Pukul empat pagi.
Andy berkemas. Segala benda keperluannya dimasukkan ke dalam ransel berukuran sedang. Barang-barang yang tak berguna, ditinggalkannya begitu saja. Sebelum benar-benar pergi, Andy menyisir pandangannya ke segala sisi di kamarnya. Kamar ini sudah menjadi rumah baginya selama beberapa tahun terakhir.
Ada sesuatu yang tertinggal dalam batinnya saat ia benar-benar sadar bahwa hari ini adalah hari terakhirnya berada di sini.
Ponsel di sakunya bergetar. Ada sebuah panggilan masuk dari Pak Leo.
“Sudah siap?” tanyanya di seberang sana.
“Hmm.”
“Kalau gitu, kamu bisa turun sekarang. Saya sudah ada di bawah.”
Ia bergegas mengunci pintu kamar dan meletakkannya di bawah serta menuliskan surat kepada pengurus kos.
Barang-barang yang ada di dalam, bisa digunakan penyewa selanjutnya.
Andy
Saat ia sudah turun ke bawah, sebuah mobil hitam dengan mesin menyala sudah menunggunya.
“Kita harus ke A&B Guard terlebih dahulu. Di sana, Pak Hasan sudah menunggu. Ada tiga pengawal yang akan pergi bersamamu,” jelas Pak Leo sambil menjalankan mobilnya.
“Tiga pengawal?” Dahi Andy berkerut. Sebab kemarin ia sama sekali tak diberitahu bahwa akan ada tiga orang yang pergi bersama.
“Iya, kalian berempat akan pergi bersama. Tapi tenang saja, mereka tidak tahu. Mereka hanya pengawal biasa. Tapi, usahakan, jangan sampai membuat mereka curiga.”
Andy mengangguk paham.
Mobil hitam itu berjalan. Menerabas jalanan yang masih gelap. Di tepian, sesekali hewan seperti anjing dan kucing nampak berjalan sendiri di dalam gelap.
Pemandangan di sisi kiri Andy perhatikan lekat-lekat. Sudah lama ia tak keluar dari kamar kosnya. Sudah lama juga ia tak melihat suatu keadaan yang sunyi dan tenang seperti sekarang ini. Ia akan pindah kota dan hidup sebagai orang lain.
Di sampingnya, Pak Leo tetap diam sambil fokus dengan kemudinya. Setengah jam berlalu, mobil mulai berkelok dan melewati gapura selamat tinggal.
Lampu mobil nampak lebih terang ketika melintas di deretan pepohonan yang rindang. Di jalan ini, tak ada lampu penerang di kedua sisi. Benar-benar hanya mengandalkan lampu mobil saja. Perjalanan panjang menuju perusahaan A&B Guard membuat mereka mencari rute tercepat untuk tiba.
“Andy...” Pandangan Pak Leo tetap lurus ke depan. Kecepatan mobil yang sedang dikemudikannya saat ini sudah mencapai 100km/jam.
“Ya, Kapten?”
“Jangan pernah berpikir kalau kamu sendirian. Penyamaran ini kita lakukan bersama-sama. Saya tidak akan membiarkan kamu sendiri.”
“Saya tahu itu, Kapten.”
“24 jam,”katanya lagi, “saya akan selalu memantau lokasi kamu. Saya tidak akan membiarkanmu ada di dalam bahaya.”
“Ya, Kapten.”
“Terakhir. Bekerjalah dengan maksimal. Banyak orang yang telah memperjuangkan posisimu saat ini. Banyak orang yang berharap penyamaranmu ini berhasil. Banyak orang yang terluka karena tindakan Adimas. Harapan kami ada padamu.”
“Bisa Kapten jelaskan bagaimana nanti rencana kita?”
“Saya belum yakin dengan rencana yang sudah saya susun. Akan tetapi, garis besarnya adalah usahakan kamu melaporkan semua kejadian yang terjadi di rumah itu. Terlebih kegiatan yang berhubungan langsung dengan Adimas. Seiring informasi yang akan kamu temukan di sana, segala yang tidak mungkin, bisa saja terjadi.”
