Apa yang akan kau lakukan jika kejadian yang pernah menghancurkan persahabatan serta masa depan orang lain kembali terulang?Di perjalanan pulang, Michelle menyandarkan kepalanya pada kaca mobil taksi yang mengantarkannya ke rumah. Rasanya, saat ini, ia ingin memuntahkan makanan yang baru saja disantapnya tadi. Ia menyesal. Seharusnya ia mampu mengalahkan rasa penasaran itu dan membiarkan ketidaktahuannya akan perasaan Andini sebagai pecutan untuk meraih hati Liam.Pendar lampu kota tak mampu menyilaukan pandangan matanya. Matanya memang memandang ke luar jendela, namun ia tak mengamati apa pun. Pikirannya berhasil menguasai tubuh. Sepanjang perjalanan, lalu lalang kendaraan tidak mampu menghancurkan konsentrasinya.Ingatan lama itu tiba-tiba kembali berputar dengan runut.Di selasar lantai dua, Michelle remaja tersenyum senang mengamati Andini yang tengah duduk sendirian, termangu menatapi kesedihan mendalam. Kepala Andini menduduk hingga rambut lurusnya
Mobil CR-V hitam berhenti di depan gedung tiga lantai berwarna putih keabuan. Tak lama kemudian, seorang pria berusia empat puluh turun dari mobil tersebut. Ia mengenakan kacamata hitam dan berjalan memasuki gedung di hadapannya.Kakinya melangkah tegas. Sepatu pantofelnya berketak-ketuk membentuk sebuah irama. Di arah jam dua belas, terlihat terdapat tangga yang akan membawanya menuju lantai dua.Ia menaiki anak tangga itu. Setibanya di atas, matanya menyisir deretan pintu kamar yang terlihat dari muka koridor, tempatnya berpijak saat ini. Pandangannya tertuju pada kamar yang terdapat di sisi kanan urutan ke tiga.Sejurus kemudian, ia menghampiri kamar itu dan mengetuk pintunya beberapa kali.“Andy, bisa kita bicara?” kata pria itu. Telinganya menyimak, berusaha mendengar suara dari dalam namun ia tak mendengar ada suara yang menyahut di sana.Di dalam, penghuni kamar kos itu tentu jelas mendengar. Dia memang tak berniat membuka pintu.
“Om, saya tidak mau pulang!” tegas Andini kepada lelaki dewasa yang tengah berdiri di hadapannya. Ia benci sekali dengan kedatangan lelaki itu.“Kamu harus pulang, Andini.” Lelaki berkacamata persegi tak kalah tegas memberikan jawaban. Tak ada gamang di matanya.Tidak ada lagi hal yang bisa menahan kepulangan Andini ke Indonesia. Selama ini, setelah kematian sang ibu, Andini menetap di Singapura bersama tante Eka, adik ibunya. Sebulan yang lalu, tante Eka meninggal tiba-tiba. Kepergiannya itu meninggalkan duka kedua yang amat mendalam. Tante Eka mengasihi Andini tanpa syarat, seperti anak kandungnya sendiri.“Harusnya, Adimas Hartanto yang mati waktu itu. Hidup saya tidak akan rusak seperti ini kalau ia mati 8 tahun yang lalu!“Jaga bicaramu, Andini. Dia adalah ayah kandungmu!”“Saya tidak pernah minta orang seperti dia menjadi ayah saya!”“Dasar anak tidak tahu diri. Kalau bukan ka
