Dua bulan sudah Riri dan Haikal menikah. Keadaan tetap sama. Tidak ada yang berubah dengan hubungan antara Riri dan Haikal. Mereka masih belum banyak bicara setelah pembicaraan mereka terakhir kali. Mereka hanya bicara jika diperlukan.
"Ri, gimana hubungan kamu sama suamimu?" tanya sahabat Riri yang bernama Dewi Agustina.
"Iya, Ri. Udah ada kemajuan belum?" tanya sahabat Riri yang lain, Rani Widiastuti.
"Masih sama, Dew, Ran. Aku udah nggak tau mau ngapain lagi biar bisa bikin dia bersikap biasa aja ke aku," ucap Riri lesu.
Bahkan aku rela ngelupain kejadian malem itu supaya hubungan kami nggak canggung terus. Tapi, kayaknya emang sama sekali nggak ada harapan sama hubungan kami, sambung Riri di dalam hati.
"Kamu yang sabar aja, ya? Mudah-mudahan sikap suami kamu bisa berubah jadi lebih baik ke kamu nantinya," harap Dewi.
"Ya ..., semoga aja," Riri berkata lirih.
"Ri, kamu sehat, 'kan?" tanya Dewi memperhatikan wajah Riri yang tampak pucat.
"Aku sehat, kok. Cuma emang sedikit lemes aja karena beberapa minggu belakangan ini aku nggak nafsu makan. Kalau dipaksa untuk makan, pasti aku mual dan muntah," jawab Riri.
"Terus, kamu nggak laper apa kalau kamu nggak nafsu makan? Kamu ganjel apa perut kamu?" tanya Rani.
"Ya, laper. Tapi biar kenyang aku minum jus atau apa pun yang bikin aku nggak mual. Kadang kalau aku kepingin atau selera sama sesuatu, pasti langsung aku buat atau cari," jawab Riri. "Tapi, yang paling parah beberapa hari belakangan ini. Aku sama sekali nggak bisa makan apa pun. Aku sampe bingung. Yang bisa masuk perutku cuma air hangat aja," lanjutnya dengan lesu.
"Ya, ampun .... Tapi, muka kamu emang pucet banget. Kamu pasti sakit. Mending kamu pulang aja. Ntar kita yang permisiin sama dosen kamu," Dewi menyarankan.
"Bener, Ri. Lebih baik kamu pulang aja," Rani membenarkan saran Dewi.
"Nggak, kok. Aku yakin aku nggak apa-apa. Mungkin cuma masuk angin," jawab Riri, menolak saran dari para sahabatnya.
"Masuk angin apaan yang sampe berminggu-minggu gitu? Udah, deh. Kamu nggak usah ngeyel! Mending kamu pulang trus istirahat!" Dewi bersikeras menyuruh Riri untuk pulang yang disetujui oleh Rani. Namun, Riri juga kekeuh pada pendiriannya.
"Udah aku bilang, aku baik-baik aja. Kalian jangan lebay gitu, deh!"
Mendengar jawaban Riri, kedua sahabatnya itu hanya mampu menghela napas saja. Sejauh mereka mengenal Riri, terkadang perempuan itu memang cukup keras kepala.
Saat ini Riri dan kedua sahabatnya sedang berjalan di halaman kampus menuju kelasnya. Riri memang merasa tubuhnya kurang sehat. Kepalanya pusing dan tubuhnya juga lemas. Sudah beberapa minggu terakhir ia tidak berselera makan. Ia akan merasa mual dan muntah ketika makan. Dan yang terparah adalah beberapa hari belakangan ini. Belum ada sesuatu makanan pun yang masuk ke perutnya selain dari air putih hangat. Namun, perempuan itu tidak pernah mau memeriksakan dirinya ke dokter. Ia hanya menganggap itu hanya gejala masuk angin biasa.
