"Urus mayat anak itu, Mun! Kurang ajar sekali dia sudah membuatku tergoda. Untung istriku berani menghabisi iblis kecil betina ini..." terdengar suara Moksa yang masih terlentang di ranjang dalam keadaan telanjang. Muntarso tergesa masuk kamar untuk membimbing Gayatri duduk di tepi ranjang. Dia lalu mengambil belati di tangan wanita itu, membungkusnya dengan kain si bocah kecil yang sudah mati. Perlahan pula, Muntarso sigap mengambil selimut yang terlempar di lantai, untuk membungkus mayat anak itu. "Entah bagaimana kelak dia dewasa, sekecil itu sudah berani menyeretku ke ranjang. Genit," kata Moksa, sembari mengenakan bajunya dengan santai. Muntarso memandangi pria itu dengan penuh kebencian. Dia merasa muak dengan kelakuan majikannya itu, apalagi terdengar tangisan Gayatri yang memilukan. "Jangan terulang lagi, Tuan. Ini sangat berbahaya," tegas Muntarso. Moksa membalikan tubuhnya dengan acuh tak acuh, lalu menertawakan Muntarso. "Kau itu cuma keset kaki. Jadi berhentilah
Ketukan di pintu depan begitu gencar, Dena mencoba tenang mengatur nafasnya, meski kedua tangannya menutup lekat mulut kedua anaknya. Oh, Tuhan! Ini yang dia takutkan. Samiran bisa saja datang untuk mengecek kondisi rumah itu, seperti pagi ini. Dan bisa saja, dia tahu jika semua gaun tua di ruangan lantai dasar itu sudah tak ada. Ini jelas malapetaka, khususnya untuk Dena. Bisa saja dia mendadak ditangkap polisi. "Eike akan segera membuat tiruannya!" Kata Sesco saat pamit."Kapan?" Tanya Dena, agak khawatir."Segera, butuh dua atau tiga bulan.""Janganlah, yang punya rumah selalu ke sini. Dia bisa saja tahu, dan kita semua bisa di penjara!""Oowh!" Sesco menutup mulutnya "Begini, eike punya banyak gaun yang didesain ala zaman dulu. Bekas baju untuk desain khusus salah satu film kerajaan eropa beberapa tahun lalu. Nanti baju-baju itu saja yang dikirim ke sini, menggantikan gaun-gaun tua ini...""Apa Pak Samiran bisa mengenali gaun itu?""Justru eike tak yakin, dia mengenali gaun-gaun
Selama ini, Samiran telahmengurus rumah itu dengan baik. Termasuk merawat isi di dalamnya. Semua demi rasa takutnya terhadap yang namanya malapetaka. Pernah dia mencoba berontak, melawan untuk tidak patuh. Tiba-tiba dia terkapar sakit parah berkepanjangan, baru bisa sembuh ketika dia berjanji untuk kembali mengurus rumah dan tanah tersebut.Saat rumah itu dulu disewakan kepada keluarga Van Der Mosch, sosok Minna kemudian menjadi korban di rumah itu. Lalu kini, Samiran terpaksa harus mengorbankan jiwa lagi. Seorang Dena yang kemudian menjadi pilihannya. Tapi ternyata, tidak semudah itu. Wanita yang terlihat tak berdaya itu, mendadak kini menjelma menjadi sosok yang seperti tak mengenal rasa takut. "Jangan coba-coba menguasai sesuatu yang bukan kau miliki. Atau kau ingin mati?" Terdengar suara Dena yang tiba-tiba seperti begitu serak dan parau.Perlahan, Samiran mencoba memandangi Dena dengan sedikit keberanian. Wanita itu, masih menyodorkan tatapan tajam mematikan. Sepasang matanya
