Malam itu, di sebuah kafe yang agak sepi di pinggiran kota.Lampu-lampu gantung berwarna kuning temaram menambah kesan intim. Di pojokan, dua pria duduk berhadapan: Reza dan Pak Yanto. Mereka menikmati sebatang rokok dan secangkir kopi yang masih mengepul.“Gimana?” tanya Reza pelan, menatap Pak Yanto dengan sudut bibir terangkat.Pak Yanto mengangkat alis. “Si Radit itu masih polos. Waspada, tapi rapuh. Kelihatan banget dia lagi goyah.”Reza tertawa pendek. “Saya yang bocorin soal rumah tangga mereka, loh. Nggak nyangka dia beneran seterpuruk itu.”Pak Yanto tersenyum simpul. “Dan Melia… kelihatannya wanita yang sabar, tapi juga… tersiksa. Kalau lama-lama dibiarkan begini, dia pasti butuh pelarian.”“Dan kita sama-sama tahu,” sambung Reza, mencondongkan tubuhnya, “pelarian bisa berarti... orang ketiga kan.”Pak Yanto menatap tajam, lalu menyenderkan
Pagi itu, matahari baru saja naik pelan dari balik perbukitan. Udara sejuk masih menggantung di halaman rumah Reza yang rapi. Burung-burung berkicau riang, dan aroma kopi dari dapur perlahan memenuhi ruang keluarga.Reza muncul dari dalam rumah dengan kemeja biru tua yang disetrika rapi. Sepatunya mengkilap, rambutnya tersisir rapi. Nola menyusul dari belakang dengan senyum manis, mengenakan daster lembut berwarna pastel, rambut dikuncir santai, tapi riasan tipis di wajahnya yang terlihat segar.“Sayang, jangan lupa makan siang, ya. Nanti malam aku masakin ayam kecap kesukaanmu,” ucap Nola sambil membetulkan kerah baju suaminya.Reza tersenyum, mencium kening istrinya lembut. “Istri siapa sih ini? Udah cantik, perhatian, setia pula. Beruntung banget aku.”Nola tersipu, tangannya mencubit lengan Reza pelan. “Ih, Mas ini bisa aja. Hati-hati di jalan, ya…”Reza menuju mobilnya, sementara Nola berdiri di teras
Pak Yanto tersenyum puas melihat Nola orgasme dengan dahsyatnya. Ia membersihkan cairan yang menyemprot ke wajahnya dengan telapak tangan tuanya. Ia sedikit menjilat cairan yang terasa gurih itu. Pak Yanto lalu naik menindih tubuh lemas Nola. Mulut dan lidahnya kembali menjilati leher, telinga dan payudarra Nola.“Kalau udah ada janinnya, cairan kamu makin enak, Sayang,” bisik Pak Yanto.“Sedotan bapak juga makin kuat dan ajib,” balas Nola manja.Tak butuh waktu lama bagi Nola untuk pulih dari lemasnya. Ia membalas cumbuan Pak Yanto pada mulutnya. Tubuh Nola yang sudah berisi janian muda, benar-benar siap menerima sodokan batang jumbo dan kekar itu. Pak Yanto lalu merentangkan kedua kaki Nola yang kini tergeletak di atas lantai dapur beralaskan karpet kecil.Tangan Pak Yanto membimbing rudalnya memasuki vagina Nola yang makin deg-degan saat kepala rudalnya yang besar mencoba memasuki lubang sempitnya. Pak Yanto mencoba menguak vagi
Ketika Nola baru memluai babak awal bersama Pak Yanto, Reza sudah duduk di kantin kantor. Suasana masih sepi, hanya ada suara sendok beradu pelan di dalam gelas. Radit datang terlambat lima menit, wajahnya lesu.Reza menyambutnya dengan senyum lebar. “Akhirnya datang juga. Duduk, Dit. Gue udah pesenin kopi favorit lu.”Radit duduk tanpa banyak bicara. Hanya anggukan kecil. Reza mencondongkan tubuh ke depan, matanya menyala penuh percaya diri.“Gue ada kabar gembira. Nola positif hamil, dua bulan.”Radit menoleh cepat. “Serius lu?”Reza mengangguk, ekspresinya seperti orang baru memenangkan lotre.“Alhamdulillah banget. Dan lu tahu? Itu terjadi setelah Nola rutin dipijat sama Pak Yanto.”Radit mengerutkan kening, wajahnya sedikit kaku, “Serius lu? Emang Nola suka dipijat sama Pak Yanto?”Reza tertawa kecil. “Iya. Waktu lu curhat soal susah punya anak. Gue sebenarn
