Kiara sudah pindah ke rumah Mas Arfan dan Bila. Aku meminta penjelasan pada Mas Ilham mengapa dia mengizinkan Kiara ikut dengan mereka.
"Mas, maksudmu apa?" tanyaku heran."Biarkan saja Kiara ikut mereka. Seberapa tahan mereka menghadapi Kiara. Biar Kiara bisa membedakan enak mana tinggal sama kamu atau sama Bila," jawab Mas Ilham."Kalau Kiara betah di sana gimana, Mas?" tanyaku."Tugas kita hanya membuat Kiara tak betah di sana," jawab Mas Ilham.Mas Ilham lalu menceritakan rencananya agar membuat Kiara tak betah bersama Mas Arfan. Aku berharap rencana Mas Ilham berhasil.**Hari pertama di rumah Mas Arfan, ku lihat Mas Arfan mengantar Kiara ke sekolah seperti biasa tapi sendirian tidak dengan Bila.Aku masih memantau melalui kamera yang aku pasang di tas Kiara.Mas Arfan masih bersikap biasa saja pada Kiara. Dia memperlakukan Kiara dengan baik.Sesuai rencana malamnya Mas Ilham meminta untukSetelah ku selidiki, ternyata Mas Ilham dan sekertarisnya tak ada hubungan apapun hanya sebatas rekan kerja saja. Aku yang dulu pernah kerja di sana tentu banyak mengenal karyawan lama.Pagi itu seperti biasa Mas Arfan dan Bila kembali meminta sarapan pada kami. Padahal anggota keluargaku sudah banyak masih ditambah mereka berdua."Kalian tuh ngapain sih minta makan terus?" tanya Dina kesal. "Gak tahu malu amat," ucap Dina."Alah cuma makan aja jangan pelit. Ingat aku ini tuh papanya Kiara," bantah Mas Arfan.Sebel rasanya terus-menerus melihat mantan suamiku itu di rumah tiap pagi. Udah pengangguran makan aja minta melulu. Bila juga gak tahu malu banget.Mereka bukan tanggung jawab keluargaku tapi dengan enaknya makan tiap pagi di rumahku."Kalau kamu papanya Kiara, kenapa kamu gak ngasih nafkah untuk Kiara? Justru kamu datang merepotkan aku," bantahku."Tenang saja entar kalau aku sudah dapat kerjaan gak akan minta ma
Entah mengapa aku malah kepo dengan pekerjaan baru Mas Arfan. Pasalnya setiap pergi dia tampak rapi, namun saat pulang ku lihat wajahnya sangat kusut dan terlihat capek."Kinan, ngapain kamu di situ?" tanya Bu Minah saat aku mengintip Mas Arfan yang baru pulang kerja."Penasaran aja, Bu. Mas Arfan kerja apa ya? Kok berangkat rapi banget tapi pulang-pulang wajahnya tampak lelah," jawabku."Udah jangan ngepoin hidupnya orang, entar kamu yang dikepoin sendiri," tegur Bu Minah.Aku lalu ke kamar segera mandi sebelum Mas Ilham pulang. Mas Ilham bilang, dia sudah berbicara dengan Pak Willi soal operasi wajahku nanti.Selesai mandi ku lihat Mas Ilham baru saja pulang. Ku minta dia segera mandi agar tubuhnya seger lagi. Mas Ilham menurut, ku siapkan baju ganti untuk Mas Ilham.Aku ke dapur menemani Bi Sri memasak. Ada Bu Minah juga sedang membuat kue."Sore-sore buat kue mau buat siapa, Bu?" tanyaku."Ibu ada pesanan,"
Aku tak lagi membahas soal Mas Arfan ataupun pekerjaannya. Aku tak mau membuat Ilham cemburu. Soalnya setelah aku berada di kamar waktu itu dengannya. Dia mengungkapkan kalau cemburu melihat aku kepo dengan hidupnya Mas Arfan."Arfan hanya masa lalu mu, jadi jangan korek info apapun tentang dia. Apa kamu mau bikin aku cemburu?" tanya Mas Ilham dan sontak membuat aku ingin ketawa.Dan mulai saat itu aku gak peduli lagi dengan Mas Arfan apapun itu.Seperti biasa, aku keluar rumah dengan Marvel dan Kiara. Tidak lupa kami di temani Baby sitternya Marvel. Kami hanya jalan-jalan sekitar komplek saja sore itu."Mbak Kinan, Mbak Kinan sudah lihat perhiasan Mbak Bila belum?'' tanya Bu Siti."Udah, Bu. Kan habis beli perhiasan di posting di WA," jawabku."Mbak Kinan gak beli juga perhiasan sama kaya Mbak Bila?" tanya Bu Siti."Gak, Bu. Di rumah ada aja jarang aku pakai," jawabku.Setelah kepergian Bu Siti, aku bertemu Bil
