Bab 2 Bingkisan Gamis dan Daster Bekas Dari Mertua
Galih terdiam mendengar ibunya bicara. Entah mengapa meskipun hatinya bertolak belakang dengan apa yang ibunya katakan, namun hatinya terasa segan dan lidahnya terasa kelu meskipun untuk sekedar mengutarakan pendapatnya sendiri.
"Bu, sekali ini saja aku mohon, aku kepingin membelikannya gamis baru yang ia pilih sendiri di butik langganan ibu," dengan ragu-ragu Galih mencoba untuk bicara kembali.
"Buat apa kau ingin mengajaknya ke butik langganan ibu? Harga di sana tidaklah main-main. Sudahlah, Galih. Hentikan omongan konyolmu,"
Galih memandang langit-langit ruangan. Ada rasa iba menyelimuti hatinya tatkala membayangkan wajah sendu Kiara yang tadi meminta dibelikan gamis.
"Galih, kau satu-satunya anak laki-laki ibu. Ibu menaruh harapan besar padamu. Ibu berharap kamu bisa membimbing adik dan mbakmu. setelah ayahmu tiada, kau adalah tulang punggung dari keluarga kita. Jadi bijaklah sebagai suami. Jangan turuti semua kemauan istrimu. Karena itu bisa membuatnya manja. Kalau dia banyak keinginan, suruh saja dia cari uang sendiri. Maaf, bukan ibu bermaksud jahat. Tapi itu demi kelangsungan hidup kalian. Seandainya saja dia bekerja, tentu saja pemasukan ekonomi akan bertambah. Dia..."
"Cukup, Bu!" Galih memotong pembicaraan ibunya.
"Kenapa? Kamu rela membentak ibu demi Kiara?" Bu Farah bangkit dengan melotot.
"Maaf, Bu. Aku tidak bermaksud membentak. Tapi aku kurang setuju ibu menyarankan Kiara untuk bekerja. Dia sedang hamil anakku, Bu. Tidak mungkin aku membiarkan dia kecapean bekerja,"
"Kalau kau tidak ingin melihat Kiara kecapean bekerja karena sedang hamil, maka kau juga harus menasehatinya agar jangan banyak keinginan ini dan itu. Jadi istri itu harus kudu nurut. Kau tahu ajaran agama bukan? Istri itu harus patuh pada suami. Sebagai istri saja Kiara sudah nampak sebagai pembangkang, apalagi nanti sebagai ibu dari anakmu. Bisa-bisa kepalamu dia injak-injak. Jadi lelaki jangan mau terlalu dikuasai sama wanita. Pertahankan harga dirimu, Nak. Pertahankan takdirmu sebagai suami. Jangan lemah karena istri. Dan satu lagi yang terpenting, jangan pernah kau merendahkan ibumu ini demi perempuan itu. Dia hanyalah orang lain yang kebetulan kau nikahi dan kau bawa ke rumah ini,"
Kali ini Galih benar-benar tutup mulut dengan ucapan sang ibu.
Iya merasa serba salah, susah menimbang antara buah pemikiran sang ibu dengan kejujuran di hati kecilnya. Entah ada rasa tidak setuju dengan nasehat dari mulut sang ibunda.
Namun karena rasa hormat yang dijunjungnya sedari kecil, membuat Galih merasa ragu dan sungkan untuk menyangkal ucapan Bu Farah.
Sebentar kemudian, terlihat Bu Farah memasuki kamarnya yang berukuran cukup luas.
*** "Kiara ...!" Terdengar suara ibu mertua memanggil-manggil dari ambang pintu kamar kami."Ya, Bu," aku berjalan mendekatinya.
"Ada apa Bu?" Aku bertanya.
"Ini, untukmu. Itu lumayan banyak dan masih bagus semua. Nanti aku akan minta tambahan sama Megan. Dia juga mau punya banyak pakaian yang sudah tidak terpakai lagi."
Ibu mertuaku menyodorkan sebuah plastik putih besar dihadapanku.
Setelah itu Bu Farah melangkah keluar.
"Oh ya, kurasa kau tidak perlu lagi membeli yang baru, itu sudah lebih dari cukup" sambungnya sebelum benar-benar pergi.
Penasaran kucoba membuka plastik hitam yang tadi ia sodorkan.
Mataku menitikan tetesan bening. Di dalam plastik tersebut ternyata berjubel-jubel potongan gamis dan daster bekas.
