Bab 12 Menikah Lagi, Tak Perlu Izin Istri!
"Galih, ibu ingin bicara sama kamu!" Bu parah mendekati Galih."Kiara, bisa kamu menyingkir dulu aku ingin bicara empat mata sama Galih!" Bu Farah memberi isyarat tangan kepada Kiara yang tengah duduk di sebelah galih untuk segera pergi.
"Kalau kalian yang ingin bicara, berarti kalian yang harus menyingkir, bukan aku." Jawab Kiara ketus.
"Kiara...?" Galih mengernyitkan dahi dengan keketusan sikap Kiara.
"Kenapa Mas? Ada yang salah?" timpalku.
"Coba kalau bicara itu baik-baik, apalagi sama ibu,"
"Iya aku tahu, tapi ibumu dulu yang bicara tak sopan apa salahnya aku membalas." Ucapku seraya menyeruput teh panas.
"Sudahlah tidak usah pedulikan dia, Galih. Dia memang pembangkang. sekarang, ayo ikuti ibu. Ada hal penting yang ingin kita bicarakan." Bu Farah menarik tangan Galih untuk segera menjauh dari tempat itu.
"Aduh nggak usah pakai rahasia-rahasiaan segala Bu. Paling-paling nya juga mau bicara soal Celine," Timpal Kiara.
Sejenak Bu Farah menghentikan langkah.
"Tidak usah banyak bicara kamu, Kiara! Ini bukan urusanmu! Celine itu orang baik. Jangan pernah kau berusaha menjelek-jelekkan dia di depanku!" Ujar Bu Farah.
"Celine? Celine siapa, Bu?" Galih nampak heran.
"Alah kamu diam saja. Keputusan dan ibu tidak akan membuatmu menyesal. Pokoknya sekarang ikut ibu. Kita mau bicara serius, bareng juga sama Mbakmu," Bu Farah segera menarik kembali tangan anak laki-lakinya.
"Ah bodo amat. Ntar juga kalian akan menderita sekeluarga besar. Tunggu saja! Kalau sekarang saatnya belum tepat. Huuh..." Gumam Kiara.
Dalam hati Kiara, sebuah permainan besar telah tersusun rapi.
"Nikahilah si Celine. Selepas itu kalian akan jatuh miskin secara bersamaan," gumamnya lagi.
Sementara itu di sebuah ruangan tiga orang sedang bercakap-cakap dengan muka sumringah bahagia.
"Nah begitu galih, saya sudah kenal sejak lama sama si Celine. Kalau mau membandingkan Kiara sama Celine, Haduuh ... Kiara si kampungan itu tidak ada apa-apanya. Tidak seujung kukunya Celine. Pilihan ibu memang tepat. Aku mendukungmu Galih, sepenuhnya. Menurut firasatku, kau jauh akan merasa lebih bahagia, dan rumah tanggamu akan jauh lebih bermakna apabila kau mengganti Kiara dengan Celine," tutur Megan dengan sumringah bahagianya.
Begitu juga dengan Bu Farah. Dorongan kedua perempuan terdekatnya tersebut membuat Galih dilema.
"Bagaimana mungkin aku bisa buru-buru menikahi Celine, sedangkan istriku saja sedang hamil?" ucap Galih agak bimbang.
"Lah apa hubungannya kehamilan Kiara sama menikahi Celine?" Tanggap Megan.
"Berbicara memang mudah, Mbak. Coba Mbak pikir baik-baik, tidak mungkin aku meninggalkan Kiara yang tengah hamil besar begitu demi menikahi Celine? Bagaimana perasaan Kiara nanti? Bisa-bisa hal ini akan berdampak buruk pada putraku yang ada dalam kandungan Kiara,"
Mendengar jawaban Galih, Bu Farah beserta Putri sulungnya merasa tidak begitu suka.
Terlebih-lebih lagi Bu Farah, wajahnya yang mulai menua jelas terlihat tak senang. Beberapa saat lamanya wanita paruh baya tersebut diam seperti berpikir sesuatu.
"Begini, Galih. Dengarkan Ibu bicara!" Bu Farah mencoba berbicara baik-baik.