“Bangun pertemanan sebaik mungkin. Jangan sampai ada orang yang curiga dengan rencana kita. Sebab, jika satu gerakan saja mengendus rencana ini, tamatlah riwayatmu, menyusul dengan kita semua,” tutup Pak Leo.
***
Gedung-gedung tinggi mulai nampak. Langit yang semula gelap di awal perjalanan, mulai membiru. Tak ada lagi deretan pohon rindang. Yang ada adalah kota maju yang berpacu pada ruang dan waktu.
“Apakah rencana kita akan berhasil?” tanya Andy. Muncul keraguan di benaknya.
“Saya jamin rencana kita akan berhasil jika kamu tetap fokus dan jaga emosi. Memang berat, tapi semua itu akan setimpal dengan hasil yang kita dapatkan. Ingat, bukan orang kuat yang mampu mengalahkan dunia, tetapi orang yang mampu mengendalikan dirinya sendirilah yang menghalau apa pun di hadapannya. Membunuh Adimas tanpa mengetahui rencana dan segala pekerjaannya, hanya akan memperkeruh suasana. Kita tidak akan mendapatkan informasi apa-apa.”
Dari perempatan terakhir yang mesti mereka lalui, nampak gedung berlantai enam belas yang bertuliskan A&B Guard. Perusahaan besar yang kerap menyuplai pengawal untuk para pejabat dan orang-orang terkenal.
Mobil Pak Leo memasuki gerbang, melandai turun menuju parkiran yang berada di basemen. Sudah ada tiga orang berpakaian serba hitam dan satu orang mengenakan jas abu-abu serta kacamata bertangkai logam, umurnya diperkirakan lebih dari lima puluh tahun.
Pak Leo segera turun dari mobil dan segera diikuti Andy.
“Bagaimana kabar Anda, Pak Hasan?” Pak Leo membuka percakapan serta menjulurkan tangan kanannya.
“Sangat baik.” Hasan menyambut tangan kanan Pak Leo. “Bagaimana di perjalanan? Macet?”
“Jalanan cukup bersahabat hari ini.”
“Baiklah. Kalau begitu, mereka berempat bisa pergi sekarang? Saya sudah berjanji pada Adimas agar mereka tiba di sana sebelum pukul 8.”
Pak Leo memberikan kunci mobilnya kepada Andy. “Pergilah, mobil ini milikmu sekarang.”
***
Andy bersama tiga pengawal yang dibawa oleh Hasan, bergegas menuju kediaman Adimas. Ia mengemudikan CR-V hitam itu dengan kecepatan tinggi. Suasana di dalam mobil sangat hening.
Bising suara mesin yang dipacu kecepatannya menjadi satu-satunya latar suara yang menemani perjalanan mereka. Andy tetap fokus pada jalan yang ada di depannya.
Tak ada yang mau memulai obrolan lebih dulu sampai ia yang duduk di kursi belakang sebelah kanan memperkenalkan diri.
“Nama saya Dave.” Pria bertubuh paling berisi di antara mereka berempat memperkenalkan diri.
“Saya Hendri.” Kini giliran sosok di sebelah Dave yang memperkenalkan diri. Tubuhnya paling pendek di antara mereka berempat,
“Saya Tama.” Lelaki di samping Andy ikut memperkenalkan dirinya.
“Saya Liam,” ucap Andy dengan tatapan fokus ke depan.
Waktu terus berpacu, sesuai perjanjian, mereka sudah harus tiba di kediaman Adimas pada pukul delapan.
***
“Apa benar ini jalannya?” tanya Dave. Ekor matanya menyisir jalan kecil yang saat ini mereka lalui. Selain kecil, jalan ini juga ditutupi gulma setinggi tubuh manusia di sisi kanan dan kirinya.
“Sesuai petunjuk, memang benar ini jalannya.” Tama ikut menjawab. Sepanjang perjalanan, ia tetap menggenggam ponselnya, melihat peta yang ditampilkan pada layar ponsel itu.
“Tapi jalan ini kecil sekali.” Dave tetap tak percaya.
“Orang besar selalu memperhatikan hal-hal kecil, termasuk jalan menuju kediamannya.” Liam menerangkan. “Dengan kondisi jalan yang begini, musuh tidak akan mudah menemukan mereka. Dan musuh tidak akan selamat dari kejaran mereka.”
