkan masuk nengok papa.”Wahyu mengangguk pelan pada Elsa, yang tampak gelisah berdiri di depan kamar khusus tempat Regan dirawat. Sorot matanya memancarkan kekhawatiran dan kesedihan yang mendalam, tetapi tidak bisa berbuat apa-apa.Selain Anggun yang sejak lama tak pernah lagi ia temui, Wahyu juga tidak pernah bersua dengan Elsa maupun April. Apalagi setelah akta cerai resmi keluar, semua ikatan yang pernah ada di antara mereka seolah lenyap seketika. Tidak ada lagi alasan bagi Wahyu untuk berada di sekitar kedua wanita itu, kecuali situasi darurat seperti ini.“Sabar,” ucap Wahyu berhenti di depan kamar yang dijaga oleh satu orang pihak berwenang. “Saya Wahyu Sadhana,” ucapnya pada pria tegap yang berdiri di samping pintu. “Salah satu tim pengacara ...”Ucapan Wahyu menggantung di udara, ketika melihat pintu ruangan yang ditempati Regan terbuka.
Anggun menatap foto pernikahannya dengan Sabda yang masih terpajang di ruang tamu kediaman Wisesa. Senyum bahagia yang tampak begitu tulus di wajah pria itu, membuat banyak kenangan kembali berputar di ingatan. Sentuhan tangan Sabda, pelukannya, dan semua tentang pria itu bisa membuat Anggun merasa bahagia. Walaupun, banyak hal yang tidak sejalan dan hal itu terkadang membuatnya kesal.Ada luka yang belum juga sembuh, serta rindu yang tidak akan pernah lagi bisa menyatu. Rasa kehilangan yang begitu nyata, sehingga membuat semua sesal terasa tidak berguna.“Bumil, ini sudah malam, istirahat.”Suara Desty yang memecah keheningan secara tiba-tiba, membuat Anggun terkesiap. Sambil berbalik, ia reflek menyentuh dada dan mengatur napasnya yang tiba-tiba memburu.“Tante ...”Desty terkekeh dan segera menghampiri Anggun. Mengusap perut wanita itu lalu berujar, “Maafin eyang, yaaa. Mamamu sampe kaget.”“Tante tumben pulang malem?” tanya Anggun yang tampak lelah tetapi gurat bahagia masih ters
Wahyu tidak langsung pergi ketika sudah berada di mobilnya. Menatap teras kediaman Wisesa sembari memikirkan banyak hal. Termasuk, saran yang telah disampaikan Desty padanya untuk pergi dari Jakarta.Hal itu memang sudah menjadi bagian dari rencana Wahyu. Ia hanya menunggu waktu yang tepat untuk pergi, yakni ketika Regan divonis hukuman seumur hidup terkait kasus hukum kecelakaan yang telah merenggut nyawa. Kemudian, menunggu Budiman dan Darwin sudah stabil dengan posisi mereka, setelahnya, Wahyu berniat meninggalkan Jakarta dan memulai lembaran baru.Namun, sebelum semua itu terjadi, ia akan memastikan semua berjalan dengan baik-baik saja. Tidak hanya dengan keluarga besarnya, tetapi juga dengan Kalingga agar tidak ada lagi dendam yang mencuat di kemudian hari.April sudah berutang pada Anggun, karena turut andil menjadikan wanita itu sebagai pengganti Regan. Karena itulah, masalah di antara kedua sepupu itu akhirnya sudah mereda.Sebelum menyalakan mesin mobilnya, Wahyu mengambil po
“A-Anggun.” Dengan mengumpulkan keberaniannya, Elsa menghampiri Syifa dan Desty yang baru memasuki lobi pengadilan. Jika bukan karena penasaran dengan Anggun, Elsa pasti masih memilih menjauh karena sangat merasa bersalah akibat ulah suaminya. “Kamu ... hamil?”“Tujuh bulan,” jawab Desty masih bisa memberi senyum pada Elsa. Bagaimanapun juga, wanita itu pernah menjadi teman sekaligus besan yang baik bagi Desty.Sebenarnya, selama ini Regan pun selalu bersikap baik di depan semua orang. Namun, tidak ada yang pernah menduga jika pria itu menyimpan sisi gelapnya rapat-rapat demi bisa mendapatkan banyak hal.“April nggak ikut?” tanya Desty melirik pada Syifa yang hanya menatap datar.Ia memaklumi sikap iparnya itu, karena Sabda tidak lagi ada di dunia karena ulah suami Elsa. Jadi, wajar jika Syifa memendam luka dan belum bisa bersikap ramah seperti dahulu kala.“April lagi bicara sama papanya,” jawab Elsa masih memperhatikan Anggun. “Sehat, Nggun?”“Sehat, Tante.” Anggun mengangguk dan men