Karena sudah beberapa hari ia kurang asupan makanan, akhirnya ia tidak sanggup lagi untuk tetap berjalan. Pandangan matanya menggelap dan kesadarannya menghilang. Meskipun ia bersikeras bahwa dirinya merasa sehat dan bersikap kuat, pada akhirnya tubuhnya ambruk juga.
******
Sementara itu, hari ini Haikal berangkat ke kantor lebih pagi karena hari ini ia akan ada meeting setelah makan siang.
"Selamat pagi, Pak," sapa seorang security kantornya.
"Pagi," balas laki-laki itu sambil melangkah masuk ke dalam kantor dan langsung menuju ruangan kerjanya.
Saat di depan meja sekretarisnya, Haikal melihat sekretarisnya itu sudah memulai aktifitasnya. Haikal memang mengakui jika sekretarisnya yang paling profesional di antara pegawainya yang lain. Di saat para karyawannya yang lain kemungkinan masih berada di rumah atau dalam perjalanan ke kantor, sekretarisnya itu sudah memulai pekerjaannya.
"Selamat pagi, Pak. Hari ini Bapak ada meeting dengan perusahaan Pak Edward setelah makan siang," sekretaris Haikal yang bernama Ratna itu membacakan jadwal untuk Haikal pada hari ini setelah menyapanya.
"Kamu sudah siapkan dokumen yang diperlukan?" tanya Haikal.
"Sudah, Pak," jawab Ratna.
"Bagus. Saya masuk dulu," ucap Haikal sambil memasuki ruang kerjanya tanpa menunggu sekretarisnya itu menjawab ucapannya.
Setelah masuk ke dalam dan duduk di kursi kerjanya, Haikal pun mulai sibuk dengan pekerjaannya. Tidak terasa, sudah 3 jam ia berkutat dengan laptopnya. Lalu ia mendengar ponselnya berbunyi. Nomor tidak dikenal terpampang di layar ponselnya. Segera digesernya layar ponselnya ke icon gagang telepon berwarna hijau.
"Halo? Siapa ini?" tanya Haikal to the point.
"Halo, ini Rani temannya Riri. Tolong ke sini sekarang. Riri pingsan," ucap temannya Riri yang baru Haikal ketahui bernama Rani itu.
"Di mana dia sekarang?" tanya Haikal lagi.
"Dia kami bawa ke ruang kesehatan kampus," ucap Rani lagi.
"Oke. Saya ke sana sekarang. Tolong jaga dia sampai saya datang," ucap Haikal berpesan pada Rani dan menutup sambungan telepon.
"Ratna, tolong batalkan meeting siang ini. Saya ada urusan mendadak. Dan atur ulang jadwal meeting kita dengan perusahaan Pak Edward," pesannya.
"Baik, Pak," balas Ratna patuh.
Setelah berkata begitu kepada Ratna, Haikal segera meluncur ke kampus Riri. Ia yang heran dengan Riri, bertanya-tanya sendiri. "Ada apa lagi sama anak itu? Kenapa harus nyusahin gue mulu, sih? Katanya dia nggak mau nyusahin gue lagi. Tapi kenapa sekarang masih nyusahin juga?" gerutunya.
Tidak sampai lima belas menit, Haikal sudah sampai di kampus Riri. Ternyata di sana sudah ada ibu mertuanya, Nisa'.
"Bunda? Bunda ada di sini?" tanya Haikal setelah menyalami dan mencium punggung tangan ibu mertuanya.
"Iya. Bunda tadi ditelepon sama temannya Riri, katanya Riri pingsan. Nak Haikal juga?" jawab Nisa' lalu balas bertanya pada Haikal.
"Iya, Bunda. Tadi Haikal juga ditelepon sama temannya Riri. Ayo, Bun. Kita langsung ke ruang kesehatan aja. Pasti mereka nunggu di sana," jawab Haikal dan mengajak Nisa' ke ruang kesehatan.
