“Iya, hanya para peri itulah yang memiliki kekuatan untuk memulihkan luka-luka dengan cepat,” jawab Tabib Perguruan. “Untuk itulah Kepala Perguruan sangat terobsesi untuk mendapatkan Pedang Perak Cahaya Merah agar bisa menikahi ratu peri dan memiliki pengikut para peri yang sewaktu-waktu bisa meyembuhkannya para pendekar yang dipimpinnya disaat mereka terluka atau cedera parah dari pertarungan!”
“Apakah keturuan dari peri yang menikah dengan manusia bisa melakukannya?” tanya arwah Ki Walang penasaran.
Tabib Perguruan menatap arwah Ki Walang dengan heran. “Apakah engkau mengenalnya?”
Ki Walang mengangguk. “Aku mengenalnya,” jawab Ki Walang.
“Mungkin bisa kita coba dan meminta dia untuk mengalirkan tenaga dalamnya kepada Bimantara,” jawab Tabib Perguruan.
“Siapa dia, Ki Walang?” tanya Kepala Perguruan dengan penasaran.
“Dia adalah Dahayu,” jawab Ki
Dahayu semakin lemah. Tangan Bimantara bergerak-gerak. Ki Walang datang dengan heran melihat tubuh Dahayu mulai berubah menjadi cahaya.“Dahayu?! Hentikan!” teriak Ki Walang.Dahayu tidak menggubris teriakan Ki Walang. Dia terus saja mengalirkan cahaya biru ke tubuh Bimantara.“Dahayu, kau bisa celaka! Jika aku tahu kau akan begini, aku tidak akan memberitahu mereka kalau kau keturunan para peri,” ucap Ki Walang dengan khawatir.Dahayu masih tidak menggubris teriakan Ki Walang.“Dahayu, hentikaaan!”Saat Ki Walang melihat Dahayu tidak menggubris panggilannya, dia mencoba mendorong tubuh Dahayu. Namun tubuhnya tidak bisa menyentuh Dahayu. Tak lama kemudian, Ki Walang mencoba mendorong tubuh Dahayu lagi, namun kali ini dia terpental jauh hingga arwahnya keluar menembus dinding bambu.Sementara itu Kepala Perguruan tampak cemas di hadapan pintu masuk tempat Bimantara dirawat. Pendekar Pedang Emas dan T
Pendekar Pedang Emas menarik napas berat. Pangeran Sakai menatap Pendekar Pedang Emas dengan sorot mata penasarannya.“Ada apa dengan Dahayu, Tuan Guru Besar?” tanya Pangeran Sakai.“Tidak ada apa-apa,” jawab Pendekar Pedang Emas berbohong padanya.“Jangan bohong padaku! Aku sudah mendengar ucapan Kepala Perguruan kepada Tuan Guru,” ujar Pangeran Sakai mati penasaran.Pendekar Pedang Emas terkejut mendengarnya. Dia malah geram. “Tidak pantas kau menguping pembicaraan gurumu!”“Aku tidak berniat untuk menguping. Aku tidak sengaja berada di sini dan Tuan Guru bersama Kepala Perguruan lewat jalan ini!” jawab Pangeran Sakai membela diri.Pendekar Pedang Emas kemudian kembali berjalan. Pangeran Sakai mengejarnya dengan mati penasaran.“Tuan Guru Besar, tolong katakan padaku ada apa dengan Dahayu?”Langkah Pendekar Pedang Emas terhenti. Dia menoleh pada Pangeran
Naga itu terus saja terbang membawa Bimantara kian ke atas. Awan-awan terlihat indah karena sinar rembulan begitu terang dan langit dipenuhi bintang-bintang. Air mata Bimantara terus saja mengucur.“Kau sedang bahagia?” tanya Bimantara pada Dahayu di pinggir pantai kala itu.Dahayu mengangguk.“Apa yang membuat kamu bahagia?” tanya Bimantara heran.“Berada di dekat kamu,” jawab Dahayu.Bimantara tersenyum malu mendengarnya. Dahayu pun berpindah duduk tepat di sebelah Bimantara. Dia menempelkan kepalanya di bahu Bimantara. Bimantara tampak tersenyum sambil memandangi wajah Dahayu yang tersipu memerah.“Andai sejak dahulu kita sudah begini,” ucap Bimantara.“Kita pasti tidak akan menjadi murid di perguruan matahari,” sahut Dahayu.“Iya, kita pasti sudah menikah,” ucap Bimantara.“Terlalu muda untuk menikah,” sahut Dahayu.“Buka
