Bab 8
Hari pernikahan Rania dan Mas Alif
Hari yang ditunggu akhirnya datang juga. Keluargaku dan keluarga Pakde Halim bersiap-siap untuk persiapan acara pertunangan di rumah Rania. Sebulan setelah hari kedatangan keluarga besarku ke rumah Rania, orang tuanya datang ke rumah kami, menyampaikan bahwa Rania menerima lamaran Mas Alif.
Hari ini kulihat Mas Alif nampak bahagia, Pakde dan Budhe Halim nampak sibuk mempersiapkan semuanya. Setelah semua siap, kami segera berangkat ke rumah Rania, jalan kaki saja karena dekat, hanya berjarak tiga rumah.
Semua nampak bahagia, tapi tidak denganku. Aku sudah berusaha menghapus rasa cintaku pada Rania. Namun tak semudah itu kenyataannya. Sepertinya aku tak ingin menghadiri acara pertunangan mereka, karena akan membuat luka semakin dalam di hatiku.
Aku berusaha tetap tersenyum dan turut berbahagia, walau hatiku tidak. Karena aku tak ingin Mas Alif mengetahui kalau aku memiliki cinta terpendam pada Rania. Kasihan juga kalau sampai acara ini batal gara-gara cinta butaku pada Rania.
Pak Wahyu sekeluarga menyambut kedatangan keluarga besarku dengan baik. Aku belum melihat kehadiran Rania, mungkin dia sedang bersolek.
Seorang wanita anggun tiba-tiba memasuki ruangan tempat kami semua berkumpul. Dia sangat cantik, elegan dan aku benar-benar terpesona. Mataku sampai tak berkedip menyaksikan keindahan ALLAH pada makhluk yang berada di depanku ini. Aku menyesal, kenapa waktu itu aku tak sungguh-sungguh melamarnya, malah menjadikan bahan bercanda.
Acara pertunangan berlangsung dengan khidmat. Kemudian Pakde Halim menyampaikan agar segera dilangsungkan acara pernikahan, karena mereka tidak bisa terlalu lama tinggal di Malang. Mereka harus segera kembali ke Kalimantan. Pakde Halim juga tak mau jika harus bolak-balik Malang Balikpapan.
“Alhamdulillah acara pertunangan telah berjalan dengan lancar. Semoga dimudahkan menuju jenjang pernikahan,” ucap ayahku.
“Aamiin,’ semua menjawab dengan serempak.
“Mohon maaf sebelumnya, bagaimana jika acara pernikahan segera dilangsungkan, agar Rania dan Alif bisa segera menjadi pasangan halal,” ucap Pakde Halim.
“Mempersiapkan pernikahan butuh waktu Pak, setidaknya tiga sampai empat bulan. Kami juga masih mempersiapkan biayanya,” jawab Pak Wahyu.
“Pak, kita sudah lama bersahabat. Sudahlah, masalah biaya Alif semua yang mempersiapkan. Bapak cukup mencari gedung tanggal baiknya saja. Insyaallah untuk gedung pernikahan, catering, pakaian pengantin, dekorasi dan undangan akan dipersiapkan semuanya oleh Alif,” jawab pakde Halim.
“Jangan begitu Pak, kami sungkan jika kalian semua yang harus menanggungnya,” Pak Wahyu menimpali.
“Sudah jangan dipikir. Coba kita tanya dulu pada sesepuh disini, untuk mencarikan hari baik buat anak-anak kita.”
“Menurut weton Rania dan Alif, minggu depan adalah hari yang baik. Kalau memang ingin disegerakan acara pernikahannya,” jawab Pak Norman, sesepuh di tempat kami.
“Terlalu cepat kalau minggu depan, kami belum siap,” jawab Pak Wahyu.
“Bisa saya bicara berdua dengan anda Pak?” ajak Pakde Halim pada Pak Wahyu.
“Mari kita ke halaman belakang,” ajak Pak Wahyu.
Ternyata Pak Wahyu belum mempersiapkan biaya jika acara pernikahan dilangsungkan minggu depan. Namun Pakde ingin segera dilangsungkan acara pernikahan ini. Karena tak ingin mereka berlama-lama dengan status tunangan. Pakde menyampaikan lagi pada Ayah Rania, bahwa semua biaya ditanggung mereka.