“Ke mana Anggun?” tanya Wahyu langsung pergi menuju dapur ketika datang ke kediaman Wisesa.Syifa menoleh sebentar pada Wahyu yang berdiri di sudut kitchen island. “Lagi jalan-jalan di samping sama mamamu.”Wahyu mendesah pelan. “Aku disuruh datang pagi-pagi, tapi dia masih—”“Sstt!” Syifa berbalik setelah melepas celemeknya. Meletakkan pada gantungan yang ada di samping lemari pendingin, lalu menghampiri Wahyu. “Jadwalnya bumil, kalau pagi itu harus jalan-jalan dulu. Oia, sarapan dulu sebelum pergi.” Syifa menoleh pada asisten rumah tangganya yang masih berada di depan kompor. “Bik, nanti tolong buatin kopi buat Wahyu, ya. Langsung taroh di meja makan.”“Baik, Bu.”Syifa lantas menarik Wahyu menuju teras dapur. “Tolong pastikan betul-betul keamanan Anggun waktu ketemu dengan Regan,” pinta Syifa masih saja khawatir. “Tante sebenarnya nggak setuju dia mau ketemu Regan, tapi, karena ada alasan personal dan Anggun bilang ini juga untuk yang terakhir kalinya, makanya Tante izinin. Tante t
“Sepertinya, kasur di kamar atas harus dibawa ke kamarmu,” ujar Wahyu setelah memberi kecupan pada bahu terbuka Anggun. Ia memeluk sang istri dari belakang, setelah melewati momen yang membuat keduanya lelah dalam kehangatan.“Hm.” Anggun menarik napas panjang. Masih menenangkan detak jantungnya yang berpacu kencang. Menunggu dengan sabar, hingga tubuhnya kembali tenang dari luapan dopamin yang baru saja menyergap.“Tapi, aku rasa kita harus cepat-cepat pindah dari sini.” Wahyu menyandarkan dagunya pada bahu Anggun dan semakin memeluk erat. “Kamar Putra ini terlalu kecil. Apalagi tempat tidurnya cuma ukuran single. Terlalu sempit.”“Hm.” Anggun kembali menggumam, masih sibuk menenangkan gejolak yang baru saja menguasai tubuhnya. Sesaat, ia menutup mata, merasakan dekapan Wahyu yang hangat dan nyaman di punggungnya.“Aku serius, tapi cuma dijawab ham hem ham hem.” Wahyu berdecak lalu menggigit pelan daun telinga Anggun dan wanita itu langsung menyikut pelan perutnya.“Mas,” desis Anggu
“Pagi Papa Wahyu,” sapa Anggun ketika melihat pria itu membuka mata. “Gimana tidurnya? Nyenyak?” tanyanya dengan nada meledek.Wahyu hanya membuka mata. Melihat Anggun yang tampak sudah segar dan baru saja duduk di depan meja rias. Ia masih mengumpulkan kesadaran dan tidak bergerak karena kedua kaki Putra melintang di dadanya.Tidak hanya itu, Wahyu bahkan beberapa kali merasakan tendangan dari kaki mungil itu ketika tidur tadi malam. Putranya itu, ternyata tidak bisa tidur dengan anteng dan terus bergerak ke mana-mana.Jadi, bagaimana bisa Wahyu tidur nyenyak tadi malam, jika wajah, dada, perut, dan bagian tubuh lain kerap mendapatkan tendangan dengan tiba-tiba.“Apa dia selalu mutar-mutar begini kalau tidur?” tanya Wahyu dengan suara berat.“Sudah ngerasain tendangan Putra belum.” Anggun terkekeh sembari memakai pelembabnya. “Pasti sudah, kan?”Wahyu ikut terkekeh. Menyingkirkan kedua kaki mungil itu dengan perlahan, lalu meregangkan tubuh dan menatap langit-langit kamar Anggun.“Har
