Bab 7
Reno patah hati
Shock, aku tak percaya, hatiku hancur. Semalam aku memang mengerjai Rania, dengan berpura-pura melamarnya. Karena sesungguhnya aku masih sangat mencintainya. Cinta yang kupendam sejak SMP, akan aku sampaikan jika Rania sudah lulus kuliah.
Awalnya aku ingin melihat raut wajahnya saat aku melamarnya. Apakah dia akan marah atau tersipu malu? Ternyata nampak bahwa Rania tersipu malu. Jadi ada harapan bahwa sesungguhnya dia juga suka padaku. Mungkin hanya malu untuk mengungkapkan perasaannya. Memang dulu waktu SMP dia menolakku, pasti karena kami masih terlalu kecil.
Rencananya hari ini akan kusampaikan pada ayah dan ibu bahwa aku menyukai Rania dan meminta mereka untuk meminangnya.
Namun, semuanya terlambat. Ternyata Pakde Salim — kakak ayahku, terlebih dahulu telah meminang Rania untuk Alif, putranya.
Ibu menyampaikan padaku, untuk datang oke rumah Rania nanti siang.
“Jangan lupa ya, Reno, nanti siang ke rumah Rania. Pakde Salim hendak melamar Rania untuk Alif. Kita sekeluarga juga akan hadir. Jadi saat istirahat makan siang, kamu langsung kesana saja ya.” Pesan ibu padaku saat kami sedang sarapan bersama.
“Uhuk... Uhuk..” aku terbatuk, nasi goreng yang ada di dalam mulutku hampir saja keluar. Apa aku tidak salah dengar? Rania akan dilamar Mas Alif?
Aku tak bisa berkata-kata, batinku menangis. Jangan sampai ibu melihat kesedihanku. Kasihan juga kalau acara lamaran Mas Alif harus gagal gara-gara aku.
“Baik, Bu, insya allah Reno tak akan lupa. Aku usahakan jam istirahat segera meluncur ke rumah Rania.” Aku tersenyum pada ibu.
“Alhamdulillah kalau kamu bisa datang. Semoga acara nanti bisa berjalan lancar. Kalau sempat nanti kamu kabari Reni ya, tadi ibu belum sempat bilang, dia sudah berangkat kuliah jam enam pagi. Katanya ada acara di kampus, makanya berangkat kuliahnya pagi sekali.”
“Inggih, Bu,” jawabku.
(Iya, Bu)
Setelah selesai sarapan, aku mempersiapkan keperluanku dan segera berangkat kerja.
“Dalem bidhal rumiyen, Bu.” Pamitku pada ibu.
(Saya berangkat kerja dulu, Bu.)
“Iyo, Le. Ati-ati ning ndalan lan ojo lali ndungo,” pesan ibu lagi.
(Iya, Nak. Hati-hati di jalan dan jangan lupa berdoa.)
“Inggih, Bu, pangestunipun. Assalamu'alaikum.”
(Iya, Bu, mohon doa dan ridhonya.)
“Wa'alaikumsalam warrahmatullahi wabarakatuh.”
Sepanjang perjalanan menuju kantor, aku tak bisa berhenti memikirkan tentang Rania. Tak siap rasanya jika aku harus kehilangan dia. Tak rela dirinya menjadi milik orang lain.
Apa aku harus menggagalkan acara nanti siang? Namun, tak tega rasanya. Karena bagaimanapun juga Mas Alif sudah seperti kakak sendiri. Dia banyak membantuku. Mulai dari urusan kuliah, hingga urusan pekerjaan. Aku bisa menduduki jabatan ini juga karena dia.
Mas Alif memperkenalkan aku dengan salah satu sahabatnya yang memiliki perusahaan properti. Kebetulan juga, perusahaan tersebut membutuhkan arsitek. Walaupun aku masih harus melewati beberapa tahap ujian untuk bisa lolos, tetap saja semuanya berkat jasa Mas Alif.
Aku segera menuju ruanganku, setelah sampai di kantor. Tak lupa juga aku kabari Reni. Takutnya lupa juga, karena kalau sudah tenggelam dalam pekerjaan, bisa lupa segala hal.
