Tidak. Setelah hari itu, malam di mana Sera tertidur nyaman dipelukan Dika, tak ada lagi pesan atau telepon dari orang atau nomor asing tersebut. Itu pertama dan terakhir kalinya. Dan Sera berharap hal itu tidak datang lagi padanya. Ia akan amat sangat bersyukur bila itu benar-benar terjadi. Sera tidak ingin ada yang mengusik kehidupan pribadinya maupun keluarganya. Entah kenapa Dika merasa lega jika hal itu tidak menimpa Sera lagi. Semenjak tinggal di pesantren, dia tidak ingin bersikap kasar kepada Sera. Panik jika wanita itu ada di sekitarnya. Rasanya kosong ketika dia sedang sendiri. Dika fokus menyetir untuk sampai di pasar. Dia sudah mengajak Sera ke supermarket, namun Sera menolak. Dan bicara kalau di pasar pun sayuran tak kalah segar dan juga kualitas baik. Dika mengalah dan turun ke lapangan menemani Sera.Sera masih saja tak percaya dengan kejadian beberapa hari ke belakang. Bahwa, dia bisa melaksanakan salat berjamaah dengan CEO cu
Terdengar helaan napas kasar. Perempuan itu membuka jaket kulit berwarna hitam itu dan melemparkannya ke kasur. Meregangkan otot-otot lehernya, dia melempar dirinya ke atas ranjang. Hari ini dia cukup padat melayani para tamu hotel. Melelahkan, ditambah lagi dia tak semangat lantaran tidak bertemu Dika. Pria itu sedang di luar kota? Kenapa perasaannya sedikit merasakan sesuatu hal yang aneh? Dia bangkit, mengubah posisi menjadi duduk di tepian ranjang. Mencari ponsel di dalam tas dengan terburu-buru. Perempuan itu mencoba menghubungi kekasihnya lagi. Jika dia belum puas, dia akan terus cecar lelaki itu. Salah satu kakinya berada di atas kaki yang lain, tangan kanannya mengarahkan ponsel ke telinga kanan. Panggilan itu pun berdering. Dia masih sangat penasaran dengan keberadaan Dika. Juga, rindu ingin bertemu pria itu."Halo, Mas!" sapanya dengan sedikit kesal. "Halo, Lia. Ada apa kau meneleponku?" tanya pria itu. "Ada apa? Kau bilang ada apa?!" bentak Lia. Pria it
"Dika, sudah bangun?" Rani menghampirinya. "Sera ikut kajian di masjid sejak tadi. Dia tak enak membangunkanmu," ungkap Rani. "Kajian?" ulang Dika. Rani mengangguk singkat. "Iya, kemungkinan Sera kembali sampai sore. Nah, hari ini juga ada acara gotong-royong bersama para santri. Jika kamu ingin ikut, ikut saja." Ya, Rani berharap Dika tak diam saja di rumah. Karena, sayang sekali melewatkan agenda di pondok pesantren. "Sarapanmu sudah Sera siapkan di kamar," ujar Rani. Dika mengangguk kecil. "Hm, Mama mau menemui papamu," kata Rani. Dika mengangguk lagi. Jadi, Dika ditinggal?Sera sudah mengikuti acara ceramah dengan seorang ustadzah terkenal di pondok pesantren tersebut. Dia adalah Ustadzah Fatmawati. Karena sudah cukup mengenal baik serta dekat, Sera memanggilnya dengan sebutan Umi. "Jadi suamimu di sini juga?" ucap Umi. Sera mengangguk singkat sebagai jawaban. "Hm, Umi tidak tahu rupanya. Baiklah, kita berpisah sampai di sini.