"Galih, seperti yang sering ibu katakan padamu Nak, kau adalah satu-satunya anak laki-laki ibu, kau adalah harapan ibu. Di tanganmu lah nasib keluarga kita dipertaruhkan. Tolong jangan cemari keluarga ini dengan istri seperti Kiara. Ibu mohon!"
Sampai disana ucapan Bu Farah terhenti. Sebenarnya, hati Galih merasa teriris dengan tekanan itu. Namun apa daya, dia sendiri merasa tak mampu untuk melawan lebih jauh.
"Maksud ibu mencemari bagaimana? Menurut saya Kiara sama sekali tidak berpengaruh buruk, apalagi mencemari keluarga kita. Sebenarnya Kiara orang baik, Bu. Makanya dulu aku mau menikahi dia. Tidak tega rasanya bila harus menduakannya, apalagi secara terang-terangan. Aku masih punya hati nurani. Tidak bisa berbuat sejahat itu,"
Fyuuuh ....
Bu Farah menghelah nafas panjang.
"Dari mana kamu bisa mengambil kesimpulan bawa Kiara adalah wanita baik, Nak? Sadarlah! Jikalau Kiara sungguh wanita baik, tentu saja dia tidak akan menjadi pembangkang di rumah ini," ujar Bu Farah lagi.
"Nak, ibu sangat sayang sama kamu. Ibu menginginkan yang terbaik buatmu. Jangan sampai masa depanmu hancur hanya karena wanita seperti Kiara," lanjut Bu Farah lagi.
"Sebaik-baiknya Kiara di matamu, kamu tetap tidak boleh mengabaikan ibu. Ibu ini yang telah banyak berkorban melahirkan dan membesarkanmu. Sedangkan Kiara, wanita itu baru saja kau nikahi kemarin sore. Jasa Kiara tidak ada apa-apanya bila dibandingkan dengan jasa ibu padamu," sambung Bu Farah menasehati putranya.
"Sampai kapan pun, jasa dan pengorbanan seorang ibu tidak mungkin bisa terbayarkan. Tak peduli seberat apapun usaha yang kau lakukan. Tak peduli juga seberapa banyak uang yang kau keluarkan. Itulah mengapa ada pepatah yang mengatakan bahwa surga itu berada di bawah telapak kaki ibu, artinya apa? Artinya akhiratmu bergantung sama ibu. Jika ibu ikhlas dan ridho sama kamu, maka surga adalah milikmu. Tapi jika tidak, atau ibu murka, maka bau surga pun kau takkan pernah bisa kau dapatkan," Bu Farah bertutur serius. Tidak ada keraguan pada ekspresinya.
"Ya, Bu soal itu aku sudah tahu, yang jadi masalahnya bukan itu, tapi aku merasa sakit bila harus menyakiti Kiara sedemikian rupa," ujar Galih serba salah.
"Mengapa harus ragu kalau demi kebaikan dan masa depan?" Bu Farah bertanya balik.
Galih semakin bingung.
"Sudahlah Galih, jangan terlalu bamyak bingung. Ibu memilih Celine itu untuk kenyamananmu sendiri. Tidak ada alasan buat menolak!" timpal Megan.
"Benar sekali, Galih. Kapan lagi kau mau menuruti saran ibumu ini. Kapan? Soal umur, kita tidak tahu, Nak. Sekarang ibu hidup di penghujung usia, masih saja ingin kau tentang. Pikirkan baik-baik, Nak. Jangan sampai kau menyesal di kemudian hari," ujar Bu Farah.
"Bu, aku tidak bisa terburu-buru mengambil langkah ini. Aku harus berbicara dulu kepada Kiara," ucap Galih.
"Apalagi yang ingin kau bicarakan sama Kiara? Perempuan itu tidak akan menginginkan kamu menikah lagi. Tidak mungkin dia memberimu izin. Tapi harus diingat, Galih. Bahwa lelaki tidak perlu izin istri untuk menikah lagi. Intinya, kau hanya perlu memberitahunya saja bahwa kau ingin menikah lagi. Soal dia setuju apa tidak, itu bukan masalah. Dalam Agama, hukumnya begitu, Nak."
Bersambung...