Hendra merasa penting untuk mengunjungi Dena dan kedua anaknya malam itu. Dia mendadak rindu. Bukan saja untuk memeluk dan menciumi Aurora dan Axio, tapi juga demi pergumulan hangat di ranjang bersama mantan istrinya tersebut. Begini mungkin rasanya jatuh cinta pada orang yang sama itu, bathin Hendra. Seperti memulai dari awal, dia merasakan sensasi yang tidak sekedar sayang. Ada rindu yang terus berpendar tiap waktu, menyisipkan gejolak asmara yang terkadang binal dan melupakan rasa malu.Dena mengusap pundak pria itu dengan lembut, merasakan kelembapan keringatnya yang mengucur deras sejak mulai pertarungan ganas dan liar tadi. Ini seperti hubungan intim yang mereka lakukan saat awal mula membina pernikahan. Semua serba membara. "Lima ronde..." bisik Dena, membuat Hendra tertawa. Mereka bercinta hingga larut, untunglah kedua anak mereka tertidur pulas. Hendra bangkit dengan hanya mengenakan sarung, dia mengaku merasa lapar. Kemudian Dena mengikat tubuhnya dengan kain tipis, lalu
Segelas air putih, akhirnya diminum Hendra dalam diam. Dia menutup tudung saji di atas meja makan, lalu bergerak untuk mencuci tangan di dekat sumur sebelah dapur. Sambal gandaria buatan Dena memang sedap betul, membuat Hendra lebih senang menggunakan tangan. Sebab itu dia harus bersih mencuci tangannya dengan sabun, agar aroma sambal hilang."Hoom pim paaaah..."Hendra menoleh, terdengar sebuah suara lirih di belakangnya. Tak ada seseorang di sana. Hendra menoleh bibir tangga yang menuju ruangan lantai dasar, kosong juga. Merasa penasaran, Hendra melongok ke dalam sumur. Gelap."Hoom pim paaaaaah...."Kali ini, suara itu terdengar begitu ramai. Semakin pelan menjauh. Hendra bergegas membawa lampu minyak untuk mengikuti arah suara tersebut, membuatnya tergesa menuju pintu yang menuju halaman belakang."Hoom pim paaaaaaaaah..."Tak ada rasa takut, Hendra langsung membuka pintu dan melangkah keluar. Sepi. Tak ada seorangpun di sana. Ada sekitar lima menit Hendra berdiri di tempat itu, s
Dena masih tertidur lelap. Aurora dan Axio duduk tenang di pinggir ranjang, memandangi ibunya. Sementara Hendra, tampak sedang sibuk bercakap-cakap dengan seseorang di ruang perpustakaan.Dia, Prana, sahabat Hendra yang penganut Hindu. Telepon Hendra di tengah malam, membuat pria itu mendadak datang ke rumah kontrakan Dena pagi buta itu. "Aku berharap kau bisa menolong Dena," kata Hendra, pada kakak tingkatnya waktu kuliah dulu. Mereka bersahabat dekat. Jelas Prana juga mengenal Dena, karena saat ingin mendekati wanita itu, terlebih dahulu Hendra berdiskusi dengannya."Jangan merusak hubungan orang. Dena punya pacar," nasehat Prana waktu itu.Tetapi Hendra sudah kadung cinta pada primadona kampus itu. Meski dari bisik-bisik yang dia dengar, gadis itu sudah tak lagi perawan, karena tinggal satu kamar kost dengan kekasihnya itu. Bodo amat! Demikianlah prinsip Hendra saat itu, sehingga menghalalkan segala cara untuk mendapatkan hati Dena.Sulit awalnya, mengingat Hendra tidak terlalu ta
"Sumpaaah... eike tidak halu! Lemarinya diketok-ketok, sereeem...." Sesco berteriak-teriak ketakutan di butiknya. Para karyawan mulai kebingungan dengan tingkahnya. Pria itu, dikabarkan lari ke hotel dekat rumahnya tengah malam hanya dengan masih memakai piyama bermotif pisang kuning. Sibuk menelpon Leonard agar segera kembali ke Indonesia, khususnya ke apartemen mewah mereka demi ngecek hantu. Pagi buta Sesco sudah menyatroni butik dan membuat kerusuhan besar."Hendra kemanaaaa??? Kok tak bisa dihubungi???""Tadi pagi masih nelpon saya, Madam. Katanya Si Dena kesurupan," sahut Wawan, salah satu staf marketing."Kesurupan? Kok bisaaa... Aduuuh, kenapa pada banyak syaiton dimenong-menong seh? Apa mereka lagi migrasi ke alam dunia apa gimana dimana ceritanya? Bukannya bersyukur yes, udah tinggal di dunia ghoib. Ini masiiiih... aja iseng liburan di sindang. Reportase tuh mahluk halus!""Apa itu reportase, Madam?" Tanya Wawan bingung."Repot!"Wawan tertunduk diam, sementara karyawan la
