Mendapat Pertolongan
Hanna bergerak cepat diikuti Risa. Mata mereka melihat satu per satu papan kecil sebagai penanda satu ruangan dengan ruangan lain. Namun, sejauh mata memandang, Hanna ataupun mertuanya tak melihat 'kamar jenazah.'
Sang suster yang tahu, bahwa mereka akan kesulitan menemukan ruangan tersebut, akhirnya mengikuti guna membantu menunjukkan jalan.
"Lewat sini, Bu." Wanita berpakaian warna putih itu menunjuk koridor sebelah kanan.
"Ya." Hanna pun mengikutinya.
"Kalau ponakan saya meninggal, kenapa tidak diberikan keluarga, Sus?" tanya Risa keheranan. Apa gunanya meletakkan Adelia di kamar mayat? Jelas-jelas keluarganya ingin mengurusnya.
"Eum, itu polisi yang mengurus, Bu. Entah untuk otopsi atau hal lain, saya tak mengerti. Tapi ... biasanya kalau otopsi itu ada kasus sebelum kecelakaan." Sang suster yang tak tahu persis kenapa polisi yang membawa wanita itu menelengkan kepala. Seolah tengah berpikir.
Hanna paham maksu
Azab: Rasa Sakit yang Sama"Apa tidak apa-apa jika Zaki pergi dari lapas?""Anda tak perlu memikirkan itu, Tuan. Waktu kita tak tak banyak." Pengacara tak ingin kehilangan banyak waktu. Ia pun kemudian menyentuh lengan Yusuf dan berniat membawanya pergi, sebagai penekanan bahwa mereka harus bergegas."Masih ada asisten dokter Zaki, yang bisa memberikan saksi."Namun, dengan cepat Yusuf menepis tangan pria berpakaian rapi dan telah siap dengan berbagai macam pembalaan untuknya itu."Tunggu." Yusuf tampak berpikir."Ya, Tuan?" Pengacara itu pun akhirnya menyerah, dan memutuskan mendengar apa yang ingin kliennya katakan."Bagaimana kalau ini hanya alibi Zaki agar dia kabur?" Yusuf bertanya dengan nada khawatir."Em, soal itu. Memang harus diwaspadai sejak awal oleh polisi. Mereka yang memutuskan membawanya keluar, pasti juga sudah memikirkan kemungkinan tersebut." Pengacara coba menenangkan Yusuf sambil melihat ke arah arloji yang
Tamu yang Mengejutkan"Apa yang harus kita lakukan, Dok?" tanya seorang perawat yang memegangi tubuh Zaki. Dokter dan kini seorang pasien di sebuah rumah sakit."Tunggu sampai obatnya bereaksi. Setelah melihat riwayat pasien, rupanya dia tak hanya terganggu psikisnya, tapi juga ginjalnya sudah dipenuhi sisa obat.""Apa, Dok?" Perawat tampak terkejut. Nyaris tak percaya. Apa mungkin itu efek obat? Tapu bukankah Zaki seorang dokter, pasti dia tahu dosis yang boleh dan tidak diknsumsi.***Persidangan pertama telah usai. Pengacara tersenyum puas. "Selamat, Tuan. Anda telah melakukan yang terbaik."Yusuf meraih tangan pengacara itu. Sang pengacara tersenyum, tapi tak lama ia terkejut kala Yusuf menarik tubuh dan memeluk. Dua bola matanya melebar. Ini kali pertama pria itu dipeluk klien yang sebelumnya dikenal dingin, dan terkesan tak terlalu peduli pada perasaan orang lain.Sementara dalam hati Yusuf, ia bersyukur sang pengacara berpihak