Sesampainya kedua orang itu di ruang kesehatan, tampak sekali raut cemas di wajah Nisa' ketika melihat anaknya yang tak sadarkan diri.
"Riri ..., Sayang. Kamu kenapa, Nak? Jangan buat Bunda khawatir gini dong, Sayang," ucap Nisa' dengan wajah cemas.
"Haikal, kita bawa Riri ke rumah sakit aja, Nak. Bunda cemas banget sama keadaannya Riri. Mukanya pucet banget. Cepet, Nak," Nisa' berkata cemas saat meminta Haikal untuk membawa Riri ke rumah sakit.
"I-iya, Bunda. Kita ke rumah sakit sekarang," ucap Haikal seraya menggendong Riri.
Haikal mengggendong Riri yang tidak sadarkan diri menuju mobilnya. Saat dalam gendongannya, Haikal merasa tubuh Riri jauh lebih ringan daripada yang terakhir kali ia ingat saat menggendongnya. Tidak sengaja laki-laki itu melihat wajah istrinya yang sangat pucat. Semakin dipercepatnya langkahnya. Entah mengapa ada perasaan takut sesuatu yang buruk terjadi pada Riri tanpa disadarinya. Dirinya sendiri bahkan tidak mengerti, kenapa dirinya bisa merasakan hal tersebut.
Sampai di parkiran, Nisa' segera membuka pintu mobil Haikal dan langsung duduk di kursi belakang. Haikal membaringkan tubuh Riri dipangkuan bundanya. Lantas ia pun segera mengemudikan mobilnya menuju rumah sakit.
*******
"Dokter! Tolong periksa anak saya, Dok," Nisa' meminta dokter untuk segera memeriksa Riri begitu mereka tiba di sumah sakit.
"Ibu tolong tunggu saja di sini. Saya akan memeriksa putri Ibu," ucap sang dokter yang lalu mulai memeriksa Riri.
Beberapa saat kemudian dokter sudah keluar dari ruang pemeriksaan dan langsung menghampiri Nisa' dan Haikal lalu mengajak mereka ke ruangannya.
"Putri saya sakit apa, Dokter?" tanya Nisa' cemas setelah dipersilakan duduk oleh dokter.
"Putri Ibu tidak apa-apa, Bu. Ini hal yang wajar pada masa-masa awal kehamilan," jawab sang dokter dengan senyum yang tersungging di bibirnya.
Tentu saja Haikal sangat terkejut mendengar perkataan dokter itu. Riri hamil? Tapi, gimana bisa? Siapa yang udah ngehamilin dia? Aku 'kan nggak pernah nyentuh dia. Anak siapa yang ada dalam kandungannya itu?, batinnya bertanya-tanya.
"Kehamilan? Putri saya hamil, Dok?" tanya Nisa' tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya namun juga tersirat rasa senang di hatinya.
"Benar, Bu. Putri Ibu hamil. Dan usia kandungannya sekitar 6 minggu. Selamat atas kehamilan putrinya, Bu," ucap sang dokter meyakinkan.
"Terus, kenapa dia bisa sampai pingsan seperti itu, Dokter? Apa tidak berbahaya?" kali ini Haikal yang bertanya.
"Oh, Mas ini suaminya, ya?" tanya sang dokter yang dijawab dengan anggukan kepala oleh Haikal. "Tenang saja, Mas, itu tidak berbahaya. Itu terjadi karena tubuhnya kekurangan nutrisi. Sepertinya istri Anda tidak makan dengan benar dalam beberapa hari terakhir. Akibatnya tubuhnya menjadi lemah. Setelah ini, tolong perhatikan asupan makanan dan nutrisinya. Kalau istri Anda terus menerus tidak mau makan, itu akan membahayakan janin yang dikandungnya," pesan sang dokter.
"Baik, Dok. Kami akan memperhatikan asupan makanan dan nutrisinya. Kalau begitu kami permisi dulu, Dok. Terima kasih banyak," ucap Nisa' lalu pamit keluar dari ruangan dokter yang tadi memeriksa Riri.