Akhirnya aku dan Alif menghubungi teman-teman kami, untuk mencarikan gedung pernikahan yang bisa dipakai hari minggu, minggu depan. Catering dan pakaian pernikahan serta dekorasi dipersiapkan Bude Halim. Bude memiliki banyak hubungan dengan hotel dan wedding organizer ternama.
Akhirnya gedung telah didapatkan di salah satu hotel ternama di Malang. Persiapan catering dan gaun pernikahan juga sudah siap. Mereka akan datang besok ke rumah, karena Rania dan Alif memiliki postur tubuh yang ideal, mereka memiliki beberapa gaun yang bisa dipakai Rania dan Alif.
Tak terasa hari ini datang. Hari dimana aku benar-benar akan kehilangan Rania. Rania akan menikah dengan Mas Alif. Mengapa aku masih belum bisa menghapus perasaanku pada Rania. Aku tak sanggup jika harus menghadiri acara ini.
“Saya terima nikahnya Rania Salsabila binti Muhammad Wahyu dengan mas kawin seperangkat alat sholat dan uang sebesar satu milyar rupiah, tunai,” dengan lantang dan mantap Mas Alif mengucapkan ijab kabul.
“Bagimana, Sah?” tanya pak penghulu.
“Sah, sah, sah,” para wali, saksi dan tamu yang datang menjawab dengan pasti dan mantap.
Tak terasa air mata mengalir membasahi pipiku. Rania, aku tak bisa memilikimu, tak akan pernah bisa. Kau kini telah resmi menjadi milik orang lain, walaupun itu kakakku sendiri, kakak sepupuku. Aku tak kuat, aku pergi meninggalkan ruangan akad nikah, tak kuperdulikan mereka semua berbahagia, tapi tidak denganku. Aku benar-benar terpukul, ternyata tak semudah itu menghapus cintaku padanya. Setelah kutuntaskan tangisku. Aku kembali berkumpul dan mengucapkan selamat pada Mas Alif dan Rania, tak ingin mereka melihat kesedihanku.
“Selamat ya Mas, semoga sakinah, mawaddah warromah,” ucapku sambil memeluk Mas Alif.
“Aamiin, iya Ren, makasih. Semoga kamu juga bisa segera menyusul, supaya kamu juga merasakan kebahagiaan yang sama,” balas Mas Alif.
“Aamiin, makasih Mas. Jaga Rania baik-baik ya. Jangan sakiti hatinya.”
“Siap bos,” jawab Mas alif sambil menepuk pundakku.
Kemudian aku beralih pada Rania. “Selamat ya Ran, semoga kamu bahagia sama Mas Alif, dia saudara terbaikku, aku yakin kamu pasti akan bahagia dengannya. Kamu tak salah pilih Rania,” ujarku pada Rania.
“Aamiin, makasih Reno. Kamu nangis ya?” tebak Rania.
“Sok tahu kamu.”
“Iya tuh, mata kamu merah. Memangnya siapa yang kamu tangisi?”
“Mungkin perasaanmu saja. Tadi ada debu masuk mata,” jawabku.
“Jangan-jangan kamu menangis karena aku tinggal menikah ya?”
“Hahahaha, becanda kamu Rania. Mungkin hanya perasaanmu saja Ran.”
“Baguslah kalau begitu. Aku tak ingin kamu bersedih. Kuharap kamu sudah tak menyimpan perasaan apapun padaku.”
“Maksudnya apa nih?” tiba-tiba Mas Alif menimpali.
“Jadi Mas Alif belum tahu? Dulu kan...”
“Ssstt....” Segera aku menunjukkan jari telunjukku pada mulutku, agar Rania tidak meneruskan kalimatnya.
“Ada apa sih? Bikin penasaran aja.” Mas Alif semakin penasaran.
“Maaf Reno, aku harus jujur pada suamiku. Jadi..” Rania menghentikan kalimatnya dan melirik padaku.
“Ya sudan silahkan lanjutkan saja kalimatnya, atau aku yang kasih tahu?” jawabku pada Rania.
“Oke, kamu saja Reno,” balas Rania.
Baiklah, akan kuselesaikan semuanya. Apapun yang terjadi, Rania sudah menjadi milik Mas Alif.