Tepat pukul sebelas, di mana matahari mulai bergerak ke atas, Pak Leo datang tanpa seragam kebesarannya. Ia mengenakan topi baseball, zipper polos, dan celana jins. Pakaiannya tersebut tentu bukan gaya sehari-harinya. Ia langsung menduduki meja paling pojok yang menghadap ke jalan raya. Teriknya mentari hari ini mampu menembus kaca gelap yang berada di sebelah Pak Leo. Kedatangan Pak Leo disadari oleh pemilik cafe. “Halo, Kapten.” Max menghampiri dan menyapa Pak Leo dengan wajah sumringah. Max adalah pemilik Barry Cafe. Barry sendiri diambil dari nama belakangnya, Maximus Barry. “Halo, Max. Tumben cafemu belum ramai.” Pak Leo menyisir seluruh ruangan dan melihat bahwa hanya ada beberapa meja yang digunakan pengunjung, termasuk dirinya. Max tersenyum. Dari senyumnya itu, ia menduga kalau Pak Leo memang belum mengerti jam ramai dan jam santai di cafenya. “Masih jam 11, Kapten. Mungkin sebentar lagi, cafe ini akan penuh.” Pak Leo menggangguk. “In
Pukul empat pagi.Andy berkemas. Segala benda keperluannya dimasukkan ke dalam ransel berukuran sedang. Barang-barang yang tak berguna, ditinggalkannya begitu saja. Sebelum benar-benar pergi, Andy menyisir pandangannya ke segala sisi di kamarnya. Kamar ini sudah menjadi rumah baginya selama beberapa tahun terakhir.Ada sesuatu yang tertinggal dalam batinnya saat ia benar-benar sadar bahwa hari ini adalah hari terakhirnya berada di sini.Ponsel di sakunya bergetar. Ada sebuah panggilan masuk dari Pak Leo.“Sudah siap?” tanyanya di seberang sana.“Hmm.”“Kalau gitu, kamu bisa turun sekarang. Saya sudah ada di bawah.”Ia bergegas mengunci pintu kamar dan meletakkannya di bawah serta menuliskan surat kepada pengurus kos.Barang-barang yang ada di dalam, bisa digunakan penyewa selanjutnya. 
Bandara Soekarno-Hatta tidak pernah sepi. Orang-orang berlalu lalang serta sibuk mencari apa yang sebenarnya tidak perlu dicari. Dari kacamata Liam, mayoritas mereka yang ada di sini berniat untuk bepergian. Mulutnya tak sengaja berdesis pelan, hidup memang tak adil. Yang punya keluarga justru menjauh, yang tak punya keluarga justru mencari yang telah pergi.Tapi, bukankah memang hidup ini tidak adil? Ada banyak orang yang kehilangan justru tak memiliki siapa-siapa. Sementara itu, mereka yang dikelilingi orang-orang tersayang malah ingin pergi karena merasa perlu punya waktu sendiri.“Ingat, ketika Nona Andini tiba, perketat pengamanan!” kata Sardi, kepala pengawal keluarga Adimas. Ucapan Sardi sontak menyadarkan Liam dari lamunannya.“Baik.” jawab seluruh bawahannya serempak.Bersama dengan enam orang lainnya, Liam menunggu kedatangan Andini beserta rombongan di muka bandara. Mata Liam terus mengamati mereka yang keluar masuk band
Adimas menerima kabar dari Lukman kalau Andini melarikan diri sewaktu baru tiba di bandara. Ada rasa takut yang mencuat, setelah delapan tahun tidak bertemu dengan anak semata wayangnya, Lukman berpikir kalau Adimas pasti akan marah besar. Kelalaiannya dalam menjalankan tugas, tak akan bisa menghindarinya dari masalah.“Hahaha,” di ujung telepon, Adimas tertawa. Muncul seutas senyum pada bibirnya saat mendengar penjelasan Lukman tentang apa yang terjadi. “Ibu dan anak sama aja. Karena sifat mereka sama, kupikir sesekali kau harus membiarkannya.”“Tapi, Bang,” potong Lukman. “Kurasa kita tidak bisa membiarkannya. Pasti Andini akan bertindak lebih dari ini selanjutnya. Dengan polah tingkahnya itu, sesekali ia harus didisplinkan. Abang tahu bukan kalau Eka memanjakannya selama di Singapura. Kuliahnya pun tak selesai.”Adimas menghela napas. Ingatannya akan anak semata wayangnya itu kembali bermain-main di kepala. Hidu