"Tante, apa kata Dokter? Riri sakit apa?" tanya Dewi begitu Nisa' dan Haikal memasuki ruang rawat Riri."Iya, Tante. Riri sakit apa? Kenapa dia bisa sampe pingsan gitu?" tanya Rani juga."Riri baik-baik aja. Kata dokter, itu karena Riri nggak makan dengan bener. Tapi, kalau Riri terus-terusan nggak makan dengan bener, itu bakalan ngebahayain bayi yang ada di dalam kandungannya," jelas Nisa'."Bayi? Riri hamil, Tante?" tanya Rani, dengan tampang yang terkejut."Bener, Ran, Riri hamil. Baru sekitar 6 minggu," jawab Nisa'."Oh! Pantes aja," Rani berucap dengan keras yang membuat Nisa', Haikal dan Dewi terkejut."Apaan sih, Ran? Bikin kaget, tau!" sungut Dewi kesal."Iya, tadi 'kan Riri sempet cerita ke kita. Dia bilang kalau dia udah nggak nafsu makan dari beberapa minggu terakhir. Tapi yang paling parah beberapa hari belakangan ini. Pasti itu gara-gara dia h
Sepulang orang tua dan mertuanya, Haikal kembali ke dalam ruang perawatan Riri. Ia duduk di samping ranjang Riri yang saat ini sedang tertidur. Dengan setia ia menjaga Riri hingga ia ikut tertidur dalam posisi duduk. Sedangkan kepalanya direbahkan di sisi tangan Riri.Pagi harinya, Haikal terbangun dengan tidak mendapati Riri di ranjang. Ia celingukan mencari keberadaan Riri. Suara orang yang sedang muntah-muntah membuatnya melangkahkan kakinya menuju kamar mandi.Begitu ia membuka pintu kamar mandi, tampaklah olehnya Riri yang sedang muntah-muntah di wastafel. Haikal masuk dan memijat tengkuk Riri.Ketika rasa mual Riri mulai berkurang, Riri membasuh mukanya agar terlihat lebih segar. Tetapi, saat Riri menegakkan tubuhnya, kakinya tiba-tiba menjadi lemas dan penglihatannya berkunang-kunang. Hampir saja ia terjatuh andai Haikal tidak sigap menangkapnya. Haikal segera menggendong Riri
Sudah 3 hari Riri dirawat di rumah sakit. Hari ini wanita itu sudah diperbolehkan pulang. Tetapi, ia tidak pulang ke apartemen Haikal. Nisa' meminta Riri dan Haikal untuk sementara waktu tinggal di rumahnya.Meskipun sempat terjadi perdebatan kecil antara Nisa' dan Mawarni, namun akhirnya terjadi satu kesepakatan. Yaitu, Riri dan Haikal akan tinggal bersama Nisa' selama seminggu. Kemudian seminggu berikutnya di rumah Mawarni.Haikal dan Riri tidak bisa menolak kesepakatan itu. Keduanya pasrah menuruti kemauan Nisa' dan Mawarni. Bahkan Haikal-lah yang mengusulkan kesepakatan itu agar Mawarni dan Nisa' tidak berdebat terlalu lama.Sore ini Riri sedang duduk di teras rumahnya. Dielusnya perutnya yang masih datar itu sambil tersenyum."Selamat sore, Sayang. Sedang apa kamu? Kamu baik-baik ya, di situ? Jangan bikin Mami mual terus, ya? Kamu nggak mau 'kan kalau Mami masuk rumah sakit lagi?" Riri berbicara pada