Di saat Sera tengah fokus bekerja alias membersihkan atau menyapu lapangan, seseorang tengah berdiri seraya memperhatikan dirinya dari kejauhan. Sinar mentari di siang hari yang menyentuh kulit wajahnya membuat Sera tampak semakin terlihat berkilau. Siapa yang tidak terpesona dengan kecantikan alami itu? Dia keluar dari rumah tak mengenakan hiasan wajah yang tebal. Memakai hiasan di wajah dengan senatural mungkin adalah ciri khasnya. Jika sebelumnya Bu Titi mengajak Sera bicara di tengah-tengah bakti sosial itu. Lain dengan Dika yang diajak bicara dengan salah satu santri yang terkenal dan tak kalah populer. Jika Dika populer di hotel karena dia seorang CEO. Maka, santru itu adalah yang populer di pondok pesantren karena terkenal dengan suara lantunan mengajinya yang indah. "Mas Dika, bengong saja," ledeknya. Lelaki manis itu memiliki dimple di kedua pipinya. Dika tak mengenal siapa laki-laki muda itu. "Sedang melihat istrinya ya, Mas?" Tahu apa pemuda itu? Dika menggeleng. "Aku h
Sera terbangun dalam keadaan sudah di atas ranjang. Mengucek mata, dilihatnya sudah jam 5 pagi. Melihat di sisi samping ranjang, tak ada sang suami. Dia benar-benar lupa apa yang terjadi semalam. Apa dia tertidur begitu pulas? Sera segera bangkit, menyingkirkan selimut itu dari tubuhnya. Dia pergi mengambil wudhu untuk melaksanakan waktu subuh. Dia menjalankan kewajiban salat dengan lancar. Tak lupa memakai kembali hijabnya setelah melaksanakan salat. Sera bergegas merapikan ranjang. Membereskan rumah pagi hari, mencuci pakaian juga membereskan dapur. Namun, saat hendak pergi ke dapur dia terkejut saat melihat seseorang. Bukan, bukan karena itu Dika. Melainkan wanita berhijab yang Sera tak kenali. Tak percaya dengan yang dia alami saat ini.Wajah wanita itu tak kelihatan lantaran membelakangi Sera. “Permisi, kamu siapa?” tanya Sera. Jantung Sera berdetak tak karuan. Itu bukan Rani ataupun Karina. Sera tahu keduanya dari perawakannya. Lalu, perempuan itu
Bahwa menjadi rumah untuk seseorang tidaklah mudah. Menjadi tempat yang tenang dan memberi kebahagiaan untuk orang lain di mana diri kita sendiri terluka adalah hal yang sulit. Sera tak pandai menjadi tempat pulang yang baik. Namun, ia tetap berusaha keras. Itu semua demi pernikahannya. Sera menuju butik. Perempuan berhijab pink polos, mengenakan abaya hitam itu masuk ke dalam taksi. Dika sempat menawarkan tumpangan untuknya. Tetapi, dia sendiri ragu menerimanya. Jadi, Sera berangkat sendiri saja menggunakan taksi. Dan membiarkan Dika ke kantor seorang diri. Bahwa Sera masih menutupi urusannya, pekerjaannya di butik. Entah kenapa dia melakukan hal itu. Itu seperti pegangan dirinya sendiri. Dia semalam tak cerita pada Dika. Juga, Dika tak bertanya atau membahas secara berkelanjutan tentang mengenai urusannya. Tak bertanya atau tak ingin tahu secara detail. Sera juga berharap Dika tahu usaha Sera di waktu yang tepat. Nanti pasti akan ada waktu di mana Ser
"Terima kasih, Bu Sera. Sudah menerima saya bekerja di sini. Saya akan bekerja dengan baik juga bekerja keras di butik ini." Rupanya semangat perempuan sebaya dengannya itu sangat besar. Sera memberikan senyum lebar kepada perempuan di yang semeja dengannya. Perempuan itu bernama Nindy. Mereka berdua usianya sama-sama 25 tahun. Nindy dahulu satu SMA dengan Sera. Dia tak menyangka akan dipertemukan dalam situasi bisnis. Mereka memang tidak begitu dekat, namun tidak juga bermusuhan. "Nindy, panggil aku Sera. Aku harap kamu betah bekerja di butik ini, aku senang kamu mau membantuku," aku Sera. Nindy terkekeh dengan gelengan kecil. "Mana bisa begitu? Kamu itu bos aku," ujar Nindy. "Panggil aku Sera, kita ini seumuran juga kan," ucapnya. "Aku senang bisa ketemu kamu lagi," lanjut Sera. "Aku juga, Sera. Kuharap kita bisa sangat dekat nantinya," Nindy meminum milkshake di depannya. Ya, mereka mengadakan pertemuan di kafe. Sera yang memulai mencari pegawai di b
