Sebenarnya Gerald bukan kesal dengan Bian dan Misell. Ia kesal pada dirinya sendiri, karena telah gagal. Gerald tak pernah tahu di mana ia bisa menemukan Misell, sedangkan Misell memilih untuk mencari orang lain daripada dirinya. Orang itu adalah, Bian.
"Syukurlah, kamu sudah balik." Gerald memilih mengucapkan kalimat itu, daripada harus mengucapkan kalimat lain yang nantinya akan menimbulkan banyak perdebatan.
Namun ternyata, Misell sadar jika laki-laki di depannya ini butuh penjelasan. "Ger, kita bicara besok ya? Maaf, aku masuk dulu," kata Misell kemudian berlalu masuk ke dalam rumah.
Gerald menatap punggung Misell yang semakin hilang di balik pagar. Rasa kecewa dan kesal pada dirinya sendiri semakin berteriak. Namun, ada sedikit perasaan lega, karena melihat perempuan itu baik-baik
Gerald melewatiweekend-nya dengan buku-buku latihan soal UN yang sangat memusingkan ini. Namun, baru dua jam lamanya ia sudah lelah belajar.Telepon yang ia tunggu-tunggu dari Misell, tak kunjung datang. Sudah dua hari lamanya ia tidak fokus belajar karena selalu bolak-balik untuk mengecekhandphone-nya.Entah sudah berapa kali Gerald mengeceknya, hingga akhirnya ia memberanikan diri untuk menelepon Misell lagi terlebih dahulu.Suara gadis itu muncul di seberang sana. "Hallo, Ger?"Singkat, padat, nada yang datar. Tiga hal itu bukan jawaban Misell seperti biasanya. Sebelumnya, Misell selalu mengangkat telepon dengan nada ceria dan langsung bicara panjang lebar. Namun, berbeda saat ini. "Kamu k
Sesuai janjinya, setelahtry outhari ini selesai, Misell menunggu Gerald di dekat lab komputer. Bukan untuk pulang bersama, tapi menyerahkan soal-soal kimia yang sudah dibuatnya."Makasih, Sell. Sabar ya, pasti aku kerjain. Sekarang fokustry outdulu," kata Gerald ketika menerima tumpukan kertas dari Misell.Misell tersenyum. "Aku juga nggak maksa kamu buru-buru kok. Sampe lulus juga nggak apa-apa, hahaha."Gerald balas tersenyum seraya mengelus puncak kepala Misell lembut.Mata Misell menangkap keberadaan Bian yang baru saja keluar dari lab komputer bersama Tama dan Arya. Ya, kelas mereka juga termasuk kelas yang satu sesitry outdengannya.
Pradipta melempar kertas hasil try outGerald setelah ia membacanya."Sudah tahu 'kan, apa yang harus kamu lakukan?" tanya Pradipta dengan penuh penekanan.Gerald dengan ragu menjawab, "Pa, Gerald bisa buktiin ditry outselanjutnya.""Di dunia ini nggak ada yang namanya kesempatan kedua, Ger! Kalau kamu terus mengandalkan kesempatan kedua, kamu akan jauh di belakang orang-orang yang sudah berhasil di kesempatannya yang pertama."Gerald diam. Lalu, Papa Gerald kembali membuka suaranya. "Siapa peringkat satu paralel?""Emm—""Bian?" potong Pradipta tepat sasaran.
Mobil hitam yang dinaiki oleh Gerald dan Misell berhenti di sebuah toko bunga yang terletak tak jauh dari sekolahnya.Sebelumnya, mereka juga sempat berhenti di toko kue dan membeli kue ulang tahun. Misell masih bertanya-tanya,sebenarnya Gerald ingin mengajak ke mana? Memangnya siapa yang ulang tahun?"Kita mampir ke toko bunga sebentar, ya?" kata Gerald pada Misell yang terlihat kebingungan."I-iya Ger." Misell mengiyakan, walaupun sebenarnya ia juga sedang penasaran.Harumnya bunga memasuki indra penciuman Misell tanpa diminta, saat ia melangkahkan kakinya masuk ke toko bunga tersebut. Sangat tenang dan sejenak mampu membuatnya melupakan segala masalah yang sedang dihadapi.