Dave dan Tama mengangguk paham.
Seratus meter di depan, mereka melihat sebuah gerbang dengan tinggi lebih dari tiga meter dan dijaga oleh dua orang bersenjata laras panjang serta menggunakan rompi anti peluru.
Liam membuka kaca mobilnya dan menyerahkan kartu nama A&B Guard ketika dua penjaga itu menahan mobil mereka untuk masuk.
Setelah memastikan tidak ada yang mencurigakan dari mereka berempat, dua penjaga itu membukakan gerbang dan mempersilakan mereka untuk melanjutkan perjalanan.
“Lurus 100 meter ke depan, ada persimpangan, berbeloklah ke kiri,” ucap salah satu penjaga.
Liam mengangguk dan langsung menutup kaca mobilnya.
***
Pak Leo dan Hasan masih berada di A&B Guard. Pak Leo sendiri tidak akan pergi dari sana sebelum mendapat kabar kalau mereka berempat sudah tiba di sana tanpa halangan.
“Apa kau yakin dengan anak itu?” tanya Hasan.
Saat ini, mereka sedang berada di ruangan berdinding baja. Di setiap sisi, terpasang kamera pengintai. Kaca pada ruangan itu pun, dilapisi anti peluru serta tak terlihat dari luar. Ruangan ini terletak di lantai enam.
Hanya orang-orang kepercayaannya yang diizinkan Hasan untuk masuk ke ruangan itu.
“Kenapa Anda ragu begitu, Pak Hasan? Saya tidak pernah salah memilih orang,” tegas Pak Leo. Sejurus kemudian, ia mengambil kopi yang disediakan di meja lalu menyesapnya.
“Postur tubuhnya membuat saya cukup ragu.”
“Jangan khawatir, Pak. Bentuk tubuhnya akan berubah dalam beberapa waktu ke depan.”
“Baiklah, saya berharap penuh kepada kalian.” Hasan menepuk pundak Pak Leo.
Sebuah pesan masuk menggetarkan saku Pak Leo. Ia melihat pesan bahwa mereka berempat sudah tiba dan siap menjemput Andini ke bandara.
Pak Leo keluar dari ruangan tersebut. Di dalam lift, pikirannya menguasai, ia merasa punya tanggung jawab besar yang harus diemban. Selain berupaya untuk tak mengecewakan Hasan, ia juga harus menyelamatkan Andy dalam situasi apa pun, bagaimana pun caranya.
Bandara Soekarno-Hatta tidak pernah sepi. Orang-orang berlalu lalang serta sibuk mencari apa yang sebenarnya tidak perlu dicari. Dari kacamata Liam, mayoritas mereka yang ada di sini berniat untuk bepergian. Mulutnya tak sengaja berdesis pelan, hidup memang tak adil. Yang punya keluarga justru menjauh, yang tak punya keluarga justru mencari yang telah pergi.Tapi, bukankah memang hidup ini tidak adil? Ada banyak orang yang kehilangan justru tak memiliki siapa-siapa. Sementara itu, mereka yang dikelilingi orang-orang tersayang malah ingin pergi karena merasa perlu punya waktu sendiri.“Ingat, ketika Nona Andini tiba, perketat pengamanan!” kata Sardi, kepala pengawal keluarga Adimas. Ucapan Sardi sontak menyadarkan Liam dari lamunannya.“Baik.” jawab seluruh bawahannya serempak.Bersama dengan enam orang lainnya, Liam menunggu kedatangan Andini beserta rombongan di muka bandara. Mata Liam terus mengamati mereka yang keluar masuk band
Adimas menerima kabar dari Lukman kalau Andini melarikan diri sewaktu baru tiba di bandara. Ada rasa takut yang mencuat, setelah delapan tahun tidak bertemu dengan anak semata wayangnya, Lukman berpikir kalau Adimas pasti akan marah besar. Kelalaiannya dalam menjalankan tugas, tak akan bisa menghindarinya dari masalah.“Hahaha,” di ujung telepon, Adimas tertawa. Muncul seutas senyum pada bibirnya saat mendengar penjelasan Lukman tentang apa yang terjadi. “Ibu dan anak sama aja. Karena sifat mereka sama, kupikir sesekali kau harus membiarkannya.”“Tapi, Bang,” potong Lukman. “Kurasa kita tidak bisa membiarkannya. Pasti Andini akan bertindak lebih dari ini selanjutnya. Dengan polah tingkahnya itu, sesekali ia harus didisplinkan. Abang tahu bukan kalau Eka memanjakannya selama di Singapura. Kuliahnya pun tak selesai.”Adimas menghela napas. Ingatannya akan anak semata wayangnya itu kembali bermain-main di kepala. Hidu
