Seseorang Melamar Rania
Pagi ini, kulihat ibu sibuk, berbagai macam bahan makanan tertata di dapur. Ayam, sayuran, telur, tahu, tempe, banyak sekali. Seperti akan kedatangan tamu saja.
“Kok diem aja, Sayang, buruan mandi lalu bantu ibu,” perintah ibu padaku.
“Baik, Bu,” jawabku dan segera berlalu ke kamar mandi lalu menunaikan salat subuh.
Setelah melaksanakan kewajibanku, aku menemui ibu. “Hari ini akan ada tamu istimewa, bantu ibu ya, Sayang,” ucap ibu dengan lembut dan penuh kasih sayang.
“Siap, Ibuku sayang,” balasku dengan sopan.
Pagi ini kesibukanku diisi dengan membantu ibu memasak. Jadi aku putuskan untuk tidak berjualan kue hari ini. Kue setengah matang yang sudah kusiapkan, bisa kusuguhkan untuk tamu ibu saja. Siapa tahu mereka suka dan tertarik untuk memesan di kemudian hari.
Tak terasa hampir masuk waktu shalat dhuhur, semua hidangan sudah tersaji di meja. Ayah juga sudah rapi, hendak ke masjid dan siap menyambut tamunya.
Siapa ya kira-kira tamu istimewa beliau? Jadi penasaran.
Ibu memintaku segera membersihkan diri, dan turut menyambut tamunya.
Setelah salat zuhur, aku segera menyiapkan minuman, ada sirop, teh hangat dan kopi.
Tamunya sudah dekat, kata ibu. Alhamdulillah minumannya tidak keburu dingin ketika tamu ayah dan ibu datang.
"Assalamu'alaikum warrahmatullahi wabarakatuh," dari depan kudengar suara yang tak asing.
Apa itu tamu ibu? Aku tak berani keluar dari dapur. Karena sudah mendapat tugas mengantar minuman, setelah menunggu instruksi dari ibu.
"Wa'alaikumsalam warrahmatullahi wabarakatuh, monggo pinarak, nyuwun pangapunten menawi mboten wonten persiapan istimewa," kudengar ayah menjawab salam dan mempersilahkan tamunya masuk.
(Silakan masuk, mohon maaf jika tidak ada persiapan istimewa)
"Inggih mboten menapa, sampun diterami mawon, dalem sekeluargi sampun bungah," jawab tamunya ayah dan ibu.
(Iya, tidak apa-apa, sudah diterima saja, kami sekeluarga sudah senang)
Dari dalam, semakin penasaran aku, kok sepertinya hafal dengan suaranya, tapi aku tidak berani berspekulasi.
Seperti suara pak Halim, ayahnya Reno. Mungkin hanya perasaanku saja. Aku terlalu berhalusinasi mungkin. Hehehehe. Aku terkekeh dalam hati sambil tersenyum.
Ibu masuk ke dapur dan mengajakku keluar. "Ayo, Nduk, bantu ibu membawa minuman dan kue buatanmu ini," perintah ibu.
"Inggih, Bu," (iya bu) jawabku kalem, aku tidak berani bertanya pada ibu siapa tamunya. Karena sebentar lagi aku pasti bisa menyaksikan sendiri, apakah betul pak Halim sekeluarga atau bukan. Hatiku rasanya deg-degan.
Kulangkahkan kaki menuju ruang tamu mengantarkan minuman yang diminta ibu.
Tarik napas yang dalam, keluarkan, berkali-kali kulakukan menghilangkan perasaan tak karuan dalam hatiku. Dari dapur hanya tampak punggung tamu ayah dan ibu.
Ternyata cuma dua orang saja. Kenapa ibu sampai heboh memasak, sepertinya akan ada sekitar 7 atau 8 orang tamunya.
Aku merendahkan langkahku, menunduk dan menyajikan minuman di meja. Aku takut menatap tamuku. Melirik juga tak mampu. Nervous sekali rasanya. Bahkan nampan hampir jatuh, karena degup jantungku benar-benar tak karuan.
'Kenalkan, Nduk, mereka adalah sahabat ayah dan ibu," kata ayah.
Aku bergegas berdiri lalu mengulurkan tanganku dan mencium tangan tamu ibu yang perempuan.
"Dalem Rania, Bu," ucapku lega. Ternyata bukan pak Halim dan Bu Halim.