Kenapa Fendi selalu saja bisa menebak apa yang terjadi dengannya? Apa dia itu cenayang? Dika segera mengajak Fendi masuk ke dalam ruangan. Agar pembicaraan mereka lebih privat. "Kau meninggalkanku di restoran sendirian kemarin. Tega sekali kau melakukan itu padaku!" dumal Fendi. "Katakan apa maumu ke sini?" ucap Dika tak ingin ada basa-basi. "Sabar sebentar, kau buru-buru sekali, bos!" celetuk Fendi. Dia ingin main-main dahulu di ruangan Dika. Padahal ini sudah jam kerja. "Kau semakin kurang ajar!" Dika menajamkan tatapan mata. "Haha, aku hanya bercanda. Maaf-maaf," Fendi berdeham singkat. "Jadi, kau ke mana saja kemarin? Benar kau keluar kota?""Apa dia menanyakan sesuatu padamu?" tanya Dika. "Siapa? Pacarmu itu?" ucap Fendi. "Tidak. Namun, dia sempat menemuiku sebentar," aku Fendi. Dika mengangguk singkat. "Aku melihat mertuaku yang sakit," ungkap Dika. "Siapa yang sakit? Ibu atau ayahnya?" ucap Fendi.
5 tahun kemudian."Kara!" Seorang pria dengan gagahnya menghampiri sang putri. Dan berjongkok seraya memeluknya. "Assalamualaikum Papa!""Waalaikumsalam, bagaimana sekolahnya?""Kara dapat bintang lima dari guru!" ungkap bocah kecil bernama Kara itu. "Wah, keren anak Papa! Kamu memang cerdas seperti mama kamu!""Papa juga cerdas! Papa punya hotel besar!"Mendengar celotehan sang anak, Dika pun terkekeh. "Papa, ayok pulang. Kara mau ketemu Mama!" ajaknya. Dika mengangguk seraya bangkit. Dia menggandeng putri kandungnya untuk masuk ke dalam mobil. Tak terasa, waktu lima tahun begitu cepat. Dika sudah menjadi pria sejati yang begitu baik menjadi suami untuk Sera. Dika amat merasa bersyukur karena diberikan istri soleha seperti Sera."Kara mau makan es krim, Papa." "Mau es krim?" ulang Dika. Gadis kecil berhijab itu mengangguk. "Oke, tapi kita pulang dulu jemput mama, ya?" "Iya, Papa, horeee Kara makan es krim sama mama dan papa!" Kara sangat menggemaskan. Dia juga memiliki pipi yang
"Se, ini apa?" Dika melotot sembari memegangi benda kecil, tipis bergaris dua. Lantas pria itu menoleh ke arah sang istri. "Sera... ini serius? Ka... kamu hamil?" Dika gugup. Sera mengangguk sembari tersenyum. "Iya, Mas. Aku hamil. Aku hamil anak kamu, Mas. Aku bisa hamil. Kita punya buah hati sekarang!" tutur Sera antusias. Dika pun mendekap tubuh Sera dengan erat sembari mendaratkan kecupan di kening wanitanya. "Sera... terima kasih! Terima kasih banyak. Aku sangat bersyukur dengan hadiah ini. Aku bahagia telah memiliki wanita hebat seperti kamu." "Aku... aku juga, Mas. Aku bahagia karena telah dipertemukan dengan lelaki sesabar kamu. Yang begitu menyayangi diriku tanpa berpikir meninggalkan aku pergi di saat kamu tahu kekuranganku. Terima kasih, Mas...," kata Sera. Untuk sekejap saja, pelukan mereka yang hangat dan nyata dengan rasa syukur yang tiada henti. Jangan biarkan lagi dua insan saling mencinta itu berpisah. Diam-diam, Seda terisak dalam pelukan sang suami. Dia begitu
