Pasangan yang Terdzalimi
"Gimana?" tanya Arista sambil mengeluarkan bundelan dari perutnya.
Perempuan itu terpaksa memakai perut palsu berisi karet, agar tampak hamil, untuk bisa masuk melihat isi ruangan klinik dokter Henry. Pria yang kini menampung Adelia.
Untung saja, asisten dokter itu tak memaksanya untuk melihat kondisi janin dengan USG, dengan alasan perutnya terasa mual jika disentuh. Arista bahkan meragukan sebelum melakukan itu, apa perawat itu akan percaya. Namun, tanpa ia duga sang perawat mengatakan hal itu bisa saja terjadi karena bawaan ibu ngidam itu beda-beda.
"Semoga di trimester tiga, udah gak mual lagi ya, Bu. Karena waktu melahirkan mau gak mau ada dokter dan perawat yang menangani Ibu."
Arista manggut-manggut saja menanggapinya.
"Itu kenapa gak dilepaa sekalian?" tanya Bean menggoda.
"Hiss!" Arista mencebik. Mana mungkin dia melepas perut palsunya di depan Bean. "Jangan omes ya!"
"Hahaha. Bean tertawa."
Sebuah Kode Keras"Cepatlah! Ikuti mobil mereka. Kita perlu tahu apa yang sebenarnya Adelia rencanakan." Arista menyeru. Untuk menguasai dirinya dan mencairkan suasana yang sempat singgah di antara mereka."Ah, ya!" Bean menyahut cepat. "Ayo kita bekerja!"Pria itu mengikuti kemauan rekannya, dan segera melajukan mobil agar tak kehilangan jejak Adelia di depan sana. Bean sendiri mendadak merasa canggung pada wanita di sampingnya. Akan lebih mudah menghadapi Arista yang ceplas-ceplos dan menolaknya dibanding menghadapi wanita itu dalam kondisi malu-malu seperti sekarang.Mobil yang mereka tumpangi terus bergerak, lebih dari dua puluh menit dan belum juga ke tempat tujuan."Ke mana mereka kira-kira?" celetuk Arista yang membuat Bean terhenyak dari lamunan."Ah?" Pria itu menoleh sejenak, sebagai respon atas pertanyaan rekan kerjanya."Mungkin ke suatu tempat untuk merayakan pertemuan mereka.""Apa menurutmu mereka memiliki hubung
Dia Bukan Anakku"Wah, benar. Tujuannya adalah rumah Tuan Eksha." Bean mengucap sambil menajamkan pandang ke arah mobil yang bergerak memasuki kawasan rumah elit."Iya, kalau ke sini beloknya, memang rumah siapa lagi yang dituju kalau bukan rumah omnya." Arista menimpali."Hem. Ya. Telepon lah, Tuan Yusuf. Dia perlu tahu ini." Bean meminta pada Arista."Ya, kamu benar. Tuan Yusuf perlu tahu," timpalnya sembari merogoh ponsel di saku gamisnya.Namun, setelah melakukan panggilan beberapa kali tak ada jawaban dari ujung telepon. Padahal panggilan itu telah tersambung."Kenapa? Tak dijawab?" tanya Bean melihat wajah Arista yang kecewa."Yah." Arista mendesah panjang karena kecewa."Lalu, bagaimana? Apa kita halangi mereka masuk?" tanya Bean."Sudah terlambat, lagi pula mereka perlu bicara setelah Nyonya gila itu kabur.""Ck. Sepertinya kamu sangat membencinya," gumam Bean.Arista hanya melirik tak suka mendenga