Di depan laptopnya Radit masih tertegun merenungi nasib diri dan rumah tangganya. Hatinya merasa sangat kesal dengan Pak Yanto juga Reza yang seolah menilai Melia sebagai obyek pelampiasan. Radit merasa sudah saatnya melawan dan terbuka pada siapapun, termasuk ibunya. Namun tidak hari ini, karena di rumah orang tuanya sedang ramai oleh ibu-ibu arisan.Pagi ini rumah Pak Darma memang sedang sangat berbeda. Lebih hidup dari biasanya.Deretan mobil dan motor memenuhi halaman dan sisi jalan kecil kompleks perumahan. Suara-suara tawa dan obrolan ibu-ibu berbaur dengan denting sendok di gelas teh manis yang baru saja disuguhkan oleh para ibu-ibu anggota arisan lainnya.Ruangan tamu dipenuhi aroma parfum mahal dan kue-kue kering yang disusun rapi di atas piring saji. Beberapa ibu duduk membentuk lingkaran, dengan wajah cerah dan mata yang menyapu ke sana kemari, mencari topik hangat untuk dibahas."Bunda, makin cantik aja nih, setiap hari juga cantik sih, tapi kok sekarang beda banget""Iya
"Bu Maria... aku tuh sampai sekarang masih suka mikir," ujar Bu Hilma sambil mengaduk tehnya perlahan. "Gimana bisa Melia… yang udah lima tahun nikah sama Radit… malah keduluan sama Arin? Padahal Arin itu baru juga lulus kuliah kemarin sore."Bu Maria tersenyum kaku. Ia sudah menduga arah pembicaraan ini. Bu Hilma memang selalu punya cara untuk menyelipkan topik-topik “berbobot” dalam balutan nada prihatin."Iya, saya juga bingung, Bu," jawab Bu Maria pelan, matanya memandangi taman dari balik jendela."Kadang tuh saya ngerasa… Melia itu keras kepala. Dibilangin susah. Hidupnya juga maunya serba sederhana. Katanya sih, biar nggak ngerepotin. Tapi kadang saya mikir, apa iya semua itu bener-bener karena prinsip? Atau jangan-jangan... memang dia nggak terlalu serius."Bu Hilma mengangguk, matanya tajam. "Padahal ya, kalau saya boleh kasih saran… ada loh, metode totok rahim atau akupuntur khusus. Di tempat saya itu, ban
Usai arisan, rumah Bu Maria kembali tenang. Riuh ibu-ibu kompleks yang tadi memenuhi ruang tamu kini tinggal kenangan samar, tak ada yang tersisa, bahkan semua piring dan gelas pun sudah kembali rapi.Malam pun tiba.Di lantai bawah, suasana jauh lebih senyap. Arin, bersama Kenzi, bayinya dan Kelvin, suaminya, telah terlelap di kamar karena kelelahan. Awalnya Arin mau pulang namun Kelvin memintanya untuk menginap karena merasa kelelahan.Bu Maria duduk seorang diri di kamarnya. Kursi rotan tempatnya berayun pelan, seirama dengan waktu yang terasa malas. Tatapannya kosong menembus langit malam yang menghitam lewat jendela terbuka.Angin dari taman depan masuk perlahan, tapi tak cukup mengusir sepi yang menyelinap ke dada. Hening ini bukan ketenangan, tapi kehampaan yang menariknya tenggelam dalam pikiran sendiri.Sejak Kelvin datang tadi, ada sesuatu yang mengusik batinnya. Ia tak ingin mengaku, bahkan pada diri sendiri. Tapi semakin lama, perasaan