(Saya Rania, Bu)
"Masyaallah, wes gede saiki, ayu pisan Nduk. Jare ibumu wes lulus kuliah Nduk?" kata tamu ibu.
(Masyaallah, sudah besar sekarang, cantik kamu Nak. Kata ibumu, kamu sudah lulus kuliah ya Nak?)
"Inggih Bu, alhamdulillah, matur sembah nuwun sanget, pangestunipun Bu, Pak," jawabku santun.
(Iya Bu, alhamdulillah, terima kasih banyak doa dan dukungannya Bu, Pak)
"Beliau adalah sahabat ayah dan ibu sejak SMA Nduk, kami berpisah sejak Pak Salim dan Bu Salim dipindah tugaskan ke Kalimantan. Beliau sempat kenal kamu waktu baru lahir. Bahkan Bu Salim yang mengantar dan menemani ibu melahirkan kamu. Karena ayahmu masih di kantor, dan segera menyusul ke rumah sakit," jelas ibu panjang lebar.
Ternyata bukan Pak Halim tamunya. Lega rasanya hatiku, kukira Reno akan membawa ayah dan ibunya kemari untuk meminangku. Ternyata anganku terlalu tinggi. Hehehehe...
Terang saja aku takut, kejadian semalam benar terjadi.
"Dulu waktu baru lahir, ibu yang menggendong kamu, Rania, karena ibumu habis operasi, jadi belum bisa bangun. Kamu dulu lucu, mungil, cantik," cerita Bu Salim.
"Bahkan kami juga berencana menjodohkan kamu dengan anak Pak Salim dan Bu Salim, karena kalian seumuran. Anak Bu Salim lahir lebih awal sekitar 5 bulan sebelum kamu. Kalian juga sejak bayi sudah bermain bersama. Bu Salim terkadang main kesini, atau ibu yang main ke rumah Bu Salim sambil menggendongmu," kisah ibu sambil mengingat masa kecilku dulu.
Apa aku tak salah dengar? Dijodohkan? Oh tidak, aku takut, aku belum siap, atau aku tak siap. Apalagi aku belum mengenal putra Bu Salim dan Pak Salim. Apakah dia baik hati? Apakah penyabar? Aku juga belum siap menikah.
Aku menangis, tapi dalam hati, tak berani kuungkapkan. Aku hanya sesekali menunduk mendengarkan ibu dan Bu Salim bercerita.
"Jangan khawatir sayang, ibu dan ayah serta Pak Salim sekeluarga juga tidak memaksamu, kalau kamu sudah ada pilihan lain juga tak mengapa. ibu yakin, kamu akan cocok dengan pilihan kami. Namun kami tetap tidak bisa memaksa keinginanmu, Sayang," tutur ibu padaku, yang sepertinya memahami kegelisahan hatiku.
Aku hanya mengangguk mendengarkan penuturan ibu. Tak berani aku menjawab dan membantah ucapan ibu. Bisa dikutuk jadi jambu monyet nanti aku. Hehehehe.
Ya sudahlah, jika memang seperti ini jalan hidupku, kuikuti saja alurnya. Kembali kuingat, tujuan awalku membahagiakan ayah dan ibuku. Jika dengan menerima tawaran ayah dan ibu bisa membuat mereka bahagia, akan kuusahakan.
"Ayo makan dulu, nanti keburu dingin makanannya, itu tadi Rania yang masak, rajin sekali dan pandai memasak dia," tutur ibu pada Bu Salim dan Pak Salim.
"Anak ibu itu sederhana Rania, kamu tahu makanan kesukaannya? Tempe goreng. Dia suka sekali tempe goreng sama sambal. Kalau ibu masak ayam goreng atau ikan, dia lebih memilih tempe goreng. Bahkan dia pernah cemberut, karena ibu lupa membeli tempe, karena kesiangan belanja, jadi kehabisan tempenya," kisah Bu Salim.
Tempe? Itu kan makanan kesukaan Reno? Kok bisa sama ya? Aduh... Jangan-jangan. Sudahlah, aku lelah berandai-andai.
Pak Salim membuka pembicaraan, setelah dari tadi kulihat beliau hanya diam saja menyaksikan kedua bidadari surga berkisah.
"Jangan takut Rania, bapak dan ibu tidak memaksa, kalau Rania tidak cocok dengan anak kami, kamu bilang saja," jelas Pak Salim.
"Maaf anak bapak datang agak terlambat, karena masih menyelesaikan urusan pekerjaannya," sambung Pak Salim.