Hari hampir siang. Bimantara masih teduduk lesu di hadapan mata air abadi itu. Sang Naga bersuara. Bimantara menoleh padanya.“Kembali lah ke lautan! Aku akan tetap di sini sampai Dahayu datang,” ucap Bimantara.Sang Naga itu diam saja.“Pergilah! Jangan tunggu aku! Aku tak akan pergi dari sini!” teriak Bimantara.Naga itu akhirnya mengeluarkan suaranya. Lalu sesaat kemudian dia terbang menuju langit. Bimantara kembali menatap mata air abadi.“Dahayu! Keluar lah!” teriak Bimantara.Dahayu tidak menyahut juga. Bimantara terduduk lesu di sana. Air matanya kembali mengalir. Dia kembali mengingat kenangan bersama Dahayu."Dahayu!" panggil Bimantara.Langkah Dahayu terhenti lalu menatap Bimantara dengan heran dan bingung."Kenapa?"Bimantara mendekat padanya dengan tongkatnya."Kamu tidak percaya kalau aku bisa diterima menjadi murid di perguruan Matahari?" tanya Bimantara saat sudah dekat dengan gadis itu."Aku percaya," jawab Dahayu."Kenapa waktu itu diam saja, tidak membelaku?"Dahayu
Bimantara masih terduduk lesu di hadapan air terjun mata air abadi. Matahari begitu terik di atas sana. Sang naga sudah menghilang di sekitarnya.“Dahayu! Keluar lah!” panggil Bimantara sedikit lirih. “Aku tak akan pergi dari sini jikau kau tidak keluar dari persembunyianmu!”Dahayu masih tidak menyahutnya. Hanya suara air terjun yang dengar dan suara para siamang serta burung-burung di sekitar mata air itu. Tubuhnya tampak lemas.Tak berapa lama kemudian terdengar suara hentakan kaki kuda. Bimantara heran, dia menoleh ke belakang mencari sumber suara. Tak lama kemudian dia melihat Kepala Perguruan datang dengan kuda hitamnya. Bimantara terkejut melihatnya.“Tuan, Guru?” ucap Bimantara tak percaya.Kepala Perguruan turun dari kudanya lalu berjalan mendekati Bimantara.“Kau harus kembali ke Perguruan sekarang juga,” pinta Kepala Perguruan.Bimantara hanya terdiam lalu menunduk dengan sedih.“Ingatlah apa tujuanmu untuk memasuki Perguruan Matahari,” tegas Kepala Perguruan padanya. “Kau
“Apakah Tuan Guru tahu kenapa ayahku bisa menjadi mayat hidup bukan menjadi arwah seperti Tuan Guru Besarku saat terbangkitkan oleh ajian pembangkit kematian itu?” tanya Bimantara.Kepala Perguruan turun dari kudanya. Bimantara pun turun dari kudanya.“Saat aku masuk ke perguruan, ayahmu lah yang menjadi Kepala Perguruan!” jawab Kepala Perguruan.Bimantara mendengarkan ucapan Kepala Perguruan dengan lekat.Kepala Perguruan kembali melanjutkan perkataannya. “Saat itu kami para murid baru mendengar kabar miring tentang ayahmu. Kabar miring itu mengatakan bahwa ayahmu memang menjadi kaki tangan Perguruan Tengkorak. Namun ayahmu berkhianat kepada Perguruan Tengkorak dengan merebut Pedang Perak Cahaya Merah dari Kepala Perguruan Tengkorak,” ucap Kepala Perguruan.Bimantara terkejut mendengarnya.“Apakah karena itu ayahku menjadi mayat hidup?” tanya Bimantara memastikan.“Aku tidak tahu. Hanya leluhur yang tahu jawabannya,” jawab Kepala Perguruan. “Ayo kita lanjutkan perjalanan! Sebelum mat
Pangeran Dawuh pun kembali turun dari atas pagar istana. Pejabat istana yang lain datang padanya dengan napas terengah-engah dan raut wajah paniknya.“Aku tahu apa yang hendak kau laporkan padaku!” ucap Pangeran Dawuh. “Sekarang siapkan kuda untukku dan siapkan prajurit terbaik untukku.”Pejabat Istana itu heran. “Yang Mulia hendak kemana?”“Aku hendak mengejar mayat hidup Naga Wali. Aku bertanggung jawab untuk menjaganya. Dan aku juga bertanggung jawab untuk mencarinya dan membawanya kembali ke istana,” jawab Pangeran Dawuh.Pejabat istana itu terbelalak. “Tapi di luar sana sangat berbahaya, Pangeran.”“Aku akan lebih merasa berdoa jika abai dari tanggung jawabku!” tegas Pangeran Dawuh. “Segera siapkan kuda dan prajurit untukku!”“Ba... baik, Yang Mulia,” ucap pejabat istana itu lalu segera pergi dari hadapan Pangeran Dawuh.***Pangeran Sakai duduk di tepi ranjangnya dengan pandangan kosong. Rajo dan Wira tampak bingung melihat Pangeran Sakai seharian ini tampak murung dan tidak mau