“Assalamu’alaikum Reni, nanti pulang kuliah jam berapa?” sapaku pada Reni melaui panggilan telepon seluler.
“Wa'alaikum salam, hari ini aku pulang agak siang kak, mungkin sekitar jam satu atau jam dua. Ada apa kak?”
“Kakak Cuma mau kasih kabar, nanti pulang kuliah, langsung ke rumah Rania ya. Tadi ibu berpesan pada kakak, maaf tak sempat menyampaikan padamu. Lupa tadi, kata ibu.”
“Ada acara apa kak? Apa acara tasyakuran kelulusan Rania?”
“Penasaran ya. Kasih tahu enggak ya?”
“Kakak nakal, awas ya.”
“Iya, maaf. Acara lamaran, Ren.”
“Apa? Acara lamaran? Siapa kak? Kak Reno melamar Rania? Kenapa enggak bilang sih. Kok mendadak acaranya?”
“Banyak sekali pertanyaannya. Kamu lihat saja nanti deh.”
“Kak, jangan bikin aku kepikiran dong.”
“Memang kenapa kalau aku yang melamar Rania. Aku kan sudah bekerja. Enggak akan merepotkan orang lain.”
“Aku enggak mau kehilangan kamu kak. Aku benci Rania.” Kudengar suara isak tangis Reni.
“Reni, kamu enggak boleh bilang gitu. Kamu sudah dewasa. Kakak juga sudah dewasa. Kita akan menikah dengan pasangan masing-masing. Pasti kita akan berpisah. Hanya jarak yang memisahkan. Hati kita tetap akan selalu bersama. Kakak akan selalu sayang sama kamu, Reni. Sudah jangan menangis. Kakak mau kerja dulu. Assalamu’alaikum.”
“Iya kak. Wa'alaikum salam.” Jawab Reni.
Aku kembali berjibaku dengan pekerjaanku. Supaya bisa melupakan patah hatiku.
“Assalamu'alaikum,” Tya – asistenku mengetuk pintu.
“Wa'alaikum salam, iya masuk,” jawabku.
“Permisi, Pak Reno.”
“Ada apa Tya?”
“Ini berkas-berkas yang harus diperiksa di tanda tangani, Pak Reno.”
“Baik, sini berikan pada saya. Hari ini ada meeting?”
“Tidak ada, Pak. Hari ini jadwal kosong.”
“Baiklah. Ada lagi yang mau disampaikan?”
“Tidak ada pak. Saya permisi.”
“Oke. Terima kasih.”
Aku segera memeriksa berkas-berkas yang diberikan Tya. Aku harus teliti, jangan sampai ada kesalahan. Karena aku berharap semuanya sudah selesai sebelum makan siang. Aku tak ingin terlambat ke rumah Rania.
Ketika sedang sibuk dengan pekerjaanku, tiba-tiba gawaiku berdering. Nama Mas Alif yang muncul. Aku belum bisa menerima panggilannya. Aku selesaikan dulu pekerjaanku.
Tak terasa tiba waktu salat zuhur. Suara adzan berkumandang dengan merdunya. Aku segera menuju masjid di sebelah barat kantor. Kutunaikan kewajibanku sebagai seorang muslim. Kucurahkan kesedihanku, penyesalanku, kesalahanku padaNya.
Seusai salat, aku ambil gawai menghubungi Mas Alif.
“Assalamu’alaikum warrahmatullahi wabarakatuh,” sapaku pada Mas Alif setelah panggilan terhubung.
“Wa'alaikum salam warrahmatullahi wabarakatuh.”
“Maaf, Mas, baru bisa menghubungi, tadi aku agak sedikit repot.”
“Kamu masih di kantor, Reno?”
“Iya Mas, ada yang bisa kubantu?”
“Om dan tante apa sudah bercerita, kalau hari ini hendak melamar Rania? Apa kamu bisa menjemputku? Aku nervous nih. Hehehe.”
“Sudah, Mas. Ibu tadi pagi sudah menyampaikan. Maaf aku belum bisa menjemputmu. Kita bertemu disana saja ya?”
“Baiklah. Tapi kamu janji, pasti datang ya?”