"Assalamu'alaikum," kudengar dari arah depan ada suara salam. Aku tak bisa melihat siapa tamunya. Karena posisiku duduk membelakangi pintu.
"Wa'alaikumsalam," kami serempak menjawab salam dari tamu yang datang.
"Bu Halim dan Pak Halim, silakan masuk," sambut ayah.
Akhirnya aku berdiri hendak menyambut para tamu yang datang. Ada perlu apa ya Pak Halim dan Bu Halim? Apa mereka bersahabat juga?
Hatiku sangat kacau. Seperti lagu balonku. Kenapa hari ini jadi membingungkan ya?
Ternyata di belakang mereka ada Reno juga.
"Hai cantik," sapanya.
"Makasih," jawabku datar.
"Monggo langsung dhahar mawon, sampun siang," ucap ayah.
(Silahkan, langsung makan saja, sudah siang)
Ayah dan ibu mengantar para tamu ke meja makan. Aku masih duduk di kursi karena bingung ada apa ini sebenarnya. Karena semua hidangan sudah disiapkan, jadi aku tidak perlu repot lagi.
Reno menghampiriku. "Kenapa cemberut begitu?"
“Lagi sedih."
"Sedih kenapa?"
"Mau tau aja apa mau tau banget? Hehehehe," tawaku.
Reno ikut tertawa. Iya aku tahu, kita tidak boleh mengecewakan tamu, jadi aku berusaha menghapus kegundahan hatiku.
Apa mungkin Reno bukan anak pak Halim? Tapi anak pak Salim? Karena kulihat kemiripan pada wajah Reno dan pak Salim. Sepertinya pak Salim dan pak Halim bersaudara.
Baiklah, aku sudah siap, jika memang tujuan utamaku adalah membahagiakan ayah dan ibu, aku akan menerima lamaran Reno.
Sebenarnya, sejak SMA, aku juga mulai suka sama Reno. Tapi aku belum berani menyatakan dan aku tidak mau berpacaran. Karena pasti akan membuatku kesulitan mengatur waktu untuk belajar dan berjualan.
Baiklah, demi membahagiakan ayah ibu dan kalian para pembaca setia, aku terima saja ya lamaran Reno? Hehehe.
Padahal mereka juga belum menyampaikan, apa benar Reno yang sudah dijodohkan denganku. Kalau bukan Reno, aku harus bagaimana?
"Ayo, Rania, ajak Reno makan juga. Ayo Reno makan dulu, kamu pasti capek habis pulang kerja. Masakannya Rania enak loh. Kamu pasti suka," kata ayah.
Kami berdua melangkah menuju meja makan. Aku malas makan, karena pikiranku lelah. Apa hubungan Reno dengan ini semua.
Kemarin kan Reno bilang mau melamar seorang wanita, tapi siapa? Apa itu aku? Kenapa aku jadi galau ya?
"Kenapa melamun?" tanya Reno.
"Hehehe," jawabku.
Semua memuji masakan ibu, tapi ibu menolak, ibu mengatakan bahwa itu masakanku. Aku jadi malu, karena aku tidak pandai memasak, ibu yang pandai memasak.
Setelah selesai makan bersama, kami kembali berkumpul di ruang tamu.
Ayah mulai menyampaikan kepadaku maksud dan tujuan pak Salim dan istrinya, serta kehadiran keluarga pak Halim.
"Kulo haturaken matur sembah nuwun sanget dateng pak Salim kalian pak Halim sekeluargi. Dalem sekeluargi nyuwun agungipun pangapunten menawi suguhanipun tasih katah kekirangan," kata ayah.
(Saya mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya pada pak Salim dan pak Halim sekeluarga. Kami sekeluarga mohon maaf jika masih banyak kekurangan.)
"Sami-sami pak Wahyu, dalem sekeluargi ngaturaken agungipun samudra pangaksami, menawi sampun ngerepoti panjenengan sekeluargi," ucap pak Salim.
(Sama-sama pak Wahyu, kami sekeluarga menyampaikan maaf yang sebesar-besarnya sudah merepotkan keluarga pak Wahyu.)
"Mugi pertemuan sakmeniko saget mbeto kebarokahan saha ridhonipun pangeran," sambung pak Salim.
(Semoga pertemuan saat ini bisa membawa keberkahan dan ridho Allah)
"Aamiin," kami semua serempak menjawab doa pak Salim.