Bu Maria menghentikan langkahnya, lalu tersenyum kecil."Ibu tahu, Vin," jawabnya lembut. "Itu yang membuatmu semakin menarik."Kelvin makin tercekat. Kata-kata Bu Maria seperti pisau tajam yang menusuk hatinya. Dia merasa terjebak dalam jebakan yang tak terlihat. Sebuah ruangan yang seolah menutup semua pintu keluar. Wangi aromaterapi semakin menusuk, melingkupi pikirannya yang sedikit kalut.Bu Maria mendekat hingga jarak mereka tak lebih dari satu lengan. Dia mengulurkan tangan, jemarinya nyaris menyentuh bahu menantunya. Tapi, tepat sebelum jemari itu benar-benar menyentuh, Kelvin berusha mundur selangkah."Tolong, Bu," katanya, dengan suara yang sedikit gemetar. "Saya nggak bisa."Seketika senyum Bu Maria berubah menjadi tawa kecil. "Oh, sayang... kamu jangan terlalu tegang, ibu hanya ingin bersenang-senang."Ucapan itu membuat dada Kelvin semakin sesak dan segalanya terasa lebih ringan."Ibu... cantik," kata Kelvin akhirnya, nya
Sore menjelang dengan langit yang dilapisi jingga lembut. Di teras rumah yang diteduhi pohon mangga tua, dua perempuan duduk menghadap taman kecil yang mulai merekah setelah disiram hujan semalam.Bu Maria mengenakan daster biru dengan motif bunga-bunga halus. Wajahnya tampak lebih segar dari bisanya. Senyumnya lebih ringan, dan tatapan matanya punya sorot yang sulit dijelaskan, seolah ada percikan kehidupan yang sudah makin menyala dalam dirinya.Bude Yati memperhatikan adik iparnya diam-diam, lalu menaruh cangkir tehnya sambil menghela napas kecil.“Kamu sekarang lain, Mar,” katanya pelan, “Langkahmu terlihat lebih enteng, suaramu juga nggak berat kayak biasanya.”Bu Maria tertawa kecil. Lirih, tapi hangat. “Bude bisa aja. Mungkin karena aku sudah mulai belajar menerima hidup seperti yang disarankan Gus Bokis.”“Dari Gus Bokis?” Bude Yati menaikkan alisnya sambil menyeringai nakal. “Atau... dari Kelvin?”Nama Kelvin disebut dengan nada menggoda, membuat Bu Maria mengangkat alis, lal
Kelvin sedikit membungkukkan tubuh, mensejajarkan selangkangannya dengan pantat mertuanya. Tangan kanannya memegangi batang rudal yang keras, sementara tangan kirinya menahan pantat Bu Maria dan menariknya.Setelah meyakini seluruh batangnya tembus pada lobang vagina, Kelvin segera mencengkram dua bongkahan pantat itu, lalu mendorong serta memajukan selangkangannya hingga rudalnya yang hitam dan mengkilat terlihat nyata keluar masuk lobang yang dirimbuni rambut-rambut halus menggelikan.Kelvin megap megap. Doggy style di depan cermin yang besar baru kali ini dia rasakan. Wajahnya berkali kali menunduk melihat keluar masuk batang kejantannya dalam vagina mertuanya. Sekali dia juga beradu pandang di balik cermin dengan wanita yang wajahnya mulai basah dengan bulir-bulir keringat.Kelvin menjilati jemari kirinya, lalu menekan dan mengusap-usapkan pada bibir anus Bu Maria. “Oooooh…” Bu Maria melenguh, angan dan fantasinya melayang di awang-awang b