“Iya Mas. Setelah selesai semua pekerjaanku, aku langsung meluncur ke rumah Rania.”
“Oke, makasih. Assalamu’alaikum warrahmatullahi wabarakatuh. “
“Wa’alaikum salam warrahmatullahi wabarakatuh.” Kuakhiri panggilanku.
Aku tak bisa menjemput Mas Alif karena masih ada satu berkas yang belum selesai kuperiksa. Setelah selesai tugasku, aku segera berpamitan pada Tya dan meminggalkan kantor menuju rumah Rania.
Perjalanan terasa begitu cepat, tak terasa aku sudah di depan rumah Rania. Tampak di depan pagar, ada ayah dan ibu juga baru tiba. Aku parkir mobilku dan menghampiri ayah dan ibu.
Kami berjalan menuju pintu rumah Rania. Terdengar di dalam mereka sedang mengobrol serius, kemudian kami mengucap salam, dan disambut dengan hangat oleh keluarga Rania.
Rania tampak sedang bersedih. Pasti dia sudah mengetahui jika akan dilamar. Apakah dia belum siap? Tidak suka? Atau ada hal lain yang mengganjal di hatinya. Sebaiknya kutanyakan saja daripada aku memikirkannya. Namun, tidak kudapatkan jawaban, dia hanya bilang sedang sedih, kemudian terkekeh, sepertinya sedang menghibur diri.
Kami berkumpul di ruang keluarga setelah selesai menikmati jamuan dari keluarga Rania. Tiba-tiba Reni datang dengan raut wajah yang tak karuan. Dia langsung marah dan menyampaikan bahwa tak mengijinkan aku menikah dengan Rania. Ya Allah, kau lupa bilang tadi. Padahal kan niatku hanya mengerjai Reni.
Mas Alif kemana ya, kenapa belum datang? Apa sebaiknya kutelepon saja? Ternyata gawaiku berdering, Mas Alif memanggil. Aku segera keluar dan menjemput Mas Alif. Kulirik raut wajah Rania tampak sumringah. Mungkin dia suka dengan Mas Alif. Siapa yang bisa menolak pesona kakak sepupuku yang satu ini. Dia sudah tinggi, gagah, pandai, tampan, mapan, CEO. Kurang apalagi coba? Aku langsung minder. Sepertinya aku harus melepaskan bayangan Rania untuk sekarang dan selamanya.
Bab 8Hari pernikahan Rania dan Mas AlifHari yang ditunggu akhirnya datang juga. Keluargaku dan keluarga Pakde Halim bersiap-siap untuk persiapan acara pertunangan di rumah Rania. Sebulan setelah hari kedatangan keluarga besarku ke rumah Rania, orang tuanya datang ke rumah kami, menyampaikan bahwa Rania menerima lamaran Mas Alif.Hari ini kulihat Mas Alif nampak bahagia, Pakde dan Budhe Halim nampak sibuk mempersiapkan semuanya. Setelah semua siap, kami segera berangkat ke rumah Rania, jalan kaki saja karena dekat, hanya berjarak tiga rumah.Semua nampak bahagia, tapi tidak denganku. Aku sudah berusaha menghapus rasa cintaku pada Rania. Namun tak semudah itu kenyataannya. Sepertinya aku tak ingin menghadiri acara pertunangan mereka, karena akan membuat luka semakin dalam di hatiku.Aku berusaha tetap tersenyum dan turut berbahagia, walau hatiku tidak. Karena aku tak ingin Mas Alif mengetahui
Bab 9Aku rindu RaniaGawaiku berdering, kulihat nama Rania disana. Ada apa Rania menghubungiku di malam hari? Bukankah seharusnya Rania dan Mas Alif sedang berbulan madu ke Bali? Aku coba mengabaikan sambungan telepon dari Rania, mungkin dia salah tekan nomer. Aku belum siap mendengar suaranya.Akhirnya dering gawaiku berhenti. Sudah kupastikan Rania salah sambung, dia pasti tidak menghubungi aku lagi. Aku melanjutkan tidurku, lelah setelah seharian menyelesaikan pekerjaan kantor, harus meeting dengan pimpinan pusat dan presentasi dengan salah satu klien. Aku segera memejamkan mataku, namun sebelumnya aku setel gawaiku mode diam, karena aku tak ingin diganggu malam ini, esok hari masih banyak berkas yang harus kuselesaikan juga.Tak terasa suara alarmku berbunyi, waktu menunjukkan pukul tiga dini hari. Segera kuraih gawaiku, kumatikan alarm tanpa melihat notifikasi yang masuk di layar benda pipih itu. Sudah menja
