Cieee dikasih jas tuh, baper nggak, readers??? Share yuk ke sosmed kalian! Siapa tahu punya teman baca. Thx jangan lupa like komen. Salam Sera Dika.
Setibanya di pondok, Sera menjadi bahan perhatian beberapa pegawai panti yang melihat pasangan itu hadir. Sementara itu, Sera jadi sibuk melihat dan memperhatikan dirinya yang terbungkus dengan Jas Dika yang meski kebesaran di tubuhnya tetap terlihat cocok. Bukan sekedar cocok, Sera juga merasa nyaman. Bolehkan dia jujur bahwa saat ini hatinya tidak baik-baik saja lantaran dia terlalu senang? Entah lagi-lagi lelaki itu bersikap manis di depan orang lain karena sandiwara atau tidak, namun genggaman tangan Dika yang tiba-tiba membuat Sera semakin terasa dia butuh banyak pasokan oksigen. Dia seperti terkena serangan jantung. Seorang pria dengan jubah putih, memakai kopiah menghampiri Dika serta Sera. Menyapa dengan santun, orang itu membawa Sera beserta Dika menuju keluarga besar. Kali ini detak jantungnya yang berpacu cepat itu bukan karena disebabkan oleh Dika, tapi Sera itu karena takut akan keadaan sang papa, dia juga ingin menangis seketika. Padahal dia belum melihat wujudnya. Dika
Hap! Dika menggenggam tangan Sera yang tengah mengobati luka di dahinya. Terjadi keheningan yang cukup lama di antara keduanya. Senyap, manik mata mereka saling beradu. Debaran jantung Sera berdetak tak karuan. Bagaimana mungkin dia bersikap biasa saja ketika yang ditatap di depannya adalah Dika Purnama, CEO HOTEL CITRA QUEEN. Pria itu sangat tampan dua kali lipat saat dilihat dari dekat. Tidak, kenapa Sera menjadi gila seperti ini? Sadar, Sera menarik tangannya dari Dika. “Kenapa kau mau mengobati lukaku?” tanya Dika. Keduanya saling berjarak, duduk di kursi dengan normal. Sera sesaat menoleh ke jendela kaca mobil. “Apa yang salah jika aku mengobati lukamu?” tutur Sera. “Aku sudah jahat denganmu,” sadar Dika mengatakan hal itu. Sera bergeming. Dia menaruh sisa plester di dashboard. “Kita harus ke pondok sekarang, lukamu juga sudah selesai diobati,” ujar Sera. Dia mengalihkan pembicaraan. Dika akhirnya menyalakan mesin mobil kembali. Sera menunduk. Dia tidak pernah salah untuk b
Faktanya, Dika memang sedang berada di pondok pesantren bersama Sera. Tapi, apa itu juga artinya Dika lebih memilih Sera daripada Lia? Itu tidak menjamin kan? Selesai. Pembicaraannya dengan Lia benar-benar selesai. Dan Dika tak membuka suara atas pertanyaan Lia karena perempuan itu sudah dimakan amarah. Sambungan itu dimatikan oleh pihak wanita. Salah Dika yang tidak dapat menepati janji. Padahal sudah jelas dia yang mengajak untuk makan malam. Tapi, justru sekarang dia berada di pondok pesantren. Hm, Dika melangkahkan kaki. Sudah terlalu lama dia berdiri di sana. Dan sudah terlalu lama juga Sidik dan keluarganya menunggu. Kepala Dika rasanya ingin pecah. Lia marah padanya. Sambil berjalan dengan wajahnya yang ketus dan datar, lelaki itu tak berpikir bahwa Sera belum kembali ke rumah. Dia mana tahu kalau Sera tengah menangis akan sikapnya. Apakah Dika terlihat tertarik untuk peduli? Untuk mengatakan terima kasih dengan tulus saja dia kesulitan. ***"Cih, menyebalkan!" wanita itu men
