Agustus, 2009
Senyum riang tersungging di bibirnya ketika menapaki tangga di salah salah satu gedung universitas bergengsi di Indonesia ini. Dewintra Asyakina Manyana, seorang gadis dari pulau kecil yang berhasil membuktikan dirinya dapat diterima di salah satu universitas terbaik tanpa harus susah payah mengikuti tes masuk. Sejak SMA dia sangat menyukai dunia periklanan. Bagaimana hanya dengan sebaris kata – kata dapat membuat orang terhipnotis. Dew, begitu biasa ia disapa dengan senyum sumringah berjalan masuk ke gedung tempat penerimaan mahasiswa baru tingkat universitas akan diadakan. Nomor tempat duduknya berada di lantai. Ia menengadahkan pandangan ke sekeliling ruangan. Banyak dari mahasiswa baru yang tampaknya sudah saling mengenal dan saling berbincang akrab. Dew mendengus memikirkan nasibnya yang sampai saat ini belum memiliki teman baru. Ia punya teman SMA yang juga lulus di Universitas ini tetapi mereka berbeda jurusan dan nomor kursi mereka pun berbeda. Pada saat – saat seperti ini Dew merasa dirinya menyedihkan karena bukan orang yang dapat cepat akrab dengan orang baru. Pribaadinya yang tertutup begitu kontras dengan jurusan yang dipilihnya. Kadang ia bertanya – tanya kenapa ia bisa memilih jurusan ini.
Karena tak berani untuk hanya sekedar menyapa mahasiswa baru yang duduk disampingnya. Dew pun merogoh tasnya mengambil headset dari dalam sana dan kemudian memasang ke telinganya. Tak lama lagu, “Stand By Me”, dari SHINee mengalun merdu. Dew tersenyum mendengarkan lagu kesukaannya sembari membuka lembaran demi lembaran buku tebal profil universitas yang telah dibagikan pada mereka sebelumnya. Tak lama berselang, terdengar pengumuman dari koordinator acara bahwa acara akan segera dimulai.
. - . - . - . - . - . - . - . - . - . - . - .
Rangkaian kegiatan penerimaan mahasiswa baru berlangsung selama tiga hari. Dimulai dari penerimaan mahasiswa baru tingkat universitas, tingkat fakultas, dan kemudian tingkat jurusan. Pengisi acaranya pun beragam mulai dari nyanyian hingga tarian tradisional. Dew sangat terpukau dengan penampilan yang disuguhkan. Ia pun tak tau akan memutuskan bergabung di UKM apa.
Cuaca panas menerpa tubuhnya ketika keluar dari gedung tempat penerimaan mahasiswa baru tingkat jurusan diadakan. Hari ini adalah hari kedua kegiatan Penerimaan mahasiswa Baru diadakan. Sekarang jam makan siang dan ia bingung akan memakan bekalnya di mana. Sampai saat ini, terima kasih untuk dirinya yang introvert dan terlalu malu untuk hanya sekedar menyapa teman di samping tempat duduknya sehingga ia harus puas dengan makan siang sendiri. Dew tersadar dirinya sudah berada di samping danau buatan yang sekelilingnya ditumbuhi pohon sehingga kesejukan sangat terasa di tengah cuaca panas kota ini. Tadinya ia hanya berjalan untuk mencari tempat yang tenang untuk makan bekal makan siang. Dew tak tau ada tempat tenang seperti ini di sekitar fakultasnya. Dilangkahkan kakinya menuju salah satu bangku taman dan kemudian mendudukkan dirinya di sana. Dibukanya kotak bekalnya, hanya ada makan siang sederhana. Nasi, telur, dan juga tumis kangkung. Yah, memangnya apa yang bisa diharapkan dari kehidupan mahasiswa dengan ongkos yang pas – pas an? Ia menyendok makanannya dan mengunyah dalam diam. Dew bersyukur dirinya bisa memasak sehingga ia bisa menghemat biaya pengeluaran. Ia hampir tersedak ketika mendengar suara bass yang berasal dari belakang tempat duduknya. Dew menoleh sekilas, tampak olehnya seorang laki – laki berperawakan tinggi, berbadan tegap, memakai jaket jeans hitam dengan dalaman kaos putih, sepatu keeds putih, dan celana jins hitam. Laki – laki itu tampak sibuk berbicara di telefon sambil sesekali memijat pangkal hidungnya. Laki – laki itu memakai kacamata and he looks stunning.