Bu Maria menghentikan langkahnya, lalu tersenyum kecil."Ibu tahu, Vin," jawabnya lembut. "Itu yang membuatmu semakin menarik."Kelvin makin tercekat. Kata-kata Bu Maria seperti pisau tajam yang menusuk hatinya. Dia merasa terjebak dalam jebakan yang tak terlihat. Sebuah ruangan yang seolah menutup semua pintu keluar. Wangi aromaterapi semakin menusuk, melingkupi pikirannya yang sedikit kalut.Bu Maria mendekat hingga jarak mereka tak lebih dari satu lengan. Dia mengulurkan tangan, jemarinya nyaris menyentuh bahu menantunya. Tapi, tepat sebelum jemari itu benar-benar menyentuh, Kelvin berusha mundur selangkah."Tolong, Bu," katanya, dengan suara yang sedikit gemetar. "Saya nggak bisa."Seketika senyum Bu Maria berubah menjadi tawa kecil. "Oh, sayang... kamu jangan terlalu tegang, ibu hanya ingin bersenang-senang."Ucapan itu membuat dada Kelvin semakin sesak dan segalanya terasa lebih ringan."Ibu... cantik," kata Kelvin akhirnya, nya
Usai arisan, rumah Bu Maria kembali tenang. Riuh ibu-ibu kompleks yang tadi memenuhi ruang tamu kini tinggal kenangan samar, tak ada yang tersisa, bahkan semua piring dan gelas pun sudah kembali rapi.Malam pun tiba.Di lantai bawah, suasana jauh lebih senyap. Arin, bersama Kenzi, bayinya dan Kelvin, suaminya, telah terlelap di kamar karena kelelahan. Awalnya Arin mau pulang namun Kelvin memintanya untuk menginap karena merasa kelelahan.Bu Maria duduk seorang diri di kamarnya. Kursi rotan tempatnya berayun pelan, seirama dengan waktu yang terasa malas. Tatapannya kosong menembus langit malam yang menghitam lewat jendela terbuka.Angin dari taman depan masuk perlahan, tapi tak cukup mengusir sepi yang menyelinap ke dada. Hening ini bukan ketenangan, tapi kehampaan yang menariknya tenggelam dalam pikiran sendiri.Sejak Kelvin datang tadi, ada sesuatu yang mengusik batinnya. Ia tak ingin mengaku, bahkan pada diri sendiri. Tapi semakin lama, perasaan
"Bu Maria... aku tuh sampai sekarang masih suka mikir," ujar Bu Hilma sambil mengaduk tehnya perlahan. "Gimana bisa Melia… yang udah lima tahun nikah sama Radit… malah keduluan sama Arin? Padahal Arin itu baru juga lulus kuliah kemarin sore."Bu Maria tersenyum kaku. Ia sudah menduga arah pembicaraan ini. Bu Hilma memang selalu punya cara untuk menyelipkan topik-topik “berbobot” dalam balutan nada prihatin."Iya, saya juga bingung, Bu," jawab Bu Maria pelan, matanya memandangi taman dari balik jendela."Kadang tuh saya ngerasa… Melia itu keras kepala. Dibilangin susah. Hidupnya juga maunya serba sederhana. Katanya sih, biar nggak ngerepotin. Tapi kadang saya mikir, apa iya semua itu bener-bener karena prinsip? Atau jangan-jangan... memang dia nggak terlalu serius."Bu Hilma mengangguk, matanya tajam. "Padahal ya, kalau saya boleh kasih saran… ada loh, metode totok rahim atau akupuntur khusus. Di tempat saya itu, ban
Di depan laptopnya Radit masih tertegun merenungi nasib diri dan rumah tangganya. Hatinya merasa sangat kesal dengan Pak Yanto juga Reza yang seolah menilai Melia sebagai obyek pelampiasan. Radit merasa sudah saatnya melawan dan terbuka pada siapapun, termasuk ibunya. Namun tidak hari ini, karena di rumah orang tuanya sedang ramai oleh ibu-ibu arisan.Pagi ini rumah Pak Darma memang sedang sangat berbeda. Lebih hidup dari biasanya.Deretan mobil dan motor memenuhi halaman dan sisi jalan kecil kompleks perumahan. Suara-suara tawa dan obrolan ibu-ibu berbaur dengan denting sendok di gelas teh manis yang baru saja disuguhkan oleh para ibu-ibu anggota arisan lainnya.Ruangan tamu dipenuhi aroma parfum mahal dan kue-kue kering yang disusun rapi di atas piring saji. Beberapa ibu duduk membentuk lingkaran, dengan wajah cerah dan mata yang menyapu ke sana kemari, mencari topik hangat untuk dibahas."Bunda, makin cantik aja nih, setiap hari juga cantik sih, tapi kok sekarang beda banget""Iya