Bimantara berdiri di atas kapal layar dengan tongkatnya. Matanya menerawang jauh ke arah lautan. Kepala Perguruan melihatnya kasihan. Mereka sedang berlayar menuju pulau perguruan matahari yang sudah terlihat samar dari atas kapal.Angin menyapu lembut wajah Bimantara yang masih memandang lautan di hadapannya. Kenangan-kenangan bersama Dahayu kembali terngiang dalam ingatannya.“Kenapa manusia tidak bisa hidup abadi, Bimantara?” tanya Dahayu suatu petang di padang ilalang. Mereka tengah berjalan dari mencari burung hendak pulang.“Aku tidak bisa menjawab pertanyaanmu,” jawab Bimantara.Dahayu terdiam. Raut Wajahnya tampak sedih. Bimantara heran.“Kenapa kau bertanya begitu?”“Aku hanya tidak bisa jika kelak ayahku harus pergi meninggalkanku untuk selamanya,” jawab Dahayu.“Aku juga tidak bisa jika ayahku juga lebih dahulu pulang ke alam sana, tapi bagaimana pun inilah takdir manusia. Akan ada kematian. Akan ada yang meninggalkan dan ditinggalkan. Kita harus menerimanya.”“Jika aku leb
Bimantara berjalan dengan tongkat hitamnya di pedesaan pinggir laut itu. Dia sudah tidak lagi menggunakan kaki cahaya naganya. Dia melihat di pulau seberang sudah tidak ada lagi bangunan tinggi yang memiliki menara yang menjulang. Bagunan Perguruan Matarhari telah lenyap di sana. Perkampungannya tampak sunyi. Beberapa rumah tampak sudah hancur berkeping-keping. Hanya ada beberapa rumah yang tampak baik-baik saja.Bimantara tidak tahu siapa yang masih hidup di negeri itu. Setelah dia memeriksa tiga kerajaan Nusantara yang hancur berkeping-keping, dia mengendalikan naganya untuk kembali ke kampung halamanannya.Bimantara berdiri di sisi tebing itu. Dia teringat saat menemui Dahayu di sana dahulu."Tahun depan aku akan menjadi murid di sana!" ucap Bimantara tiba-tiba. Memecah lamunan tiga remaja di hadapannya itu. Seolah ingin menunjukkan pada Dahayu bahwa tanpa kaki satu, dia masih layak mengejar impiannya. Tiga remaja itu menoleh ke arah Bimantara bersamaan. Saat menyadari yang bicara
Setelah itu keadaan menjadi hening. Putra Mahkota Iblis dan keempat saudaranya benar-benar sudah mati. Bahari tersenyum.“Sekarang aku bisa mati dengan tenang,” ucap Bahari.Bahari pun memejamkan matanya. Kini Bimantara, Tanaka, Pendekar Dua Alam dan Pendekar Sungai Panjang kembali merasakan dingin.Sementara Bimantara langsung berlari menuju Raja Dawuh yang tidak lagi bernyawa itu. Dia memeriksa tubuhnya. Denyut nadinya sudah berhenti. Bimantara menangis sambil memeluk mayatnya.“Maafkan aku yang tidak bisa menjagamu!” isak Bimantara.Tanaka, Pendekar Dua Alam dan Pendekar Sungai Panjang berjalan mendekat ke arahnya.“Kita sudah berhasil Bimantara,” ucap Tanaka.Bimantara pun menutup mata Raja Dawuh lalu berdiri di hadapan ketiga Panglimanya yang tersisa itu.“Tapi kita tidak berhasil mencegah mereka menghancurkan setiap kerajaan di atas muka bumi ini,” ucap Bimantara menyayangkannya. “Dan aku tidak berhasil menjaga Bahari dan Raja Dawuh.”“Aku yakin mereka akan tenang di nirwana kar