Hikmah KehidupanEmosi dalam diri Adelia, membuat wanita itu tanpa sadar menekan tangannya di tubuh sang bayi, hingga sosok mungil di tangannya mengalami kesakitan dan menangis.Semua orang seketika menoleh pada Adelia. Risa yang merasa ada sesuatu teremas nyeri dalam hatinya, kala mendengar tangis bayi itu, segera mengambil kembali bayi dalam gendongan Adelia.Karena Bundanya fokus pada pernyataan Yusuf, ia tak sadar, dan dengan mudah, tanpa perlawanan tubuh bayi sudah beralih ke tangan neneknya lagi."Kamu seharusnya tak menyakiti bayi ini." Risa menyalahkan Adelia.Namun, lagi-lagi pikiran wanita yang belum lama melahirkan itu kosong, ia tak menangkap apa pun nasihat yang meluncur dari mulut tantenya.Eksha yang sempat berempati kini turut muak melihat tingkahnya. Jika dia saja bisa berlaku begitu pada bayinya di depan semua orang, bagaimana nanti jika dia membawa bayi itu?Henry menatap Adelia dalam, berusaha menyelidik apa yang d
Tak Lagi SombongZaki menatap langit-langit kamar tempat di mana ia tengah dirawat. Kamar pasien yang hanya berukuran dua kali tiga meter. Ia melihat kamera CCTV dan berpura-pura tak terpengaruh.Bangsal yang merupakan ruang perawatan bagi pasien-pasien dengan gangguan kejiwaan, ada sebanyak 6 tempat tidur dan dua kamar diantaranya adalah kamar isolasi yang diperuntukan basi pasien-pasien dengan gangguan jiwa akut. Di kamar isolasi inilah Zaki ditempatkan.Dia ditempatkan dengan pelayanan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa atau biasa disebut dengan Psikiater, serta tenaga Perawat Profesional dibidangnya.Selain Profesional Pemberi Asuhan Dokter dan Perawat, kondisi Zaki juga didukung dengan tenaga kesehatan lainnya seperti nutrisionis, ahli laboratorium dan Dokter konsulen lainnya jika pasien yang bersangkutan didiagnosa penyakit selain penyakit kejiwaan.Tampaknya polisi sangat berhati-hati merawat pasien tersebut, sesuai permintaan pengacara Yusuf.
Masa Iddah yang Sulit"Dokter sudah buang air?""Ya."Perawat itu manggut-manggut. Tersenyum lega, karena tak ada masalah pencernaan pada pasien yang dijaga."Kamu mengenaliku?" Zaki menatap intens ke arah wanita yang tengah merawatnya."Ada apa, Dok?" tanya suster yang mengenakan kerudung sedada berwarna hijau.Tentu saja dia mengenal Dokter Zaki, mereka beberapa kali bertemu dalam seminar kesehatan yang diadakan beberapa rumah sakit. Dan Zaki ini merupakan salah satu dokter muda yang banyak diundang oleh penyelenggara.Sebagai teman sejawat yang sama-sama bekerja di bagian kesehatan, wanita itu hanya syok saja mendengar kabar, pria itu terkena gangguan jiwa dan banyak menelan korban.Kali ini sudah waktunya Zaki minum obat. Meski ada semacam ketakutan, dia turut kena menjadi korbannya. Wanita itu tengah memeriksa kondisi pasien yang menjadi tanggung jawabnya, dan harus ada di kamar Zaki sesuai jadwal.Zaki menggeleng.
Ketika Semua Terbayar LunasPolisi menoleh, begitu terdengar gagang pintu di belakangnya bergerak. Pria itu berbalik dan menggeser tubuh, karena tahu perawat akan keluar dan melewatinya.Ia tak beranjak walau sedetik, kecuali sift jaga telah berganti. Apalagi sekarang satu rekan lain tengah izin padanya ke toilet.Dari pintu, keluarlah sosok seorang wanita yang mengenakan pakaian perawat dengan kerudung yang menutupi separuh wajah. Hal itu membuat polisi mengerutkan kening, karena merasa wanita itu terlihat aneh."Sudah selesai, Sus?"Perawat tersebut mengangguk tanpa melihat ke arah polisi. Lalu meninggalkan polisi itu begitu saja."Aneh," gumam Pria yang mengenakan baju dinas, sebuah jaket dengan lambang lembaga kepolisian.Instingnya sebagai seorang polisi terpancing. Matanya menyipit melihat cara jalan wanita itu yang berbeda dari sebelumnya."Apa dia sakit?"Tak ingin kecolongan, ia pun membuka kembali pintu yang su