Bab 13 Lihatlah, betapa borosnya Istrimu!" "Iya Bu. Perkataan ibu memang tidak ada salahnya. Tapi aku masih punya nurani. Rasanya tidak pantas aku menikahi wanita lain di tengah kehamilan istri sahku." Jawab Galih lagi. Megan dan ibunya semakin kesal saja dengan jawaban Galih yang masih saja berusaha untuk menyinggung masalah nurani. "Kau selalu saja bicara soal nurani, coba kau pikir, apakah istrimu punya nurani? Tidak, Nak. Ibu rasa istrimu itu adalah wanita yang tidak punya sopan santun. Lihatlah tingkahnya! Sekarang dia malah ingin bertingkah bak seorang bos di rumah ini. Wanita seperti seperti itu yang ingin kau ukur dengan nurani? Sangat tidak pantas," ucap Bu Farah mulai geram. "Ucapan ibu benar, Galih. Jujur ya, aku saja muak mendengarmu bicara mengait-ngaitkan Kiara dengan hati nuranimu. Kiara itu wanita yang tidak memikirkan masa depan. Buat apa kamu te
Bab 14 Uang Adikmu, Mana Cukup Buat Shopping! "Mbak, dugaan kalian salah!' sambar Galih cepat. "Tidak usah banyak pembelaan, Galih. Mengapa kau sekarang amat bod*h. Di bod*hin sama Kiara, ya?" Serobot Megan dengan congkaknya. "B*doh sekali kau Galih, seenaknya saja diperalat sama istri. Sampai rela kalau uangmu dihabiskan Kiara buat berfoya-foya bershoping ria," cibir Kiara berniat untuk mempengaruhi Galih. "Hei, Mbak Megan! Siapa juga yang membodohi adikmu ini? Mbak menuduhku? Hati-hati bicara, Mbak! Aku tidak pernah berbelanja seperti ini menggunakan uang adikmu! Huuuh... uang adikmu yang hanya lima ratus ribu mana cukup untuk membeli barang-barang seperti ini," Kiara balas mencibir. "Hey, darimana kau bisa nerbelanja sebanyak itu jika tidak da
Bab 15 Rencana Mertua dan Ipar busuk "Dek, maafkan Ibu dan Mbak Megan ya," Mas Galih menghampiriku yang sedang menata baju-baju dan sebuah tas bermerk yang baru saja kubeli. "Lain kali Mas mohon sama kamu, jangan lagi bicara sembarangan di depan mereka. Kamu tahu sendiri kan bagaimana sifat keduanya? Mereka sangat tidak mau diganggu. Apalagi caramu tadi sangat menguji kesabaran mereka," Mas Galih menasehatiku. Fyuuuuh... Aku menghela nafas. "Mas, aku tidak mungkin berkata kasar pada mereka jika mereka tidak memulai," jawabku. Aku tidak peduli jika Mas Galih tak suka dengan ucapanku. "Dek, Mas mohon. Maklumi saja ibu dan Mbak Megan. Sifat mereka memang begitu. Lihat selama ini, jikalau kamu tidak meladeni, rumah ini terasa damai tanpa perselisihan kalian. Mengalah tidak ada salahnya, Dek," ucap Mas Gali
Bab 16 Ingat Mbak, Jangan Main-main Denganku! "Enak saja kau ingin pergi berfoya-foya, lihat dapur masih berantakan, cepat sana beresin!" Perintah Megan bak seorang majikan yang sedang memberi perintah pada asistennya. "Enak saja, kamu pikir aku babu apa? Kalau mau ke rumah kalian rapi, ya bersihin aja sendiri! Aku ada urusan!" Kiara berucap tanpa takut. "Astaga, Kiara! Terbuat dari apakah hatimu ini? Dikasih tau baik-baik malah ngeyel! Tugasmu belum selesai, beresin dulu rumah, baru kamu boleh pergi!"ucap Megan kembali. "Mbak kira semua pekerjaan rumah ini semuanya tugasku? Begitu? Sorry mbak, masih banyak pekerjaan lain yang lebih baik daripada tugas gratisan seperti itu!" tanggap Megan. "Apa katamu? Tugas gratisan? Astaga Kiara! Punya otak dibuat untuk mikir! Bukan untuk ngeyel sembarangan. Kau k