“Aku bisa melakukannya tanpa harus membangkitkan Dahayu kembali,” ucap Bimantara.Pendekar Dua Alam mengernyit mendengarnya.“Cahaya di tubuh Dahayu sangat berguna untukmu, Bimantara. Jika cahaya kalian menyatu maka tidak ada satupun yang bisa melawan kalian, termasuk para Iblis itu,” protes Pendekar Dua Alam.“Dahayu telah mengalirkan cahayanya kepadaku,” ujar Bimantara.“Tapi cahayanya telah menyusut di tubuhmu,” protes Pendekar Dua Alam.Raja Dawuh pun bangkit.“Jika kau menolaknya karena sudah mengkhianatinya, aku rasa Dahayu akan mengerti, Bimantara. Kita tidak memiliki cara lain untuk membunuh mereka!” tambah Raja Dawuh.“Jangan paksa aku!” teriak Bimantara.Bimantara pun mengeluarkan tenaga dalamnya, dia pun langsung mengalirkannya pada Pendekar Dua Alam, Raja Dawuh, Bahari, Pendekar Sungai Panjang dan Tanaka.“Jangan lakukan itu, jika tidak tenagamu akan habis!” protes Tanaka yang menerima aliran tenaga dalam dari Bimantara.Bimantara tidak menggubris perkataan Tanaka. Tenaga
“Jangan menangis,” pinta Ki Walang.“Aku tidak berhasil menjadi Chandaka Uddhiharata, Tuan Guru,” isak Bimantara. “Dunia sudah dihancurkan anak-anak iblis itu. Tiga kerajaan Nusantara telah habis terbakar, juga istana-istana di kerajaan lain. Sebentar lagi semua manusia akan mati. Mungkin aku juga akan mati. Padahal aku sudah membawa kelima Panglima terbaik di dunia ini.”“Apakah seperti ini akhirnya seorang murid yang sangat aku banggakan itu?” ucap Ki Walang sedikit marah. “Dahulu aku kagum padanya karena keterbatasannya dia memiliki cita-cita begitu agung untuk menjadi seorang pendekar yang berguna bagi sesama. Pahadal dia hanya memiliki kaki satu, tapi dia ingin memiliki jurus tendangan seribu.”Bimantara terdiam mendengar itu.“Hal yang tidak mungkin. Siapapun yang mendengarnya pasti akan tertawa karena ketidakpercayaannya. Tapi aku percaya akan itu. Akhirnya aku ajarkan semua ilmuku padamu. Dan kini, kau mengeluh disaat nyawa masih berada di dalam ragamu?!” teriak Ki Walang.“Ap
Bimantara kembali menyerang Putra Mahkota Iblis yang tampak geram. Dia menggunakan segala jurus yang dia punya untuk melawannya. Sekuat tega Bimantara lakukan sendirian untuk melawannya. Berbagai serangan yang dilakukan Bimantara berhasil dilawannya dengan baik. Bimantara tampak kewalahan dan hampir saja kehilangan tenaga.“Kita harus membantunya,” pinta Raja Dawuh yang tampak khawatir pada Bimantara.“Aku tahu kau seorang raja,” sahut Tanaka. “Tapi yang paling penting dari sebuah tim adalah mengikuti arahan Pimpinannya. Sekarang kau bukan seorang raja lagi. Kau harus mengikuti permintaan Bimantara yang meminta kita menjaga Pendekar Dua Alam sampai dia selesai melakukan ritualnya. Nyawa kita sekarang untuk Pendekar Dua Alam.”“Tapi dia bisa mati melawan Putra Mahkota Iblis itu sendirian,” ucap Raja Dawuh semakin khawatir.“Percaya saja,” pinta Tanaka menenangkannya.Sementara Pendekar Sungai Panjang masih berusaha menggunakan tenaga dalamnya untuk mengembalikan tulang-tulang yang pata
Bimantara terbang ke atas langit. Tubuhnya mengeluarkan cahaya. Sesaat kemudian dia meluncur ke bawah lalu menggunakan jurus tendangan seribunya untuk menghalau roh-roh hitam yang menyerang mereka. Satu persatu dari roh-roh hitam itu terpelanting jauh dan terbakar.Bahari dan Pendekar Sungai Panjang terngaga melihatnya. Bimantara pun kembali mendarat di dekat mereka dengan sorot mata yang masih menyala. Putra Mahkota Iblis di dalam benteng itu tampak geram. Dia berteriak lalu mengeluarkan cahaya di tubuhnya. Gemanya hampir saja memecahkan dinding pembatas tak terlihat.“Sekarang saatnya kau harus memecahkan dinding pembatas tak terlihat itu,” pinta Bahari.Bimantara mengangguk.“Semuanya segera bersiap!” pinta Bimantara pada kedua Panglima yang menemaninya itu.Bahari dan Pendekar Sungai Panjang mengangguk. Mereka pun sudah bersiap dengan jurus masing-masing.Bimantara menoleh pada Tanaka dan Raja Dawuh yang masih menjaga Pendekar Dua Alam yang sedang membangkitkan para pendekar sakti