"Pak Wahyu, kami memohon ijin, untuk menyampaikan tujuan utama kami silaturahmi ke rumah pak Wahyu. Kami ingin memperpanjang tali persaudaraan. Kami hendak melamar Rania untuk anak kami," sambung pak Salim.
"Sebelumnya kami sampaikan terima kasih atas pinangan yang ditujukan untuk putri kami. Namun semua keputusan ada di tangan Rania. Karena kami tidak mau memaksakan kehendak kepada anak," tutur ayah.
"Assalamu'alaikum," tiba-tiba dari pintu ada salam dari seorang perempuan. Ternyata Reni datang dengan tergopoh-gopoh dan sepertinya berlari. Karena nafasnya masih terengah-enggah.
"Jangan ambil Kak Reno dariku. Aku sayang sama Kak Reno. Aku tak mau berpisah dengannya," dengan lantang Reni mengungkapkan isi hatinya.
"Wa'alaikum salam, duduk dulu Reni," ucap bu Halim.
Baru kutahu sekarang, apa mungkin saat itu Reni menangis karena takut kalau aku merebut Reno darinya? Ternyata salah paham, beruntung saat itu aku langsung mengambil keputusan untuk menolak jemputan Reno.
"Siapa yang mau memisahkan kamu sama Reno?" tanya Bu Halim.
"Mama sama papa mau menikahkan mas Reno dengan kak Rania kan Karena yang aku tahu, seorang adik akan kehilangan kasih sayang kakaknya setelah dia menikah. Dia akan sibuk mengurus istri dan keluarga barunya. Sehingga lupa dengan keluarga aslinya, bahkan lupa dengan darah dagingnya.”
"Sepertinya kamu salah paham Reni. Yang akan menikah bukan Reno. Tapi anak Pakde Salim," kata pak Halim.
"Benaran bukan mas Reno?" kata Reni meyakinkan.
"Iya, Sayang, bukan Reno," kata bu Halim.
Tiba-tiba ada suara gawai berdering.
"Permisi, saya ijin mengangkat telepon," kata Reno sambil berlalu keluar pintu rumah.
"Iya benar yang pagar hitam," kata Reno sambil melambaikan tangan, entah kepada siapa.
Tak lama kemudian Reno menuju pintu rumah lagi, bersama seorang lelaki yang seumuran dengan kami, dan tentu saja tampan juga, sama seperti Reno. Ups, keceplosan aku. Iya sih, harus aku akui Reno memang tampan. Banyak juga cewek di kampus yang memperebutkannya.
"Assalamu'alaikum," salam lelaki itu sopan sekali.
"Wa'alaikumsalam," kami serempak menjawab.
"Mari masuk, silakan duduk," sambut ayah pada tamu yang baru datang bersama Reno.
"Alif, ini pak Wahyu dan Bu Wahyu," kata pak Salim.
Lelaki yang bernama Alif mengulurkan tangan dan mencium punggung tangan ayahku. Pada ibu, hanya menangkupkan tangan di depan dada. Sepertinya tipe pria idaman juga. Hehehe.
"Rania, perkenalkan ini Alif putra kami. Lulusan S2 Harvard. Dari SMP ke SMA mengikuti aklerasi (kelas percepatan). Jadi Alif sudah lulus S2," terang pak Salim.
Pak Salim bercerita kalau Alif sudah merintis perusahaan di Jakarta sejak lulus S1. Alif membangun usaha bersama sahabatnya waktu kuliah S1 di Universitas Indonesia. Jadi Alif bisa memantau perkembangan perusahaannya ketika dia kuliah S2 di Harvard.
Sesuai dengan janjinya, pak Salim memberiku kesempatan untuk kenal lebih jauh dengan Alif. Jika memang cocok, bisa dilanjutkan ke jenjang pernikahan. Jika tidak, aku diharapkan segera menyampaikan pada keluarga beliau.
Kemudian Pak Salim dan Pak Halim sekeluarga berpamitan setelah selesai acara silaturahmi di rumah kami.