Melepas TembakanZaki yang mengenakan pakaian perempuan, tersengal-sengal sepanjang pelarian, karena merasa letih. Tak tahu ke mana harus bersembunyi. Dia pun memutuskan ke bangsal terakhir. Berharap tak ada seorang pun di sana, dan kemudian bisa kabur dari celah-celah ruangan.Merasa kesal dan risih karena pandangannya terganggu oleh kerudung yang dikenakan, ia pun menarik kain penutup itu dengan kasar dan melemparkan asal.Ia lalu memecahkan kaca berisi kapak yang menempel di dinding dengan sebuah penyemprot api , lalu mengambil benda itu untuk berjaga-jaga ketika bertemu petugas."Lihat saja, jika kalian berani menyentuhku. Aku akan membunuh kalian," dengkusnya dengan amarah yang memuncak, hingga rasa takutnya akan tertangkap dan mendapat hukuman lebih berat menghilang.Zaki terus berjalan, menuju bangsal terakhir. Mendobrak paksa pintu dan masuk perlahan ke sana. Tanpa ia sadari ada lampu merah berkedip-kedip menandakan sebuah CCTV aktif tengah
Tentang Akhir KehidupanSetelah kepergian mobil yang Henry kemudikan, semua orang kembali ke dalam. Begitu juga Bean. Risa memintanya untuk masuk dan makan malam, karena sedari tadi berjaga sendirian selama Arista bersiap pergi.Semua orang telah masuk, tinggal Risa yang merasa enggan. Ada sesuatu yang hilang dan terasa kosong, kala melihat mobil yang membawa Adelia lenyap dari pandangan.Wanita paruh baya itu mendesah. Hal itu membuat Hanna sontak menoleh, anak menantu keluarga Eksha tersebut turut menghentikan langkah. Ia merasa ada sesuatu yang membebani langkah wanita di sampingnya."Mi."Suara lembut Hanna membuat Risa terhenyak. Seketika wanita oaruh baya itu menoleh. Ia tersenyum. Merasa diperhatikan oleh Hanna, yang sekarang statusnya sudah seperti anaknya sendiri."Yuk." Langkah Risa mendahului menantunya masuk.Namun, di dalam suasana antara Eksha mau pun Yusuf masik terasa canggung."Eum. Kalo begitu, kami pulang dul
EP Terakhir - Pujian"Pa, belum tidur?" tanya Zidan pada papanya yang tengah duduk di ruang kerjanya menatap layar komputer. Ia sengaja bertanya, sebagai isyarat meminta izin meminta masuk dan menggangu sang papa."Oh." Papa Zidan yang juga papa dari Hanna itu sontak mendongak. Menatap ke pintu, di mana asal suara datang.Meski pria tua itu tampak sibuk memandangi komputer, namun, kenyataan ... pikiran pria paruh baya itu tak sedang ada di sana. Ia terus kepikiran pada munculnya Alex di depan mereka hari ini. Seseorang yang ia pikir akan mendekam di penjara lebih lama.Putra sulungnya itu lalu masuk ke dalam. Ia duduk di sofa yang jaraknya berdekatan."Apa Papa tahu sesuatu tentang Alex?" Zidan menyampaikan kekhawatirannya melihat sosok Alex tadi pagi.Ia ingin menghubungi pemuda yang dulu jadi teman dekatnya tersebut. Akan tetapi, takut jika masalah justru akan bertambah rumit.Pria paruh baya itu menggeleng. "Aku tak tahu apa pun."