Bab 17 Kalian Hanya Bisa Mengendalikan Galih, Tapi Tidak Denganku! "Bu! Sini ..! sini ...!" Megan mengisyaratkan pada Bu Farah agar mendekat. Wajah Megan mengekspresikan seolah melihat sesuatu hal yang besar. "Ada apa, Megan? Kok nampaknya serius sekali? Santai ajah kali," Bu Farah agak menyipitkan mata. "Aduh, Ibu. Coba lihat ini, Kiara ngapload foto makan siang di resto mahal. Waduuh... Sepertinya dia semakin berani bersikap keterlaluan sama kita," ujar Megan. Mendadak Bu Farah terkaget mendengarnya. "Resto mahal?" Gumamnya seraya mendekat. "Nih, coba ibu perhatikan!" Megan menyodorkan handphonenya pada Bu Farah. "What ...?" Bu Farah melongo, melihat tempat dimana Kiara duduk dan menikmati santapan lezat kelas atas yang tidak sembarangan orang bisa datang
Bab 18 Ketika Saatnya Tiba, Galih akan Di Pecat Dari Kedudukannya "Kiara ...! Kiara ...! Dimana kamu?" Bu Farah berteriak. "Kemana tuh orang?" gerutu Bu Farah ketika tidak mendapati keberadaan Kiara di kamarnya. "Ada apa, Bu? Kok teriak-teriak segala," Tanya Megan yang baru saja pulang kerja. "Ini, ibu nyari Kiara! Tapi dia tidak ada dimana pun," jawab Bu Farah. "Buat apa nyari-nyari Kiara, Bu? Peduli amat sama dia. Biarin ajah dia mau kemana. Mau kesana kek, kesini kek, mau pulang, ataupun tidak, itu terserah sama dia. Tidak usah kitanya yang repot-repot. Liat mukanya saja aku udah muak," imbuh Megan mencibir. "Masalahnya, ibu sedang butuh dia sekarang!" tandas Bu Farah. "Butuh da buat apalagi, Bu? Kalau bisa nggak usahlah minta-minta bantuan dari dia! Buang-buang waktu saja," gerutu Megan
Bab 19 Kaya Kok Pinjam Uang? "Kiara! Sore begini baru pulang ke rumah. Dari mana saja kamu? Dimana otakmu sebagai istri? Suami tidak di urus, kamunya kelayapan kesana-kemari. Istri tidak becus ya seperti kamu ini!" Seperti biasa omelan khas dari mertua julid menyambut kepulanganku. "Punya suami itu di urus! Kalau begini terus, kamu harus rela jika nanti aku benar-benar menjodohkan Galih pada wanita lain. Jangan sampai kau menyesal jika suamimu di embat orang," sambung mertuaku lagi. "Sepertinya aku tak akan pernah menyesal, Bu. Selama ini saja aku sudah seperti tak bersuami. Masa bodohlah jika dia di embat orang lain. Ambil saja," Kulihat Mbak Megan yang tengah menyantap makanan dalam piringnya melihatku dengan kebencian. Matanya yang julid menatapku tak senang. Bodo amat. Iseng aku membuka tud
Bab 20 Calon Menantu Kesayangan Aku tengah duduk-duduk di sofa ketika deru kendaraan roda empat memasuki area rumah. Aku menyingkap tirai. Kulihat Mas Galih turun dari mobil, kemudian ia mekangkah membukakan pintu. Siapa yang ada di dalam mobil, hingga membuat Mas Galih harus membukakan pintu itu. Sejenak setelah pintu itu terbuka, Kulihat mertuaku turun dari mobil bersama seorang seorang wanita cantik. Celine. Wanita itu lagi ternyata. Mas Galih menggandeng mesra lengan Celine. Mereka berjalan ke arahku. Astaga, laki-laki itu! Mungkin otaknya sudah berpindah posisi ke dengkul. Dimana perasaannya coba, menggandeng wanita lain di hadapan istrinya yang sedang hamil besar. Tapi ya sudah, tidak apa-apa. Biarlah saat ini aku pura-pura men
Bab 63 Disebuah teras hotel, dua orang tengah bertengkar mulut. Seorang perempuan dengan muka kusam dan pakaian yang sangat biasa-biasa saja, mengomel ngomel tidak karuan kepada seorang laki-laki berpakaian necis. Terlihat sekali jika omelan perempuan itu tak berguna dimata laki-laki kaya di depannya. "Praska kau tidak boleh melepaskan tanggung jawab begitu saja. Ingat ..! aku ini sedang mengandung anakmu. Sebentar lagi ia akan lahir ke dunia. Kau harus bertanggung jawab penuh, Praska!" Celine berucap tegas. "Enak saja ... Apa buktinya kalau janin yang sedang kau kandung itu adalah putraku? Kau tidak boleh asal bicara begitu saja. Minta saja pertanggungjawaban sama Galih. Dia kan mantan suamimu. tentu saja yang kau kandung di perutmu juga darah dagingnya, ngapain minta tanggung jawab sama saya. Kurang kerjaan aku ngurus anak orang," timp Praska jengkel. 