Siapa yang tidak senang kalau suaminya yang kerja di luar kota akan kembali pulang ke rumah? Dengan dress panjang berwarna peach, wanita yang duduk di depan meja rias itu tak henti mengukir senyum. Ditambah lagi, dia memiliki kejutan untuk sang suami. Kejutan besar yang akan membuat Dika bahagia. Sera mengusap-usap perutnya dengan lembut dan perlahan. Tak menyangka, penantian yang selama ini dia nantikan akhirnya terwujud. Karena, sesungguhnya Tuhan Maha Baik. Sera tidak tahu bagaimana lagi mengungkap rasa syukurnya. Tuhan selalu punya cara untuk membahagiakan hambanya. Dari ujian yang dialaminya bertubi-tubi, Sera dihadiahi keinginannya untuk memiliki buah hati. Ia tak sabar memberikan kabar gembira itu pada sang suami. Sera sangat menantikan reaksi Dika. "Mas Dika, aku hamil anakmu, Mas. Aku bisa hamil juga. Akhirnya, Tuhan mewujudkan keinginanku. Aku tidak sungguh mandul.""Ya Allah, aku sungguh berterima kasih atas karunia yang Kau berikan dan titipkan. Aku akan menjaga buah ha
Hari-hari berlalu. Sebagai wanita yang ikut program hamil Sera harus bolak-balik ke rumah sakit untuk menjalani niatnya demi satu tujuan untuk segera bisa memiliki keturunan. Dia tak pergi seorang diri. Melainkan selalu ada Dika yang setia menemani. Di rumah sakit, tak hanya Sera yang diperiksa melainkan suaminya juga. Kondisi Sera dan Dika di sana semuanya dicek. Perkara tidak hamil ini tidak melulu berasal dari pihak wanita saja, karena bisa jadi suami jadi sumbernya. Untuk program kali ini mereka benar-benar begitu serius menjalani. Sampai pada akhirnya, ditemukan polip yang cukup besar dan banyak di rahim Sera. Sera yang memang didukung baik oleh Dika, tak bisa untuk berhenti program tersebut. Dokter mengambil tindakan untuk membersihkan polip yang ada di rahim Sera. Sempat takut, namun Sera harus semangat. Terlebih Dika juga tak pernah lelah memberikannya kekuatan. Setelah pembersihkan polip itu berhasil, minggu demi minggu berlalu, Sera berkeinginan untuk berangkat Umroh. Wan
“Mas, terima kasih, ya, untuk segala hal yang kamu lakukan padaku. Kebaikanmu semoga Tuhan yang membalas,” tulus Sera. Malam-malam membicarakan hal random dan hal serius adalah hal yang berharga dilalukan Sera dan Dika. Mereka tak ingin melewatkan momen itu sebelum mereka tenggelam dalam mimpi mereka masing-masing. “Hm, jangan pernah merasa kesepian, ya. Aku tahu yang kita usahakan belum ada hasilnya, tapi aku akan selalu mencari cara agar kamu tetap selalu bahagia,” ujar Dika. “Aku sudah bahagia, aku tidak kesepian lagi karena sudah ada kamu, aku punya kamu di hidupku,” sahut Sera. “Tetap saja. Aku tahu kamu masih merasa sedih di belakang aku. Menyembunyikan luka sendiri. Memendam masalah yang kamu punya. Padahal aku ingin kamu selalu libatkan aku mau sedih atau senang,” ungkap Dika. “Karena aku suami kamu, baik sekarang atau nanti.”“Dulu sekali, aku selalu berharap kalau kamu mau mengakui dirimu sebagai suami aku, Mas. Aku selalu b
Bucket Cokelat!Baru saja Sera keluar dari kamar mandi. Wanita itu terkejut kala di meja samping ranjangnya ada benda itu. Bukankah Dika sudah pergi berangkat ke kantor? Belum lama Sera mencium tangan suaminya. Siapa yang menaruhnya? Apa Bi Niken masuk ke kamar?Meraih bucket tersebut senyum wanita dengan hijab berwarna hijau itu mengembang di wajah. Siapa wanita yang tidak senang bila diberi cokelat? Sera lantas meraih ponsel dan hendak memotretnya. Dan bertepatan itu notifikasi dari sang suami masuk. Sera membuka pesan tersebut lebih dahulu. Tidak jadi mengambil foto cokelat itu. Mas DikaSe, sudah lihat kirimanku?Apa kamu suka? Benar sekali itu dari suaminya. Sambil mengetik, senyum wanita itu tak pernah lepas. Dia mengirim beberapa pesan pada suaminya.Aku gak tahu kapan kamu siapkan bucket cokelat ini, Mas?Tapi, terima kasih banyak, ya.Aku tentu suka.Mas DikaSyukurlah, aku balik kerja ya. Boleh kirim foto dengan cokelatnya? Aku ingin melihat wajahmu biar semangat bekerja.