“Bagaimana hari pertamamu, Liam?” Warna suara yang renyah terdengar di ujung telepon. Tak perlu ditanya pun seharusnya Pak Leo sudah tahu dengan melacak GPS yang terdapat di ponsel Liam.“Cukup menghibur, Kapten.” Liam menjawab sekenanya. Dia belum mau banyak berbicara atau pun menyimpulkan sesuatu untuk seseorang bermata teduh itu.“Cukup jauh juga ya, aksi kejar-kejarannya? Jika saya melihat jarak dari bandara, lebih dari 6 kilometer.”“Kamu di mana sekarang?” Pak Leo mengalihkan percakapannya. Sebab, ia tahu, kalau Liam tak akan bisa bicara lebih jauh lagi mengenai topik tersebut.“Kapten bukannya bisa melacak saya?” Liam bertanya balik.“Max sedang pergi berkencan. Jadi, saya tidak bisa memantaumu saat ini.” Max adalah seorang peretas dan juga sebagai peretas andalan tim dari Pak Leo. Jadi selain makanan Barry Cafe yang rasanya mantap, Pak Leo dan tim memiliki agenda lain t
Apa yang akan kau lakukan jika kejadian yang pernah menghancurkan persahabatan serta masa depan orang lain kembali terulang?Di perjalanan pulang, Michelle menyandarkan kepalanya pada kaca mobil taksi yang mengantarkannya ke rumah. Rasanya, saat ini, ia ingin memuntahkan makanan yang baru saja disantapnya tadi. Ia menyesal. Seharusnya ia mampu mengalahkan rasa penasaran itu dan membiarkan ketidaktahuannya akan perasaan Andini sebagai pecutan untuk meraih hati Liam.Pendar lampu kota tak mampu menyilaukan pandangan matanya. Matanya memang memandang ke luar jendela, namun ia tak mengamati apa pun. Pikirannya berhasil menguasai tubuh. Sepanjang perjalanan, lalu lalang kendaraan tidak mampu menghancurkan konsentrasinya.Ingatan lama itu tiba-tiba kembali berputar dengan runut.Di selasar lantai dua, Michelle remaja tersenyum senang mengamati Andini yang tengah duduk sendirian, termangu menatapi kesedihan mendalam. Kepala Andini menduduk hingga rambut lurusnya
Trauma pasca penyerangan itu membuat Andini jadi takut untuk berkeliaran sendiri. Ingatannya tentang bagaimana Liam ditusuk dan disaksikan dirinya sendiri, mampu menciptakan mimpi buruk baginya.Sebelum mentari terbenam, Michelle tergopoh-gopoh mencapai ruangan di mana Liam dirawat. Pandangan kedua gadis itu bertemu. Dua gadis yang sama-sama mencintai Liam, yang saling tak mau mengalah.“Bagaimana keadaannya?” mata Michelle nanar menatap orang yang dikasihinya tak sadarkan diri. “Apa yang sebenarnya terjadi?”Andini menatap Michelle lekat-lekat. Jelas, tanpa diberi tahu, harusnya ia tahu tanpa perlu bertanya lebih jauh. Ia benci pertanyaan itu. Sangat membencinya. Manusia mana yang ingin dilahirkan sebagai penyebab celakanya orang lain?“Jelaskan padaku apa yang terjadi, An,” desak Michelle serius.“Perlukah aku menjelaskannya?” Andini menatap Michelle sejurus, sepasang matanya menyala tajam.“Itu kewajibanmu.”“Bagaimana jika aku tidak mau?”Keduanya bersitatap. Sama-sama meneguhkan