“Bagaimana hari pertamamu, Liam?” Warna suara yang renyah terdengar di ujung telepon. Tak perlu ditanya pun seharusnya Pak Leo sudah tahu dengan melacak GPS yang terdapat di ponsel Liam.“Cukup menghibur, Kapten.” Liam menjawab sekenanya. Dia belum mau banyak berbicara atau pun menyimpulkan sesuatu untuk seseorang bermata teduh itu.“Cukup jauh juga ya, aksi kejar-kejarannya? Jika saya melihat jarak dari bandara, lebih dari 6 kilometer.”“Kamu di mana sekarang?” Pak Leo mengalihkan percakapannya. Sebab, ia tahu, kalau Liam tak akan bisa bicara lebih jauh lagi mengenai topik tersebut.“Kapten bukannya bisa melacak saya?” Liam bertanya balik.“Max sedang pergi berkencan. Jadi, saya tidak bisa memantaumu saat ini.” Max adalah seorang peretas dan juga sebagai peretas andalan tim dari Pak Leo. Jadi selain makanan Barry Cafe yang rasanya mantap, Pak Leo dan tim memiliki agenda lain t
Pukul lima pagi, alarm di ponsel Liam berdering. Dengan raut setengah mengantuk, ia beranjak dari kasur tanpa aba-aba atau melemaskan tubuhnya. Ia meraih segelas air yang telah dipersiapkan sebelum ia tidur semalam. Tak sampai sepuluh detik, air itu habis diteguknya.Ia bergegas. Tangannya meraih zipper polos berwarna abu yang tergantung di kap stok belakang pintunya. Setelahnya, ia membuat simpul yang cukup kencang pada sepatunya. Pagi ini adalah awal baginya untuk mengumpulkan kekuatan.Napasnya tersengal-sengal, nyawanya seolah berada di ujung. Setelahnya menyelesaikan target hariannya untuk berlari, ia mengitari daerah tempat tinggalnya dengan berjalan santai seraya mengatur napas yang baru saja membuatnya nyaris mati karena sudah lama tak berlari.Ia melirik jam tangan yang berada di pergelangan tangannya. Waktu hampir menunjukkan pukul enam. Pendar kota yang tadi pagi ia lihat, perlahan mulai hilang. Mentari mulai muncul di ufuk Timur. Tanda baginya untuk
Di tengah perjalanan, dari spion, Pak Ramlan melihat sekelompok pemotor berusaha mengejar mereka. Seratus meter lagi, para pemotor tersebut akan berhasil menyamakan posisi.“Pak Adimas, sepertinya ada orang yang ingin menghalangi pertemuan hari ini,” sambil berkata, Pak Ramlan terus melirik para pemotor tersebut dari spion yang berada di atas samping kirinya.Adimas melihat ke belakang. Para pemotor tersebut berseragam serba hitam, serta menggunakan helm fullface hitam yang berkaca gelap. “Pak Ramlan, saya minta naikkan kecepatan. Saya ingin bermain-main.”Pak Ramlan mengangguk, sejurus kemudian, mobil yang ditumpangi Adimas meningkatkan kecepatan hingga 120km/jam.“Rencana biasa, Bang?” Lukman memandang Adimas serius.“Tentu saja. Mari kita bersenang-senang.”Di perempatan, empat mobil beriringan itu berpisah. Pak Ramlan membanting stir mobilnya dan langsung berbalik arah. Dari kaca mobi