Bab 10Rahasia RaniaAku bisa merasakan cinta yang luar biasa bila bersamamu. Namun kini kau telah pergi menjauh, tak dapat kurasakan lagi cintamu. Mengapa aku tak bisa menghapus cinta ini? Mengapa hadirmu selalu menjadi bayang-bayangku?Rania, aku mencintaimu. Aku menyesal karena gagal mendapatkan cintamu. Seandainya kau tahu bahwa sampai detik ini rasa itu tetap ada dan tetap sama seperti awal kita bertemu.Bayang-bayang Rania terus menari di dalam pikuranku. Segera kupacu mobilku agar bisa sampai lebih cepat ke kantor, karena aku ingin segera menghubungiku Rania. Kenapa harus menunggu sampai kantor? Bukankah sekarang aku sedang sendiri? Aku bisa segera menghubunginya.Kutepikan mobil ke tempat yang aman lalu kuraih gawaiku dan menghubungi nomer Rania. Nada panggil tersambung, berkali-kali berbunyi, tapi tak ada sahutan dari seberang sana. Kenapa lama sekali Rania menerima teleponku, membuat
Bab 11Terungkapnya rahasia RaniaKami berjalan memasuki lift, setelah pintu terbuka. Kulihat Rania menekan tombol angka tiga. Aku masih bertanya-tanya, sakit apa Mas Alif hingga Rania memaksaku untuk datang kesini. Apa Mas Alif terbaring di rumah sakit ini?Pintu lift terbuka, Rania keluar terlebih dahulu, aku mengikutinya di belakang. Dekat dugaanku benar, karena sampai detik ini tak kulihat sosok Mas Alif. Kami duduk di sofa ruang tunggu, disana terdapat beberapa pintu, setiap pintu bertuliskan nama dokter dan gelarnya serta nama ruangannya.Kubaca salah satunya poli anak dr. Harjoedi Hadiningrat. Ada juga poli obgyn dr. Dewi Kumala Sari. Sekitar lima menit kami menunggu, kemudian seorang suster menghampiri kami.“Silahkan masuk Bu Rania, dokter Dewi sudah menunggu anda,” ucapnya.“Terima kasih mbak,” jawab Rania.Rania semak
Bab 12Awal kembalinya kebahagiaan RenoAlarmku berbunyi, menandakan pukul tiga pagi. Aku memulai rutinitasku, bergegas ke kamar mandi, membersihkan diri kemudian menunaikan sholat dan melanjutkan dengan lantunan bacaan Al-Qur'an. Tak lama kemudian adzan subuh berkumandang, segera kudirikan sholat subuh dan meminta petunjuk yang terbaik untuk jalan hidupku.Baru kuingat aku belum sempat melihat kiriman dari Mas Alif, kubuka aplikasi hijau, dan memeriksa nama Mas Alif, ada kiriman tangkapan layar berupa bukti transfer ke rekeningku, sebesar dua puluh juta rupiah. Alhamdulillah, terima kasih ya Allah, batinku.Akhirnya aku sampai juga di bandara Ngurah Rai, sebentar lagi aku cek in dan segera terbang ke kota tercinta menemui ayah, ibu dan si bawel Reni.“Reno, Reno, tunggu,” kudengar seseorang memanggil namaku dari kejauhan, ketika aku hendak memasuki pintu cek in bandara. Mungkin ak