Sera menangis tersedu-sedu. Dia berulang kali mengusap air matanya yang terjatuh lagi dan lagi. "Semua baik-baik saja, Sera. Kamu tidak usah takut lagi," ujar Nindy memberikan pelukan hangat untuk teman sekaligus pemilik butik itu. "Tetap saja aku takut, Nin. Mantan suamiku selalu mengganggu aku dan juga Mas Dika," tutur Sera. "Tolong jangan beri tahu Mas Dika tentang ini, Nin," pinta Sera. "Kenapa?" Nindy bingung. "Aku takut dia semakin khawatir. Dia bisa saja melakukan sesuatu di luar nalar kalau tahu tentang kejadian tadi," ucap Sera dengan mata berlinang."Tapi, Sera, aku rasa dia juga perlu tahu. Kamu harus memberi tahu karena dia bisa melindungi kamu nantinya," ujar Nindy. "Dia pasti sangat khawatir istrinya kenapa-kenapa," sambung Nindy."Nindy, aku mohon...," Sera mempelihatkan wajah melasnya. Nindy menghela napas, "baiklah jika itu mau kamu. Aku akan rahasiakan kejadian ini. Aku harap pria itu tak
"Jadi, kau pergi dengan seorang dokter, Raisa?!" tanya Renal dengan nada tinggi. Seperti biasa, keduanya tak pernah berkomunikasi dengan baik. "Kenapa memangnya?" dengan wajah ketus, kedua tangan menyilang di depan dada, Raisa berbicara kepada sang suami. "Kenapa kau marah dengan itu? Bagaimana dengan kau sendiri yang pergi diam-diam tanpa sepengetahuanku?" ucap Raisa. "Jangan belaga sok suci, Mas, haha," wanita itu terkekeh di ujung kalimat. "Jangan kamu pikir aku tidak tahu kelakuanmu di belakang seperti apa," sambungnya. "Apa maksudmu, Raisa?" tanya Renal. Entah kenapa Renal merasa takut akan sesuatu. "Seharusnya kamu tetap bisa bersikap baik kepadaku. Dan jangan membuatku marah," Raisa tersenyum miring. Hal itu membuat Renal benar-benar takut."RAISA?" panggil Renal dengan nada suara yang keras. Raisa tak menggubris ucapan sang suami. Dia tetap pergi ke kamar.Dia menggumam, "kau pikir aku tidak tahu k
"Mas, Mas," Sera memanggil nama suaminya berulang. Keluar dari mobil lelaki itu berjalan lebih dahulu masuk ke dalam rumah. "Ya Tuhan, Mas Dika tunggu aku," pinta Sera. Sera menghela napas, andai tak bertemu dengan Renal, mungkin Dika akan baik-baik saja. Wajah lelaki itu juga berubah ketus dan menjadi dingin usai bertemu mantan suami Sera. "Mas," panggil Sera lagi ketika sudah berada di dalam kamar. "Kenapa kamu jadi cuek sama aku?" ucap Sera. "Apa aku ada salah? Mas aku juga kan tidak tahu kalau ada pria itu di restoran," keluh Sera. "Apa kamu mengajakku ke restoran itu untuk bernostalgia tentang masa lalumu, Se?" tanya Dika. "Ya Tuhan. Apa yang kamu pikirkan? Kamu berpikir aku seperti itu?" ucap Sera. "Mas, tak pernah terlintas sama sekali dalam diriku untuk mengingatkanmu tentang masa laluku. Aku mengajakmu ke sana murni untuk makan bersama!" sanggah Sera. "Tolong jangan marah sama aku. Katanya kita