"Semua pasti berakhir," bisik Hendra di telinga Dena, meski wanita itu masih tampak tertidur. Tak ada yang dipikirkan Hendra, kecuali berusaha keras untuk memaksa Dena pindah dari rumah tua itu. Apalagi saat Prana tadi kembali meneleponnya dengan gusar."Pergilah dari situ, sebelum terlambat! Aku takut tak bisa memperingatkanmu lagi..." "Tapi Mas, sebelum aku kembali... mereka hidup damai di rumah ini. Dena dan anak-anak tampak tidak begitu khawatir. Saya cuma ingin mengusir mahluk halus apapun yang menunggu rumah itu jauh sebelum kami datang," elak Hendra."Hendra, dengar aku! Dena dan anakmu pastinya akan baik-baik saja. Tetapi kau... kau mungkin tidak..."Hendra awalnya tak ingin terpengaruh dengan ucapan itu. Tapi dia tahu, Prana tidak sedang menakutinya. Pikirannya menjadi semakin rancu, ketika dapat telpon dari butik, katanya Madam Sesco diganggu hantu gaun yang dibawa dari rumah sewaan Dena. Malah bosnya itu sibuk stres dan memilih tidak pulang ke rumahnya dimana hantu itu te
Astari, melihat mobil Syahreza yang ke luar dari pintu gerbang rumahnya. Dia lalu kembali duduk, dan Nunung meneruskan tugas untuk menyisir rambut majikannya. "Mas Prana itu..." Suara Astari tercekat. "Sebenarnya yang duluan naksir Dena, Nung. Waktu zaman kuliah. Cuma duluan diserobot Hendra. Kau tahu, Nung? Mas Prana itu selalu memuji Dena. Dia bilang wanita itu cantik sekali, seperti bunga kaca piring yang disinari cahaya matahari. Katanya kelak ingin punya anak perempuan secantik itu. Kau tahu rasanya mendengar itu, Nung? Mas Prana bahkan tak pernah memujiku sama sekali..."Nunung tak menjawab, dia terus menyisir rambut majikannya sambil menatap wajah Astari di cermin."Ketika dia berusaha menolong wanita itu, aku mencoba berdamai dengan hatiku. Sebab makin kularang, dia ternyata makin berusaha untuk selalu berada di samping wanita itu. Mengirimmu bersama Yusuf, sebenarnya hanya upaya menjaga keyakinanku jika mereka tidak berselingkuh..."Nunung terlihat menunduk, sambil melepas h
Bagaimana mungkin ada ponsel yang bisa aman disembunyikan dalam sebuah gaun? Namun Sesco mengatakan, dia memang sempat mendesain korset pada gaun yang bisa menempel dengan ketat."Jangankan ponsel, pistol juga bisa nyelip itu. Eike terinspirasi dengan Mbah-Mbah zaman dulu yang suka menyelipkan barang berharga di bagian kutang atau stagennya..." kata Sesco, sambil memamerkan gaun hijau brokat besar, dengan korset hitam yang hampir menyentuh bagian dada."Gaun ini jadi bau dan lembab, seperti pernah disiram air. Ada banyak helaian rambut pirang!"Syahreza terdiam memandang ponsel Iphone 6 Plus itu. Sudah ketinggalan zaman untuk era Iphone jenis terbaru. Tapi dia ingat, itu jelas ponsel milik Julianna. Dia tak melupakan casing warna pink. Julianna beberapa kali mengeluarkan barang itu dari tas coklatnya. Lalu, di mana tasnya?"Kita cas dulu itu ponsel, jika benar itu milik Julianna. Oh, eike sedikit terkejut dengan penemuan ini. Tetapi Pak Syahreza, bisakah kita merahasiakan ini? Soalnya