Ketika Nola baru memluai babak awal bersama Pak Yanto, Reza sudah duduk di kantin kantor. Suasana masih sepi, hanya ada suara sendok beradu pelan di dalam gelas. Radit datang terlambat lima menit, wajahnya lesu.Reza menyambutnya dengan senyum lebar. “Akhirnya datang juga. Duduk, Dit. Gue udah pesenin kopi favorit lu.”Radit duduk tanpa banyak bicara. Hanya anggukan kecil. Reza mencondongkan tubuh ke depan, matanya menyala penuh percaya diri.“Gue ada kabar gembira. Nola positif hamil, dua bulan.”Radit menoleh cepat. “Serius lu?”Reza mengangguk, ekspresinya seperti orang baru memenangkan lotre.“Alhamdulillah banget. Dan lu tahu? Itu terjadi setelah Nola rutin dipijat sama Pak Yanto.”Radit mengerutkan kening, wajahnya sedikit kaku, “Serius lu? Emang Nola suka dipijat sama Pak Yanto?”Reza tertawa kecil. “Iya. Waktu lu curhat soal susah punya anak. Gue sebenarn
Pak Yanto tersenyum puas melihat Nola orgasme dengan dahsyatnya. Ia membersihkan cairan yang menyemprot ke wajahnya dengan telapak tangan tuanya. Ia sedikit menjilat cairan yang terasa gurih itu. Pak Yanto lalu naik menindih tubuh lemas Nola. Mulut dan lidahnya kembali menjilati leher, telinga dan payudarra Nola.“Kalau udah ada janinnya, cairan kamu makin enak, Sayang,” bisik Pak Yanto.“Sedotan bapak juga makin kuat dan ajib,” balas Nola manja.Tak butuh waktu lama bagi Nola untuk pulih dari lemasnya. Ia membalas cumbuan Pak Yanto pada mulutnya. Tubuh Nola yang sudah berisi janian muda, benar-benar siap menerima sodokan batang jumbo dan kekar itu. Pak Yanto lalu merentangkan kedua kaki Nola yang kini tergeletak di atas lantai dapur beralaskan karpet kecil.Tangan Pak Yanto membimbing rudalnya memasuki vagina Nola yang makin deg-degan saat kepala rudalnya yang besar mencoba memasuki lubang sempitnya. Pak Yanto mencoba menguak vagi
Pagi itu, matahari baru saja naik pelan dari balik perbukitan. Udara sejuk masih menggantung di halaman rumah Reza yang rapi. Burung-burung berkicau riang, dan aroma kopi dari dapur perlahan memenuhi ruang keluarga.Reza muncul dari dalam rumah dengan kemeja biru tua yang disetrika rapi. Sepatunya mengkilap, rambutnya tersisir rapi. Nola menyusul dari belakang dengan senyum manis, mengenakan daster lembut berwarna pastel, rambut dikuncir santai, tapi riasan tipis di wajahnya yang terlihat segar.“Sayang, jangan lupa makan siang, ya. Nanti malam aku masakin ayam kecap kesukaanmu,” ucap Nola sambil membetulkan kerah baju suaminya.Reza tersenyum, mencium kening istrinya lembut. “Istri siapa sih ini? Udah cantik, perhatian, setia pula. Beruntung banget aku.”Nola tersipu, tangannya mencubit lengan Reza pelan. “Ih, Mas ini bisa aja. Hati-hati di jalan, ya…”Reza menuju mobilnya, sementara Nola berdiri di teras