“Dulu, aku pernah suka sama Rania.” Jawabku pelan sekali.
“Apa Reno? Maaf aku kurang jelas mendengar suaramu,” Mas Alif menimpali.
“Aku suka pada Rania. Tapi itu dulu Mas. Jangan khawatir, semua rasa itu sudah kuhapus dalam ingatanku. Jadi kalian tak perlu takut aku akan mengganggu rumah tangga kalian,” jawabku tegas.
“Kenapa kamu baru cerita Reno? Maafkan aku Ren, aku tak bermaksud merebut Rania darimu, aku benar-benar tak tahu jika kamu ada rasa dengan Rania. Sekali lagi maafkan aku Ren.”
“Sudahlah Mas, aku bertepuk sebelah tangan, Rania tak pernah membalas cintaku.”
“Apa benar Rania?” tanya Mas Alif pada Rania.
Rania menjawab dengan menganggukkan kepalanya.
“Sudah, lupakan semuanya, kita harus bahagia hari ini,” ucapku berusaha mencairkan suasana.
Setelah acara akad nikah selesai, kami segera menuju ke tempat gedung pernikahan. Karena Pakde tak ingin merepotkan Rania sekeluarga, jika harus diadakan dirumah. Pasti repot dan lebih menguras tenaga.
Acara pernikahan Rania dan Mas Alif sangat mewah. Para tamu pasti akan terpesona dengan dekorasi serta hidangan yang disuguhkan. Tentu saja, karena Pakde Halim adalah seorang pengusaha sukses di Kalimantan dan salah satu cabangnya ada di Malang, dikelola Mas Alif.
Aku berusaha turut bahagia dengan menikmati jalannya acara pernikahan mereka. Aku berkumpul juga dengan beberapa teman semasa SMA, karena mereka teman Rania juga.
Setelah acara selesai, Rania dan Mas Alif tidak pulang ke rumah. Mereka menghabiskan tiga malam di hotel ini, karena hadiah dari pemilik hotel, yang juga salah satu rekan bisnis Pakde Halim. Mereka juga langsung melanjutkan bulan madu ke Bali.
“Kami pulang dulu ya Ran,” ucap orang tua Rania.
“Iya Pak, Bu, hati-hati di jalan.”
“Kamu juga hati-hati. Semoga bahagia bersama Alif. Ibu menitipkan Rania padamu. Jaga dia baik-baik ya Alif.” Kulihat air mata Bu Wahyu menetes lagi. Rania memeluk ibunya. Mereka berdua menangis. Aku dan keluarga turut merasakan kesedihannya.
“Inggih Bu, dalem pasti njagi Rania,” jawab Mas Alif.
(Iya Bu, saya pasti akan menjaga Rania.)
Kemudian kami berpisah. Rania dan Mas Alif naik ke lantai atas, sedangkan kami turun menuju parkiran mobil.
Bab 9Aku rindu RaniaGawaiku berdering, kulihat nama Rania disana. Ada apa Rania menghubungiku di malam hari? Bukankah seharusnya Rania dan Mas Alif sedang berbulan madu ke Bali? Aku coba mengabaikan sambungan telepon dari Rania, mungkin dia salah tekan nomer. Aku belum siap mendengar suaranya.Akhirnya dering gawaiku berhenti. Sudah kupastikan Rania salah sambung, dia pasti tidak menghubungi aku lagi. Aku melanjutkan tidurku, lelah setelah seharian menyelesaikan pekerjaan kantor, harus meeting dengan pimpinan pusat dan presentasi dengan salah satu klien. Aku segera memejamkan mataku, namun sebelumnya aku setel gawaiku mode diam, karena aku tak ingin diganggu malam ini, esok hari masih banyak berkas yang harus kuselesaikan juga.Tak terasa suara alarmku berbunyi, waktu menunjukkan pukul tiga dini hari. Segera kuraih gawaiku, kumatikan alarm tanpa melihat notifikasi yang masuk di layar benda pipih itu. Sudah menja