Seperti biasa, nampak potongan-potongan gamis keluaran beberapa tahun yang lalu dengan warna yang mulai memudar.
"Astagfirullahaladzim, dia pikir siapakah aku ini? Sehingga patut untuk memakai dan mengenakan pakaian bekasnya setiap saat,"
"Tak akan pernah kupakai lagi pakaian-pakaian ini, akan kubuktikan bahwa aku bisa membeli semuanya bahkan lebih dari yang selama ini kalian kenakan,"
Bab 3 Jangan Manjakan Istrimu! Krukkkkh... Terdengar bunyi khas dari perutku. Aku tersadar, hari telah menjelang siang. Aku belum juga makan. Astaga, ini berbahaya untuk janin di perutku. Aku meninggalkan adonan kue yang sudah kukerjakan sedari pagi. Berjalan menuju rak piring. Mengambil satu dan mulai mengisinya dengan nasi. Kubuka tudung. Hmm ...! Harum semerbak aroma kari ayam menggugah seleraku. "Kiara, karii yang ini buat Megan, Kiara!. Kau tahu, Megan caoek kerja. Sebentar lagi dia akan pulang. Pasti lapar. Kan kasihan." Tutur Bu Farah sembari menarik kembali kari ayam itu dari hadapanku, lalu menyimpannya ke dalam lemari. Astaga... Pupus sudah harapanku untuk makan kari ayam yang menggugah sel
Bab 4 Nak, Kembalikan Kodratmu Sebagai Suami "Nah itu dia kesalahanmu. Mau apa saja yang Kiara lakukan, kau selalu saja membelanya. Mengulur-ulur semua kelakuannya. Padahal istrimu itu sangat tidak menghargai ibu," tutur Bu Farah dengan raut muka masam. "Maaf, Bu. Bukan maksud saya untuk mengulur-ulurkan kelakuannya dan tidak pula untuk memanjakannya," ujar Galih memberi tanggapan. "Lalu apa tujuanmu coba? Selalu saja membela dia dari ibu? Padahal kau tahu aku ini ibu kandungmu. Ibu yang telah melahirkanmu," "Sekarang kau berani membantah ibu hanya karena perempuan dungu itu? Wanita yang baru saja kau nikahi kemarin sore? Terlalu naif apabila kau berpikir tingkahmu itu benar," ujar Bu Farah lagi dengat sungut wajahnya yang semakin membenci. Fyuuuuh... Galih menghembuskan nafas lelah. Ia merasa lelah dan serba salah menimbang an
Bab 5 Menantu Yang Tak Diinginkan"Kiara! Kiara?" Mertuaku memanggil-manggil dari lantai atas. Aku sengaja diam saja. "Kiara! Kiara! Dimana kamu?" Terus saja Bu Farah berteriak. Tok tok tok... Terdengar suara high hellsnya yang khas mendekati pintu dapur. Aku menghela nafas tatkala sosok itu mendekat. "Ada di sini rupanya? Mengapa tidak menyahut?" Tanyanya dengan sorot mata tajam. Begitulah tingkah mertuaku ketika Mas Galih tak ada di rumah. "Aku tidak dengar, Bu." Jawabku santai. "Tidak dengar bagaimana? Orang ibu memanggil dengan suara keras. Kok ngakunya tidak dengar," Bu Farah menggerutu keras. Aku menggelengkan kepala. Kebiasaan memang. "Kiara, ibu mau kasih tahu,
Bab 6 Jangan Mengeruk Uang Anakku! "Tolong, jangan hina keluargaku! Mereka tidak bersalah dalam hal ini, Bu!" "Aku tidak menyalahkan, kok. Cuma mengatakan kenyataan. Mengapa kau harus tersinggung? Makanya, nyadar! Masih untung anak saya mau memungutmu menjadi istrinya. Dengan begitu kamu bisa tinggal di rumah sebesar ini. Bisa berbaur dengan keluarga Galih yang jauh beda kualitasnya di banding sama keluargamu. Seharusmya kau tahu diri tugasmu di rumah ini apa? Bukan untuk bermanja-manja, ataupun bersenang-senang. Bukan cuma untuk memanfaatkan uang anakku saja!" Bu Farah berucap dengan kesombongan bak anaknya pengusaha besar. Benar-benar keterlaluan tuh mulut. Mulut judesnya tidak ketulungan. Dalam situasi ini, aku teringat pada Papa. 'Maafkan Kiara, Pa. Dulu tidak mendengar nasehatmu.