What? Dew, apa yang kau pikirkan?. Dew tak sadar kalau matanya masih menatap laki – laki itu. Selama beberapa detik mata mereka bertemu. Dew langsung mengalihkan pandangannya dan menyibukkan dirinya menyendok makanannya. Dew hanya berharap semoga saja laki – laki itu tak menyadari kalau ia menatapnya. Ketika Dew sedang sibuk mengunyah suapan terakhir makan siangnya sebuah suara bass terdengar menyapanya yang kali ini berhasil membuatnya tersedak.
. - . - . - . - . - . - . - . - . - . - . - .
Suara dering ponsel pintar di saku celana jinsnya menghentikan langkahnya yang terburu – buru dikarenakan terlambat menghadiri presentase di depan mahasiswa baru. Ia sudah pasrah akan diomeli habis – habisan oleh sekretarisnya. Tapi, ia sedikit tenang karena tugasnya telah diambil alih oleh wakil ketua. Itu memang salah satu fungsi dari wakil ketua, kan? Ditekannya tombol jawab. Belum sepenuhnya benda itu ia dekatkan di telinganya tangannya bergerak kembali menjauhkan benda itu dari telinganya dikarenakan suara teriakan yang ia yakini akan membuat telinganya berdering saking cemprengnya.
“Wiraaaaa… kamu di mana?” Suara cempreng Gina, sekretarisnya langsung menyapa pendengaran Wira.
“Dekat danau fakultas.” Jawab Wira pendek.
“Awas ya, kalau sampai telat untuk rapat triwulan. Udah cukup tadi kamu gak hadir pas presentasi.” Ucap Gina.
“Iya… iya… tau. Tapi kamu kan tau tadi darurat.” Jawab Wira sembari memijit pangkal hidungnya mengingat kejadian tadi pagi yang membuatnya panik dan terburu-buru sehingga melupakan tanggung jawabnya. Ia merasa berubah menjadi ketua yang tak becus.
“Aku tau alasan kamu karena dia. Tapi, bisa gak dia bersikap dewasa? Dia kan bukan lagi anak-anak. Kamu bukan bodyguardnya yang harus siap 24 jam.” Sahut Gina berapi-api.
“Iya, aku ngerti. Tapi kamu juga kan tau kelemahanku itu dia.” Wira memijit kembali pnagkal hidungnya. Tanpa sadar pandangannya mengarah pada seorang gadis yang juga sedang memandanginya dengan tatapan menyelidik. Pandangan mereka bertemu selama beberapa detik yang kemudian diputuskan lebih dulu oleh gadis itu. Perhatiannya kembali teralihkan oleh suara Gina.
“Huh, belain aja terus dia. Emang, selama ini dia ngertiin kamu? Ucap Gina ketus.
Laki-laki itu terdiam tak mampu menjawab. Hanya desahan panjang yang terdengar. “Oke, aku tutup dulu. Cepetan ke sini. Awas, ngilang lagi.”
Wira menghembuskan nafasnya, seketika ia merasa lelah. Ingatannya kembali pada gadis yang dimaksud Gina. Hubungan mereka memang aneh dan rumit. Dirinya pun bingung menggambarkannya. Tanpa sadar langkah kakinya malah mengarah ke bangku panjang tempat gadis itu duduk sembari mengunyah makan siangnya. Ia melihat gadis itu sedang menyuapkan suapan terakhir dari makan siangnya ketika ia dengan tanpa pikir panjang menyapanya.
“Hai…” Sapa Wira pada gadis itu.
“Uhhukk…uhhuukk…” Gadis itu tersedak dan terbatuk-batuk dan dengan panik meraih botol air mineral yang ada di sampingnya dan kemudian meneguknya. Setelah sedikit tenang, pandangan gadis itu beralih menatapnya dengan alis yang bertaut pertanda heran, dari gesturenya yang Wira sempat tangkap seperti ada sikap defensif di situ.
