Aku terbangun, aku berada di ranjang rumah sakit. Kepalaku masih sedikit pusing, ternyata kepalaku diperban pada bagian yang tadi berdarah.
"Kamu sudah sadar," ucap Bu Minah.Beliau mendekatiku, dibantunya aku untuk duduk."Mas Ilham di mana, Bu?" tanyaku."Ilham lagi bicara sama Dokter. Katanya sih kalau kamu sadar sudah boleh pulang. Tadi hanya luka, beruntung tidak terlalu parah," jawab Bu Minah. "Ibu selalu keluarga dari Sindi mohon maaf sama kamu, Kinan," ucap Bu Minah."Kenapa ibu yang meminta maaf?" tanyaku. "Yang buat kesalahan saja mana gak ada iktikad baiknya buat minta maaf," ucapku.Mas Ilham datang, dia tersenyum melihat aku sudah sadar. Dia segera mengurus administrasi dan menebus obat."Sayang, meskipun kamu boleh pulang. Tapi kamu harus istirahat," kata Mas Ilham."Iya, Mas," jawabku.Sampai di rumah, aku minum obat lalu istirahat. Baru beberapa menit terlelap terdengar suara gaduh di luAku dan Mas Ilham memilih pulang. Kami tak ada niatan untuk ke rumah sakit menjenguk Bila. Mereka juga pasti tak akan mau untuk dijenguk."Sayang, ayo kita ke acara papa!" Ajak Mas Ilham. Kami semua sudah siap, Sofia dan Dina tak ikut datang. Mereka sibuk dengan kerjaan masing-masing.Sampai di rumah papa, semua sudah siap tinggal menunggu ijab qobul. Papa dengan lancar mengucap ijab qobul. Papa kini memilih menikah dengan seorang janda yang sangat taat beragam. Beliau bahkan sudah pernah ke tanah suci.Entah bagaimana papa mendapatkan hati beliau, yang jelas aku sekarang ikut bahagia.Acara sudah selesai aku pamit pada Papa dan istri barunya-- Mama Lena.Sampai di rumah ku lihat Bi Sri tengah berbicar dengan Bu Siti."Mbak Kinan gak jenguk Bila?" tanya Bu Siti. "Kabarnya Bila lumpuh, Mbak," kata Bu Siti.Aku gak menyangka kecelakaan itu sampai membuat Bila lumpuh."Oh iya, nanti atau mungkin malam," j
Esoknya aku dan Mas Ilham berangkat, kami akan pergi dalam waktu beberapa hari. Oh ya soal kedatangan keluarga Seno, mereka sudah menetapkan hati pertunangan Seno dan Dina. Tepatnya satu minggu lagi.Aku sampai di tempat tujuan, setelah istirahat kami langsung ke rumah sakit. Kami konsultasi dan esok akan melakukan operasi.Benar saja esoknya aku siap untuk operasi wajah. Tentu saja Mas Ilham selalu menemani aku.Butuh waktu beberapa jam proses operasi. **Hingga hari ketiga aku di rumah sakit, waktunya untuk pembukaan perban. Aku menanti hasilnya begitu juga Mas Ilham.Dokter membuka perban perlahan, dan sedikit demi sedikit perban terbuka. Kini aku sudah bisa melihat wajah baruku. Wajah yang semula tak rata dan mulus kini kembali mulus."Sayang, kamu cantik kembali," ucap Mas Ilham.Aku mulai kangen pada anak-anakku. Aku meminta agar Mas Ilham segera mengurus kepulanganku. Apalagi hari pertunangan Dina makin
Acara pertunangan Dina dan Seno sudah selesai. Semua tamu yang hadir sudah pulang."Mas, apa kamu pernah bertemu dengan Siska sebelumnya?" tanyaku."Pernah sekali, saat itu aku diutus Pak Willi ke perusahaan tempat Siska bekerja. Itu sebelum Arfan kerja di sana,'' jawab Mas Ilham.Mas Ilham dan aku lalu tidur karena besok harus kembali bekerja.**Mas Ilham pergi kerja pagi sekali, Dina juga sudah berangkat kerja. Sementara Sofia masih sibuk di kamar.Aku mendengar bunyi bel, Ku minta Bi Sri membuka pintu."Bu, ada tamu. Beliau kayaknya orang dari keluarga Mas Seno," ucap Bi Sri."Oh ya bentar," ucapku beranjak ke ruang tamu. "Siska..," panggilku.Wanita itu menoleh ke arahku dengan tatapan sinis."Aku kira istri Ilham tuh lebih muda dan cantik tapi ternyata udah tua. Malah usianya lebih tua dari Ilham," kata Siska."Maaf ada kepentingan apa kamu ke sini?" tanyaku."Aku hanya