Bab 7 Ibu pikir aku cuma bisa bertahan hidup dari uang Galih? "Huuh ... sombong sekali kau! Kau kira kau akan hidup tanpa uang Galih? Dari mana kau bisa mengisi perutmu kalau bukan dari hasil jerih payah anakku? Jangan sombong kamu!" Bentak Bu Farah. Sedangkan mata Bu Farah mendelik-delik mengiringi gerak bibirnya yang dengan pongahnya berbicara. "Bu, ibu pikir aku cuma akan bisa bertahan hidup dari uang Galih? Uang yang cuma ia kasih lima ratus ribu setiap bulan itu? Lima ratus ribu itu justru tidak lebih besar dari gaji seorang pembantu, Bu!" Ucapku tidak kalah sengitnya. Bosan rasanya selama ini selalu mengalah, selalu menuruti kehendak mereka, tapi ujung-ujungnya tetap saja aku tidak dihargai. Nampaklah rona masam wajah Bu Farah kian menjadi. "Kau pikir standar hidupmu lebih baik
Bab 8 Berikan Uang Itu Sama Ibumu! Aku Tidak Membutuhkannya! "Dek, hari ini Mas Gajian. Ini jatah buat Adek," Mas Galih menyodorkan lima lembar uang berwarna merah ke hadapanku. Fyuuuuh... Aku menghela nafas. "Mas, kasih ajah sama Ibu," ujarku. "Apa? Kamu nggak mau terima?" Mas Galih menyipitkan mata. "Bukan tidak mau menerima, tapi memang seperti kata Ibu, Ibu yang lebih berhak menyimpan dan mengolah uangmu. Ya sudah. Serahkan saja sama ibu semuanya, Mas. Tanggung juga ngasih ibu sembilan juta lima ratus ribu. Genapin ajah jadi sepuluh juta. Pas kan gajimu segitu." Jawabku santai. "Dek, kenapa bicara begitu? Apa Adek tidak suka apabila gajiku dipegang sama ibu? Dek, mohon mengerti, Mas menyerahkan sebagian besar gajiku untuk ibu, itu karena beliau yang bisa mengatur dan mengh
Bab 9 Istrimu Hanyalah Beban Bagimu, Galih! "Galih, istrimu itu sudah keterlaluan. Dia sungguh-sungguh telah menjadi pembangkang sekarang," ujar Bu Farah dengan muka bersungut kesal. "Maksudnya bagaimana ya Bu?" Galih bertanya. "Maksud ibu, istrimu sudah berani melawan ibu dengan ucapan yang kasar. Menolak permintaan ibu, padahal kau tahu ibu cuma meminta tolong padanya untuk memasak. Lihat di dapur, bahan-bahan makanan yang sudah ibu beli masih berada utuh di dalam kulkas tanpa tersentuh olehnya," ucap Bu Farah berapi-api. Fyuuh... Galih menghirup udara perlahan. Hatinya semakin bimbang dengan ucapan sang ibu. "Apa benar Kiara bersikap sebegitu buruknya sama ibu?" tandas Galih. "Kamu masih tidak percaya juga? Alangkah b*dohnya kamu! Ramuan apa yang telah Kiara sodo
Bab 10 Dia Wanita Yang Akan Menggantikan Posisimu Aku baru saja selesai mandi ketika kudengar suara deru mobil masuk ke halaman. Tapi itu bukan deru mobil mertua ataupun mobil Mas Galih. Soalnya aku kenal betul suara mobil mereka. Kusibak tirai jendela, melihat siapa yang datang. Oh ternyata Bu Farah dan seorang wanita cantik dan menawan. Siapa dia? Ah peduli amat kucoba untuk masa bodoh. Benar saja, sebentar kemudian, suara high heel mereka beradu dengan lantai marmer menimbulkan bunyi khas yang kian mendekat memasuki rumah. "Kiara, tolong buatkan minuman. Ini ibu ada tamu istimewa!" Terdengar suara Bu Farah memberikan perintah seperti biasanya. "Kiara, tolong cepat ya, tidak pakai lama. Ibu tak suka perempuan yang suka bersikap lambat. Jangan lupa juga hidangkan makanan diatas m
Bab 63 Disebuah teras hotel, dua orang tengah bertengkar mulut. Seorang perempuan dengan muka kusam dan pakaian yang sangat biasa-biasa saja, mengomel ngomel tidak karuan kepada seorang laki-laki berpakaian necis. Terlihat sekali jika omelan perempuan itu tak berguna dimata laki-laki kaya di depannya. "Praska kau tidak boleh melepaskan tanggung jawab begitu saja. Ingat ..! aku ini sedang mengandung anakmu. Sebentar lagi ia akan lahir ke dunia. Kau harus bertanggung jawab penuh, Praska!" Celine berucap tegas. "Enak saja ... Apa buktinya kalau janin yang sedang kau kandung itu adalah putraku? Kau tidak boleh asal bicara begitu saja. Minta saja pertanggungjawaban sama Galih. Dia kan mantan suamimu. tentu saja yang kau kandung di perutmu juga darah dagingnya, ngapain minta tanggung jawab sama saya. Kurang kerjaan aku ngurus anak orang," timp Praska jengkel. 