“Hai,” Sapa Wira lagi yang masih belum ada tanggapan dari gadis itu. “Boleh aku duduk di sini? Pertanyaan Wira masih belum dijawab. Gadis itu memandangnya dengan tatapan yang bingung, heran, dan takut? Kenapa gadis itu seolah terlihat takut padanya? Apa yang kupikirkan untuk berjalan ke arahnya dan menghampirinya?
“Ah, ya. Hai…ehm, silahkan.” Gadis itu menjawab dengan satu tarikan nafas.
Setelah mendapat izin dari gadis itu. Wira mendaratkan pantatnya di bangku sembari melirik ke arah gadis itu yang terlihat sedang sibuk membereskan bekal makan siangnya dengan tergesa- gesa.
“Saya permisi.” Ucap gadis itu dengan suara yang hampir tak terdengar. Sebelum Wira sempat menjawab gadis itu sudah melesat pergi secepat yang ia bisa. Saking terburu-burunya gadis itu hampir jatuh terantuk akar pohon yang mencuat. Gadis aneh! Apakah ada sesuatu di wajahku? dan juga gadis itu begitu ceroboh.
. - . - . - . - . - . - . - . - . - . - . - .
Alvis Prawira atau Wira panggilan dari sahabatnya Wina tapi orang lain yang diluar lingkaran orang dekatnya memanggilnya Alvis. Seorang ketua BEM Fakultas Ekonomi yang dikenal tak banyak bicara, tapi memiliki kharisma yang membuatnya disegani. Sepak terjangnya dalam organisasi kemahasiswaan membuatnya dikenal sebagai ketua BEM yang tak pernah takut menyuarakan aspirasi banyak orang. Walaupun ia memiliki lingkaran pertemanan yang luas tapi hanya segelintir saja yang benar – benar mengetahui kehidupan pribadinya, salah satunya adalah Wina. Ia dan Wina sudah saling mengenal sejak SMP, SMA, hingga kuliah pun mereka secara kebetulan lulus di Universitas yang sama dan di Jurusan yang sama. “Hai, pak ketua,” sapa salah seorang pengurus BEM saat Alvis menjejakkan kakinya di pelataran dekat ruang BEM. “Hai,” balas Alvis sembari tersenyum “Dicariin Wina tuh dari tadi. Udah mencak-mencak dia dikit lagi kebakar tuh rambut saking panasnya.” Alvis hanya terkekeh me
Dew berjalan dengan lesu menapaki tangga kos menuju kamarnya yang berada di lantai 2. Ia bersyukur karena jarak kos dan kampusnya lumayan dekat. Bisa ditempuh dengan berjalan kaki sehingga ia bisa menghemat uang bulanan untuk hal – hal tak terduga. Kosannya ini terletak dekat dengan kampus dan berada di area yang memang banyak bangunan kos – kosan. Ia tak perlu dipusingkan dengan keperluan perut, mandi, dan kuliah karena hampir semuanya tersedia. Cukup sediakan uang. Ia melangkah masuk ke kamarnya dan langsung merebahkan dirinya di atas kasur busa sederhana. Kamarnya tak terlalu besar tidak juga sempit. Cukup untuk satu orang dengan satu buah lemari pakaian, satu buah rak buku, dispenser, dan penanak nasi. Itu sudah lebih dari cukup. Ingatannya melayang pada kejadian siang tadi di pinggir danau. Dew tersenyum mengingat kejadian tadi. Ia berharap laki – laki itu tidak menyadari perubahan warna pada wajahnya yang terlalu terkejut dan malu saat itu. Cukup Dew, jangan kebany
Alvis berlari kecil menuju gudang pusat kegiatan mahasiswa yang sudah terlihat di depan matanya. Ia semakin mempercepat langkhanya dikarenakan hujan yang semakin deras sambil mendekap erat Notebook yang ia sembunyikan di balik jaketnya. Pekerjaannya sedikit terganggu dikarenakan hujan yang turun saat ia tengah berada di tempat favoritnya di sebuah kursi panjang dekat danau. Tempat biasa ia mencari ide dan inspirasi menulis dan mengerjakan artikel yang akan ia kirimkan ke beberapa koran dan majalah. Gedung Pusat Kegiatan Mahasiswa atau mereka biasa menyebutnya PKM tinggal beberapa langkah lagi saat Alvis secara spontan memicingkan matanya untuk mempertajam indera penglihatannya, tak yakin dengan apa yang dilihatnya. Sejak pertemuan pertama mereka di danau, Alvis sempat beberapa kali sengaja melewati tempat itu berharap mungkin saja ia akan bertemu lagi dengan gadis itu tapi selalu saja berakhir dengan