Canggung yang tak Berujung"Apa yang terjadi?" tanya seorang pria pada Adelia yang tidur di atas ranjang.Pria yang juga sahabatnya dan Dokternya Enriq yang sebelum ini berpapasan dengan Adelia di rumah sakit."Aku dicampakkan suamiku, Hen." Adelia menjawab, seiring air mata yang jatuh ke pipi. "Pria yang kupikir tak akan pernah menduakanku, dan setia berada di sisiku untuk menjaga. Tapi ...." Tangisnya makind deras sampai ia tak bisa meneruskan kata-katanya."Siapa maksudmu? Yusuf? Bukankah dia pria baik? Tak mungkin dia menyakitimu.""Ceritanya panjang." Kini Adelia menatapTubuhnya tampak lemas dengan beberapa luka dj tubuhnya. Ditambah benturan-benturan saat kecelakaan membuatnya merasakan nyeri di seluruh tubuh."Maaf kalau aku repotin kamu.""Ck. Pakai aku kamu. Haha." Dokter itu terkekeh.Adelia tampak lebih emosional dari gadis yang dikenalnya dulu. Waktu dan kesulitan telah mengubah dirinya, gadis ceria yang bic
BAHAGIAYusuf sendiri, ia tampak tenang di depan Mami ataupun istrinya. Tak ingin merusak suasana, euforia bebas dari lapas, dengan kecanggungan yang seolah tak berujung di depan orang tua kandungnya itu."Em, sebaiknya kita makan malam dulu, Mas." Hanna menengahi. Tak ingin wanita yang sudah terlalu baik padanya itu terlihat sedih.Sontak saja Yusuf menoleh, mendengar apa yang Hanna ucap. Wanita itu berusaha menahannya agar tak buru buru pergi dari rumah ini. Itu artinya dia harus makan satu meja dan berbincang dengan Eksha. Itu bukan hal mudah buat Yusuf."Dek. Yang benar saja," bisik Yusuf protes."Eum. Tak apa kalau memang kalian ingin pulang. Mami bisa maklum, mungkin karena lama tak bertemu. Jadi ...." Ucapan wanita paruh baya itu segera dipotong Naima."Ah, bukan begitu, Mi." Hanna menggeleng berkali kali dengan cepat sambil menggerakkan dua tangan, sebagai penegasan bahwa yang dipikirkan mami mertua tidak benar.Namun, berbeda
Pasangan yang Terdzalimi"Gimana?" tanya Arista sambil mengeluarkan bundelan dari perutnya.Perempuan itu terpaksa memakai perut palsu berisi karet, agar tampak hamil, untuk bisa masuk melihat isi ruangan klinik dokter Henry. Pria yang kini menampung Adelia.Untung saja, asisten dokter itu tak memaksanya untuk melihat kondisi janin dengan USG, dengan alasan perutnya terasa mual jika disentuh. Arista bahkan meragukan sebelum melakukan itu, apa perawat itu akan percaya. Namun, tanpa ia duga sang perawat mengatakan hal itu bisa saja terjadi karena bawaan ibu ngidam itu beda-beda."Semoga di trimester tiga, udah gak mual lagi ya, Bu. Karena waktu melahirkan mau gak mau ada dokter dan perawat yang menangani Ibu."Arista manggut-manggut saja menanggapinya."Itu kenapa gak dilepaa sekalian?" tanya Bean menggoda."Hiss!" Arista mencebik. Mana mungkin dia melepas perut palsunya di depan Bean. "Jangan omes ya!""Hahaha. Bean tertawa."
Sebuah Kode Keras"Cepatlah! Ikuti mobil mereka. Kita perlu tahu apa yang sebenarnya Adelia rencanakan." Arista menyeru. Untuk menguasai dirinya dan mencairkan suasana yang sempat singgah di antara mereka."Ah, ya!" Bean menyahut cepat. "Ayo kita bekerja!"Pria itu mengikuti kemauan rekannya, dan segera melajukan mobil agar tak kehilangan jejak Adelia di depan sana. Bean sendiri mendadak merasa canggung pada wanita di sampingnya. Akan lebih mudah menghadapi Arista yang ceplas-ceplos dan menolaknya dibanding menghadapi wanita itu dalam kondisi malu-malu seperti sekarang.Mobil yang mereka tumpangi terus bergerak, lebih dari dua puluh menit dan belum juga ke tempat tujuan."Ke mana mereka kira-kira?" celetuk Arista yang membuat Bean terhenyak dari lamunan."Ah?" Pria itu menoleh sejenak, sebagai respon atas pertanyaan rekan kerjanya."Mungkin ke suatu tempat untuk merayakan pertemuan mereka.""Apa menurutmu mereka memiliki hubung