"Sebaiknya sekarang kita sarapan," tutur Sera mengalihkan pembicaraan. Dika terdiam dengan ekspresi wajah datarnya. Dika semalam memang menemui Sera yang dia dapatkan dari dering telepon itu. Dia melihat Sera berada di depan pintu ruangan entah habis menemui siapa. Habis itu, mereka berdua tak banyak bercakap. Sera juga langsung berjalan menuju rumah singgah lagi. Dan Dika tak bertanya banyak padanya. Sekarang, ia penasaran kenapa Sera semalam bisa pulang telat. Sementara itu, Sera tak berani membuka suara kalau dia habis menangis. Lantaran dia sakit hati dan cemburu. Dika menyuruhnya kembali pulang ke rumah lebih dahulu. Sementara dia sendiri asyik menelepon kekasihnya. Mana mungkin Sera berkata jujur pada pria itu. Yang ada Dika semakin merendahkan dirinya. Pada akhirnya, Sera paling tidak bisa mengakui perasaannya terhadap Dika. Kecemburuannya biar dia simpan sendiri. Sera jalan sembari membawa jus yang dia pegang. Lalu, saat Sera berada di dekatnya, Dika berkata, "biar aku yan
"Sera, bagaimana soal pembantu? Apa kamu sudah memiliki kandidat?"Ya, dahulu Karina sudah ingin mempersiapkan, tapi lebih baik diserahkan pada Sera dan Dika saja. Sera lantas menggeleng, jujur saja dia belum tahu akan menyewa pembantu atau tidak. "Dika," panggil Karina. Lelaki yang duduk sedikit jauh dari posisi mereka itu dipanggil. Dika pun bangkit dari sofa. "Ya?" ucap Dika. Karina menyuruhnya untuk duduk. Akhirnya, Dika duduk di samping Sera. "Apa kalian belum menyiapkan asisten rumah tangga sampai saat ini?" ulang Karina. "Dulu memang Mama serta papa ingin mempersiapkan untuk kalian. Hanya saja, jika nanti kurang cocok itu tidak baik juga untuk ke depannya. Jadi, apa keputusan kalian?"Sera menoleh pada Dika yang tetap duduk tegap tak melihat ke arahnya. Mereka bahkan tak membicarakan atau menyinggung soal pembantu sama sekali. "Saat kalian tak ada di rumah, adanya asisten rumah tangga sangat bermanfaat. Mereka bisa merawat rumah dengan baik," jelas Karina. "Dika akan segera
Aku tidak mengerti akan perubahan sikap Mas Dika. Tidak ingin berpikir negatif, namun terkadang Mas Dika sendiri yang selalu tidak peduli dengan keadaanku. Sekarang, aku merasa sangat aneh apa bila dia melakukan sesuatu untukku. Rasanya ada yang janggal. Apapun yang dia lakukan, itu hanya karena untuk menjaga citranya sebagai suami yang baik terhadap istrinya. Dan kali ini, mungkin Mas Dika bertahan di pesantren pun bukan karena diriku. Namun, memang itu karena atas perintah kedua orang tuanya. Dia terpaksa untuk tetap tinggal. Lagi-lagi aku tidak harus banyak berharap pada suamiku. Di satu sisi aku senang dia berada di dekatku. Itu artinya, ada banyak waktu yang bisa kita habiskan bersama. Di sisi lain, aku berpikir bahwa hati dan pikiran Mas Dika tidak seutuhnya mengarah kepadaku. Kenyataannya ada orang lain yang Mas Dika pikirkan. Maka, bukankah sangat wajar jika aku bertanya-tanya tentang kehadirannya di sini?***"Mas, jika kamu memang tidak ingin menetap di pesantren. Kamu bis
Tidak. Setelah hari itu, malam di mana Sera tertidur nyaman dipelukan Dika, tak ada lagi pesan atau telepon dari orang atau nomor asing tersebut. Itu pertama dan terakhir kalinya. Dan Sera berharap hal itu tidak datang lagi padanya. Ia akan amat sangat bersyukur bila itu benar-benar terjadi. Sera tidak ingin ada yang mengusik kehidupan pribadinya maupun keluarganya. Entah kenapa Dika merasa lega jika hal itu tidak menimpa Sera lagi. Semenjak tinggal di pesantren, dia tidak ingin bersikap kasar kepada Sera. Panik jika wanita itu ada di sekitarnya. Rasanya kosong ketika dia sedang sendiri. Dika fokus menyetir untuk sampai di pasar. Dia sudah mengajak Sera ke supermarket, namun Sera menolak. Dan bicara kalau di pasar pun sayuran tak kalah segar dan juga kualitas baik. Dika mengalah dan turun ke lapangan menemani Sera.Sera masih saja tak percaya dengan kejadian beberapa hari ke belakang. Bahwa, dia bisa melaksanakan salat berjamaah dengan CEO cu