Syahreza membuka lemari yang penuh gaun tua, dia sempat menahan diri untuk menggesernya, karena beberapa waktu lalu sempat berusaha menutupi lempeng besi yang menuju ruangan bawah tanah. Namun dia berpikir, kapan lagi bisa ke tempat itu? Sebab Prana sudah tidak lagi berkenan untuk membongkar misteri masa lampau itu. Tapi dia sudah sedikit membongkar beragam arsip dan catatan lampau yang masih terhimpun rapat di perpustakaan nasional. Terutama tentang misteri dari data-data "yang konon kabarnya", mitos sekian abad yang sulit diterima nalar, sehingga tak ada satupun ahli yang berminat untuk mengungkapnya, namun catatan tentang legenda tersebut kadang tercantum pada batu-batu, serat kayu dan kulit hewan peninggalan abad silam."Kita akan ke bawah lagi."Zulfan tak menjawab, hanya bantu menggeser lemari dan membuka lempeng besi. Dia sudah semakin paham soal misteri lain dari rumah ini, setiap bertemu Syahreza, mereka kadang mengulas tentang kasus pembunuhan, juga soal ruangan misterius y
Masuk!Itulah keputusan Syahreza dan Zulfan saat mulai menuruni tangga. Sepi pastinya, juga menyeramkan. Mereka mulai mengarahkan senter melewati lorong panjang, sebelum menemukan tangga yang menuju pintu di bawah ranjang tempat dulu kamar Dena berada. Pintu-pintu jendela rumah itu terbuka, membuat cahaya matahari bebas masuk. Syahreza mengelilingi setiap kamar, sebelum memasuki ruang perpustakaan. Sementara Zulfan berdiri mematung menatap 2 lukisan: Dewa dan Dewi."Apa itu, Pak?" Tanyanya bingung.Satu lukisan dewa itu bertangan empat, bermata tiga, lehernya berkalung ular kobra. Ini seperti wujud lukisan Dewa Siwa, Sang Dewa Pelebur, versi keyakinan orang India. Siwa, merupakan satu dari tiga dewa utama dari satu kesatuan Trimurti dalam keyakinan agama Hindu, selain Brahma dan Wisnu. Sementara penganut Hindu Bali, memuja Dewa Siwa atau Btara Guru di Pura Dalem, sebagai dewa yang diyakini mampumengembalikan manusia dan makhluk hidup lainnya ke unsur asalnya, yakni Panca Mahabhuta,
Zeta mengirimkan email padanya, usai satu minggu dia kembali ke Paris, tanpa Leonard. Karena pria itu ditahan polisi, dengan tuduhan kasus percobaan upaya penipuan dan pemerasaan kepada Sesco. Kasus ini terungkap dari pengakuan Doza Fahmi, sekutu Alya Dildo. Saat mengantar Zeta di bandara, Sesco yang begitu patah hati, meminta Zeta untuk menyelidiki sesuatu. Lalu hal tersebut, diungkapkan Zeta pada Syahreza: Wanita itu datang ke Rumah Mode Sesco Paris yang belum launching. Dia mengaku bernama Lane, teman Leonard. Aku melihat dia begitu gugup, saat kuberitahu tentang kasus penangkapan Leonard di Indonesia. Dia pamit terburu-buru, namun aku bisa mengikutinya. Dia menuju Hotel Prince de Galles, tempatnya menginap, sebelum tergesa-gesa membawa tasnya seperti hendak pergi. Seorang pria tampan, berwajah khas Amerika Latin tampak menjemputnya di lobby, mereka berciuman bibir. Kemudian mereka naik taksi menuju suatu tempat. Aku terus mengikuti mereka dengan taksi juga, sampai mereka berhen
Tapi niat baik itu, justru ditanggapi Leonard dengan sangat emosional. Pria yang sedang mempersiapkan kepulangannya ke Paris bersama Zeta itu, malah mengamuk tidak karuan. Pribadinya yang selama ini terkesan lembut dan sopan, malah mendadak berubah mengerikan."Salope!" Leonard meneriaki Sesco dengan kasar, hingga tega menyebutnya: JALANG. Belum puas, segala barang dia lempar ke arah Sesco yang cuma bisa pasrah itu."Aku masih di sini, mencoba untuk berdamai dengan Si Pemerasmu. Tapi kau malah mengembalikan gaun-gaun itu! Apa... apa kau tidak berpikir soal Paris Fashion Week? Soal masa depan Rumah Mode Sesco Paris? Aku masih di sini, Sesco. Tapi kau malah mengambil keputusan sepihak!""No... Leonard, baby... yey tidak mengerti. Ini situasi darurat. Kita harus...""Harus apa?! Kita sudah menyusun rencana yang luar biasa, lalu kau seenaknya menghentikannya di tengah jalan?""No! Bukan begitu. Yey tidak mengerti. Lupakan soal gaun itu. Eike masih bisa ngetop dengan karya eike sendiri. S
