Joice menarik napas dalam-dalam, dan mengembuskan perlahan. Wanita itu tengah duduk di taman belakang menikmati keindahan pagi yang indah. Dua bayi kembarnya sekarang berada di dalam ruang bermain tengah bermain dengan para pengasuh. Pagi ini, Marcel berangkat ke kantor lebih awal bahkan sebelum Marvel dan Janita membuka mata. Untungnya, Marcel berangkat lebih awal sebelum dua bayi kembarnya terbangun, jadi tidak perlu ada lagi drama Janita mengamuk seperti kemarin.Suara dering ponselnya terengar. Joice mengalihkan pandangannya pada ponselnya yang ada di atas meja tepat di samping cangkir tehnya. Wanita itu mengambil ponselnya dan menatap ke layar tertera nama ‘Hana’ yang terpampang di sana. Joice segera menggeser tombol hijau, untuk menerima panggilan telepon itu.“Ya, Hana?” jawab Joice kala panggilan terhubung.“Joice, apa aku mengganggumu?” ujar Hana dari seberang sana. “Tidak, kau sama sekali tidak menggangguku. Ada apa, Hana?”“Begini, Joice … aku baru saja mendapatkan pena
Satu botol wine sudah berada di atas meja Marcel. Ketika emosi menyelimuti dirinya, pria itu akan minum alkohol. Hal yang membuat emosinya semakin terpancing adalah di kala dirinya membayangkan Joice memakai bikini.Pekerjaan Joice memang menuntut wanita itu untuk berpakaian seksi. Tapi itu dulu sebelum di mana Joice masih sendiri. Setelah menikah, Marcel membatasi penawaran pekerjaan Joice.Bahkan di kala mereka kembali pindah ke Milan, Marcel meminta Joice fokus pada Marvel dan Janita. Pekerjaan Joice hanya untuk mengisi kekosongan di kala Joice merasakan bosan di rumah.Akan tetapi, menerima pekerjaan yang dimaksud Marcel, bukan menerima harus berpakaian seksi. Itu sama saja memancing kemarahan dalam dirinya. Dia tidak rela ketika tubuh sang istri menjadi fantasi liar di pikiran pria.“Jadi setiap kau marah akan selalu menghindar dari istrimu, hm?” Joice melangkah menghampiri Marcel yang duduk di kursi kerjanya.Marcel menatap Joice dengan tatapan lekat. “Tidurlah. Jangan ganggu ak
“Paman Samuel? Bibi Selena?” Joice menghamburkan tubuhnya ke pelukan Samuel dan Selena yang baru saja tiba di mansion-nya. Wanita itu nampak sangat bahagia karena Paman dan Bibinya ternyata datang ke Milan mengunjunginya.Samuel dan Selena pun bergantian memeluk Joice. Kedua orang tua Oliver itu menyayangi Joice, sudah seperti menyayangi putri kandung mereka sendiri. Hal tersebut yang menyebabkan Samuel mudah sekali murka jika ada yang berani melukai Joice.Selena yang melihat Marcel berdiri tak jauh darinya, segera memeluk keponakannya itu. Bisa dikatakan memang hubungan antara Marcel dan Joice terjalin karena sejak kecil mereka sering bertemu.Marcel adalah keponakan kandung Selena. Yang mana ibu Marcel adalah saudara kembar Selena. Sedangkan Joice adalah keponakan kandung Samuel. Yang mana ibu kandung Joice adalah adik kandung Samuel. Jadi, tidak heran kalau hubungan keluarga Marcel dan keluarga Joice sangatlah dekat. “Marcel, Bibi sangat merindukanmu.” Selena membelai rahang Ma
London, UK. Lampu disko kedap-kedip beriringan dengan suara dentuman musik, yang memekak telinga. Hana duduk di depan kursi bartender sambil menenggak vodka hingga tandas. Wanita itu cukup kuat meminum alkohol. Terbukti sudah beberapa gelas habis dia tenggak—tetap tidak membuatnya mabuk.Sejak di mana Joice kembali menikah dengan Marcel, dan sudah memiliki anak, hidupnya jauh lebih merasakan kesepian. Joice lebih banyak menghabiskan waktu bersama anak dan suaminya. Sedangkan Hana lebih banyak sendiri.Tidak menampik bahwa Hana sedikit merasa bosan dan kesepian. Wajar saja, karena dulu dia selalu berdua dengan Joice. Tapi kehidupan manusia akan terus berjalan. Tidak mungkin hidup di dunia ini hanya sendiri. Pasti akan ada fase di mana harus menikah dan memiliki anak. Walaupun ada beberapa orang yang berprinsip tak ingin menikah, namun tak dipungkiri bahwa banyak orang yang ingin menikah.“Kau hanya sendiri?” Suara berat menghampiri Hana.Hana mengalihkan pandangannya, menatap sosok pr