“Mas! Kamu itu nggak ada kerjaan apa?” desis Anggun melotot pada Wahyu yang selalu mengekorinya sejak tadi.“Nggak ada,” jawab Wahyu cuek dan terus berada di sisi Anggun yang sedang membuka lemari pendingin.Ia memang sengaja mengikuti sang istri sejak tadi, karena masih saja kesal dengan ulah Anggun yang menutup pintu pintu kamar dan mengunci Wahyu dari dalam.“Apa kamu lupa kalau aku lagi cuti, jadi memang nggak ada kerjaan,” lanjut Wahyu menambahkan. “Maunya ngerjain kamu. Apalagi Putra lagi sama oma opanya. Sepertinya, mereka memang ngasih kita waktu buat berdua.”Setelah meletakkan kantung ASI-nya di freezer dan menutup pintunya, Anggun bersedekap. “Apa kamu lupa, aku juga lagi ‘cuti’?” ucap Anggun mengingatkan perkataannya siang tadi. “Jadi—”“Banyak jalan menuju Roma,” putus Wahyu tetap tenang. “Di mana ada kemauan, di situ pasti ada jalan. Setiap ada masalah, pasti ada solusinya. Masa’ yang begitu aja nggak tahu. Apa perlu aku ajari? Kalau perlu bilang, karena aku bisa jadi gu
Sah.Akhirnya, penantian Wahyu selama ini berbuah manis. Setelah melewati berbagai rintangan terutama ketidakpastian, akhirnya hari ini datang juga. Hari dimana ia mengucapkan ikrar suci pernikahan, dengan wanita yang selama ini telah menjadi ratu di hatinya.“Sekarang, manggilnya juga harus mama sama papa,” ucap Desty ketika mereka sudah berada di parkiran Lembaga Pemasyarakatan. “Nggak usah sungkan. Kalau Wahyu macam-macam, kamu tinggal adukan sama Mama.”“Makasih, Ma.” Anggun mengangguk. Merasa sedikit aneh, karena panggilannya pada Desty harus berubah.“Sekali lagi selamat, ya,” ujar Darwin menepuk bahu Anggun dua kali. “Semoga Wahyu nggak bikin ulah lagi. Dan tolong sabar ngadapin dia yang suka seenaknya. Tapi kalau dia sampai kelewatan, langsung telpon Papa.”“Iya, Pa.” Anggun kembali mengangguk. “Makasih juga.”“Kami balik duluan, ya,” pamit Desty sembari memeluk Anggun dengan singkat, pun dengan Wahyu. “Jaga Anggun dan nggak usah lagi macam-macam.”“Memangnya kapan aku pernah
“Mau apa kamu ke sini?” Regan hanya bisa diam di kursi roda. Menatap mantan menantu yang tiba-tiba datang menjenguknya di penjara. “Kita sudah nggak punya urusan lagi.”Wahyu bersandar pada kursi besi lalu menyilang kaki. Mereka tidak bertemu di tempat para pengunjung biasa bertemu, karena itu ia bisa dengan bebas menatap dan menelisik penampilan Regan yang sangat jauh berbeda.Tubuh Regan tampak semakin kurus dengan cekungan mata hitam yang semakin membuat raganya terlihat renta. Rambut putih yang sudah menghiasi kepala, semakin menegaskan tanda-tanda penuaan yang tidak lagi bisa disembunyikan.Semua sudah berubah. Tidak ada lagi Regan yang selalu tampil rapi dan bugar di setiap kesempatan. Semua telah musnah, termakan usia dan karma yang didapat di dalam penjara.“Aku mau menikah dengan Anggun,” jawab Wahyu tidak mau berputar-putar. “Dan aku butuh pak Regan untuk jadi walinya,” ucapnya berusaha menjaga kesopanan di depan Regan.Regan menghela pelan dan memejam sejenak. “Apa kamu ngg
“Lamaran apa ini!” Anggun melihat cincin yang tersemat di jari manisnya dengan mencebik. Mengingat kembali, momen tidak terduga yang terjadi sore tadi. Yakni ketika Wahyu melamarnya di sela-sela ulang tahun Putra yang terjeda. “Ck! Ada orang ngelamar mode maksa begitu.”“Ada,” jawab Wahyu santai, sekaligus lega karena sudah menyematkan sebuah cincin di jari wanita itu.Mungkin caranya tidak biasa dan jauh dari kata romantis. Namun, hal itu akan menjadi momen yang tidak akan terlupakan dalam perjalanan mereka di masa depan nanti.“Ah!” Anggun masih saja kesal karena lamaran Wahyu sungguh berada di luar ekspektasinya. Meskipun begitu, ia tetap menerima lamaran tersebut karena tidak bisa memungkiri rasa nyaman yang ada ketika berada bersama Wahyu.Entah apa itu cinta dan bagaimana cara menjelaskannya. Yang Anggun tahu hanyalah, ada perasaan hangat yang tidak biasa jika pria itu ada bersamanya. Terlebih ketika melihat interaksi Wahyu dengan Putra. Semua itu mampu meruntuhkan kebekuan yang