Iring-iringan mobil serba hitam milik Adimas menguasai jalan. Pak Ramlan begitu iba saat melihat Andini memeluk Adimas karena trauma atas apa yang terjadi. Isak tangis memenuhi seluruh ruang di mobil. Sementara Adimas, hanya bisa mengelus-elus pundak anak semata wayangnya itu. Dalam hati, dirinya begitu marah. Harga dirinya sebagai seorang ayah begitu disayat-sayat. Ia nyaris gagal melindungi anaknya.Sebetulnya, ia memang senang jika Andini menghampiri dan memeluknya. Akan tetapi, menurutnya—momen menakutkan seperti ini sangat tidak pas untuk diapresiasi. Lima menit saja ia terlambat, mungkin Hendri pun sudah merenggang nyawa. Pistol yang dipegang Hendri berhasil direbut oleh musuh entah bagaimana. Sementara Dave sudah kehabisan tenaga dan tidak kuat lagi untuk melawan.Tubuh keduanya dihiasi luka-luka saat bala bantuan tiba. Samuel, Tama, dan Liam segera dibawa ke rumah sakit untuk mendapatkan pertolongan. Setelah mengetahui kalau Liam terlu
Sebuah peluru keluar dari selongsongnya tepat saat beberapa orang hendak memukuli Liam yang lemah terkena tusukan. Suara tembakan menggema di tengah kesunyian jalan itu. Hanya beberapa pengendara yang lewat serta melintas tanpa berani untuk turun tangan. Pengendara mana yang berani melawan para penjahat yang menyerang mereka berlima?Serentak, sepuluh manusia bertopeng yang masih tersisa urung melakukan niat mereka untuk menghabisi Liam. Hendri tidak main-main. Ia siap mengeluarkan seluruh peluru pada pistolnya jika memang itu diperlukan. Dengan terpaksa, sepuluh orang itu mundur perlahan.Dave dan Hendri yang masih sadar sepenuhnya, menghampiri Liam dan membantunya untuk berdiri. Tangan kanan Hendri masih menodongkan pistol ke arah para musuh.Nafas Liam tak beraturan, ia menahan perih dari punggung belakangnya yang terus mengeluarkan darah segar. Sekuat tenaga, dengan sisa tenaga yang ada pada dirinya, ia berupaya untuk berdiri, m
“Apa-apaan ini! Siapa mereka?” Tama panik. Sebab, inilah kali pertama ia merasakan berada dalam situasi nyata tugasnya sebagai pengawal.Satu per satu, orang-orang berpakaian serba hitam yang lengkap dengan penutup wajah—mulai turun dari mobil sambil membawa benda tumpul dan beberapa senjata tajam. Tanpa melihat siapa di balik topeng hitam yang seragam itu, Liam jelas tahu, kalau mereka tidak hanya ingin melukai, tapi menghilangkan nyawa dengan bengisnya.“Jangan keluar dari mobil sampai saya memberikan perintah!” Liam memberikan instruksi pada Samuel. Tak lama, terlihat jelas di matanya—kepala Andini menoleh ke belakang.“An, aku pasti tidak akan membiarkanmu terluka.” Liam berjanji pada dirinya sendiri. Nyawanyalah yang akan menjadi ganti.“Apa yang harus kita lakukan?” tanya Hendri dengan tatapan penuh harap. “Kita harus menyelamatkan Nona Andini b
Mata Samuel tidak dapat beralih sedetik pun. Begitu anggunnya Andini ketika turun dari kamar. Tangannya dihimpit oleh Bu Laksmi, selaras langkah mereka saat menuruni anak tangga. Kondisi Samuel lebih-lebih daripada orang yang terkena hipnotis. Ya, penampilan Andini saat ini sangat menghipnotis dirinya.Khayalan nakal Samuel mulai bermain-main di kepala. Ia membayangkan kalau tadi pagi mereka resmi menikah dan malam ini adalah malam pertama yang panjang. Tubuh Andini mendarat mulus di ranjang, lalu sampai pagi Samuel memandangi wajah orang yang dikasihinya itu dan menjadi orang pertama yang berada di sisi Andini kala ia membuka mata. Ia sangat berharap khayalannya itu bisa menjadi kenyataan.Lain halnya dengan Liam. Kala melihat penampilan Andini yang begitu memesona, justru hatinya semakin sesak—tercabik-cabik hingga nyaris menangis. Ia menyesal. Sangat menyesal. Penampilan Andini dianggapnya sebagai karma tercepat dan tersakit yang pernah dir