Alvis berlari kecil menuju gudang pusat kegiatan mahasiswa yang sudah terlihat di depan matanya. Ia semakin mempercepat langkhanya dikarenakan hujan yang semakin deras sambil mendekap erat Notebook yang ia sembunyikan di balik jaketnya. Pekerjaannya sedikit terganggu dikarenakan hujan yang turun saat ia tengah berada di tempat favoritnya di sebuah kursi panjang dekat danau. Tempat biasa ia mencari ide dan inspirasi menulis dan mengerjakan artikel yang akan ia kirimkan ke beberapa koran dan majalah. Gedung Pusat Kegiatan Mahasiswa atau mereka biasa menyebutnya PKM tinggal beberapa langkah lagi saat Alvis secara spontan memicingkan matanya untuk mempertajam indera penglihatannya, tak yakin dengan apa yang dilihatnya. Sejak pertemuan pertama mereka di danau, Alvis sempat beberapa kali sengaja melewati tempat itu berharap mungkin saja ia akan bertemu lagi dengan gadis itu tapi selalu saja berakhir dengan
September 2018 Dew tersadar dari kenangan yang tanpa seiinnya menyeruak masuk. Mengingatkannya kembali pada sosok itu. Sosok yang sampai saat ini terkadang masih ia rindukan. Dew merasa miris pada dirinya sendiri yang hingga detik ini masih belum sepenuhnya move on. Dew mengedarkan pandangan di dalam lift yang isinya tak hanya ia sendiri. Ada seorang laki-laki kira-kira berusia sekitar dua puluh lima tahun dengan postur tubuh tinggi untuk ukuran orang Indonesia, wajah yang bersahabat, dan dilihat dari gerak-geriknya sepertinya dapat dikategorikan playboy, pikir Dew yang sedari tadi matanya sibuk memindai dari ujung kepala hingga ujung kaki. Dew berharap tindakannya tidak terlihat mencolok karena ia tau itu sangat tidak sopan. Mereka sempat saling berbalas senyum ketika sama-sama memasuki lift. Sementara di samping Dew berdiri dua orang yang ia taksir usia mereka sepantaran dengan dirinya. Pakaian yang mereka kenakan terlihat sangat berg
Galen masih tak percaya pada apa yang baru saja terjadi. Gadis itu ada di hadapannya. Dew ada di sini, brdiri di hadapannya. Ia tak berubah, masih sama seperti dulu. Tinggi badannya masih tetap sama, Suaranya, cara ia berkenalan, Dew yang kikuk, Dew dengan senyumnya yang menenangkan. Semuanya masih terasa sama. Ia hampir saja lepas kendali. Ingin rasanya ia menghampiri dan mebawa tubuh kecil itu ke dalam pelukannya. Betapa ia sangat merindukan Dew. Setelah bertahun-tahun pencariannya yang berakir nihil. Galen sudah mulai menyerah dan saat ia sudah hampir mencapai batasnya, ia dipertemukan dengan gadis yang selama ini selalu mengisi pikiran dan hatinya. Ia yakin gadis itu sama terkejutnya dengan dirinya. Dilihat dari ekpresi gadis itu tadi. Galen maklum dan paham benar mengapa Dew berpura-pura tak mengenalnya. Menurutmu bagaimana reaksimu ketika bertahun-tahun menghindar dan bersembunyi dan kemudian bertemu dengan orang yang ingin kau