"Lalu kamu jawab apa, Mas?" tanyaku.Tentu aku penasaran dengan jawaban Mas Ilham pada Siska."Ya aku jawab, aku mencintaimu," jawab Mas Ilham. "Lalu kalau tidak jawab itu kamu mau aku jawab apa?" tanya Mas Ilham."Entahlah, siapa tahu kamu jawab benci aku," jawabku."Kamu ada-ada saja," kata Mas Ilham.Magrib tiba, kini kamu melaksanakan salat berjamaah. Selesai salat kami mengaji bersama. Bersama Mas Ilham aku selalu diajarkan banyak hal, agama dan bersikap dewasa.Saat kami tengah asyik mengaji, aku mendengar suara bel. Entah siapa orang yang bertamu di waktu magrib seperti ini."Pak Ilham, ada tamu," kata Bi Sri."Siapa, Bi?" tanya Mas Ilham setelah berhenti mengaji."Bu Siska," jawab Bi Sri.Kami lalu mengakhiri acara mengaji kami. Mas Ilham segera ke ruang tamu sementara aku mengantar Kiara untuk belajar. Aku membantu Kiara mengoreksi tugas rumahnya. Selesai belajar, Kiara bermain dengan
"Bagaimana Pak Ilham, apa bapak bersedia menikahi saya?" tanya Siska. "Aku cantik, dan sudah jadi direktur di perusahaan besar. Cocok jika kita bersanding, Pak," kata Siska."Benar kita memang cocok," kata Mas Ilham.Aku tercengang mendengar jawaban Mas Ilham."Akhirnya Pak Ilham mau mengakuinya di depan istri Pak Ilham," kata Siska. "Aku yakin selama ini Pak Ilham suka sama saya, hanya saja Pak Ilham belum berani mengaku," kata Siska."Maaf sepertinya anda salah faham. Maksudnya kita cocok dalam urusan bisnis. Tapi soal pernikahan maaf anda bukan selera saya," ucap Mas Ilham.Seketika aku merasa senang melihat apa yang Mas Ilham ucapkan pada Siska."Lalu selera anda bagaimana?" tanya Siska."Seperti istriku ini," jawab Mas Ilham menunjukku. "Penyabar dan tentu setia," sambung Mas Ilham.Siska melirik sinis ke arahku, dia pasti kecewa mendengar jawaban dari suamiku."Selera saya bukan anda yang suka mer
Esoknya aku ke toko, aku sengaja membawa mobil sendiri karena aku hanya sebentar saja dan sekalian nanti menjemput Kiara sekolah.Sejak tadi aku merasa ada sepeda motor yang terus mengikutiku. Dia hanya satu orang tetapi memakai jaket sehingga aku tak tahu."Siapa sih dia?" tanyaku sambil melirik spion.Sampai di toko aku masuk ke dalam dan mengecek laporanku. Aku juga melihat barang yang sekiranya perlu untuk diganti. Ku lihat pria yang tadi mengintai aku berada tak jauh dari toko. Dia melihat ke arah toko."Mencurigakan," kataku."Siapa Bu yang mencurigakan?" tanya salah satu karyawanku."Oh itu, lihat pria di depan saja yang pakai jaket hitam duduk di atas motor," jawabku.Karyawanku melihat ke arah yang aku tunjukkan. Dia mengangguk tanda mengerti."Sejak ke luar rumah aku di ikuti, entah apa tujuannya," ucapku."Bu Kinan hati-hati kalau bisa jangan pergi sendiri," kata karyawanku."Iya sih
Tiba-tiba Siska berlutut di depan Mas Ilham. Sehingga membuat kamu merasa kesal."Mas Ilham, aku gak mau dipecat. Tolong bantu aku!" Pinta Siska menangis dan berlutut.Mas Ilham menjauh, "Berdiri, tak ada gunanya kamu menangis di sini," kata Mas Ilham. "Jangan buat aku malu dengan kamu menangis di depan rumahku subuh-subuh seperti ini," kata Mas Ilham."Kita masuk saja, Mas," ucapku menarik tangan Mas Ilham.Kami biarkan Siska di depan rumah. Sesaat kemudian dia sudah pergi. Selesai salat subuh, aku dan ibu memasak untuk sarapan. Sementara Mas Ilham memilih untuk joging bersama kedua adiknya dan Kiara."Kinan...Kinan...," suara Mas Arfan.Ku minta ibu meneruskan pekerjaanku, lalu aku membuka pintu karena Mas Arfan terus menggedor pintu."Ada apa, Mas?" tanyaku.Ku lihat ada beberapa orang melihat ke arah kami saat mereka lewat."Maksud suami mu apa? Dia udah bikin Siska terancam di pecat," kat
Malam itu juga ku ajak Mas Ilham mendatangi Bila. Aku tak mau dibohongi jadi untuk memastikannya aku datangi rumah Bila."Bu Asih, Bila ada?" tanyaku."Ada silahkan masuk!" Perintah Bu Asih .Kami masuk dan melihat Bila ada di ruang keluarga sedang menonton televisi."Kinan, ada apa?" tanya Bila."Bila, tolong jawab jujur!" Pintaku. "Apa benar kamu dan Mas Arfan yang sudah membuat wajahku rusak?" tanyaku.Bila wajahnya mendadak pucat, pasti dia tak menyangka kalau aku menanyakan hal itu."Jawab Bila, Mas Arfan sudah mengaku. Dan aku perlu kejujuran kamu juga," kataku."Ma-maaf Kinan, aku melakukannya karena Mas Arfan," ucap Bila. "Aku awalnya tak mau ikut, tapi Mas Arfan memaksa," kata Bila."Kalian jahat, aku gak akan maafkan kalian," kataku."Nak Kinan, Ibu minta tolong jangan laporkan Bila. Kasihan dia kalau di penjara," kata Bu Asih. "Lihat saja keadaannya dia sudah dapat karmanya," kata Bu