Bab 62 Celine mengelus perutnya. Bahunya bersandar pada seorang lelaki yang bebas mengekspos tubuhnya. "Sayang, kapan kau akan menikahiku?"tanya Celine. "Sabar dulu, Sayang. Oh ya bagaimana uang dari mertuamu kemarin? Apakah sudah ada? Usahaku sedang membutuhkan banyak uang ini. Supaya lebih lancar ya dana juga harus banyak masuk," Praska memulai bahasan. "Soal itu sih aku belum sempat menanyakannya sama Galih dan ibunya. Lagian hubungan di antara kami juga sedang tidak baik." Jawab Kiara. "Haduuh, Sayang. Rugi dong kalau kamu tak ambil uang itu. Lumayan buat nambah isi kantong," ucap Praska lagi. Celine diam benerapa saat. "Oh ya, baiklah. Nanti akan ku coba untuk kembali berbicara kepada mereka," jawab Kiara. "Tapi janji, Ya, Sayang. Jamu harus cepet-
Bab 61 Kiara berjalan menyusuri lorong kantor. Memasuki ruang kerjanya. Ia merasakan ada hal yang berbeda hari ini. Ya, ia tersadar biasanya ada seseorang yang akan menyapanya setiap pagi, dan kali ini tidak. Ingatannya langsung tertuju pada seseorang. "Huuuh, mengapa harus aku mengingatnya? Kiara, lupakan dia," batin Kiara bersikeras meyakinkan hati. Jam kerja tiba, Kiara mulai sibuk menyelesaikan satu persatu apa yang menjadi tugasnya. Tiba-tiba saja ia merasa kesulitan. "Ah laki-laki itu lagi ...!" Gerutu Kiara. Kembali ia tersadar jikalau kapanpun ia mengalami kesulitan pasti akan bertanya pada sosok yang bernama Mahendra. Suasana memang benar-benar tak lagi sama. Mau tidak mau Kiara mengaku jika merasakan sepi tanpa kehadiran Mahendra. &nbs
Bab 60 "Ada perlu apa kau pada orang tuaku ...?" desak Kiara. "Apa kau ingin mengumbar kata-kata yang sama sekali tidak perlu?" "Kiara, kau sungguh marah padaku hanya karena kata-kata di kertas itu kemarin?" Mahendra bertanya dengan mata sendu dan memerah. "Tanya saja dirimu. Aku kasih tahu kamu sekarang, bahwa aku sama sekali tidak menyukai kata-kata seperti itu," lanjut Kiara lagi. "Kiara, maafkan aku. Aku sungguh tidak sengaja meletakkan kertas itu pada dokumenmu. Karena kau sudah terlanjur melihat, maka aku akan berkata jujur. Tulisan itu kutulis tepat pada hari di mana Galih mengucapkan ikrar ijab Kabul kalian di depan penghulu. Sekarang aku katakan, Kiara. Aku mencintaimu sejak dulu. Tapi ternyata kau lebih memilih Galih. Terus terang aku kecewa. Namun, aku tidak bisa berbuat banyak. Dan sama sekali tidak bisa menyala
Bab 59 "Lho kok ini mapnya ada dua ...? Lhoo ... Yang ini beda, punya siapa ya?" Kiara menggumam. Tangannya memegang isi map. Ingin membukanya. Hupp ... Selembar kertas terjatuh. Tiara melirik ke kertas tersebut, dan memperhatikannya baik-baik. Seketika dahinya mengernyit. "Kenapa ada fotoku di sini?" Dan bukan hanya foto itu yang mengusik perhatian Kiara, namun goresan-goresan kata di sana juga cukup membuatnya bertanya-tanya. Karena rasa penasaran ia mencoba untuk membaca goresan tinta yang tertoreh di kertas putih tersebut. [Ya, Tuhan ... ternyata selama ini aku mempunyai perasaan yang salah. Aku mencintai wanita yang tida