Di hari pertama bekerja, Dew berusaha menyesuaikan diri dengan ritme kerja yang baru dan jenis-jenis pekerjaan yang akan ia handle nantinya di bawah pengarahan bang Agus. Walaupun diwarnai insiden sedikit keterlambatan tapi tim di divisinya tak mempermasalahkan hal itu. Ditambah lagi mereka adalah orang-orang yang kompeten di bidangnya dan orang-orang yang seru menurut Dew. Tapi, diantara semua itu ia bertemu kembali dengan Galen. Seniornya dulu semasa kuliah dan merupakan salah seorang yang ia hindari dan membuatnya harus bersembunyi selama tiga tahun sekaligus mengobati trauma yang ia derita. Dew tak bisa berbuat apa-apa selain menguatkan hati dan pikirannya untuk menyambut jabatan tangan itu. Sebenarnya, ia masih belum siap bertemu kembali dengan orang-orang yang membuatnya mengalami hal terburuk dalam hidupnya yang sangat ingin ia lupakan. Tiga tahun bukanlah waktu yang sebentar dan mudah ia lalui. Tapi, tak lucu k
“Udah ngetehnya, Dew?” tanya Tara tanpa mengalihkan tatapannya pada layar komputer. “Iya, Ra. Sempet ngobrol-ngobrol tadi di belakang sama Yono sama pak Galen juga.” “Oh, iya. Si Bos sempat ke sini tadi nanyain kamu. Trus aku jawab kamu lagi di pantry.” “Pak Galen nanyain saya? Emang ada apa?” “Ya ampun, Dew. Bahasamu pake saya. udah biasa aja sama gue juga ini.” “Pak Galen nanyain? Emang ada apa?” “Lah, emang tadi waktu ngobrol di pantry si Bos gak ngomong apa-apa? &n
Mobil yang dikendarai Alvis melaju membelah jalanan yang basah diguyur air hujan. Ia merutuki dirinya karena tidak dapat mengendalikan diri hingga terbawa emosi. Seharusnya ia bisa menahan diri. Terpaksa ia harus melewati hari ini dengan sendu. Padahal seharusnya hari ini ia bisa menikmati waktu yang berkualitas dengan Ai-nya. Kesempatan yang hanya bisa ia nikmati dan ia dapatkan di akhir pekan. Memang ada yang mengganggu pikirannya semenjak pertemuan keluarga besar. Tapi, sebisa mungkin ia sembunyikan tak ingin ia tunjukkan pada Dew. Larena pasti Dew akan menyalahkan diri sendiri jika mengetahuinya. Sejak pertemuan keluarga besar Komunikasi dengan ayahnya semakin sengit ditambah lagi keluarga besar ayahnya yang mengetahui apa yang ia lakukan selama hampir dua bulan di kantor cabang. Ayahnya masih bersikeras dengan pemikiran dan tindakannya. Alvis bersumpah kali ini dia tidak akan mengalah. Dulu ia tak bisa berkutik karena tak memiliki kekuatan dan pengaruh. Dia tak akan melepas apa ya
Minggu pagi yang mendung membuat joging yang sudah direncanakan batal. Dew, Tari, Galen, dan Alvis memang berencana akan mengisi minggu pagi dengan joging bersama di taman kota. Sebenarnya ini semua adalah ide dari Tari. Karena melihat perkembangan Dew dan juga kegigihan Alvis yang luar biasa. Dew memang sudah mulai terbiasa dengan keberadaan Alvis tapi ia masih takut jika hanya berdua saja. Ketakutan dan kegelisahan kalau-kalau ada wartawan yang mengenali Alvis dan memotret mereka berdua. Bayang-bayang kamera membuatnya tiba-tiba mual. Jadi, disinilah dia duduk di dekat balkon sambil memandangi hujan yang terus turun tak ada tanda-tanda untuk berhenti. Tari masih sibuk video call an dengan suaminya. Tak terasa sudah hampir tiga bulan ia tinggal di rumah Tari. Dew merasa bersalah karena ia sudah sering merepotkan. Karena kondisinya, Tari memutuskan untuk memperpanjang liburnya di Indonesia tentu saja atas izin suaminya. Walaupun sebenarnya Tari tak perlu melakukan itu. Dew merasa dirin