Baca 13 Hari bahagia Reno dan Dokter Dewi Ayah dan ibu sedang sibuk mempersiapkan semua keperluan untuk ke Bali, namun tak kulihat keberadaan Reni. Apa mungkin dia masih kecewa jika aku menikah? Reni takut kehilangan aku? “Bu, Reni kemana?” “Tadi ijin sebentar ke kampus karena ada yang mau diselesaikan sama teman-temanya, katanya nanti langsung menemui kita di bandara,” ujar ibu. “Alhamdulillah, kukira ada masalah yang menyebabkan Reni tak ikut ke Bali.” “Enggak, Sayang. Tadi Reni sudah nitip kopernya sama ibu, itu di depan kamarnya koper dan tasnya yang berisi pakaian dan keperluan lainnya sudah siap.” “Inggih, Bu.” “Nanti jangan lupa ya barang-barangnya Reni,” pesan ibu padaku. “Baik, Ibuku sayang.” Hari ini aku tidak berangkat ke k
Bab 14Pernikahan Dokter Dewi“Mohon maaf sekali kepada keluarga Reno. Maksud Dewi adalah dia menolak jika acara pertunangan diadakan esok hari. Sebaiknya acara pernikahan segera saja dilangsungkan, tidak perlu acara tunangan. Dewi trauma jika sudah bertunangan dan acara pernikahan ditunda, takut akan terjadi lagi hal yang tidak diinginkan. Jadi begitu maksud Dewi. Maaf atas kesalah pahaman ini. Bagaimana Nak Reno sekeluarga apa berkenan jika acara akad nikah disegerakan saja?” panjang lebar dijelaskan pamannya Dokter Dewi.Dokter Dewi hanya menunduk dan tersipu malu. Dalam hatiku mengucap syukur alhamdulillah, jadi juga acara melamarnya.“Alhamdulillah kalau begitu Pak, ciba kita tanyakan saja kepada Reno. Bagaimana, Nak?” tanya ayah padaku.Aku hanya mengganguk saja. Karena kasihan juga, Dokter Dewi sudah kehilangan ayah dan ibunya serta calon suami. Pasti dia sangat
Bab 15 Musibah keluarga Reno Pov author Pernikahan Reno dan Dokter Dewi berjalan dengan lancar, sekitar jam dua sore para tamu sudah mulai pulang dari perhelatan yang sederhana ini tapi tetap sakral. Keluarga besar Reno kembali ke kamar hotel setelah selesai acara di ballroom hotel, kebetulan tempat acara pernikahan dan menginap berdekatan. Karena acara yang mendadak, Reno dan Dokter Dewi untuk sementara masih harus menjalani pernikahan jarak jauh, kalau kata anak jaman now LDR—long distance relationship. Besok Dokter Dewi ijin cuti satu minggu, karena akan menemani Reno ke Malang dan untuk mengadakan tasyakuran sederhana pernikahan mereka yang mengundang tetangga dan rekan kerja Reno. Alhamdulillah Pak Bos Reno ikut ke Bali, jadi dengan mudah Reno mendapatkan ijin untuk mengambil cuti dan keperluan lainnya, bahkan Pak Bos memberi kesempatan pada Reno untuk bulan madu satu minggu di B
Bab 22Siapa di ruang ICU?Gawai Reno berdering ketika sedang dalam perjalanan menuju rumah sakit. Nama Rania tertera di layar. Reno segera menerima panggilan teleponnya dan hendak menyampaikan pada Rania bahwa dia belum bertemu dengan suaminya—Mas Alif.Rania berniat menyampaikan Bela sungkawa atas kepergian dokter Dewi, Rania juga menanyakan apakah Reno sudah bertemu dengan Mas Arif dan dia juga meminta maaf belum sempat untuk berangkat ke Bali karena Rania baru membaca informasi bahwa dokter Dewi telah meninggal setelah salat subuh tadi.Reno mengatakan bahwa dia belum bertemu dengan Mas Alif.Rania bertanya apakah sebaiknya dia berangkat ke Bali. Kemudian Reno menjelaskan jika ada waktu sebaiknya Rania berangkat ke Bali. Akhirnya dia memutuskan untuk segera memesan tiket dan menyusul berangkat ke Bali.Setelah sampai di rumah sakit, Reno segera mend