"Ya udah kamu buat nasi goreng udang aja," kataku."Oke kalau itu," kata Sofia.Pagi itu Mas Ilham berangkat kerja, diikuti dengan Sofia dan Dina. Kini tinggal aku dan ibu saja dan beberapa pekerja.Setelah itu aku pergi ke toko sebentar. Aku mau memantau toko. Karena besok hari Minggu dan aku akan menjual baju lama yang belum laku.Ku siapkan semua baju lama, ku siapkan juga menekin dan beberapa gantungan. Setelah selesai aku pulang.Ternyata di depan rumahku ada seorang pria. Dia sedang berbicara dengan ibu. Aku melihat juga ada mobil yang terlihat masih baru."Assalamualaikum, Bu. Ibu beli mobil?" tanyaku."Eh enggaklah," jawab Bu Minah. "Mas ini nanya rumahnya Bila, tapi orangnya gak ada," kata Bu Minah."Orangnya sudah di telfon, Mas?" tanyaku."Sudah, Mbak. Katanya sebentar lagi pulang," jawab pria itu.Entah mengapa aku kepo sekali dengan mobil baru Bila. Ternyata saat aku panas-panasin
Aku geram ku dekati mereka dengan penuh amarah."Oh jadi dia orang bayaran Mbak Sindi," kataku.Wanita itu dan Mbak Sindi langsung terkejut ada aku di belakang mereka. Tidak lama kemudian Mas Ilham datang dengan menggendong Marvel."Loh dia kan wanita yang minta baju tadi," kata Mas Ilham," kata Mas Ilham."Iya, dia orang suruhan Mbak Sindi, Mas," ucapku."Ya ampun, Mbak. Kenapa Mbak Sindi tega. Mbak udah diberi pekerjaan sama Kinan. Tiap bulan juga diberi baju baru buat anak Mbak Sindi. Kurang baik apa Kinan sama Mbak Sindi?" tanya Mas Ilham."Sudahlah, Mas. Biarkan saja," kataku. "tapi ingat, Mbak. Besok gak usah kerja lagi di tempatku," ucapku."Kinan, jangan pecat aku," kata Mbak Sindi. Aku tak peduli lagi pada dia yang mengiba.Aku ajak Mas Ilham segera kembali ke lapak. Aku sangat kesal sekali hingga memilih diam sambil bermain dengan Marvel.Tepat pukul 11.00 baju yang kami jual hampir habis. Aku
Aku terbangun, aku berada di ranjang rumah sakit. Kepalaku masih sedikit pusing, ternyata kepalaku diperban pada bagian yang tadi berdarah."Kamu sudah sadar," ucap Bu Minah.Beliau mendekatiku, dibantunya aku untuk duduk."Mas Ilham di mana, Bu?" tanyaku."Ilham lagi bicara sama Dokter. Katanya sih kalau kamu sadar sudah boleh pulang. Tadi hanya luka, beruntung tidak terlalu parah," jawab Bu Minah. "Ibu selalu keluarga dari Sindi mohon maaf sama kamu, Kinan," ucap Bu Minah."Kenapa ibu yang meminta maaf?" tanyaku. "Yang buat kesalahan saja mana gak ada iktikad baiknya buat minta maaf," ucapku.Mas Ilham datang, dia tersenyum melihat aku sudah sadar. Dia segera mengurus administrasi dan menebus obat."Sayang, meskipun kamu boleh pulang. Tapi kamu harus istirahat," kata Mas Ilham."Iya, Mas," jawabku.Sampai di rumah, aku minum obat lalu istirahat. Baru beberapa menit terlelap terdengar suara gaduh di lu
Aku dan Mas Ilham memilih pulang. Kami tak ada niatan untuk ke rumah sakit menjenguk Bila. Mereka juga pasti tak akan mau untuk dijenguk."Sayang, ayo kita ke acara papa!" Ajak Mas Ilham. Kami semua sudah siap, Sofia dan Dina tak ikut datang. Mereka sibuk dengan kerjaan masing-masing.Sampai di rumah papa, semua sudah siap tinggal menunggu ijab qobul. Papa dengan lancar mengucap ijab qobul. Papa kini memilih menikah dengan seorang janda yang sangat taat beragam. Beliau bahkan sudah pernah ke tanah suci.Entah bagaimana papa mendapatkan hati beliau, yang jelas aku sekarang ikut bahagia.Acara sudah selesai aku pamit pada Papa dan istri barunya-- Mama Lena.Sampai di rumah ku lihat Bi Sri tengah berbicar dengan Bu Siti."Mbak Kinan gak jenguk Bila?" tanya Bu Siti. "Kabarnya Bila lumpuh, Mbak," kata Bu Siti.Aku gak menyangka kecelakaan itu sampai membuat Bila lumpuh."Oh iya, nanti atau mungkin malam," j
Esoknya aku dan Mas Ilham berangkat, kami akan pergi dalam waktu beberapa hari. Oh ya soal kedatangan keluarga Seno, mereka sudah menetapkan hati pertunangan Seno dan Dina. Tepatnya satu minggu lagi.Aku sampai di tempat tujuan, setelah istirahat kami langsung ke rumah sakit. Kami konsultasi dan esok akan melakukan operasi.Benar saja esoknya aku siap untuk operasi wajah. Tentu saja Mas Ilham selalu menemani aku.Butuh waktu beberapa jam proses operasi. **Hingga hari ketiga aku di rumah sakit, waktunya untuk pembukaan perban. Aku menanti hasilnya begitu juga Mas Ilham.Dokter membuka perban perlahan, dan sedikit demi sedikit perban terbuka. Kini aku sudah bisa melihat wajah baruku. Wajah yang semula tak rata dan mulus kini kembali mulus."Sayang, kamu cantik kembali," ucap Mas Ilham.Aku mulai kangen pada anak-anakku. Aku meminta agar Mas Ilham segera mengurus kepulanganku. Apalagi hari pertunangan Dina makin