Dia Bukan Anakku"Wah, benar. Tujuannya adalah rumah Tuan Eksha." Bean mengucap sambil menajamkan pandang ke arah mobil yang bergerak memasuki kawasan rumah elit."Iya, kalau ke sini beloknya, memang rumah siapa lagi yang dituju kalau bukan rumah omnya." Arista menimpali."Hem. Ya. Telepon lah, Tuan Yusuf. Dia perlu tahu ini." Bean meminta pada Arista."Ya, kamu benar. Tuan Yusuf perlu tahu," timpalnya sembari merogoh ponsel di saku gamisnya.Namun, setelah melakukan panggilan beberapa kali tak ada jawaban dari ujung telepon. Padahal panggilan itu telah tersambung."Kenapa? Tak dijawab?" tanya Bean melihat wajah Arista yang kecewa."Yah." Arista mendesah panjang karena kecewa."Lalu, bagaimana? Apa kita halangi mereka masuk?" tanya Bean."Sudah terlambat, lagi pula mereka perlu bicara setelah Nyonya gila itu kabur.""Ck. Sepertinya kamu sangat membencinya," gumam Bean.Arista hanya melirik tak suka mendenga
Hikmah KehidupanEmosi dalam diri Adelia, membuat wanita itu tanpa sadar menekan tangannya di tubuh sang bayi, hingga sosok mungil di tangannya mengalami kesakitan dan menangis.Semua orang seketika menoleh pada Adelia. Risa yang merasa ada sesuatu teremas nyeri dalam hatinya, kala mendengar tangis bayi itu, segera mengambil kembali bayi dalam gendongan Adelia.Karena Bundanya fokus pada pernyataan Yusuf, ia tak sadar, dan dengan mudah, tanpa perlawanan tubuh bayi sudah beralih ke tangan neneknya lagi."Kamu seharusnya tak menyakiti bayi ini." Risa menyalahkan Adelia.Namun, lagi-lagi pikiran wanita yang belum lama melahirkan itu kosong, ia tak menangkap apa pun nasihat yang meluncur dari mulut tantenya.Eksha yang sempat berempati kini turut muak melihat tingkahnya. Jika dia saja bisa berlaku begitu pada bayinya di depan semua orang, bagaimana nanti jika dia membawa bayi itu?Henry menatap Adelia dalam, berusaha menyelidik apa yang d
EP Terakhir - Pujian"Pa, belum tidur?" tanya Zidan pada papanya yang tengah duduk di ruang kerjanya menatap layar komputer. Ia sengaja bertanya, sebagai isyarat meminta izin meminta masuk dan menggangu sang papa."Oh." Papa Zidan yang juga papa dari Hanna itu sontak mendongak. Menatap ke pintu, di mana asal suara datang.Meski pria tua itu tampak sibuk memandangi komputer, namun, kenyataan ... pikiran pria paruh baya itu tak sedang ada di sana. Ia terus kepikiran pada munculnya Alex di depan mereka hari ini. Seseorang yang ia pikir akan mendekam di penjara lebih lama.Putra sulungnya itu lalu masuk ke dalam. Ia duduk di sofa yang jaraknya berdekatan."Apa Papa tahu sesuatu tentang Alex?" Zidan menyampaikan kekhawatirannya melihat sosok Alex tadi pagi.Ia ingin menghubungi pemuda yang dulu jadi teman dekatnya tersebut. Akan tetapi, takut jika masalah justru akan bertambah rumit.Pria paruh baya itu menggeleng. "Aku tak tahu apa pun."