"Gadis bodoh! Kenapa dia lebih pilih kamu daripada Bian? Padahal 'kan, Bian jauh lebih baik dari kamu," kata Pradipta pada Gerald, saat sedang perjalanan pulang.Gerald menoleh seraya menampilkan wajah bingungnya. "Kok Papa—""Papa tau dia waktu Papa ke rumah Bachtiar," jelas Papa Gerald. Ia melanjutkan ucapannya, "Saingan itu nilai pelajaran! Bukan saingan perempuan!"Gerald diam. Ia tidak mau membantah perkataan papanya karena sudah lelah menanggapinya. Yang ia harapkan sekarang adalah segera sampai ke rumah, dan menelepon Misell untuk memberinya sedikit kepastian.*****Misell tak tahu mengapa hatinya sesakit ini, mendengar ucapan Papa Gerald kepadanya. Ia memilih pergi dan
Siapa yang menyangka dua bulan bisa lewat secepat roda yang berjalan di turunan? Begitulah waktu, dia bisa berjalan sangat cepat saat kita tidak ingin dia berjalan lambat, dan akan berjalan sangat lambat saat kita menginginkan waktu cepat berlalu.Semua kegiatan pribadi mereka masih berjalan baik. Misell yang selalu mengantarkan papanya cuci darah secara rutin. Bian yang kerjaannya selalu bolak-balik tempat bimbel untuk mengejar impiannya. Sedangkan Gerald, setiap pulang sekolah ia selalu pergi ke makam mamanya untuk mencari semangatnya yang telah hilang, ia juga telah berhasil mendapatkan nilai delapan ditry outkedua, namun sayangnya semua perjanjian telah selesai.Hubungan Misell dan Gerald masih baik-baik saja di sekolah, walaupun mereka sudah mengakhiri hubungannya. Namun, hubungan Bian dan Misell masih tetap se
Tama terlihat sedang mengacak-acak rambut saat melihat layarhandphone-nya. Waktu pendaftaran akan segera ditutup tetapi, ia belum menentukan jurusan apa yang akan diambil, termasuk universitas tujuannya.Tama berdecak pelan. "Kenapa, sih, hidup lo lurus-lurus aja, Bi? Udah yakin banget tuh pilihan lo?"Bian mengangguk dan tersenyum mantap. "Yakin banget! Udah dari kelas sepuluh, gue ngincerunivini!"Bian memandang layarhandphone-nya yang menyatakan jika dirinya telah berhasil melakukan pendaftaran di Universitas Indonesia program studi kedokteran. Ia dengan percaya dirinya, hanya menulis satu pilihan walau sebenarnya telah disediakan tiga pilihan, karena ia sudah yakin ingin kuliah di sana.
Tama dan Arya sedang merebahkan tubuh ke kasur, yang pemilik kamarnya entah masih berada di mana. Setelah pulang dari warung Bi Eni, mereka langsung menuju ke rumah Bian untuk melaksanakan tugasnya sebagai tukang pos, alias mengantarkan surat dari Misell untuk Bian.Keinginan mereka untuk membuka amplop putih itu semakin menggebu-gebu, karena sifat keponya yang sulit hilang. Namun, hingga detik ini amplop itu masih tergeletak di meja belajar Bian tanpa mereka buka sedikit pun. Jadi, mereka tidak tahu, apakah di dalamnya berisi surat cinta atau bahkan ... surat perpisahan?"Di tempat bimbel Bian, jangan-jangan ada bidadarinya." Tama berbicara asal dengan pandangannya masih menghadap ke langit-langit kamar Bian.Arya berdecak dan melemparkan bantal tepat di wajah Tama. "Seorang Bian, ngg