Tama, Dave, dan Hendri telah bersiap untuk menerima undangan makan malam yang secara tidak langsung diadakan oleh penyalur jasa mereka. Pak Hasan memang memberikan undangan itu bukan sebagai pimpinan, melainkan seorang ayah yang berterima kasih pada rekan-rekan anaknya.“Aku cukup tersanjung dengan undangan yang diberikan Pak Hasan. Ah,” Tama memandang langit yang begitu luas. “kiranya undangan itu lebih daripada sekedar undangan,” katanya lagi.“Maksudmu?” Dave tidak memahami.Tama menggaruk-garuk kepalanya sambil menyeringai. Ia memang berharap lebih seperti pembagian gaji yang lebih menguntungkan pihak pekerja. Bukan lebih besar penyedia jasa yang menyalurkan mereka. “Apa kau tidak merasa kalau kita ini spesial?”“Spesial kenapa?”“Kita adalah teman sekerja Samuel, anak pertama dan calon penerus perusahaan A&B Guard. Aku yakin, pasti Pak Hasan akan meminta bantuan kepada
Andini menyadari, berharap pada orang lain hanya akan berujung pada kekecewaan. Tidak ada manusia di dunia ini yang mampu menyelesaikan masalah pada dirinya selain dirinya sendiri.“Untuk apa aku berharap pada orang lain. Ujung-ujungnya, yang kudapatkan hanyalah kekecewaan yang teramat.”Andini berucap pada diri sendiri. Saat ini, ia sedang terduduk lemas di tepi kasur dan tak berniat melakukan apa pun. Ia melirik jam dinding di kamar. Satu setengah jam lagi, Samuel akan menjemput mereka. Satu setengah jam lagi, bagi Andini, dunia sesungguhnya akan terjadi. Dunia yang sebenarnya tak diinginkannya.Menjadi tua ternyata perkara menakutkan. Seandainya saja, usianya saat ini masih merujuk pada angka belasan, mungkin ia bisa menolak dan berdalih akan menemukan pasangan hidup sendiri. Kini, usianya telah berada di penghujung dua puluh lima tahun. Sebentar lagi, satu angka akan bertambah di belakang.Ia menyesal tidak pernah bek
Sepanjang perjalanan meninggalkan kampus, Andini tak bicara satu kata pun. Fokusnya hanya menyandarkan kepala di dada Liam dan khusyuk berdoa kepada Tuhan agar waktu berhenti sementara.Sebentar lagi, hidupnya akan kosong. Sangat kosong. Seluruh pengisi di relung hatinya akan menguap percuma. Apa yang diimpikannya selama hidup, tidak ada yang berjalan dengan lancar. Hidupnya bagai sangkar. Seharusnya ia tidak perlu dilahirkan jika Tuhan tak mengizinkannya untuk memilih jalan hidup yang diingininya.Liam sesekali mencuri pandang ke arah kekasihnya itu. Sebagai lelaki, ia tidak begitu mengerti dengan perasaan wanita. Lagi pula, di hari yang sama, ia baru saja melakukan dosa besar. Hal yang selama hidupnya diharapkan kedua orang tuanya untuk tidak dilakukan. Ia memohon ampun dengan sangat. Meminta maaf sebesar-besarnya kepada kedua almarhum.Ia mengendarai mobil dengan kecepatan yang bisa dibilang cukup lambat. Untuk mendukung su