Terdengar helaan napas kasar. Perempuan itu membuka jaket kulit berwarna hitam itu dan melemparkannya ke kasur. Meregangkan otot-otot lehernya, dia melempar dirinya ke atas ranjang. Hari ini dia cukup padat melayani para tamu hotel. Melelahkan, ditambah lagi dia tak semangat lantaran tidak bertemu Dika. Pria itu sedang di luar kota? Kenapa perasaannya sedikit merasakan sesuatu hal yang aneh? Dia bangkit, mengubah posisi menjadi duduk di tepian ranjang. Mencari ponsel di dalam tas dengan terburu-buru. Perempuan itu mencoba menghubungi kekasihnya lagi. Jika dia belum puas, dia akan terus cecar lelaki itu. Salah satu kakinya berada di atas kaki yang lain, tangan kanannya mengarahkan ponsel ke telinga kanan. Panggilan itu pun berdering. Dia masih sangat penasaran dengan keberadaan Dika. Juga, rindu ingin bertemu pria itu."Halo, Mas!" sapanya dengan sedikit kesal. "Halo, Lia. Ada apa kau meneleponku?" tanya pria itu. "Ada apa? Kau bilang ada apa?!" bentak Lia. Pria it
5 tahun kemudian."Kara!" Seorang pria dengan gagahnya menghampiri sang putri. Dan berjongkok seraya memeluknya. "Assalamualaikum Papa!""Waalaikumsalam, bagaimana sekolahnya?""Kara dapat bintang lima dari guru!" ungkap bocah kecil bernama Kara itu. "Wah, keren anak Papa! Kamu memang cerdas seperti mama kamu!""Papa juga cerdas! Papa punya hotel besar!"Mendengar celotehan sang anak, Dika pun terkekeh. "Papa, ayok pulang. Kara mau ketemu Mama!" ajaknya. Dika mengangguk seraya bangkit. Dia menggandeng putri kandungnya untuk masuk ke dalam mobil. Tak terasa, waktu lima tahun begitu cepat. Dika sudah menjadi pria sejati yang begitu baik menjadi suami untuk Sera. Dika amat merasa bersyukur karena diberikan istri soleha seperti Sera."Kara mau makan es krim, Papa." "Mau es krim?" ulang Dika. Gadis kecil berhijab itu mengangguk. "Oke, tapi kita pulang dulu jemput mama, ya?" "Iya, Papa, horeee Kara makan es krim sama mama dan papa!" Kara sangat menggemaskan. Dia juga memiliki pipi yang
"Se, ini apa?" Dika melotot sembari memegangi benda kecil, tipis bergaris dua. Lantas pria itu menoleh ke arah sang istri. "Sera... ini serius? Ka... kamu hamil?" Dika gugup. Sera mengangguk sembari tersenyum. "Iya, Mas. Aku hamil. Aku hamil anak kamu, Mas. Aku bisa hamil. Kita punya buah hati sekarang!" tutur Sera antusias. Dika pun mendekap tubuh Sera dengan erat sembari mendaratkan kecupan di kening wanitanya. "Sera... terima kasih! Terima kasih banyak. Aku sangat bersyukur dengan hadiah ini. Aku bahagia telah memiliki wanita hebat seperti kamu." "Aku... aku juga, Mas. Aku bahagia karena telah dipertemukan dengan lelaki sesabar kamu. Yang begitu menyayangi diriku tanpa berpikir meninggalkan aku pergi di saat kamu tahu kekuranganku. Terima kasih, Mas...," kata Sera. Untuk sekejap saja, pelukan mereka yang hangat dan nyata dengan rasa syukur yang tiada henti. Jangan biarkan lagi dua insan saling mencinta itu berpisah. Diam-diam, Seda terisak dalam pelukan sang suami. Dia begitu