Bab 21Jasad siapa?Suster membuka perlahan pintu kamar jenazah. Dia menuntun Reno dan Pak Polisi mengikutinya.“Silahkan diperiksa Pak Reno, apakah anda mengenalinya?” kata suster rumah sakit pada Reno.“Baik, Bu,” jawab Reno dengan perasaan yang was-was.Bismillah, aku harus siap apapun yang terjadi batin Reno.Perlahan suster membuka kain yang menutup jenasah tersebut. Hanya dalam hitungan detik, Reno langsunh terkulai lemas. Sekujur tubuhnya seperti mati rasa. Dia ambruk, terduduk di lantai kamar jenasah. Suster segera menutup kembali kain putih yang tadi dibukanya.‘Inna lillahi wa inna ilaihi roji'un,” Reno mengucapkannya dengan gemetar.Pak Polisi berusaha membimbing Reno untuk berdiri. Akhirnya Reno bisa bangkit lagi, kemudian suster mengarahkan Reno dan Pak Polisi untuk ber
Bab 20Reno menyelidiki kasus sampai ke rumah sakitReno menuju resepsionis dan menjelaskan semua kejadiannya, setelah sampai di Rumah Sakit.Pihak Rumah Sakit meminta identitas Reno dan mengambil fotonya kemudian dikirim pada polisi yang bertugas menyelidiki tentang kecelakaan ini.Pihak rumah sakit menjelaskan bahwa korban sopir taxi selamat namun sedang dirawat di ruang ICU karena kondisinya yang parah. Dua korban penumpang, yang satu tidak dapat diselamatkan dalam perjalanan menuju rumah sakit, sedangkan satu korban penumpang di ruang ICU juga.Reno berhasil mendapatkan informasi dimana korban ditempatkan.“Anda hendak melihat korban yang di ICU atau yang meninggal? Tanya Pak Polisi pada Reno.“Sebaiknya korban meninggal duluan, Pak,” ujar Reno.Seorang suster dan Pak polisi membawa Reno ke sebua
Bab 19Satu per satu fakta terungkapReno segera meninggalkan rumah setelah ojek yang dipesan datang menghampiri dan segera menuju losmen terdekat, karena dia tak mau boros jika harus menginap di hotel. Sungguh kekecewaan yang muncul di hatinya. Reno tak menyangka ini semua bisa terjadi.Satu-satunya orang yang telah memberinya kepercayaan penuh untuk menjalin hubungan pernikahan, tetapi mengapa malah menyakiti hatinya.Kecewa sudah pasti. Sekarang dia bingung harus bagaimana membuat keputusan. Apakah memberi kesempatan untuk Dokter Dewi memberikan penjelasan dan memaafkan semuanya asal mereka berjanji tidak akan melanjutkan hubungan terlarang mereka, atau berhenti disini saja?Rasanya tak sanggup Reno harus menjalani semuanya. Rania, tiba-tiba dia teringat akan Rania. Apa yang harus dijelaskan padanya? Atau sebaiknya diam saja dan berpura-pura tidak mengetahui peristiwa tragis yang barusan te
Bab 18Akhirnya bertemu dengan Dokter Dewi dan Mas AlifReno melajukan kendaraannya ke arah bandara. Setelah sampai di parkiran mobil, dia segera menuju ke maskapai penerbangan yang digunakan istrinya dan Mas Alif.“Selamat siang, Pak, ada yang bisa kami bantu?” tanya pegawai maskapai penerbangan tersebut.“Selamat siang, ada beberapa yang ingin saya tanyakan masalah penerbangan pagi ini,” jawab Reno.“Mari, Pak silahkan duduk dulu,” ujar pegawai itu.“Baik, Pak, perkenalkan nama saya Weni, silahkan dijelaskan lagi,” ujarnya.“Jadi begini, tadi pagi istri saya dan kakak saya pergi dengan tujuan ke Bali menggunakan maskapai penerbangan ini. Namun sampai siang ini, mereka tidak bisa saya hubungi. Nomer ponselnya masih belum aktif,” jelas Reno pada Bu weni.&ldq