EP11 - Malam Pertama"Apa kamu sudah siap?" tanya Henry yang sudah berdiri di depan ranjang. Di mana Adelia tengah memeluk putrinya.Henry merasa sudah sangat bersih sekarang. Mandi dan menggosok tubuhnya lebih dari setengah jam. Menggosok gigi dan memakai parfum di mulutnya. Juga menyemprotkan ke seluruh tubuh yang hanya dibalut pakaian handuk."Hem?" Mata gadis kecil di pelukan Adelia sontak membuka sempurna.Saat itu Adelia memejamkan mata.Henry tampaknya tak tahu bagaimana harus mengatasi kondisi anak kecil yang akan tidur. Ini saja dia perlu mendongeng, bercerita tentang masa kecilnya, juga menjanjikan banyak hal menyenangkan untuk putrinya kalau dia mau tidur dengan cepat.Akan tetapi ... sekarang. Hanya dalam hitungan detik, Henry mengacaukannya."Ayah mau ke mana Bunda? Aku boleh ikut kan?""Huhhh. Sabar ....." Adelia mengenbus berat. Ia kemudian melirik pada Henry yang tampaknya juga sangat kecewa kala melihat gadis k
EP10 - Double Date (3)"Mau ke mana malam-malam begini?" tanya Maya pada Alex."Ke rumah teman. Bentar Mi." Pria yang sedang sibuk mengikat tali sepatu itu menyahut. Melirik sekilas wanita yang selama ini setia menemaninya."Lex, Mami gak mau kamu kena masalah lagi, ya." Maya mengingatkan. Sudah cukup mereka merasakan hidup lebih sulit dari sebelumnya tanpa Alex.Pikir Maya, sekarang ini, dua keluarga kaya itu pasti tengah mengawasi Alex dan mencari-cari kesalahannya."Iya. Mi. Tenang saja." Alex menyahut singkat. Kali ini ia telah berdiri tegak di atas kedua kakinya dan siap bergerak pergi."Aku pamit dulu." Pria itu menunjuk keluar, di mana mobil sudah siap di depan rumah mengantarnya ke mana saja."Ya." Maya melepas putranya dengan kondisi hati yang was-was. Berharap Alex bisa memegang kata-kata, dan tak membuat masalah di luar sana.***"Jadi tadi ... aku bertemu dan bicara dengan Alex, bahkan dia sempat mencengkeram
EP9 - Double Date 2Yusuf menyerah. "Kita bahas soal bulan madu kita saja.""Hah?" Mata Hanna membulat. Semudah itu? "Bu- bukan kita yang bulan madu, tapi mereka Mas.""Tapi kita diajak untuk meramaikan acara mereka." Yusuf tersenyum pada Hanna."Yeah! Itu lebih baik!" Henry berseru senang. Sejak awal pria itu memang terus terlihat senang. Apalagi ini adalah malam pertamanya dengan Adelia.Karena itu juga lah, Yusuf yang sebenarnya sangat kesal, menahan diri untuk tidak marah. Tak etis rasanya kalau harus merusak kebahagiaan pengantin baru karena kesalahan yang menurutnya tak disengaja."Btw, Mas bakal perjalanan bisnis ke mana?" tanya Henry."Ke Inggris. Kami perlu bertemu klien dan memeriksa lapangan untuk memutuskan apakah tanda tangan kontrak atau tidak." Yusuf menjelaskan hal yang tak Henry pahami."Yah ... kenapa ke Inggris. Kami baru mau rencana ke Turkey berkunjung ke Aya Sofia." Henry menyayangkannya."Wah, kali
EP8 - Double DateAlex mondar-mandir gelisah di dekat meja makan. Meski sang mami sudah menyediakan makanan lezat di atas meja, pria itu tampak tak berselera untuk menyantapanya."Lex kenapa tidak segera duduk dan makan?" tanya Maminya heran. Pemuda itu malah mondar-mandir gak jelas, dan membiarkan makanan sampai dingin."Mi, udah dapat telepon dari Tante Risa?" tanya Alex penasaran.Mami Alex menggeleng. "Belum, sabar. Sekarang dia pasti sedang berusaha keras membujuk Om kamu buat maafin kita."***"Waallaikumussalam. Mas Yusuf. Baiknya kamu pulang deh sekarang.""Hah? Pulang?" protes Yusuf. Dia bahkan baru sampai. "Ada apa?""Udah cepetan. Ini aku mumpung baik loh ngasih tau!" teriaknya memaksa di ujung telepon.Yusuf terbengong-bengong. Apa yang terjadi sebenarnya? Apa ini ada hubungannya dengan kerisauan hatinya. Atau pria itu cuma mengerjainya saja? Henry kan dikenal usil."Bilang deh. Kamu ngerjain aku, ya.