Bab 7Reno patah hatiShock, aku tak percaya, hatiku hancur. Semalam aku memang mengerjai Rania, dengan berpura-pura melamarnya. Karena sesungguhnya aku masih sangat mencintainya. Cinta yang kupendam sejak SMP, akan aku sampaikan jika Rania sudah lulus kuliah.Awalnya aku ingin melihat raut wajahnya saat aku melamarnya. Apakah dia akan marah atau tersipu malu? Ternyata nampak bahwa Rania tersipu malu. Jadi ada harapan bahwa sesungguhnya dia juga suka padaku. Mungkin hanya malu untuk mengungkapkan perasaannya. Memang dulu waktu SMP dia menolakku, pasti karena kami masih terlalu kecil.Rencananya hari ini akan kusampaikan pada ayah dan ibu bahwa aku menyukai Rania dan meminta mereka untuk meminangnya.Namun, semuanya terlambat. Ternyata Pakde Salim — kakak ayahku, terlebih dahulu telah meminang Rania untuk Alif, putranya.Ibu menyampaikan padaku, untuk
Bab 8Hari pernikahan Rania dan Mas AlifHari yang ditunggu akhirnya datang juga. Keluargaku dan keluarga Pakde Halim bersiap-siap untuk persiapan acara pertunangan di rumah Rania. Sebulan setelah hari kedatangan keluarga besarku ke rumah Rania, orang tuanya datang ke rumah kami, menyampaikan bahwa Rania menerima lamaran Mas Alif.Hari ini kulihat Mas Alif nampak bahagia, Pakde dan Budhe Halim nampak sibuk mempersiapkan semuanya. Setelah semua siap, kami segera berangkat ke rumah Rania, jalan kaki saja karena dekat, hanya berjarak tiga rumah.Semua nampak bahagia, tapi tidak denganku. Aku sudah berusaha menghapus rasa cintaku pada Rania. Namun tak semudah itu kenyataannya. Sepertinya aku tak ingin menghadiri acara pertunangan mereka, karena akan membuat luka semakin dalam di hatiku.Aku berusaha tetap tersenyum dan turut berbahagia, walau hatiku tidak. Karena aku tak ingin Mas Alif mengetahui
Bab 9Aku rindu RaniaGawaiku berdering, kulihat nama Rania disana. Ada apa Rania menghubungiku di malam hari? Bukankah seharusnya Rania dan Mas Alif sedang berbulan madu ke Bali? Aku coba mengabaikan sambungan telepon dari Rania, mungkin dia salah tekan nomer. Aku belum siap mendengar suaranya.Akhirnya dering gawaiku berhenti. Sudah kupastikan Rania salah sambung, dia pasti tidak menghubungi aku lagi. Aku melanjutkan tidurku, lelah setelah seharian menyelesaikan pekerjaan kantor, harus meeting dengan pimpinan pusat dan presentasi dengan salah satu klien. Aku segera memejamkan mataku, namun sebelumnya aku setel gawaiku mode diam, karena aku tak ingin diganggu malam ini, esok hari masih banyak berkas yang harus kuselesaikan juga.Tak terasa suara alarmku berbunyi, waktu menunjukkan pukul tiga dini hari. Segera kuraih gawaiku, kumatikan alarm tanpa melihat notifikasi yang masuk di layar benda pipih itu. Sudah menja
Bab 10Rahasia RaniaAku bisa merasakan cinta yang luar biasa bila bersamamu. Namun kini kau telah pergi menjauh, tak dapat kurasakan lagi cintamu. Mengapa aku tak bisa menghapus cinta ini? Mengapa hadirmu selalu menjadi bayang-bayangku?Rania, aku mencintaimu. Aku menyesal karena gagal mendapatkan cintamu. Seandainya kau tahu bahwa sampai detik ini rasa itu tetap ada dan tetap sama seperti awal kita bertemu.Bayang-bayang Rania terus menari di dalam pikuranku. Segera kupacu mobilku agar bisa sampai lebih cepat ke kantor, karena aku ingin segera menghubungiku Rania. Kenapa harus menunggu sampai kantor? Bukankah sekarang aku sedang sendiri? Aku bisa segera menghubunginya.Kutepikan mobil ke tempat yang aman lalu kuraih gawaiku dan menghubungi nomer Rania. Nada panggil tersambung, berkali-kali berbunyi, tapi tak ada sahutan dari seberang sana. Kenapa lama sekali Rania menerima teleponku, membuat