Bab 10Rahasia RaniaAku bisa merasakan cinta yang luar biasa bila bersamamu. Namun kini kau telah pergi menjauh, tak dapat kurasakan lagi cintamu. Mengapa aku tak bisa menghapus cinta ini? Mengapa hadirmu selalu menjadi bayang-bayangku?Rania, aku mencintaimu. Aku menyesal karena gagal mendapatkan cintamu. Seandainya kau tahu bahwa sampai detik ini rasa itu tetap ada dan tetap sama seperti awal kita bertemu.Bayang-bayang Rania terus menari di dalam pikuranku. Segera kupacu mobilku agar bisa sampai lebih cepat ke kantor, karena aku ingin segera menghubungiku Rania. Kenapa harus menunggu sampai kantor? Bukankah sekarang aku sedang sendiri? Aku bisa segera menghubunginya.Kutepikan mobil ke tempat yang aman lalu kuraih gawaiku dan menghubungi nomer Rania. Nada panggil tersambung, berkali-kali berbunyi, tapi tak ada sahutan dari seberang sana. Kenapa lama sekali Rania menerima teleponku, membuat
Bab 11Terungkapnya rahasia RaniaKami berjalan memasuki lift, setelah pintu terbuka. Kulihat Rania menekan tombol angka tiga. Aku masih bertanya-tanya, sakit apa Mas Alif hingga Rania memaksaku untuk datang kesini. Apa Mas Alif terbaring di rumah sakit ini?Pintu lift terbuka, Rania keluar terlebih dahulu, aku mengikutinya di belakang. Dekat dugaanku benar, karena sampai detik ini tak kulihat sosok Mas Alif. Kami duduk di sofa ruang tunggu, disana terdapat beberapa pintu, setiap pintu bertuliskan nama dokter dan gelarnya serta nama ruangannya.Kubaca salah satunya poli anak dr. Harjoedi Hadiningrat. Ada juga poli obgyn dr. Dewi Kumala Sari. Sekitar lima menit kami menunggu, kemudian seorang suster menghampiri kami.“Silahkan masuk Bu Rania, dokter Dewi sudah menunggu anda,” ucapnya.“Terima kasih mbak,” jawab Rania.Rania semak
Bab 12Awal kembalinya kebahagiaan RenoAlarmku berbunyi, menandakan pukul tiga pagi. Aku memulai rutinitasku, bergegas ke kamar mandi, membersihkan diri kemudian menunaikan sholat dan melanjutkan dengan lantunan bacaan Al-Qur'an. Tak lama kemudian adzan subuh berkumandang, segera kudirikan sholat subuh dan meminta petunjuk yang terbaik untuk jalan hidupku.Baru kuingat aku belum sempat melihat kiriman dari Mas Alif, kubuka aplikasi hijau, dan memeriksa nama Mas Alif, ada kiriman tangkapan layar berupa bukti transfer ke rekeningku, sebesar dua puluh juta rupiah. Alhamdulillah, terima kasih ya Allah, batinku.Akhirnya aku sampai juga di bandara Ngurah Rai, sebentar lagi aku cek in dan segera terbang ke kota tercinta menemui ayah, ibu dan si bawel Reni.“Reno, Reno, tunggu,” kudengar seseorang memanggil namaku dari kejauhan, ketika aku hendak memasuki pintu cek in bandara. Mungkin ak
Baca 13 Hari bahagia Reno dan Dokter Dewi Ayah dan ibu sedang sibuk mempersiapkan semua keperluan untuk ke Bali, namun tak kulihat keberadaan Reni. Apa mungkin dia masih kecewa jika aku menikah? Reni takut kehilangan aku? “Bu, Reni kemana?” “Tadi ijin sebentar ke kampus karena ada yang mau diselesaikan sama teman-temanya, katanya nanti langsung menemui kita di bandara,” ujar ibu. “Alhamdulillah, kukira ada masalah yang menyebabkan Reni tak ikut ke Bali.” “Enggak, Sayang. Tadi Reni sudah nitip kopernya sama ibu, itu di depan kamarnya koper dan tasnya yang berisi pakaian dan keperluan lainnya sudah siap.” “Inggih, Bu.” “Nanti jangan lupa ya barang-barangnya Reni,” pesan ibu padaku. “Baik, Ibuku sayang.” Hari ini aku tidak berangkat ke k