EP7 - Paksaan Henry pada YusufHanna tak ingin mempedulikan Alex dan berjalan begitu saja melewati pria itu. Namun, di saat bersamaan, tangan panjang Alex dengan cepat meraih lengan wanita tersebut. hingga langkah wanita itu terhenti.Merasa tak nyaman dan risih, Hanna menarik kasar tangannya. "Jaga perilakumu!" tekannya mengacungkan jari tepat ke wajah Alex, dengan tatapan tajam pada pria itu."Oke." Alex mengangkat kedua tangannya. Seolah takut pada ancaman Hanna. "Ck. Galak amat. Padahal aku udah berubah jadi anak baik." Senyumnya tipis. Ingin menunjukkan ketulusan pada lawan bicaranya, kalau dia memang sudah berubah.Hanna bergerak mundur, sekira tak lagi sampai Alex meraihnya. Tak ingin berlama-lama meladeni pria yang menurutnya gila, kakinya pun bergerak semakin cepat menjauh.Alex hanya bisa tersenyum. Tak mudah mengambil hati orang-orang yang disakitinya."Yah, semua perlu waktu. Aku akan mencoba memahami itu." Pria itu memiringkan s
EP6 - Apa Maumu, Lex!?Tujuan utama Alex ke rumah Adelia, selain membuat semua orang yang bahagia saat dia di penjara, terkejut dengan kedatangannya yang tiba-tiba, adalah untuk bertemu sosok wanita yang terus dirindukannya, Hanna.Setelah menemui Adelia dan suaminya, ia berkeliling mencari di mana Hanna berada. Namun, setelah mendapati Eksha dan tantenya Risa sudah tak terlihat, ia pun yakin bahwa Hanna juga sudah pulang bersama mertuanya itu. Apalagi Yusuf juga tak terlihat. Sepasang suami istri itu harusnya bersama, jika tak ada salah satunya, berarti satu yang lain pun tak ada.Merasa putus asa, Alex akhirnya memilih pulang saja. Dia bisa meneruskan keinginannya itu di lain waktu, dan beristirahat untuk sekarang. Sepulang dari lapas, punggungnya sama sekali belum bertemu tempat rehat, bahkan sekedar untuk bersandar. Di dalam mobil pun, tanpa sadar ia terus duduk tegap, karena serius menyimak penjelasan pengacara yang dibawa sang mami.Langkah lebar pr
EP5 - Bawa Aku, Mas!"Selamat ya," ucap Alex sembari menyodorkan tangan pada mempelai wanita yang kini sedang beristirahat di ruang ganti. Seluruh make up di wajahnya dibersihkan oleh penata rias.Adelia mengerutkan kening. Ia tampak tak mengenali pria itu, lalu menangkupkan dua tangannya. Kenapa ada pria asing yang bisa masuk ke ruang pribadinya. Keluarga atau kenalan dekat memang masih dibolehkan untuk masuk, tapi ia merasa tak mengenal Alex.Alex tersenyum. Meski kecewa respon yang didapat tak sebaik bayangannya. Dia lalu beralih ke mempelai laki-laki. Pria itu dengan terpaksa meraih tangan Alex."Selamat ya, Dokter em ...." Alex tampak berpikir. Bodohnya tak memperhatikan banner di depan dengan nama sepasang pengantin di sana."Henry. Nama saya Henry." Pria itu tersenyum tipis. Setelah bersalaman Alex pun menjauh."Siapa dia?" bisik Henry yang merasa aneh. Karena bahkan wanita yang sudah sah jadi istrinya itu tak mengenalnya."Ent
EP4 - Turunin, Mas!Hanna baru saja selesai mandi. Wanita itu keluar dari pintu toilet sambil mengeringkan rambut dengan handuk kecil."Kenapa pakai handuk kecil itu? Bakal lama selesainya. Itu ada hair dryer." Yusuf yang tengah menggendong Akhyar menunjuk ke arah lemari.Hanna menggeleng. Nanggung menurutnya. Pakai handuk kering sudah cukup simple tak perlu menyalakan mesin dan menggerakkannya ke kepala. Lagi pula mereka tak sedang buru-buru, karena takut kepergok berduaan di kamar itu."Ck. Pasti sengaja, ya. Mau goda," goda Yusuf dengan menyebut Hanna yang menggodanya."Ish, apa sih, Mas? Baru juga selesai. Masa goda lagi," protes Hanna sambil mencebik, melirik pura-pura kesal ke arah sang suami."Heleh. Pura-pura jaim." Yusuf tak menyerah. "Ya, kan, Dek." Kini tatapannya beralih pada batita dalam gendongan. Rasanya senang saja Hanna kesal, dan hanya memperhatikannya."Hehmh. Mas kali yang jaim. Padahal pengen lagi kan tapi ngomong