Bab 17Rania kebingungan mencari Mas AlifAkhirnya dia berpikiran untuk menghubungi Rania, ketika mencari nama Rania di kontak teleponnya, ternyata ada panggilan masuk pada ponselnya dari Rania maka Reno langsung menggeser tombol hijau yang bergoyang-goyang.[Assalamu’alaikum, Reno, maaf sebelumnya apa saya bisa meminta tolong?]Belum sempat Reno berbicara, rania sudah menyapanya terlebih dahulu.[Wa’alaikumsalam iya, Rania apa yang bisa kubantu?]Reno terdiam sejenak, tidak langsung menceritakan bahwa Dokter Dewi dan Mas Alif tidak bisa dihubungi.[Kamu sekarang berada dimana?][Aku masih di kantor, baru selesai sholat][Maaf sebelumnya, apa Dokter Dewi sudah sampai Bali?]Aku tersentak mendengar pertanyaannya, belum satu pertanyaan aku jawab, dia sudah bertanya lagi.&n
Bab 16 Pov author Lebih baik kucoba mencoba menghubungi Mas Alif, mungkin dia sudah mengaktifkan ponselnya, pikir Reno. “Nomor yang anda tuju sedang berada di luar jangkauan,” jawaban yang sama dengan panggilan pada Dokter Dewi. Reno mencoba lagi memanggil nomer Mas Alif, ternyata masih saja jawaban yang sama yang diterima olehnya. Reno terduduk lemas di kursi kantin, apa yang terjadi pada istrinya dan Mas Alif? Ya Allah semoga mereka berdua baik-baik saja, Reno benar-benar gelisah memikirkan ini semua. Namun bisikan setan mengganggu pikirannya. Apakah mungkin Mas Alif dan Dokter Dewi memiliki hubungan spesial? Pikiran Reno menari-nari, apakah kini mereka sedang berduaan? Sehingga ponsel mereka dibiarkan mati. Mereka berpura-pura bertemu di bandara, padahal sesungguhnya sudah membuat janji untuk pergi bersama dan bebas melakukan apa saja di sana t
Bab 15 Musibah keluarga Reno Pov author Pernikahan Reno dan Dokter Dewi berjalan dengan lancar, sekitar jam dua sore para tamu sudah mulai pulang dari perhelatan yang sederhana ini tapi tetap sakral. Keluarga besar Reno kembali ke kamar hotel setelah selesai acara di ballroom hotel, kebetulan tempat acara pernikahan dan menginap berdekatan. Karena acara yang mendadak, Reno dan Dokter Dewi untuk sementara masih harus menjalani pernikahan jarak jauh, kalau kata anak jaman now LDR—long distance relationship. Besok Dokter Dewi ijin cuti satu minggu, karena akan menemani Reno ke Malang dan untuk mengadakan tasyakuran sederhana pernikahan mereka yang mengundang tetangga dan rekan kerja Reno. Alhamdulillah Pak Bos Reno ikut ke Bali, jadi dengan mudah Reno mendapatkan ijin untuk mengambil cuti dan keperluan lainnya, bahkan Pak Bos memberi kesempatan pada Reno untuk bulan madu satu minggu di B
Bab 14Pernikahan Dokter Dewi“Mohon maaf sekali kepada keluarga Reno. Maksud Dewi adalah dia menolak jika acara pertunangan diadakan esok hari. Sebaiknya acara pernikahan segera saja dilangsungkan, tidak perlu acara tunangan. Dewi trauma jika sudah bertunangan dan acara pernikahan ditunda, takut akan terjadi lagi hal yang tidak diinginkan. Jadi begitu maksud Dewi. Maaf atas kesalah pahaman ini. Bagaimana Nak Reno sekeluarga apa berkenan jika acara akad nikah disegerakan saja?” panjang lebar dijelaskan pamannya Dokter Dewi.Dokter Dewi hanya menunduk dan tersipu malu. Dalam hatiku mengucap syukur alhamdulillah, jadi juga acara melamarnya.“Alhamdulillah kalau begitu Pak, ciba kita tanyakan saja kepada Reno. Bagaimana, Nak?” tanya ayah padaku.Aku hanya mengganguk saja. Karena kasihan juga, Dokter Dewi sudah kehilangan ayah dan ibunya serta calon suami. Pasti dia sangat