Tak terasa sudah seminggu berlalu sejak kejadian ia tiba-tiba izin sakit. Dew bersyukur orang-orang yang sedivisi dengannya tidak heboh bertanya macam-macam. Entah seperti apa Galen menyampaikan kepada mereka dan apa yang Galen sampaikan ke mereka. Berbicara tentang Galen, Dew bisa bernafas lega karena sampai saat ini ia maaih mempertahankan profesionalitasnya. Bosnya itu hanya akan bertibgkah dan mengusilinya jika hanya ada mereka berdua saja. Saat ini, bosnya itu dan bos besar siapa lagi kalau bukan Alvis tengah berada di ruangan Galen. Mereka sedang berbincang tentang keberhasilan salah satu proyek yang kantor ini tangani. Sesekali terdengar gelak tawa dari dalam ruangan. Sepertinya mereka berdua sedang bahagia. Tak lama kemudian pintu ruangan Galen terbuka dan keduanya keluar dari ruangan. "Perhatian-perhatian untuk merayakan keberhasilan proyek desain logo dan branding Mall Kerinci Mass pulang kantor kita adakan makan bersama di Sky Lounge Resto Palm Tree." ucap Galen yang disamb
Dalam perjalanan menuju rumah Dew, Alvis memandang sekotak kue rasa vanilla kesukaan Dew dengan senyum lebar. Sedari tadi ia menyusun kata-kata apa yang akan ia ucapkan jika sampai di rumah Tari tapi otaknya buntu. Mobilnya perlahan memasuki halaman rumah Tari. Ia telah menelfon Tari sebelumnya, memberi kabar akan kedatangannya sekaligus meminta izin. Tari memperbolehkannya datang tapi tidak menjamin Dew akan menemuinya.Alvis diarahkan oleh Mang Dedi menunggu di ruang tamu. Tak lama berselang minuman segar dihidangkan di hadapannya. Ia terlihat gelisah, harap-harap cemas dengan reaksi Dew. Sepuluh menit menunggu yang terasa seperti selamanya terlihat sosok Tari menuruni tangga tanpa Dew. Alvis tau jika hari ini bukan hari keberuntungannya."Sori," ucap Tari."Gak masalah. Aku ngerti, kok. Aku gak berharapa banyak di percobaan pertama langaung berhasil.""Diminum, gih." Tari mempersilahkan Alvis menikmati minuman dingin yang nampaknya belum disentuh sedari tadi.
Sudah sejam lebih Alvis duduk termenung memikirkan pertemuannya dengan Tari. Alvis tak menyangka akan seberat ini dramanya. Pengaruh ayahnya tidak main-main. Masih jelas dalam ingatan tentang kejadian itu. Setelah orang tuanya dan orang tua Bela mengumumkan pada publik bahwa mereka telah berkencan membuatnya serasa mendidih. Ia hendak menjelaskan semuanya pada Dew agar tidak ada kesalahpahaman. Tapi, bahkan ia tak pernah lagi ketemu dengan Dew, seperti ditelan bumi. Hilang tanpa jejak. Usahanya untuk menghubungi teman-teman atau keluarga Dew menanyakan keberadaan Dew tapi selalu nihil. Dew, gadis polos dan penuh semangat. Dengan segala kesederhanaannya dan tingkah yang agak unik menurut Avis terlihat begitu nampak diantara beberapa gadis yang pernah membuatnya jatuh hati. Dewnya yang rapuh, ingin rasanya memeluknya dan menjaganya. Melindungi dari berbagai orang-orang jahat di luar sana.Sekarang, ia bertekad akan kembali membuat Dew jatuh cinta untuk kedua kalinya. Ia memikir
*Flashback*Sepanjang perjalanan menuju rumah Tari, Dew terus menerus membujuk Tari untuk menceritakan ada apa sebenarnya. Tapi Tari bersikukh untuk menjelaskan semuanya ketika mereka sudah sampai di rumah. "Sekarang tolong jelasin ke gue ada apa sebenarnya", tuntut Dew begitu mereka bertiga baru saja mendaratkan bokong di kursi ruang keluarga Tari. Tari dan Galen saling berpandangan mereka khawatir bagaimana reaksi Dew nantinya."Semalam Alvis kebingungan karena kamu gak bisa dihubungin..." Galen memulai pembicaraan dengan gugup. "Ia akhirnya menghubungi Taro dan minta tolong untuk nyariin kamu karena kondisi semalam mengharuskan dia berasa di Rumah Sakit menemani Bela. Itu bukan keinginannya tapi dia dipaksa untuk melakukan itu.""Iya gue paham, kok. Bela lebih penting dari segalanya bahkan gue.""Gak, bukan gitu. Alvis hanya panik aja. It's always you.""If it's always me, dia gak bakal ninggalin gue nunggu kayak orang bego hampir dua jam gak ada kabar."