Sebenarnya, sejak kepindahannya ke Bali, Anggun sudah dua kali pergi ke Jakarta bersama Syifa dan Budiman. Mereka bergantian mengunjungi makam Sabda, lalu kembali lagi ke Bali.Namun, kali ini berbeda. Seluruh keluarga besar pergi ke Jakarta karena Budiman dan Darwin akan menghadiri rapat pemegang saham di Warta. Satu-satunya perusahaan keluarga yang tersisa dan Budiman masih menjadi pemegang saham mayoritas di sana.“Harusnya Ken juga disuruh ke Jakarta,” ujar Anggun sembari menempelkan balon-balon yang sudah diberi double-tape ke dinding. Ia sedang membuat dekorasi sederhana, di salah satu dinding ruang keluarga untuk merayakan hari ulang tahun Putra yang pertama.“Dia lagi sibuk ngurusin resor,” ucap Wahyu yang hanya berbaring di karpet menemani Putra bermain dengan balon-balon kecil yang baru ditiupnya. “Memangnya kenapa Ken disuruh ke Jakarta juga?” tanya Desty yang juga ikut sibuk menempel bendera kertas berbentuk segitiga warna warni di dinding.“Anggun dari dulu mau jodohin
“Masih panas?” tanya Wahyu ketika Anggun baru saja membuka pintu kamar. Belum sempat Anggun menjawab, ia langsung merangsek masuk dan mendapati Putra masih terlelap di tempat tidur. “Rewel nggak?”“Nggak terlalu.” Anggun berbalik dan berjalan lesu menuju tempat tidurnya. “Titip bentar, ya, Mas. Aku mau mandi.”“Mandilah dulu.” Melihat Putra masih anteng di tempatnya, Wahyu mematikan pendingin ruangan dan beralih menuju jendela. Menarik tirainya, lalu membuka daun jendela lebar-lebar. Membiarkan udara pagi nan segar masuk ke dalam kamar.Sembari menunggu Anggun, Wahyu duduk bersandar pada bingkai jendela, menekuk satu kakinya. Menikmati embusan udara pagi dengan senyum lebar yang tersemat bahagia. Hati Anggun yang selama ini membatu, akhirnya menunjukkan retakan-retakan kecil yang memberi harapan. Wahyu tahu, semua itu bukanlah proses yang mudah. Namun, ini adalah sebuah langkah kecil yang membawa mereka lebih dekat pada kebahagiaan yang baru.“Udah gila, Mas?” tanya Anggun sembari kel
“Mama, bisa bicara sebentar,” pinta Anggun mendatangi Syifa yang berada di kamar, ketika keluarga Sadhana sudah kembali ke rumahnya. Hanya Wahyu yang menetap dan akan menginap, karena ingin memantau perkembangan Putra.“Masuk sini,” ucap Syifa pada Anggun yang berdiri di bibir pintu. Ia tahu, Anggun pasti sedang mengalami kegundahan, akibat pertemuan keluarga yang terjadi beberapa waktu lalu. “Putra sama Wahyu?”“Iya.” Anggun mengangguk sembari melangkah masuk. Ia duduk pada sofa panjang yang baru ditunjuk Syifa. Sementara, wanita itu sedang duduk di depan meja rias dan melakukan ritual malamnya sebelum tidur. “Mereka di kamar.”“Sebentar, ya.” Syifa buru-buru meratakan pelembab di wajahnya dengan gerakan cepat, lalu beranjak menghampiri Anggun. Setelah duduk di samping sang menantu, barulah Syifa mempersilakan Anggun bicara lebih dulu dengan lembut. “Silakan, kamu pasti mau bicara masalah pertemuan tadi, kan?”Lagi-lagi Anggun mengangguk. Tanpa mau membuang waktu, ia lantas mengeluar