Bab 14Pernikahan Dokter Dewi“Mohon maaf sekali kepada keluarga Reno. Maksud Dewi adalah dia menolak jika acara pertunangan diadakan esok hari. Sebaiknya acara pernikahan segera saja dilangsungkan, tidak perlu acara tunangan. Dewi trauma jika sudah bertunangan dan acara pernikahan ditunda, takut akan terjadi lagi hal yang tidak diinginkan. Jadi begitu maksud Dewi. Maaf atas kesalah pahaman ini. Bagaimana Nak Reno sekeluarga apa berkenan jika acara akad nikah disegerakan saja?” panjang lebar dijelaskan pamannya Dokter Dewi.Dokter Dewi hanya menunduk dan tersipu malu. Dalam hatiku mengucap syukur alhamdulillah, jadi juga acara melamarnya.“Alhamdulillah kalau begitu Pak, ciba kita tanyakan saja kepada Reno. Bagaimana, Nak?” tanya ayah padaku.Aku hanya mengganguk saja. Karena kasihan juga, Dokter Dewi sudah kehilangan ayah dan ibunya serta calon suami. Pasti dia sangat
Bab 15 Musibah keluarga Reno Pov author Pernikahan Reno dan Dokter Dewi berjalan dengan lancar, sekitar jam dua sore para tamu sudah mulai pulang dari perhelatan yang sederhana ini tapi tetap sakral. Keluarga besar Reno kembali ke kamar hotel setelah selesai acara di ballroom hotel, kebetulan tempat acara pernikahan dan menginap berdekatan. Karena acara yang mendadak, Reno dan Dokter Dewi untuk sementara masih harus menjalani pernikahan jarak jauh, kalau kata anak jaman now LDR—long distance relationship. Besok Dokter Dewi ijin cuti satu minggu, karena akan menemani Reno ke Malang dan untuk mengadakan tasyakuran sederhana pernikahan mereka yang mengundang tetangga dan rekan kerja Reno. Alhamdulillah Pak Bos Reno ikut ke Bali, jadi dengan mudah Reno mendapatkan ijin untuk mengambil cuti dan keperluan lainnya, bahkan Pak Bos memberi kesempatan pada Reno untuk bulan madu satu minggu di B
Bab 16 Pov author Lebih baik kucoba mencoba menghubungi Mas Alif, mungkin dia sudah mengaktifkan ponselnya, pikir Reno. “Nomor yang anda tuju sedang berada di luar jangkauan,” jawaban yang sama dengan panggilan pada Dokter Dewi. Reno mencoba lagi memanggil nomer Mas Alif, ternyata masih saja jawaban yang sama yang diterima olehnya. Reno terduduk lemas di kursi kantin, apa yang terjadi pada istrinya dan Mas Alif? Ya Allah semoga mereka berdua baik-baik saja, Reno benar-benar gelisah memikirkan ini semua. Namun bisikan setan mengganggu pikirannya. Apakah mungkin Mas Alif dan Dokter Dewi memiliki hubungan spesial? Pikiran Reno menari-nari, apakah kini mereka sedang berduaan? Sehingga ponsel mereka dibiarkan mati. Mereka berpura-pura bertemu di bandara, padahal sesungguhnya sudah membuat janji untuk pergi bersama dan bebas melakukan apa saja di sana t
Bab 22Siapa di ruang ICU?Gawai Reno berdering ketika sedang dalam perjalanan menuju rumah sakit. Nama Rania tertera di layar. Reno segera menerima panggilan teleponnya dan hendak menyampaikan pada Rania bahwa dia belum bertemu dengan suaminya—Mas Alif.Rania berniat menyampaikan Bela sungkawa atas kepergian dokter Dewi, Rania juga menanyakan apakah Reno sudah bertemu dengan Mas Arif dan dia juga meminta maaf belum sempat untuk berangkat ke Bali karena Rania baru membaca informasi bahwa dokter Dewi telah meninggal setelah salat subuh tadi.Reno mengatakan bahwa dia belum bertemu dengan Mas Alif.Rania bertanya apakah sebaiknya dia berangkat ke Bali. Kemudian Reno menjelaskan jika ada waktu sebaiknya Rania berangkat ke Bali. Akhirnya dia memutuskan untuk segera memesan tiket dan menyusul berangkat ke Bali.Setelah sampai di rumah sakit, Reno segera mend