Bab 11Terungkapnya rahasia RaniaKami berjalan memasuki lift, setelah pintu terbuka. Kulihat Rania menekan tombol angka tiga. Aku masih bertanya-tanya, sakit apa Mas Alif hingga Rania memaksaku untuk datang kesini. Apa Mas Alif terbaring di rumah sakit ini?Pintu lift terbuka, Rania keluar terlebih dahulu, aku mengikutinya di belakang. Dekat dugaanku benar, karena sampai detik ini tak kulihat sosok Mas Alif. Kami duduk di sofa ruang tunggu, disana terdapat beberapa pintu, setiap pintu bertuliskan nama dokter dan gelarnya serta nama ruangannya.Kubaca salah satunya poli anak dr. Harjoedi Hadiningrat. Ada juga poli obgyn dr. Dewi Kumala Sari. Sekitar lima menit kami menunggu, kemudian seorang suster menghampiri kami.“Silahkan masuk Bu Rania, dokter Dewi sudah menunggu anda,” ucapnya.“Terima kasih mbak,” jawab Rania.Rania semak
Bab 12Awal kembalinya kebahagiaan RenoAlarmku berbunyi, menandakan pukul tiga pagi. Aku memulai rutinitasku, bergegas ke kamar mandi, membersihkan diri kemudian menunaikan sholat dan melanjutkan dengan lantunan bacaan Al-Qur'an. Tak lama kemudian adzan subuh berkumandang, segera kudirikan sholat subuh dan meminta petunjuk yang terbaik untuk jalan hidupku.Baru kuingat aku belum sempat melihat kiriman dari Mas Alif, kubuka aplikasi hijau, dan memeriksa nama Mas Alif, ada kiriman tangkapan layar berupa bukti transfer ke rekeningku, sebesar dua puluh juta rupiah. Alhamdulillah, terima kasih ya Allah, batinku.Akhirnya aku sampai juga di bandara Ngurah Rai, sebentar lagi aku cek in dan segera terbang ke kota tercinta menemui ayah, ibu dan si bawel Reni.“Reno, Reno, tunggu,” kudengar seseorang memanggil namaku dari kejauhan, ketika aku hendak memasuki pintu cek in bandara. Mungkin ak
Baca 13 Hari bahagia Reno dan Dokter Dewi Ayah dan ibu sedang sibuk mempersiapkan semua keperluan untuk ke Bali, namun tak kulihat keberadaan Reni. Apa mungkin dia masih kecewa jika aku menikah? Reni takut kehilangan aku? “Bu, Reni kemana?” “Tadi ijin sebentar ke kampus karena ada yang mau diselesaikan sama teman-temanya, katanya nanti langsung menemui kita di bandara,” ujar ibu. “Alhamdulillah, kukira ada masalah yang menyebabkan Reni tak ikut ke Bali.” “Enggak, Sayang. Tadi Reni sudah nitip kopernya sama ibu, itu di depan kamarnya koper dan tasnya yang berisi pakaian dan keperluan lainnya sudah siap.” “Inggih, Bu.” “Nanti jangan lupa ya barang-barangnya Reni,” pesan ibu padaku. “Baik, Ibuku sayang.” Hari ini aku tidak berangkat ke k
Bab 14Pernikahan Dokter Dewi“Mohon maaf sekali kepada keluarga Reno. Maksud Dewi adalah dia menolak jika acara pertunangan diadakan esok hari. Sebaiknya acara pernikahan segera saja dilangsungkan, tidak perlu acara tunangan. Dewi trauma jika sudah bertunangan dan acara pernikahan ditunda, takut akan terjadi lagi hal yang tidak diinginkan. Jadi begitu maksud Dewi. Maaf atas kesalah pahaman ini. Bagaimana Nak Reno sekeluarga apa berkenan jika acara akad nikah disegerakan saja?” panjang lebar dijelaskan pamannya Dokter Dewi.Dokter Dewi hanya menunduk dan tersipu malu. Dalam hatiku mengucap syukur alhamdulillah, jadi juga acara melamarnya.“Alhamdulillah kalau begitu Pak, ciba kita tanyakan saja kepada Reno. Bagaimana, Nak?” tanya ayah padaku.Aku hanya mengganguk saja. Karena kasihan juga, Dokter Dewi sudah kehilangan ayah dan ibunya serta calon suami. Pasti dia sangat