Dari jendela kamar, Andini melihat Liam sudah berdiri di halaman. Tampilannya nampak biasa bagi Andini. Ya biasa, sebab semua yang bekerja sebagai pengawal di rumahnya selalu berpenampilan serba hitam. Sang ayah, seolah-olah berambisi menjadikan para pengawalnya terlihat sangar seperti film action kebanyakan.Marcedez Bens S-Class telah terpakir di bibir jalan. Sementara itu, di atas, Andini sama sekali belum membersihkan diri. Ia bimbang. Sebab belum setengah jam riasannya itu menempel dan menutupi wajah berminyaknya setelah bangun tidur tadi.“Mandi.. Tidak.. Mandi.. Tidak.. Mandi..” Andini menghitung kancing baju pada kemeja yang dikenakannya saat ini.“Arrrggggh!” Ia bangkit dari posisinya yang sedari tadi mengamati Liam. Kakinya melangkah menuju kamar mandi dengan langkah enggan.Andini mulai melucuti pakaiannya. Punggungnya nampak lurus, lingkar pinggangnya kecil bak model yang sering berjalan di catwalk s menampilkan design
Dialah Melisa Hartanto. Wanita yang memilih untuk menikah di usia yang masih muda, sembilan belas tahun. Setahun setelah pernikahannya dengan Adimas, mereka dikaruniai Andini Putri Hartanto, bayi mungil bermata segaris nan menggemaskan. Siapa saja yang melihat senyumnya, akan mengundang gelak tawa. Bayi mungil itu memberi kebahagiaan penuh pada Melisa dan Adimas. Kebahagiaan keluarga mereka seolah tak membutuhkan apa-apa lagi. Hadirnya Andini, seolah menurunkan surga ke bumi. Karena itu, mereka memutuskan untuk tidak memiliki anak lagi. Tangan Andini mengusap nisan sang Ibu. Tubuhnya bergetar, mata teduhnya menuduk menatap makam. Pikirannya sedang merangkai kata untuk memberikan salam kepada sang ibu setelah delapan tahun menghilang. “Bisa tinggalkan saya sendiri?” pinta Andini. Sungai di matanya hampir meluap. Ia malu jika Liam melihatnya menangis. Kesan kuat yang ditampikannya saat di bandara, tak boleh luntur hari ini. Tanpa jawaban,
Rubicon hitam yang sempat membawa Adimas, telah tiba di gerbang utama. Dua penjaga yang berada di balik gerbang itu memberikan jalan kepada mereka.“Di mana 3 mobil lainnya?” tanya salah satu penjaga gerbang.“Masih di jalan. Di dalam mobil ini,” pengawal yang duduk di kursi penumpang, mengarahkan jempolnya ke belakang mobil, “ada stok makanan untuk Lintang.”“Apakah ada yang terluka?” si penjaga gerbang mengetahui maksud dari ucapan pengawal itu.“Tenang saja. Kami semua selamat.”“Syukurlah.”Setelah percakapan singkat itu usai, dua pengawal tersebut melanjutkan perjalanan. Setelah melaju sepanjang seratus meter, terdapat pertigaan. Jalan di sebelah kiri adalah rute menuju rumah Adimas yang ditinggali Andini sekarang, Rubicon itu berbelok ke kanan, melaju dua ratus meter dan menjumpai gerbang kedua yang lebih kecil ukurannya.Gerbang kedua itu dijaga oleh dua pe
Apa yang akan kau lakukan jika kejadian yang pernah menghancurkan persahabatan serta masa depan orang lain kembali terulang?Di perjalanan pulang, Michelle menyandarkan kepalanya pada kaca mobil taksi yang mengantarkannya ke rumah. Rasanya, saat ini, ia ingin memuntahkan makanan yang baru saja disantapnya tadi. Ia menyesal. Seharusnya ia mampu mengalahkan rasa penasaran itu dan membiarkan ketidaktahuannya akan perasaan Andini sebagai pecutan untuk meraih hati Liam.Pendar lampu kota tak mampu menyilaukan pandangan matanya. Matanya memang memandang ke luar jendela, namun ia tak mengamati apa pun. Pikirannya berhasil menguasai tubuh. Sepanjang perjalanan, lalu lalang kendaraan tidak mampu menghancurkan konsentrasinya.Ingatan lama itu tiba-tiba kembali berputar dengan runut.Di selasar lantai dua, Michelle remaja tersenyum senang mengamati Andini yang tengah duduk sendirian, termangu menatapi kesedihan mendalam. Kepala Andini menduduk hingga rambut lurusnya