Prana sudah bisa membuka mata, namun dia tampak lemah dan enggan bicara. Terbaring lemah di ranjang bersprei putih, membuatnya malah seperti pasien yang sedang menunggu mati. Astari ada di sampingnya, tapi seakan tidak membuatnya bersemangat untuk sekedar tersenyum. "Semuanya sudah diketemukan menjadi mayat, kecuali Austin. Jadi sejauh ini, tersangkanya mengarah pada dia. Apalagi polisi mendapat laporan dari Pak RT wilayah rumah Pak Samiran, katanya lagi heboh ada hantu pria bule di rumah almarhum. Diperkirakan itu Austin. Cuma ketika diperiksa, rumah itu kosong... " kata Syahreza, sambil memandangi Prana.Perlahan, Prana menoleh. Dia mencoba menghela nafasnya, namun yang terdengar seperti sesuatu yang berat tercekik. "Mengerikan, semuanya mati. Jadi..apakah Austin bekerja sama dengan Garneta dan Yusuf?" Tanya Astari.Syahreza mengangkat bahu,"Kita belum tahu ujung tragedi ini. Yusuf mengatakan dia bekerja sama dengan Garneta untuk membunuh, tapi nyatanya Garneta juga mati. Jadi si
Doza Fahmi sepakat bertemu dengan bule itu, di Hotel Forma de Myorne. Tempat itu dipilih Doza, karena merupakan hotel baru yang berbintang lima. Sekalian ingin jajal pelayanan, juga sekaligus mengetes kemampuan finansial seseorang yang nekat ingin menemuinya."Anda sangat berani, tapi jangan coba-coba bawa polisi. Saat saya menuju penjara, maka seluruh dunia langsung bisa mengakses aib Sesco dengan sekali klik! Ingat, saya tak mungkin bekerja sendiri untuk bisnis 10 miliar..." ancam Doza, sebelum pria itu datang.Dan Leonard memang berani datang sendirian. Dadanya yang bidang tampak terlihat jelas dari kemeja ketat berwarna biru, membuat Doza mulai berpikiran lain. Mendadak gairahnya membanjir, dari memikirkan besaran nominal uang, sampai mengkhayalkan hal kotor bersama pria tampan tersebut."Mengapa anda sampai terpikir untuk memeras seorang Sesco?" Tanya Leonard, sambil duduk di kursi dengan tenang."Jangan anda, panggil saja Ocha," sahut Doza Fahmi genit.Leonard tersenyum,"Baik, O
Syahreza lalu perlahan mengangguk, dan itulah yang membuat mereka melangkah menjauh mencari rimbunan pohon untuk berteduh, sambil duduk di atas tanah yang sudah mengering. Hujan sempat deras, tapi Kawasan Hitam ini malah mirip padang gurun tandus. Jejak hujan seperti tak bersisa. Lalu, bagaimana dengan jejak kejahatan?Zeta menghapus sudut matanya dengan tisu, seakan tak kuasa untuk melanjutkan cerita Syahreza yang detil sejak awal. Inilah yang paling ditakutkannya: kehilangan. Melihat begitu mayat yang terus ditemukan, Zeta mulai bersiap mental jika kelak akan betul-betul melihat mayat adiknya. Jiwanya seakan hancur. Serasa tak ada tempat untuk berlindung. Suaminya tidak mengomentari pesannya tentang Julianna, dia sedang berlibur dengan selingkuhannya di benua tropis, meninggalkan musim salju yang beku atas catatan cinta mereka yang makin kelabu. Kedua anaknya juga cuma mengucapkan kalimat basa-basi. Sedikitpun tidak terdengar nada yang bersifat kesedihan dan kekhawatiran. "Jadi ya