Bab 22Siapa di ruang ICU?Gawai Reno berdering ketika sedang dalam perjalanan menuju rumah sakit. Nama Rania tertera di layar. Reno segera menerima panggilan teleponnya dan hendak menyampaikan pada Rania bahwa dia belum bertemu dengan suaminya—Mas Alif.Rania berniat menyampaikan Bela sungkawa atas kepergian dokter Dewi, Rania juga menanyakan apakah Reno sudah bertemu dengan Mas Arif dan dia juga meminta maaf belum sempat untuk berangkat ke Bali karena Rania baru membaca informasi bahwa dokter Dewi telah meninggal setelah salat subuh tadi.Reno mengatakan bahwa dia belum bertemu dengan Mas Alif.Rania bertanya apakah sebaiknya dia berangkat ke Bali. Kemudian Reno menjelaskan jika ada waktu sebaiknya Rania berangkat ke Bali. Akhirnya dia memutuskan untuk segera memesan tiket dan menyusul berangkat ke Bali.Setelah sampai di rumah sakit, Reno segera mend
Bab 21Jasad siapa?Suster membuka perlahan pintu kamar jenazah. Dia menuntun Reno dan Pak Polisi mengikutinya.“Silahkan diperiksa Pak Reno, apakah anda mengenalinya?” kata suster rumah sakit pada Reno.“Baik, Bu,” jawab Reno dengan perasaan yang was-was.Bismillah, aku harus siap apapun yang terjadi batin Reno.Perlahan suster membuka kain yang menutup jenasah tersebut. Hanya dalam hitungan detik, Reno langsunh terkulai lemas. Sekujur tubuhnya seperti mati rasa. Dia ambruk, terduduk di lantai kamar jenasah. Suster segera menutup kembali kain putih yang tadi dibukanya.‘Inna lillahi wa inna ilaihi roji'un,” Reno mengucapkannya dengan gemetar.Pak Polisi berusaha membimbing Reno untuk berdiri. Akhirnya Reno bisa bangkit lagi, kemudian suster mengarahkan Reno dan Pak Polisi untuk ber
Bab 20Reno menyelidiki kasus sampai ke rumah sakitReno menuju resepsionis dan menjelaskan semua kejadiannya, setelah sampai di Rumah Sakit.Pihak Rumah Sakit meminta identitas Reno dan mengambil fotonya kemudian dikirim pada polisi yang bertugas menyelidiki tentang kecelakaan ini.Pihak rumah sakit menjelaskan bahwa korban sopir taxi selamat namun sedang dirawat di ruang ICU karena kondisinya yang parah. Dua korban penumpang, yang satu tidak dapat diselamatkan dalam perjalanan menuju rumah sakit, sedangkan satu korban penumpang di ruang ICU juga.Reno berhasil mendapatkan informasi dimana korban ditempatkan.“Anda hendak melihat korban yang di ICU atau yang meninggal? Tanya Pak Polisi pada Reno.“Sebaiknya korban meninggal duluan, Pak,” ujar Reno.Seorang suster dan Pak polisi membawa Reno ke sebua
Bab 19Satu per satu fakta terungkapReno segera meninggalkan rumah setelah ojek yang dipesan datang menghampiri dan segera menuju losmen terdekat, karena dia tak mau boros jika harus menginap di hotel. Sungguh kekecewaan yang muncul di hatinya. Reno tak menyangka ini semua bisa terjadi.Satu-satunya orang yang telah memberinya kepercayaan penuh untuk menjalin hubungan pernikahan, tetapi mengapa malah menyakiti hatinya.Kecewa sudah pasti. Sekarang dia bingung harus bagaimana membuat keputusan. Apakah memberi kesempatan untuk Dokter Dewi memberikan penjelasan dan memaafkan semuanya asal mereka berjanji tidak akan melanjutkan hubungan terlarang mereka, atau berhenti disini saja?Rasanya tak sanggup Reno harus menjalani semuanya. Rania, tiba-tiba dia teringat akan Rania. Apa yang harus dijelaskan padanya? Atau sebaiknya diam saja dan berpura-pura tidak mengetahui peristiwa tragis yang barusan te
Bab 18Akhirnya bertemu dengan Dokter Dewi dan Mas AlifReno melajukan kendaraannya ke arah bandara. Setelah sampai di parkiran mobil, dia segera menuju ke maskapai penerbangan yang digunakan istrinya dan Mas Alif.“Selamat siang, Pak, ada yang bisa kami bantu?” tanya pegawai maskapai penerbangan tersebut.“Selamat siang, ada beberapa yang ingin saya tanyakan masalah penerbangan pagi ini,” jawab Reno.“Mari, Pak silahkan duduk dulu,” ujar pegawai itu.“Baik, Pak, perkenalkan nama saya Weni, silahkan dijelaskan lagi,” ujarnya.“Jadi begini, tadi pagi istri saya dan kakak saya pergi dengan tujuan ke Bali menggunakan maskapai penerbangan ini. Namun sampai siang ini, mereka tidak bisa saya hubungi. Nomer ponselnya masih belum aktif,” jelas Reno pada Bu weni.&ldq