Trauma pasca penyerangan itu membuat Andini jadi takut untuk berkeliaran sendiri. Ingatannya tentang bagaimana Liam ditusuk dan disaksikan dirinya sendiri, mampu menciptakan mimpi buruk baginya.Sebelum mentari terbenam, Michelle tergopoh-gopoh mencapai ruangan di mana Liam dirawat. Pandangan kedua gadis itu bertemu. Dua gadis yang sama-sama mencintai Liam, yang saling tak mau mengalah.“Bagaimana keadaannya?” mata Michelle nanar menatap orang yang dikasihinya tak sadarkan diri. “Apa yang sebenarnya terjadi?”Andini menatap Michelle lekat-lekat. Jelas, tanpa diberi tahu, harusnya ia tahu tanpa perlu bertanya lebih jauh. Ia benci pertanyaan itu. Sangat membencinya. Manusia mana yang ingin dilahirkan sebagai penyebab celakanya orang lain?“Jelaskan padaku apa yang terjadi, An,” desak Michelle serius.“Perlukah aku menjelaskannya?” Andini menatap Michelle sejurus, sepasang matanya menyala tajam.“Itu kewajibanmu.”“Bagaimana jika aku tidak mau?”Keduanya bersitatap. Sama-sama meneguhkan
Iring-iringan mobil serba hitam milik Adimas menguasai jalan. Pak Ramlan begitu iba saat melihat Andini memeluk Adimas karena trauma atas apa yang terjadi. Isak tangis memenuhi seluruh ruang di mobil. Sementara Adimas, hanya bisa mengelus-elus pundak anak semata wayangnya itu. Dalam hati, dirinya begitu marah. Harga dirinya sebagai seorang ayah begitu disayat-sayat. Ia nyaris gagal melindungi anaknya.Sebetulnya, ia memang senang jika Andini menghampiri dan memeluknya. Akan tetapi, menurutnya—momen menakutkan seperti ini sangat tidak pas untuk diapresiasi. Lima menit saja ia terlambat, mungkin Hendri pun sudah merenggang nyawa. Pistol yang dipegang Hendri berhasil direbut oleh musuh entah bagaimana. Sementara Dave sudah kehabisan tenaga dan tidak kuat lagi untuk melawan.Tubuh keduanya dihiasi luka-luka saat bala bantuan tiba. Samuel, Tama, dan Liam segera dibawa ke rumah sakit untuk mendapatkan pertolongan. Setelah mengetahui kalau Liam terlu
Sebuah peluru keluar dari selongsongnya tepat saat beberapa orang hendak memukuli Liam yang lemah terkena tusukan. Suara tembakan menggema di tengah kesunyian jalan itu. Hanya beberapa pengendara yang lewat serta melintas tanpa berani untuk turun tangan. Pengendara mana yang berani melawan para penjahat yang menyerang mereka berlima?Serentak, sepuluh manusia bertopeng yang masih tersisa urung melakukan niat mereka untuk menghabisi Liam. Hendri tidak main-main. Ia siap mengeluarkan seluruh peluru pada pistolnya jika memang itu diperlukan. Dengan terpaksa, sepuluh orang itu mundur perlahan.Dave dan Hendri yang masih sadar sepenuhnya, menghampiri Liam dan membantunya untuk berdiri. Tangan kanan Hendri masih menodongkan pistol ke arah para musuh.Nafas Liam tak beraturan, ia menahan perih dari punggung belakangnya yang terus mengeluarkan darah segar. Sekuat tenaga, dengan sisa tenaga yang ada pada dirinya, ia berupaya untuk berdiri, m
“Apa-apaan ini! Siapa mereka?” Tama panik. Sebab, inilah kali pertama ia merasakan berada dalam situasi nyata tugasnya sebagai pengawal.Satu per satu, orang-orang berpakaian serba hitam yang lengkap dengan penutup wajah—mulai turun dari mobil sambil membawa benda tumpul dan beberapa senjata tajam. Tanpa melihat siapa di balik topeng hitam yang seragam itu, Liam jelas tahu, kalau mereka tidak hanya ingin melukai, tapi menghilangkan nyawa dengan bengisnya.“Jangan keluar dari mobil sampai saya memberikan perintah!” Liam memberikan instruksi pada Samuel. Tak lama, terlihat jelas di matanya—kepala Andini menoleh ke belakang.“An, aku pasti tidak akan membiarkanmu terluka.” Liam berjanji pada dirinya sendiri. Nyawanyalah yang akan menjadi ganti.“Apa yang harus kita lakukan?” tanya Hendri dengan tatapan penuh harap. “Kita harus menyelamatkan Nona Andini b