Bab 58 Sementara itu, di sebuah apartemen. Seorang pria duduk menghadap ke layar laptop. Mengerjakan kinerja yang belum selesai tadi siang. Sebentar-sebentar matanya melirik ke sebuah potret yang sengaja ia pajang pada dinding ruang kerjanya. Sebuah potret wanita yang ia kagumi sejak dahulu. Perlahan ia menarik sebuah lembaran yang ia tulis beberapa tahun yang lalu. Dimana disana ia mencurahkan rasa kecewa yang dalam ketika mendengar wanita yang ia puja-puja akan menikah dengan pria lain. Sebuah foto kecil menyertai lembaran tersebut dengan lukisan wajah yang cukup ayu dengan sorot mata jernih dan bulu mata yang lentik. "Ya Tuhan, seandainya saja ia bisa benar-benar menjadi milikku," gumamnya dalam hati. Sebenarnya siapakah wanita yang ia maksud? Wanita itu adala
Bab 57 Galih menyibak tirai, seberkas sinar cahaya matahari pagi menerobos masuk. Yang melirik jam tangannya, "Sudah hampir pukul 08.00 pagi. Astaga ...!" Lelaki itu tereranjat. Dengan bergegas, Galih menuju ke kamar mandi. Sepeninggal Galih, Celine membuka mata. Matanya tertuju pada tirai yang sudah tersingkap. "Sudah siang rupanya ..." Celine menggeliat. Namun sejenak kemudian ia kembali menarik selimut. "Ah biarin ajah ... Toh ada Bu Farah yang mengerjakan semua kerjaan rumah," imbuhnya seraya kembali meringkuk. Baru saja ia ingin kembali terlelap, tiba-tiba Celine merasa perutnya bergolak. "Aduh ... Kenapa ini perut? Kok jadi mules sih ..." Gerutunya. "Hueekh ...!" Celine tidak tahan menahan
Bab 56 "Celine, memangnya apa saja sih yang kamu laporin sama anakku? Sampai-sampai dia sekarang membenciku sedemikian rupa. Apakah kamu memang berniat untuk memisahkan kami?" Bu Farah terlihat geram. Celine yang baru saja pulang, terlihat melengos dengan pertanyaan Bu Farah. "Huuh ... Siapa juga yang ingin memisahkan kalian, mau ibu ambil Galih seutuhnya pun aku tak mengapa," tanggap Celine cuek. "Apa maksudmu?" Bentak Bu Farah. "Dasar aneh ...," celetuk Celine sambil berlalu. "Kamu dengar apa tidak aku tanya apa?" hlang Bu Farah. "Halah ... Tidak usah terlalu banyak tanya, Bu. Apa Ibu benar-benar ingin aku memisahkan ibu sama Mas Galih? Kalau ibu menginginkannya tidak apa-apa, akan kulakukan dengan senang hati," ujar Celine sinis.  
Bab 55 "Wah, lumayan juga ini duitnya, Mas...!" Sinar mata Celine berbinar-binar melihat lembaran-lembaran uang di tangan Galih. "Ya, cukuplah buat bayar sewa rumah dan untuk biaya makan kita," sahut Galih. "Hmmm ... Cuma buat bayar sewa rumah dan makan doang?" Tanya Celine dengan sungut manjanya. Galih sudah bisa membaca apa yang diinginkan istri cantiknya tersebut. "Iya, Sayang ... Jangan cemberut dulu dong," Galih membelai dagu Celine lembut. "Kamu jangan khawatir, Mas pasti akan memberimu sebagian dari uang-uang ini," lanjut Galih kemudian. Mendengarnya, wajah Celine berubah lebih sumringah. "Mas ...!" rengeknya. "Ya, Sayang" "Mmm ... Mas mau kasih berapa buat aku?" ucapnya dengan manja yang di buat-buat.