Bab 21Jasad siapa?Suster membuka perlahan pintu kamar jenazah. Dia menuntun Reno dan Pak Polisi mengikutinya.“Silahkan diperiksa Pak Reno, apakah anda mengenalinya?” kata suster rumah sakit pada Reno.“Baik, Bu,” jawab Reno dengan perasaan yang was-was.Bismillah, aku harus siap apapun yang terjadi batin Reno.Perlahan suster membuka kain yang menutup jenasah tersebut. Hanya dalam hitungan detik, Reno langsunh terkulai lemas. Sekujur tubuhnya seperti mati rasa. Dia ambruk, terduduk di lantai kamar jenasah. Suster segera menutup kembali kain putih yang tadi dibukanya.‘Inna lillahi wa inna ilaihi roji'un,” Reno mengucapkannya dengan gemetar.Pak Polisi berusaha membimbing Reno untuk berdiri. Akhirnya Reno bisa bangkit lagi, kemudian suster mengarahkan Reno dan Pak Polisi untuk ber
Bab 20Reno menyelidiki kasus sampai ke rumah sakitReno menuju resepsionis dan menjelaskan semua kejadiannya, setelah sampai di Rumah Sakit.Pihak Rumah Sakit meminta identitas Reno dan mengambil fotonya kemudian dikirim pada polisi yang bertugas menyelidiki tentang kecelakaan ini.Pihak rumah sakit menjelaskan bahwa korban sopir taxi selamat namun sedang dirawat di ruang ICU karena kondisinya yang parah. Dua korban penumpang, yang satu tidak dapat diselamatkan dalam perjalanan menuju rumah sakit, sedangkan satu korban penumpang di ruang ICU juga.Reno berhasil mendapatkan informasi dimana korban ditempatkan.“Anda hendak melihat korban yang di ICU atau yang meninggal? Tanya Pak Polisi pada Reno.“Sebaiknya korban meninggal duluan, Pak,” ujar Reno.Seorang suster dan Pak polisi membawa Reno ke sebua
Bab 19Satu per satu fakta terungkapReno segera meninggalkan rumah setelah ojek yang dipesan datang menghampiri dan segera menuju losmen terdekat, karena dia tak mau boros jika harus menginap di hotel. Sungguh kekecewaan yang muncul di hatinya. Reno tak menyangka ini semua bisa terjadi.Satu-satunya orang yang telah memberinya kepercayaan penuh untuk menjalin hubungan pernikahan, tetapi mengapa malah menyakiti hatinya.Kecewa sudah pasti. Sekarang dia bingung harus bagaimana membuat keputusan. Apakah memberi kesempatan untuk Dokter Dewi memberikan penjelasan dan memaafkan semuanya asal mereka berjanji tidak akan melanjutkan hubungan terlarang mereka, atau berhenti disini saja?Rasanya tak sanggup Reno harus menjalani semuanya. Rania, tiba-tiba dia teringat akan Rania. Apa yang harus dijelaskan padanya? Atau sebaiknya diam saja dan berpura-pura tidak mengetahui peristiwa tragis yang barusan te
Bab 18Akhirnya bertemu dengan Dokter Dewi dan Mas AlifReno melajukan kendaraannya ke arah bandara. Setelah sampai di parkiran mobil, dia segera menuju ke maskapai penerbangan yang digunakan istrinya dan Mas Alif.“Selamat siang, Pak, ada yang bisa kami bantu?” tanya pegawai maskapai penerbangan tersebut.“Selamat siang, ada beberapa yang ingin saya tanyakan masalah penerbangan pagi ini,” jawab Reno.“Mari, Pak silahkan duduk dulu,” ujar pegawai itu.“Baik, Pak, perkenalkan nama saya Weni, silahkan dijelaskan lagi,” ujarnya.“Jadi begini, tadi pagi istri saya dan kakak saya pergi dengan tujuan ke Bali menggunakan maskapai penerbangan ini. Namun sampai siang ini, mereka tidak bisa saya hubungi. Nomer ponselnya masih belum aktif,” jelas Reno pada Bu weni.&ldq