Bab 62 Celine mengelus perutnya. Bahunya bersandar pada seorang lelaki yang bebas mengekspos tubuhnya. "Sayang, kapan kau akan menikahiku?"tanya Celine. "Sabar dulu, Sayang. Oh ya bagaimana uang dari mertuamu kemarin? Apakah sudah ada? Usahaku sedang membutuhkan banyak uang ini. Supaya lebih lancar ya dana juga harus banyak masuk," Praska memulai bahasan. "Soal itu sih aku belum sempat menanyakannya sama Galih dan ibunya. Lagian hubungan di antara kami juga sedang tidak baik." Jawab Kiara. "Haduuh, Sayang. Rugi dong kalau kamu tak ambil uang itu. Lumayan buat nambah isi kantong," ucap Praska lagi. Celine diam benerapa saat. "Oh ya, baiklah. Nanti akan ku coba untuk kembali berbicara kepada mereka," jawab Kiara. "Tapi janji, Ya, Sayang. Jamu harus cepet-
Bab 61 Kiara berjalan menyusuri lorong kantor. Memasuki ruang kerjanya. Ia merasakan ada hal yang berbeda hari ini. Ya, ia tersadar biasanya ada seseorang yang akan menyapanya setiap pagi, dan kali ini tidak. Ingatannya langsung tertuju pada seseorang. "Huuuh, mengapa harus aku mengingatnya? Kiara, lupakan dia," batin Kiara bersikeras meyakinkan hati. Jam kerja tiba, Kiara mulai sibuk menyelesaikan satu persatu apa yang menjadi tugasnya. Tiba-tiba saja ia merasa kesulitan. "Ah laki-laki itu lagi ...!" Gerutu Kiara. Kembali ia tersadar jikalau kapanpun ia mengalami kesulitan pasti akan bertanya pada sosok yang bernama Mahendra. Suasana memang benar-benar tak lagi sama. Mau tidak mau Kiara mengaku jika merasakan sepi tanpa kehadiran Mahendra. &nbs
Bab 60 "Ada perlu apa kau pada orang tuaku ...?" desak Kiara. "Apa kau ingin mengumbar kata-kata yang sama sekali tidak perlu?" "Kiara, kau sungguh marah padaku hanya karena kata-kata di kertas itu kemarin?" Mahendra bertanya dengan mata sendu dan memerah. "Tanya saja dirimu. Aku kasih tahu kamu sekarang, bahwa aku sama sekali tidak menyukai kata-kata seperti itu," lanjut Kiara lagi. "Kiara, maafkan aku. Aku sungguh tidak sengaja meletakkan kertas itu pada dokumenmu. Karena kau sudah terlanjur melihat, maka aku akan berkata jujur. Tulisan itu kutulis tepat pada hari di mana Galih mengucapkan ikrar ijab Kabul kalian di depan penghulu. Sekarang aku katakan, Kiara. Aku mencintaimu sejak dulu. Tapi ternyata kau lebih memilih Galih. Terus terang aku kecewa. Namun, aku tidak bisa berbuat banyak. Dan sama sekali tidak bisa menyala
Bab 59 "Lho kok ini mapnya ada dua ...? Lhoo ... Yang ini beda, punya siapa ya?" Kiara menggumam. Tangannya memegang isi map. Ingin membukanya. Hupp ... Selembar kertas terjatuh. Tiara melirik ke kertas tersebut, dan memperhatikannya baik-baik. Seketika dahinya mengernyit. "Kenapa ada fotoku di sini?" Dan bukan hanya foto itu yang mengusik perhatian Kiara, namun goresan-goresan kata di sana juga cukup membuatnya bertanya-tanya. Karena rasa penasaran ia mencoba untuk membaca goresan tinta yang tertoreh di kertas putih tersebut. [Ya, Tuhan ... ternyata selama ini aku mempunyai perasaan yang salah. Aku mencintai wanita yang tida