EP11 - Malam Pertama"Apa kamu sudah siap?" tanya Henry yang sudah berdiri di depan ranjang. Di mana Adelia tengah memeluk putrinya.Henry merasa sudah sangat bersih sekarang. Mandi dan menggosok tubuhnya lebih dari setengah jam. Menggosok gigi dan memakai parfum di mulutnya. Juga menyemprotkan ke seluruh tubuh yang hanya dibalut pakaian handuk."Hem?" Mata gadis kecil di pelukan Adelia sontak membuka sempurna.Saat itu Adelia memejamkan mata.Henry tampaknya tak tahu bagaimana harus mengatasi kondisi anak kecil yang akan tidur. Ini saja dia perlu mendongeng, bercerita tentang masa kecilnya, juga menjanjikan banyak hal menyenangkan untuk putrinya kalau dia mau tidur dengan cepat.Akan tetapi ... sekarang. Hanya dalam hitungan detik, Henry mengacaukannya."Ayah mau ke mana Bunda? Aku boleh ikut kan?""Huhhh. Sabar ....." Adelia mengenbus berat. Ia kemudian melirik pada Henry yang tampaknya juga sangat kecewa kala melihat gadis k
EP10 - Double Date (3)"Mau ke mana malam-malam begini?" tanya Maya pada Alex."Ke rumah teman. Bentar Mi." Pria yang sedang sibuk mengikat tali sepatu itu menyahut. Melirik sekilas wanita yang selama ini setia menemaninya."Lex, Mami gak mau kamu kena masalah lagi, ya." Maya mengingatkan. Sudah cukup mereka merasakan hidup lebih sulit dari sebelumnya tanpa Alex.Pikir Maya, sekarang ini, dua keluarga kaya itu pasti tengah mengawasi Alex dan mencari-cari kesalahannya."Iya. Mi. Tenang saja." Alex menyahut singkat. Kali ini ia telah berdiri tegak di atas kedua kakinya dan siap bergerak pergi."Aku pamit dulu." Pria itu menunjuk keluar, di mana mobil sudah siap di depan rumah mengantarnya ke mana saja."Ya." Maya melepas putranya dengan kondisi hati yang was-was. Berharap Alex bisa memegang kata-kata, dan tak membuat masalah di luar sana.***"Jadi tadi ... aku bertemu dan bicara dengan Alex, bahkan dia sempat mencengkeram
EP9 - Double Date 2Yusuf menyerah. "Kita bahas soal bulan madu kita saja.""Hah?" Mata Hanna membulat. Semudah itu? "Bu- bukan kita yang bulan madu, tapi mereka Mas.""Tapi kita diajak untuk meramaikan acara mereka." Yusuf tersenyum pada Hanna."Yeah! Itu lebih baik!" Henry berseru senang. Sejak awal pria itu memang terus terlihat senang. Apalagi ini adalah malam pertamanya dengan Adelia.Karena itu juga lah, Yusuf yang sebenarnya sangat kesal, menahan diri untuk tidak marah. Tak etis rasanya kalau harus merusak kebahagiaan pengantin baru karena kesalahan yang menurutnya tak disengaja."Btw, Mas bakal perjalanan bisnis ke mana?" tanya Henry."Ke Inggris. Kami perlu bertemu klien dan memeriksa lapangan untuk memutuskan apakah tanda tangan kontrak atau tidak." Yusuf menjelaskan hal yang tak Henry pahami."Yah ... kenapa ke Inggris. Kami baru mau rencana ke Turkey berkunjung ke Aya Sofia." Henry menyayangkannya."Wah, kali
EP8 - Double DateAlex mondar-mandir gelisah di dekat meja makan. Meski sang mami sudah menyediakan makanan lezat di atas meja, pria itu tampak tak berselera untuk menyantapanya."Lex kenapa tidak segera duduk dan makan?" tanya Maminya heran. Pemuda itu malah mondar-mandir gak jelas, dan membiarkan makanan sampai dingin."Mi, udah dapat telepon dari Tante Risa?" tanya Alex penasaran.Mami Alex menggeleng. "Belum, sabar. Sekarang dia pasti sedang berusaha keras membujuk Om kamu buat maafin kita."***"Waallaikumussalam. Mas Yusuf. Baiknya kamu pulang deh sekarang.""Hah? Pulang?" protes Yusuf. Dia bahkan baru sampai. "Ada apa?""Udah cepetan. Ini aku mumpung baik loh ngasih tau!" teriaknya memaksa di ujung telepon.Yusuf terbengong-bengong. Apa yang terjadi sebenarnya? Apa ini ada hubungannya dengan kerisauan hatinya. Atau pria itu cuma mengerjainya saja? Henry kan dikenal usil."Bilang deh. Kamu ngerjain aku, ya.