"Kamu harus nyuapin aku makan tiap hari. Bacain dongeng untukku tiap malam sebelum tidur. Dan nemenin aku cek up kandungan tiap bulan. Gimana? Sanggup, nggak?" Riri mengatakan persyaratan yang harus Haikal lakukan agar mau mempercayai ucapan suaminya itu."Kalau untuk bacain dongeng tiap malam sebelum kamu tidur dan nemenin kamu cek up kandungan tiap bulan sih, nggak masalah. Masih bisa aku usahain. Tapi kalau nyuapin kamu tiap hari ...? Nggak bisa diganti sama syarat yang lain ya, Ri? Kalau sarapan sama makan malam sih, aku masih bisa nyuapin kamu. Tapi kalau makan siang? Kamu 'kan tau aku itu kalau siang sibuk banget di kantor. Gimana aku bisa nyuapin kamu kalau makan siang?" Haikal mencoba untuk sedikit bernegosiasi dengan Riri."Kalau makan siang, aku yang bakalan dateng ke kantor kamu. Gimana?" jawab Riri lalu meminta pendapat."Apa nggak bakal bikin kamu kecapekan kalau tiap makan s
RIRI POVSinar matahari yang menerobos masuk melalui jendela kamar membangunkan aku dari lelapku. Perlahan kubuka mataku dan menyesuaikan cahaya yang masuk ke mataku. Mengerjap-ngerjapkan mataku sebentar lalu menggeliatkan badanku.Aku merasakan ada sesuatu yang menimpa perutku. Langsung saja kuarahkan pandangan mataku ke perut. Ternyata tangan Haikal berada di atas perutku.Apa dia semalam tidur sambil meluk aku? aku bertanya-tanya di dalam hati.Segera kuelakkan tangan Haikal dari perutku. Namun ia justru mengeratkan pelukannya. "Haikal, awasin tangan kamu. Aku nggak bisa bangun," ucapku sambil terus menyingkirkan tangannya."Sebentar lagi ya, Sayang. Aku masih ngantuk," racaunya. Sepertinya dia sedang mengigau."Kamu ngomong 'sayang'nya untuk siapa? Untuk aku, anak kamu, atau Clara?" tanyaku ketus dan menaikkan nada bicaraku. Itu berhasil membu
Bugh! Bugh! Bugh!Riri yang geram dengan Haikal karena Haikal sudah mengerjainya, langsung memukul Haikal menggunakan bantal berulang-ulang."Dasar nyebelin, ngeselin! Enak banget kamu bilang kalau kamu ngerjain aku. Kamu nggak tau apa, kalau jantungku tadi hampir meledak gara-gara kelakuanmu itu?" gerutu Riri sambil terus memukul Haikal."Aduh, aduh! Ampun, Ri, ampun. Udah, udah! Aku ngaku salah. Sorry, sorry!" ucap Haikal namun masih tertawa."Kamu bilang 'sorry' tapi masih ngetawain aku. Seneng banget ya, bisa ngetawain orang?" Riri kembali memukuli Haikal karena Haikal tak kunjung menghentikan tawanya."Oke, oke. Aku berenti ketawa." sekuat tenaga Haikal berusaha menghentikan tawanya. "Maaf," ucapnya ambigu setelah benar-benar berhasil menghentikan tawanya. Sedangkan Riri hanya menanggapi dengan menaikkan satu alisnya pertanda dirinya bingung Haikal
RIRI POV"Jadi intinya, Anda mengidap suatu penyakit. Anda mengidap penyakit kanker otak stadium lanjut. Dan ini sudah dalam tahap yang berbahaya. Saya sarankan agar Anda dikemoterapi untuk membunuh sel kanker serta meminimalisir terjadinya penyebaran sel kankernya," jelas sang Dokter yang aku ketahui bernama Arya.Jedderrr!!!Aku mematung mendengar pernyataan Dokter Arya. Tubuhku terasa lemas dan bergetar menahan tangis yang hendak pecah. Rasanya seperti ada petir di siang hari yang cerah yang sedang menyambarku saat itu. Tapi, dengan cepat aku menetralkan kembali rasa keterkejutanku."Tapi, saya sedang hamil, Dok. Apa tidak berbahaya bagi kandungan saya? Dan kalau saya dikemoterapi, otomatis keluarga saya akan tau tentang keadaan saya. Saya tidak mau membuat mereka bersedih. Apa tidak ada cara lain, Dok?" tanyaku kemudian setelah memberikan alasan.Kulihat wajah