Bab 58 Sementara itu, di sebuah apartemen. Seorang pria duduk menghadap ke layar laptop. Mengerjakan kinerja yang belum selesai tadi siang. Sebentar-sebentar matanya melirik ke sebuah potret yang sengaja ia pajang pada dinding ruang kerjanya. Sebuah potret wanita yang ia kagumi sejak dahulu. Perlahan ia menarik sebuah lembaran yang ia tulis beberapa tahun yang lalu. Dimana disana ia mencurahkan rasa kecewa yang dalam ketika mendengar wanita yang ia puja-puja akan menikah dengan pria lain. Sebuah foto kecil menyertai lembaran tersebut dengan lukisan wajah yang cukup ayu dengan sorot mata jernih dan bulu mata yang lentik. "Ya Tuhan, seandainya saja ia bisa benar-benar menjadi milikku," gumamnya dalam hati. Sebenarnya siapakah wanita yang ia maksud? Wanita itu adala
Bab 57 Galih menyibak tirai, seberkas sinar cahaya matahari pagi menerobos masuk. Yang melirik jam tangannya, "Sudah hampir pukul 08.00 pagi. Astaga ...!" Lelaki itu tereranjat. Dengan bergegas, Galih menuju ke kamar mandi. Sepeninggal Galih, Celine membuka mata. Matanya tertuju pada tirai yang sudah tersingkap. "Sudah siang rupanya ..." Celine menggeliat. Namun sejenak kemudian ia kembali menarik selimut. "Ah biarin ajah ... Toh ada Bu Farah yang mengerjakan semua kerjaan rumah," imbuhnya seraya kembali meringkuk. Baru saja ia ingin kembali terlelap, tiba-tiba Celine merasa perutnya bergolak. "Aduh ... Kenapa ini perut? Kok jadi mules sih ..." Gerutunya. "Hueekh ...!" Celine tidak tahan menahan
Bab 56 "Celine, memangnya apa saja sih yang kamu laporin sama anakku? Sampai-sampai dia sekarang membenciku sedemikian rupa. Apakah kamu memang berniat untuk memisahkan kami?" Bu Farah terlihat geram. Celine yang baru saja pulang, terlihat melengos dengan pertanyaan Bu Farah. "Huuh ... Siapa juga yang ingin memisahkan kalian, mau ibu ambil Galih seutuhnya pun aku tak mengapa," tanggap Celine cuek. "Apa maksudmu?" Bentak Bu Farah. "Dasar aneh ...," celetuk Celine sambil berlalu. "Kamu dengar apa tidak aku tanya apa?" hlang Bu Farah. "Halah ... Tidak usah terlalu banyak tanya, Bu. Apa Ibu benar-benar ingin aku memisahkan ibu sama Mas Galih? Kalau ibu menginginkannya tidak apa-apa, akan kulakukan dengan senang hati," ujar Celine sinis.  
Bab 55 "Wah, lumayan juga ini duitnya, Mas...!" Sinar mata Celine berbinar-binar melihat lembaran-lembaran uang di tangan Galih. "Ya, cukuplah buat bayar sewa rumah dan untuk biaya makan kita," sahut Galih. "Hmmm ... Cuma buat bayar sewa rumah dan makan doang?" Tanya Celine dengan sungut manjanya. Galih sudah bisa membaca apa yang diinginkan istri cantiknya tersebut. "Iya, Sayang ... Jangan cemberut dulu dong," Galih membelai dagu Celine lembut. "Kamu jangan khawatir, Mas pasti akan memberimu sebagian dari uang-uang ini," lanjut Galih kemudian. Mendengarnya, wajah Celine berubah lebih sumringah. "Mas ...!" rengeknya. "Ya, Sayang" "Mmm ... Mas mau kasih berapa buat aku?" ucapnya dengan manja yang di buat-buat.