Putra Mahkota Iblis itu berhenti berlari menuju benteng yang terbuka itu. Iblis itu menatap kepada empat saudaranya yang ikut berhenti.“Berpencarlah kalian semuanya,” pinta Putra Mahkota Iblis. “Hancurkan semua kerajaan di muka bumi ini! Biar aku saja yang menghadapi musuh kita di depan benteng sana!”“Tapi mereka telah membunuh adik bungsu kita,” protes salah satu dari mereka. “Kita harus bersama-sama membunuh mereka sebelum kita keluar dari negeri ini dan menghancurkan semua kerajaan di atas muka bumi ini!”“Diriku sendiri sudah cukup untuk membunuh semuanya! Ikuti perintahku jika kalian masih menganggapku sebagai pengganti Raja!” teriak Putra Mahkota Iblis itu pada adik-adiknya.“Baiklah,” jawab salah satu dari mereka.Empat anak-anak Iblis yang perkasa itu pun langsung melompati benteng yang luas nan tinggi itu. Mereka berpencar ke empat penjuru untuk menghancurkan kerajaan-kerajaan di berbagai wilayah.Sementara Bimantara di luar benteng itu tampak terkejut melihat para Iblis it
“Biar aku saja yang menghadapinya,” ucap Tanaka pada Bimantara.Bimantara mengangguk. Tanaka pun langsung melompat dari punggung naga lalu terbang melawan Pendekar Tombak Angin. Tanaka mengeluarkan golok hitamnya, sementara Pendekar Tombak Angin mengeluarkan pedangnya. Mereka berdua bertarung di atas langit.Bimantara menoleh pada Bahari, Pendekar Sungai Panjang, Pendekar Dua Alam dan Raja Dawuh.“Kalian serang prajurit mereka!” perintah Bimantara.Keempat Panglimanya itu mengangguk. Mereka langsung mengendalikan naga masing-masing lalu naga-naga yang ditunggangi mereka itu menghembuskan api dari mulut mereka untuk membakar ribuan prajurit yang berusaha memecahkan benteng tinggi itu. Sebagian prajuritnya mati terbakar karenanya. Para prajurit yang lain berusaha menyerang mereka dengan senjata masing-masing.Dengan sigap Raja Dawuh menggunakan kekuatannya untuk melelehkan pedang dan senjata lainnya yang digunakan para prajurit itu. Seketika senjata mereka meleleh.Sementara Bimantara l
Ribuan burung besar yang membawa Pendekar Tombak Angin dan pasukan roh-nya telah tiba di daratan negeri salju itu. Angin dingin berhembus menusuk tulang. Pendekar Tombak angin yang berada paling depan di punggung burung besar itu tampak menggigil. Ribuan tentaranya pun tampak kedinginan. Burung-burung besar itu pun tampak sudah lemah memasuki negeri salju itu, mereka tidak kuat akan dinginnya negeri itu.Pendekar Tombak Angin melihat patung es raksasa yang sedang memegang tongkat di hadapan benteng tinggi yang memutih. Ribuan prajurit di dekatnya pun mematung, mereka bagai patung es yang dipahat oleh seorang seniman yang masyhur.“Apakah dia Bubungkala?” tanya Pendekar Tombak Angin pada tiga makhluk hitam yang kedinginan di dekatnya. Tiga makhluk hitam itu terbang mengikutinya.“Benar, Tuanku,” jawab Makhluk hitam itu. “Dia yang paling bungsu dari ke enam saudara Iblismu.”Pendekar Tombak Angin tampak tidak kuat lagi karena dinginnya tempat itu.“Sekarang keluarkan batu dari neraka it