FlashbackKeesokan harinya mereka berdua berangkat ke kampus karena hari ini hari terakhir ujian semester. Sepanjang jalan Tari mengamati ekspresi Dew yang tanpa ekspresi sejak keluar dari rumah. Tari sengaja menyuruh Dew untuk menonaktifkan ponselnya menghindari agar tidak dihubungi oleh Alvis dan membuat keadaan semakin keruh. Ia pun menonaktifkan gawainya setelah pembicaraannya dengan Galen semalam. Setelah memarkir mobilnya keduanya segera menuju ruang kelas. Sepanjang jalan seperti ada yang tak beres. Tari merasa sepanjang jalan menuju kelas hampir semua orang memperhatikan mereka berdua tapi ditepisnya hal itu dan tetap melanjutkan langkahnya menuju kelas. Memasuki ruang kelas keadaan yang sama juga terjadi. Tari tak tau entah Dew sadar atau tidak tapi melihat dari keadaan dan reaksi Dew sepertinya gadis itu tak memperhatikan sekitar. Mereka memilih duduk di barisan tengah tidak terlalu menonjol tidak terlalu ke belak
FlashbackSecepat kilat Tari bangkit dan segera menyambar kunci mobilnya, “Lu di mana sekarang?” Kakinya tergesa-gesa menapak turun dari lantai dua dan berlari menuju basement tempat mobilnya terparkir dan menjaankan mobilnya menuju tempat yang Dew sebutkan. Sepanjang jalan dia sibuk menyumpahi Alvis. Ia bingung apa yang sebenarnya terjadi tapi tidak dengan meninggalkan Dew menunggu lama tanpa memberi kabar. Padahal hari ini Dew seharusnya bersenang-senang menikmati waktu yang bahagia. Hujan di luar masih deras, mobilnya memasuki area parkir sebuah pasar loak. Tempat ini adalah tempat healing bagi Dew. Dew selalu kesini jika sedang banyak pikiran dan juga untuk menenangkan diri. Hanya dia saja yang Dew beritahu tempat healingnya.Diparkirnya mobilny dengan tergesa-gesa dan seger berlari ke arah dalam pasar. Ia tau tepatnya dimana Dew menunggunya. Tempat itu sebuah taman kecil yang terl
BAB 22Alvis berjalan dengan terburu-buru. Semalam ia tak dapat memejamkan mata, akibatnya ia tak dapat fokus ke pertemuan penting yang membicarakan kontrak senilai milyaran rupiah. Alvis bersungut dalam hati pada sekretarisnya di kantor pusat karena dengan liciknya menyelipkan jadwal di tengah waktu lengang yang sudah lama ia rancang demi mengistirahatkan hati, otak, dan pikirannya sembari melanjutkan misinya mencari Dew. Mencari Little Ai-nya yang ternyata semesta mempertemukan mereka di sini. Di kota yang tak terpikirkan oleh Alvis. Untung saja ketidakfokusannya bisa diisi oleh Galen yang cepat tanggap membaca situasi dan keadaan. Ia terlambat tiga puluh menit dari waktu janjiannya dengan Tari. Hampir semua meja di restoran terisi penuh karena masih jam makan siang. Segera ia langkahkan kakinya menuju meja yang sudah lebih dulu dipesan oleh Tari.“Hai, maaf. Aku terlambat.” ucap Alvis merasa tidak enak.“Tak apa. Ak