“Marcel, kau jangan mengerjaiku. Yang benar saja, aku ini diminta Dad untuk terbang ke Alberta. Sekarang kau memintaku ke Berlin? Kenapa kau tidak meminta Kak Mika saja?” Moses melakukan protes luar biasa pada saudara kembarnya, melalui panggilan telepon. “Kak Mika ada project di Meksiko. Dia tidak bisa terbang ke Berlin. Moses, dari Alberta kau bisa ke Berlin. Aku tidak bisa ke Berlin. Kau kan tahu Marvel dan Janita sering rewel kalau aku tinggal pergi. Usia mereka saja belum genap satu tahun. Mengertilah, Moses. Tolong gantikan aku.” Marcel membujuk sekaligus memaksa saudara kembarnya itu.“Ck! Memangnya Shawn tidak bisa mengatasi semuanya? Shawn sudah sangat mampu mengurus project Grandpa.” “Jika Shawn tidak kewalahan, maka dia tidak akan mungkin meminta bantuan kita, Moses.”“Oliver? Apa dia tidak mau membantu?” “Oliver sedang menangani kasus berat. Dia fokus pada profesinya sebagai pengacara.”“Javier. Dia paling sering menghilang. Minta dia saja.” “Yang aku dengar dia sedang
Mexico City. *Michaela Geovan De Luca, kapan kau membawa kekasihmu ke hadapan Mommy? Jika kau kesulitan mendapatkan kekasih, maka Mommy akan memperkenalkanmu pada salah satu anak dari teman Mommy.* Michaela yang kerap disapa Mika itu hanya mengembuskan napas kasar, di kala membaca pesan dari ibunya. Sudah tidak lagi terhitung berapa kali dalam sehari ibunya menanyakan kapan dirinya akan memiliki kekasih.Berada diusia kepala tiga, seolah membuat dirinya berada di zona merah—yang aman zona sangat berbahaya. Kepalanya pusing setiap kali ibunya bertanya kapan dirinya memiliki kekasih. Padahal Marcel—salah satu adiknya sudah menikah. Harusnya ibunya sudah merasa cukup karena memiliki cucu dari Marcel. Tapi sialnya, sejak di mana Marcel sudah memiliki anak—malah dirinya semakin terus menerus dikejar. Alasan utama Mika jarang menetap tinggal di Milan adalah karena dia ingin terbebas. Dia mencari-cari alasan agar ibunya tak memaksanya hadir di acara kencan buta. Bukan tidak mau memiliki
Berlin, Germany. Moses melonggarkan dasinya di kala menyudahi meeting dengan client kakeknya. Sejak dulu, Moses paling malas menghadiri pertemuan bisnis di keluarganya. Baik itu keluarga ibunya ataupun keluarga ayahnya. Ya, dia memang sedikit berbeda. Dia tidak suka terlibat di perusahaan keluarga.Moses memiliki perusahaan sendiri. Pria itu lebih menyukai fokus pada pengembangan perusahaannya sendiri. Tapi sialnya, memang Moses tidak bisa berkutik ketika Marcel meminta bantuan dengan membawa-bawa dua keponakannya. Moses terpaksa menggantikan Marcel, walau sebenarnya dia sangat kesal! Perusahaannya saja banyak yang harus dia urus, tapi karena harus mengalah pada saudara kembarnya yang sudah menikah—mau tak mau Moses turun langsung membantu perusahaan keluarganya. “Tuan…” Asisten pribadi Moses menghampiri Moses yang hendak masuk ke dalam mobil.“Ada apa?” tanya Moses dingin seraya menatap sang asisten.Sang asisten menatap Moses. “Tuan, tadi ibu Anda menghubungi saya. Beliau meminta
Joice memuntahkan semua isi perutnya ke wastafel. Sudah tak terhitung berapa kali di pagi hari dia bolak-balik mual hebat. Marcel yang ingin berangkat ke kantor langsung mengurungkan niatnya—di kala melihat Joice muntah-muntah.“Sayang? Kau kenapa?” Marcel memijat pelan tengkuk leher Joice. Tampak raut wajah pria itu menunjukkan jelas kepanikan dan rasa khawatir. Dia takut terjadi sesuatu hal buruk pada Joice.Joice membuka keran wastafel, dan membasuh mulutnya dengan air bersih. Kepalanya sedikit pusing. Tapi untungnya, ada Marcel yang memegangnya. Pun dia tetap masih bisa bertahan.“Aku baik-baik saja. Sepertinya aku kelelahan.” Joice memeluk pinggang Marcel.Marcel membelai pipi lembut Joice. “Kita ke rumah sakit sekarang. Aku tidak mau terjadi sesuatu hal buruk menimpamu.”Joice menggeleng. “Tidak usah. Nanti saja, Marcel.”“Joice—”“Sayang, please. Aku hanya ingin istirahat di rumah saja.” Joice menatap Marcel dengan tatapan penuh permohonan.Marcel memgembuskan napas panjang. “O