EP7 - Paksaan Henry pada YusufHanna tak ingin mempedulikan Alex dan berjalan begitu saja melewati pria itu. Namun, di saat bersamaan, tangan panjang Alex dengan cepat meraih lengan wanita tersebut. hingga langkah wanita itu terhenti.Merasa tak nyaman dan risih, Hanna menarik kasar tangannya. "Jaga perilakumu!" tekannya mengacungkan jari tepat ke wajah Alex, dengan tatapan tajam pada pria itu."Oke." Alex mengangkat kedua tangannya. Seolah takut pada ancaman Hanna. "Ck. Galak amat. Padahal aku udah berubah jadi anak baik." Senyumnya tipis. Ingin menunjukkan ketulusan pada lawan bicaranya, kalau dia memang sudah berubah.Hanna bergerak mundur, sekira tak lagi sampai Alex meraihnya. Tak ingin berlama-lama meladeni pria yang menurutnya gila, kakinya pun bergerak semakin cepat menjauh.Alex hanya bisa tersenyum. Tak mudah mengambil hati orang-orang yang disakitinya."Yah, semua perlu waktu. Aku akan mencoba memahami itu." Pria itu memiringkan s
EP6 - Apa Maumu, Lex!?Tujuan utama Alex ke rumah Adelia, selain membuat semua orang yang bahagia saat dia di penjara, terkejut dengan kedatangannya yang tiba-tiba, adalah untuk bertemu sosok wanita yang terus dirindukannya, Hanna.Setelah menemui Adelia dan suaminya, ia berkeliling mencari di mana Hanna berada. Namun, setelah mendapati Eksha dan tantenya Risa sudah tak terlihat, ia pun yakin bahwa Hanna juga sudah pulang bersama mertuanya itu. Apalagi Yusuf juga tak terlihat. Sepasang suami istri itu harusnya bersama, jika tak ada salah satunya, berarti satu yang lain pun tak ada.Merasa putus asa, Alex akhirnya memilih pulang saja. Dia bisa meneruskan keinginannya itu di lain waktu, dan beristirahat untuk sekarang. Sepulang dari lapas, punggungnya sama sekali belum bertemu tempat rehat, bahkan sekedar untuk bersandar. Di dalam mobil pun, tanpa sadar ia terus duduk tegap, karena serius menyimak penjelasan pengacara yang dibawa sang mami.Langkah lebar pr
EP5 - Bawa Aku, Mas!"Selamat ya," ucap Alex sembari menyodorkan tangan pada mempelai wanita yang kini sedang beristirahat di ruang ganti. Seluruh make up di wajahnya dibersihkan oleh penata rias.Adelia mengerutkan kening. Ia tampak tak mengenali pria itu, lalu menangkupkan dua tangannya. Kenapa ada pria asing yang bisa masuk ke ruang pribadinya. Keluarga atau kenalan dekat memang masih dibolehkan untuk masuk, tapi ia merasa tak mengenal Alex.Alex tersenyum. Meski kecewa respon yang didapat tak sebaik bayangannya. Dia lalu beralih ke mempelai laki-laki. Pria itu dengan terpaksa meraih tangan Alex."Selamat ya, Dokter em ...." Alex tampak berpikir. Bodohnya tak memperhatikan banner di depan dengan nama sepasang pengantin di sana."Henry. Nama saya Henry." Pria itu tersenyum tipis. Setelah bersalaman Alex pun menjauh."Siapa dia?" bisik Henry yang merasa aneh. Karena bahkan wanita yang sudah sah jadi istrinya itu tak mengenalnya."Ent
EP4 - Turunin, Mas!Hanna baru saja selesai mandi. Wanita itu keluar dari pintu toilet sambil mengeringkan rambut dengan handuk kecil."Kenapa pakai handuk kecil itu? Bakal lama selesainya. Itu ada hair dryer." Yusuf yang tengah menggendong Akhyar menunjuk ke arah lemari.Hanna menggeleng. Nanggung menurutnya. Pakai handuk kering sudah cukup simple tak perlu menyalakan mesin dan menggerakkannya ke kepala. Lagi pula mereka tak sedang buru-buru, karena takut kepergok berduaan di kamar itu."Ck. Pasti sengaja, ya. Mau goda," goda Yusuf dengan menyebut Hanna yang menggodanya."Ish, apa sih, Mas? Baru juga selesai. Masa goda lagi," protes Hanna sambil mencebik, melirik pura-pura kesal ke arah sang suami."Heleh. Pura-pura jaim." Yusuf tak menyerah. "Ya, kan, Dek." Kini tatapannya beralih pada batita dalam gendongan. Rasanya senang saja Hanna kesal, dan hanya memperhatikannya."Hehmh. Mas kali yang jaim. Padahal pengen lagi kan tapi ngomong