Sebulan setelah Riri dan Haikal menginap di rumah orang tua Haikal, kehidupan Riri berjalan seperti biasa. Wanita itu sudah kembali masuk kuliah. Haikal masih melakukan permintaan Riri waktu itu.Seperti menyuapinya makan, membacakan dongeng sebelum tidur, membawakan bunga sepulang dari kantor, bahkan apartemennya sudah seperti toko bunga karena saking banyaknya bunga yang dibawa Haikal setiap hari. Dan tidak lupa juga menemani Riri cek-up ke dokter.Kini kehamilan Riri memasuki bulan ke empat. Selama ini penyakitnya sempat beberapa kali kambuh. Baik di apartemen saat sendiri atau saat ada Haikal, mau pun saat berada di kampus. Tetapi, karena Riri selalu membawa obatnya ke mana pun ia pergi, maka ia tidak pernah sampai pingsan.Seperti saat ini, kepalanya kembali berdenyut hebat. Cepat-cepat ia mengambil botol obatnya, mengeluarkan isinya dan meminumnya. Perlahan-lahan rasa sakitnya berkurang."Sa
Setelah hampir dua tahun kemudian. Riri membuka mata dan menjadi kebingungan karena mendapati dirinya berada di suatu tempat yang asing baginya. Bagaimana tidak? Saat ini dirinya tengah berada di suatu taman bunga yang luas dan indah. Padahal seingatnya, dirinya tadi sedang duduk di kasur Asahy dan tengah memeluk boneka panda kesukaan almarhumah anaknya itu. Tetapi sekarang? Dirinya bahkan tidak tahu sedang berada di mana ia saat ini. Di saat Riri tengah sibuk memperhatikan sekelilingnya, tiba-tiba seseorang menghampiri dan memanggilnya. "Mi ...." Riri menoleh dan berbalik. Detik berikutnya matanya terbelalak lebar melihat sosok di hadapannya yang tadi memanggilnya. Matanya memburam karena buliran bening yang menumpuk di pelupuk matanya. Sosok di hadapan Riri tersenyum manis. "Apa kabar, Mi?" tanyanya pada Riri. Riri tidak langsung menjawab. Ia langsung berjalan cepat dan memeluk soso
Saat Asahy siuman, gadis itu sempat marah pada 'Adnan karena mengingkari janjinya pada gadis itu. "Dek, jujur sama Mami. Kenapa kamu tutupin tentang penyakit kamu ini? Kenapa kamu nggak kasih tau dari awal? Biar kita bisa obatin? Mami, Papi, Kakak-kakak kamu semua bersedia dan dengan senang hati jadi pendonor untuk kamu." Nada suara Riri yang kecewa terdengar jelas oleh Asahy. "Pi, cepet cari Dokter Arya. Minta dia untuk tes darah kita semua. Pasti salah satu dari kita ada yang cocok untuk jadi pendonor," lanjutnya, beralih pada Haikal. "Mi ...," panggil Asahy sambi balas menggenggam jemari Riri yang sedari tadi tidak lepas menggenggam tangannya. Riri menoleh. Air matanya tidak berhenti mengalir sedari tadi. "Nggak perlu lakuin tes. Karena itu percuma. Waktu itu Dokter Arya udah bilang, penyakit Adek ini udah stadium akhir dan termasuk golongan yang lebih berbahaya dan sulit untuk diobatin walaupun udah ngejalani pencangkokan. Jadi, kalau pun Adek ngejalani pencangko