Bab 17Rania kebingungan mencari Mas AlifAkhirnya dia berpikiran untuk menghubungi Rania, ketika mencari nama Rania di kontak teleponnya, ternyata ada panggilan masuk pada ponselnya dari Rania maka Reno langsung menggeser tombol hijau yang bergoyang-goyang.[Assalamu’alaikum, Reno, maaf sebelumnya apa saya bisa meminta tolong?]Belum sempat Reno berbicara, rania sudah menyapanya terlebih dahulu.[Wa’alaikumsalam iya, Rania apa yang bisa kubantu?]Reno terdiam sejenak, tidak langsung menceritakan bahwa Dokter Dewi dan Mas Alif tidak bisa dihubungi.[Kamu sekarang berada dimana?][Aku masih di kantor, baru selesai sholat][Maaf sebelumnya, apa Dokter Dewi sudah sampai Bali?]Aku tersentak mendengar pertanyaannya, belum satu pertanyaan aku jawab, dia sudah bertanya lagi.&n
Bab 16 Pov author Lebih baik kucoba mencoba menghubungi Mas Alif, mungkin dia sudah mengaktifkan ponselnya, pikir Reno. “Nomor yang anda tuju sedang berada di luar jangkauan,” jawaban yang sama dengan panggilan pada Dokter Dewi. Reno mencoba lagi memanggil nomer Mas Alif, ternyata masih saja jawaban yang sama yang diterima olehnya. Reno terduduk lemas di kursi kantin, apa yang terjadi pada istrinya dan Mas Alif? Ya Allah semoga mereka berdua baik-baik saja, Reno benar-benar gelisah memikirkan ini semua. Namun bisikan setan mengganggu pikirannya. Apakah mungkin Mas Alif dan Dokter Dewi memiliki hubungan spesial? Pikiran Reno menari-nari, apakah kini mereka sedang berduaan? Sehingga ponsel mereka dibiarkan mati. Mereka berpura-pura bertemu di bandara, padahal sesungguhnya sudah membuat janji untuk pergi bersama dan bebas melakukan apa saja di sana t
Bab 15 Musibah keluarga Reno Pov author Pernikahan Reno dan Dokter Dewi berjalan dengan lancar, sekitar jam dua sore para tamu sudah mulai pulang dari perhelatan yang sederhana ini tapi tetap sakral. Keluarga besar Reno kembali ke kamar hotel setelah selesai acara di ballroom hotel, kebetulan tempat acara pernikahan dan menginap berdekatan. Karena acara yang mendadak, Reno dan Dokter Dewi untuk sementara masih harus menjalani pernikahan jarak jauh, kalau kata anak jaman now LDR—long distance relationship. Besok Dokter Dewi ijin cuti satu minggu, karena akan menemani Reno ke Malang dan untuk mengadakan tasyakuran sederhana pernikahan mereka yang mengundang tetangga dan rekan kerja Reno. Alhamdulillah Pak Bos Reno ikut ke Bali, jadi dengan mudah Reno mendapatkan ijin untuk mengambil cuti dan keperluan lainnya, bahkan Pak Bos memberi kesempatan pada Reno untuk bulan madu satu minggu di B
Bab 14Pernikahan Dokter Dewi“Mohon maaf sekali kepada keluarga Reno. Maksud Dewi adalah dia menolak jika acara pertunangan diadakan esok hari. Sebaiknya acara pernikahan segera saja dilangsungkan, tidak perlu acara tunangan. Dewi trauma jika sudah bertunangan dan acara pernikahan ditunda, takut akan terjadi lagi hal yang tidak diinginkan. Jadi begitu maksud Dewi. Maaf atas kesalah pahaman ini. Bagaimana Nak Reno sekeluarga apa berkenan jika acara akad nikah disegerakan saja?” panjang lebar dijelaskan pamannya Dokter Dewi.Dokter Dewi hanya menunduk dan tersipu malu. Dalam hatiku mengucap syukur alhamdulillah, jadi juga acara melamarnya.“Alhamdulillah kalau begitu Pak, ciba kita tanyakan saja kepada Reno. Bagaimana, Nak?” tanya ayah padaku.Aku hanya mengganguk saja. Karena kasihan juga, Dokter Dewi sudah kehilangan ayah dan ibunya serta calon suami. Pasti dia sangat