Bab 17Rania kebingungan mencari Mas AlifAkhirnya dia berpikiran untuk menghubungi Rania, ketika mencari nama Rania di kontak teleponnya, ternyata ada panggilan masuk pada ponselnya dari Rania maka Reno langsung menggeser tombol hijau yang bergoyang-goyang.[Assalamu’alaikum, Reno, maaf sebelumnya apa saya bisa meminta tolong?]Belum sempat Reno berbicara, rania sudah menyapanya terlebih dahulu.[Wa’alaikumsalam iya, Rania apa yang bisa kubantu?]Reno terdiam sejenak, tidak langsung menceritakan bahwa Dokter Dewi dan Mas Alif tidak bisa dihubungi.[Kamu sekarang berada dimana?][Aku masih di kantor, baru selesai sholat][Maaf sebelumnya, apa Dokter Dewi sudah sampai Bali?]Aku tersentak mendengar pertanyaannya, belum satu pertanyaan aku jawab, dia sudah bertanya lagi.&n
Bab 16 Pov author Lebih baik kucoba mencoba menghubungi Mas Alif, mungkin dia sudah mengaktifkan ponselnya, pikir Reno. “Nomor yang anda tuju sedang berada di luar jangkauan,” jawaban yang sama dengan panggilan pada Dokter Dewi. Reno mencoba lagi memanggil nomer Mas Alif, ternyata masih saja jawaban yang sama yang diterima olehnya. Reno terduduk lemas di kursi kantin, apa yang terjadi pada istrinya dan Mas Alif? Ya Allah semoga mereka berdua baik-baik saja, Reno benar-benar gelisah memikirkan ini semua. Namun bisikan setan mengganggu pikirannya. Apakah mungkin Mas Alif dan Dokter Dewi memiliki hubungan spesial? Pikiran Reno menari-nari, apakah kini mereka sedang berduaan? Sehingga ponsel mereka dibiarkan mati. Mereka berpura-pura bertemu di bandara, padahal sesungguhnya sudah membuat janji untuk pergi bersama dan bebas melakukan apa saja di sana t
Bab 15 Musibah keluarga Reno Pov author Pernikahan Reno dan Dokter Dewi berjalan dengan lancar, sekitar jam dua sore para tamu sudah mulai pulang dari perhelatan yang sederhana ini tapi tetap sakral. Keluarga besar Reno kembali ke kamar hotel setelah selesai acara di ballroom hotel, kebetulan tempat acara pernikahan dan menginap berdekatan. Karena acara yang mendadak, Reno dan Dokter Dewi untuk sementara masih harus menjalani pernikahan jarak jauh, kalau kata anak jaman now LDR—long distance relationship. Besok Dokter Dewi ijin cuti satu minggu, karena akan menemani Reno ke Malang dan untuk mengadakan tasyakuran sederhana pernikahan mereka yang mengundang tetangga dan rekan kerja Reno. Alhamdulillah Pak Bos Reno ikut ke Bali, jadi dengan mudah Reno mendapatkan ijin untuk mengambil cuti dan keperluan lainnya, bahkan Pak Bos memberi kesempatan pada Reno untuk bulan madu satu minggu di B
Bab 14Pernikahan Dokter Dewi“Mohon maaf sekali kepada keluarga Reno. Maksud Dewi adalah dia menolak jika acara pertunangan diadakan esok hari. Sebaiknya acara pernikahan segera saja dilangsungkan, tidak perlu acara tunangan. Dewi trauma jika sudah bertunangan dan acara pernikahan ditunda, takut akan terjadi lagi hal yang tidak diinginkan. Jadi begitu maksud Dewi. Maaf atas kesalah pahaman ini. Bagaimana Nak Reno sekeluarga apa berkenan jika acara akad nikah disegerakan saja?” panjang lebar dijelaskan pamannya Dokter Dewi.Dokter Dewi hanya menunduk dan tersipu malu. Dalam hatiku mengucap syukur alhamdulillah, jadi juga acara melamarnya.“Alhamdulillah kalau begitu Pak, ciba kita tanyakan saja kepada Reno. Bagaimana, Nak?” tanya ayah padaku.Aku hanya mengganguk saja. Karena kasihan juga, Dokter Dewi sudah kehilangan ayah dan ibunya serta calon suami. Pasti dia sangat