Hari ini adalah hari ulang tahun Asahy yang tidak lain adalah anak bungsu Riri dan Haikal. Sedari pagi Riri sudah menyeret Asahy ke sana kemari untuk berbelanja dan melakukan perawatan tubuh serta wajah. Meskipun Asahy terlihat kesal dan bosan, namun sepertinya gadis itu tidak dapat berbuat apa pun. Ia hanya terpaksa mengikuti keinginan Riri karena ingin menyenangkan hati ibunya itu. Sebab untuk ke depannya, dirinya tidak tahu apakah dirinya masih diberi kesempatan untuk melakukan hal-hal seperti hari ini lagi.Pada malam harinya, tepat sebelum acara ulang tahunnya dimulai, Asahy meminta Riri dan Haikal berkumpul bersama dengan orang tua dari Arkhai, yang merupakan sahabat Asahy. Mereka sempat merasa bingung mengapa gadis itu meminta mereka berkumpul. Sedangkan para tamu undangan sudah berdatangan dan acara akan segera dimulai.Namun, para orang tua dan juga Arkhai terkejut mendengar penuturan Asahy. Gadis itu menyatakan perasaannya pada A
Setelah kelahiran anak ketiga, semakin hari, Riri dibuat semakin repot dan pusing oleh tingkah anak-anaknya dan juga Haikal. Si kembar dan suaminya itu tidak mau kalah dari si bungsu yang mereka beri nama Asahy Tsurayya' Zahirah Perdana, yang usianya baru beberapa bulan. Mereka merasa cemburu karena Riri lebih banyak menghabiskan waktu untuk mengurus si bungsu daripada mengurus mereka. Padahal menurut Riri, ia sudah berusaha membagi waktu untuk mereka semua dengan adil. Tetapi tetap saja, si kembar dan Haikal tetap melakukan protes dan mengatakan jika Riri tidak adil membagi waktu untuk mereka. Mereka selalu saja melakukan hal-hal yang membuat Riri marah agar dapat menarik dan mendapatkan perhatian dari Riri. "Haikal! Ayo, bangun!" Riri mengguncang tubuh Haikal dengan sedikit kuat. Kesal melihat Haikal yang masih memejamkan matanya erat dan terlihat nyaman, walaupun Riri sedari tadi sudah membangunkanny
Setelah beberapa bulan kembali dari Amerika, kehidupan Riri-Haikal dan kedua anak kembarnya berjalan penuh dengan kebahagian setiap harinya. Ada saja hal-hal yang membuat hari-hari mereka seakan-akan penuh warna."Devran, Devni! Jangan lari-lari, nanti jatuh!" peringat Riri kepada kedua anaknya yang sedang berkejar-kejaran.Sore ini, Riri sedang duduk santai di halaman belakang rumah. Menikmati suasana sore hari sambil mengawasi Devran dan Devni yang sedang bermain."Mami ...," Devni memanggil Riri dengan sedikit merengek."Kenapa, Sayang?" tanya Riri sembari mengelus pipi putrinya."Liat, Kak Devlan jahat! Dia bikin boneka Devni jadi jolok pake cat!" adu Devni sambil menunjukkan bonekanya yang belepotan cat."Bo'ong, Mi! Bukan Devlan yang bikin!" Devran menyanggah tuduhan adiknya."Devni nggak bo'ong! Kak Devlan yang tadi colet-colet boneka Devni!" Devni
Setelah diwajibkan untuk berpuasa selama sehari, Riri akhirnya dibawa ke ruang operasi untuk menjalani operasi pengangkatan sel kanker di otaknya. Selama beberapa jam Haikal menunggu dengan cemas.Kenapa hanya Haikal yang menunggu Riri ketika proses operasi? Sudah jelas, itu karena Mawarni dan Nisa' harus tinggal di apartemen untuk menjaga Devran dan Devni selama Riri dan Haikal berada di rumah sakit. Ya. Selama Riri berobat di sana, Haikal memutuskan untuk menyewa sebuah apartemen.Saat proses operasi, keadaan Riri sempat menurun. Namun, jantungnya tidak sampai berhenti berdetak seperti ketika proses operasi caesar waktu itu. Selesai operasi dan dipindahkan ke ruang ICU, Riri dinyatakan koma oleh Dokter Gilbert. Haikal hanya dapat menghembuskan napas pasrah dan menahan rasa sesak di dadanya. Karena lagi-lagi dirinya harus menghadapi kenyataan bahwa Riri mengalami keadaan koma dan menunggunya terbangun entah sampai berapa