Siapa yang tidak senang kalau suaminya yang kerja di luar kota akan kembali pulang ke rumah? Dengan dress panjang berwarna peach, wanita yang duduk di depan meja rias itu tak henti mengukir senyum. Ditambah lagi, dia memiliki kejutan untuk sang suami. Kejutan besar yang akan membuat Dika bahagia. Sera mengusap-usap perutnya dengan lembut dan perlahan. Tak menyangka, penantian yang selama ini dia nantikan akhirnya terwujud. Karena, sesungguhnya Tuhan Maha Baik. Sera tidak tahu bagaimana lagi mengungkap rasa syukurnya. Tuhan selalu punya cara untuk membahagiakan hambanya. Dari ujian yang dialaminya bertubi-tubi, Sera dihadiahi keinginannya untuk memiliki buah hati. Ia tak sabar memberikan kabar gembira itu pada sang suami. Sera sangat menantikan reaksi Dika. "Mas Dika, aku hamil anakmu, Mas. Aku bisa hamil juga. Akhirnya, Tuhan mewujudkan keinginanku. Aku tidak sungguh mandul.""Ya Allah, aku sungguh berterima kasih atas karunia yang Kau berikan dan titipkan. Aku akan menjaga buah ha
Hari-hari berlalu. Sebagai wanita yang ikut program hamil Sera harus bolak-balik ke rumah sakit untuk menjalani niatnya demi satu tujuan untuk segera bisa memiliki keturunan. Dia tak pergi seorang diri. Melainkan selalu ada Dika yang setia menemani. Di rumah sakit, tak hanya Sera yang diperiksa melainkan suaminya juga. Kondisi Sera dan Dika di sana semuanya dicek. Perkara tidak hamil ini tidak melulu berasal dari pihak wanita saja, karena bisa jadi suami jadi sumbernya. Untuk program kali ini mereka benar-benar begitu serius menjalani. Sampai pada akhirnya, ditemukan polip yang cukup besar dan banyak di rahim Sera. Sera yang memang didukung baik oleh Dika, tak bisa untuk berhenti program tersebut. Dokter mengambil tindakan untuk membersihkan polip yang ada di rahim Sera. Sempat takut, namun Sera harus semangat. Terlebih Dika juga tak pernah lelah memberikannya kekuatan. Setelah pembersihkan polip itu berhasil, minggu demi minggu berlalu, Sera berkeinginan untuk berangkat Umroh. Wan
“Mas, terima kasih, ya, untuk segala hal yang kamu lakukan padaku. Kebaikanmu semoga Tuhan yang membalas,” tulus Sera. Malam-malam membicarakan hal random dan hal serius adalah hal yang berharga dilalukan Sera dan Dika. Mereka tak ingin melewatkan momen itu sebelum mereka tenggelam dalam mimpi mereka masing-masing. “Hm, jangan pernah merasa kesepian, ya. Aku tahu yang kita usahakan belum ada hasilnya, tapi aku akan selalu mencari cara agar kamu tetap selalu bahagia,” ujar Dika. “Aku sudah bahagia, aku tidak kesepian lagi karena sudah ada kamu, aku punya kamu di hidupku,” sahut Sera. “Tetap saja. Aku tahu kamu masih merasa sedih di belakang aku. Menyembunyikan luka sendiri. Memendam masalah yang kamu punya. Padahal aku ingin kamu selalu libatkan aku mau sedih atau senang,” ungkap Dika. “Karena aku suami kamu, baik sekarang atau nanti.”“Dulu sekali, aku selalu berharap kalau kamu mau mengakui dirimu sebagai suami aku, Mas. Aku selalu b
Bucket Cokelat!Baru saja Sera keluar dari kamar mandi. Wanita itu terkejut kala di meja samping ranjangnya ada benda itu. Bukankah Dika sudah pergi berangkat ke kantor? Belum lama Sera mencium tangan suaminya. Siapa yang menaruhnya? Apa Bi Niken masuk ke kamar?Meraih bucket tersebut senyum wanita dengan hijab berwarna hijau itu mengembang di wajah. Siapa wanita yang tidak senang bila diberi cokelat? Sera lantas meraih ponsel dan hendak memotretnya. Dan bertepatan itu notifikasi dari sang suami masuk. Sera membuka pesan tersebut lebih dahulu. Tidak jadi mengambil foto cokelat itu. Mas DikaSe, sudah lihat kirimanku?Apa kamu suka? Benar sekali itu dari suaminya. Sambil mengetik, senyum wanita itu tak pernah lepas. Dia mengirim beberapa pesan pada suaminya.Aku gak tahu kapan kamu siapkan bucket cokelat ini, Mas?Tapi, terima kasih banyak, ya.Aku tentu suka.Mas DikaSyukurlah, aku balik kerja ya. Boleh kirim foto dengan cokelatnya? Aku ingin melihat wajahmu biar semangat bekerja.