Hari ini Haikal tidak berangkat ke kantor. Ia sedang sibuk berkemas. Riri juga terlihat sibuk berkemas. Ia sibuk mengemasi perlengkapan untuk Devran dan Devni. Dan Haikal membantu Riri agar pekerjaannya cepat selesai. Mereka berencana akan pergi ke Baltimore, Amerika. Haikal yang mengajukan usulan tersebut dengan mengatakan jika ia mengajak Riri, Devran dan Devni, Mawarni dan Nisa' pergi ke Amerika hanya untuk berlibur.Walaupun sebenarnya Riri merasa sedikit ganjil dengan Haikal yang tiba-tiba mengajak mereka berlibur ke Amerika, namun Haikal dapat meyakinkan Riri. Haikal meminta Riri menganggap kepergian mereka ini sebagai bulan madu mereka yang dulu tidak pernah mereka lakukan. Dan Riri hanya mencoba untuk berpikir positif.Riri menghembuskan napas lega ketika ia menyelesaikan acara mengemasnya. Kemudian ia merebahkan tubuhnya di kasur. Merenggangkan otot-otot tubuhnya yang terasa kaku. Setiap bagian tubuhnya benar-benar terasa seperti akan terlepas dari sendi-sendi
Waktu terus bergulir. Hari demi hari pun berlalu. Perkembangan si kembar sungguh membuat Riri dan Haikal kerepotan. Selain perkembangan mereka yang semakin menggemaskan, si kembar juga semakin rewel. Hingga tak jarang mereka meminta bantuan kepada Mawarni dan Nisa' dalam mengurus Devran dan Devni.Seperti pagi ini, Mawarni dan Nisa' sudah berada di kediaman Haikal dan Riri. Haikal dan Riri sengaja meminta mereka datang untuk membantunya menjaga si kembar. Dan seperti biasa, walaupun Mawarni dan Nisa' merasa senang bisa menghabiskan waktu bersama si kembar, namun tidak jarang juga mereka menggerutu."Kalian ini pandainya cuma bikin anak doang, ya? Giliran jagain anaknya minta bantuan Mama sama Bunda," itulah gerutuan Mawarni setiap kali Haikal memintanya datang untuk membantu Riri mengasuh bayi kembar mereka."Ah, Mama. Namanya kita masih Pakmahmud. Jadi wajar dong, kalau kita minta bantuan," elak Haikal."
Seminggu setelah kepulangan Riri dari rumah sakit, mereka mengadakan acara syukuran Aqiqahan serta pemberian nama untuk si kembar. Semua terlihat sibuk dari dua hari sebelum acara.Halaman sudah dipasang tenda pesta. Tak lupa pula dekorasi tambahan seperti bunga dan poster foto si kembar beserta namanya telah terpajang. Juga ucapan selamat datang telah terpampang dengan indahnya menggunakan rangkaian bunga. Di dalam rumah juga sudah dihias dengan begitu indah.Devran Arlen Rasyad Perdana dan Devni Ranaa Adhwaa' Perdana. Itulah nama yang tertera di poster foto si kembar. Kedua nama itu adalah gabungan dari beberapa ide nama yang diusulkan oleh Riri, Haikal, keluarga, dan para sahabat Riri. Setelah perdebatan yang alot dalam menentukan nama si kembar, akhirnya kedua nama itu yang menjadi keputusan akhir.Acara berlangsung dan berakhir dengan lancar. Tidak ada kendala yang b