Sera menangis tersedu-sedu. Dia berulang kali mengusap air matanya yang terjatuh lagi dan lagi. "Semua baik-baik saja, Sera. Kamu tidak usah takut lagi," ujar Nindy memberikan pelukan hangat untuk teman sekaligus pemilik butik itu. "Tetap saja aku takut, Nin. Mantan suamiku selalu mengganggu aku dan juga Mas Dika," tutur Sera. "Tolong jangan beri tahu Mas Dika tentang ini, Nin," pinta Sera. "Kenapa?" Nindy bingung. "Aku takut dia semakin khawatir. Dia bisa saja melakukan sesuatu di luar nalar kalau tahu tentang kejadian tadi," ucap Sera dengan mata berlinang."Tapi, Sera, aku rasa dia juga perlu tahu. Kamu harus memberi tahu karena dia bisa melindungi kamu nantinya," ujar Nindy. "Dia pasti sangat khawatir istrinya kenapa-kenapa," sambung Nindy."Nindy, aku mohon...," Sera mempelihatkan wajah melasnya. Nindy menghela napas, "baiklah jika itu mau kamu. Aku akan rahasiakan kejadian ini. Aku harap pria itu tak
"Jadi, kau pergi dengan seorang dokter, Raisa?!" tanya Renal dengan nada tinggi. Seperti biasa, keduanya tak pernah berkomunikasi dengan baik. "Kenapa memangnya?" dengan wajah ketus, kedua tangan menyilang di depan dada, Raisa berbicara kepada sang suami. "Kenapa kau marah dengan itu? Bagaimana dengan kau sendiri yang pergi diam-diam tanpa sepengetahuanku?" ucap Raisa. "Jangan belaga sok suci, Mas, haha," wanita itu terkekeh di ujung kalimat. "Jangan kamu pikir aku tidak tahu kelakuanmu di belakang seperti apa," sambungnya. "Apa maksudmu, Raisa?" tanya Renal. Entah kenapa Renal merasa takut akan sesuatu. "Seharusnya kamu tetap bisa bersikap baik kepadaku. Dan jangan membuatku marah," Raisa tersenyum miring. Hal itu membuat Renal benar-benar takut."RAISA?" panggil Renal dengan nada suara yang keras. Raisa tak menggubris ucapan sang suami. Dia tetap pergi ke kamar.Dia menggumam, "kau pikir aku tidak tahu k
"Mas, Mas," Sera memanggil nama suaminya berulang. Keluar dari mobil lelaki itu berjalan lebih dahulu masuk ke dalam rumah. "Ya Tuhan, Mas Dika tunggu aku," pinta Sera. Sera menghela napas, andai tak bertemu dengan Renal, mungkin Dika akan baik-baik saja. Wajah lelaki itu juga berubah ketus dan menjadi dingin usai bertemu mantan suami Sera. "Mas," panggil Sera lagi ketika sudah berada di dalam kamar. "Kenapa kamu jadi cuek sama aku?" ucap Sera. "Apa aku ada salah? Mas aku juga kan tidak tahu kalau ada pria itu di restoran," keluh Sera. "Apa kamu mengajakku ke restoran itu untuk bernostalgia tentang masa lalumu, Se?" tanya Dika. "Ya Tuhan. Apa yang kamu pikirkan? Kamu berpikir aku seperti itu?" ucap Sera. "Mas, tak pernah terlintas sama sekali dalam diriku untuk mengingatkanmu tentang masa laluku. Aku mengajakmu ke sana murni untuk makan bersama!" sanggah Sera. "Tolong jangan marah sama aku. Katanya kita