Mata Samuel tidak dapat beralih sedetik pun. Begitu anggunnya Andini ketika turun dari kamar. Tangannya dihimpit oleh Bu Laksmi, selaras langkah mereka saat menuruni anak tangga. Kondisi Samuel lebih-lebih daripada orang yang terkena hipnotis. Ya, penampilan Andini saat ini sangat menghipnotis dirinya.Khayalan nakal Samuel mulai bermain-main di kepala. Ia membayangkan kalau tadi pagi mereka resmi menikah dan malam ini adalah malam pertama yang panjang. Tubuh Andini mendarat mulus di ranjang, lalu sampai pagi Samuel memandangi wajah orang yang dikasihinya itu dan menjadi orang pertama yang berada di sisi Andini kala ia membuka mata. Ia sangat berharap khayalannya itu bisa menjadi kenyataan.Lain halnya dengan Liam. Kala melihat penampilan Andini yang begitu memesona, justru hatinya semakin sesak—tercabik-cabik hingga nyaris menangis. Ia menyesal. Sangat menyesal. Penampilan Andini dianggapnya sebagai karma tercepat dan tersakit yang pernah dir
Tama, Dave, dan Hendri telah bersiap untuk menerima undangan makan malam yang secara tidak langsung diadakan oleh penyalur jasa mereka. Pak Hasan memang memberikan undangan itu bukan sebagai pimpinan, melainkan seorang ayah yang berterima kasih pada rekan-rekan anaknya.“Aku cukup tersanjung dengan undangan yang diberikan Pak Hasan. Ah,” Tama memandang langit yang begitu luas. “kiranya undangan itu lebih daripada sekedar undangan,” katanya lagi.“Maksudmu?” Dave tidak memahami.Tama menggaruk-garuk kepalanya sambil menyeringai. Ia memang berharap lebih seperti pembagian gaji yang lebih menguntungkan pihak pekerja. Bukan lebih besar penyedia jasa yang menyalurkan mereka. “Apa kau tidak merasa kalau kita ini spesial?”“Spesial kenapa?”“Kita adalah teman sekerja Samuel, anak pertama dan calon penerus perusahaan A&B Guard. Aku yakin, pasti Pak Hasan akan meminta bantuan kepada
Andini menyadari, berharap pada orang lain hanya akan berujung pada kekecewaan. Tidak ada manusia di dunia ini yang mampu menyelesaikan masalah pada dirinya selain dirinya sendiri.“Untuk apa aku berharap pada orang lain. Ujung-ujungnya, yang kudapatkan hanyalah kekecewaan yang teramat.”Andini berucap pada diri sendiri. Saat ini, ia sedang terduduk lemas di tepi kasur dan tak berniat melakukan apa pun. Ia melirik jam dinding di kamar. Satu setengah jam lagi, Samuel akan menjemput mereka. Satu setengah jam lagi, bagi Andini, dunia sesungguhnya akan terjadi. Dunia yang sebenarnya tak diinginkannya.Menjadi tua ternyata perkara menakutkan. Seandainya saja, usianya saat ini masih merujuk pada angka belasan, mungkin ia bisa menolak dan berdalih akan menemukan pasangan hidup sendiri. Kini, usianya telah berada di penghujung dua puluh lima tahun. Sebentar lagi, satu angka akan bertambah di belakang.Ia menyesal tidak pernah bek
Sepanjang perjalanan meninggalkan kampus, Andini tak bicara satu kata pun. Fokusnya hanya menyandarkan kepala di dada Liam dan khusyuk berdoa kepada Tuhan agar waktu berhenti sementara.Sebentar lagi, hidupnya akan kosong. Sangat kosong. Seluruh pengisi di relung hatinya akan menguap percuma. Apa yang diimpikannya selama hidup, tidak ada yang berjalan dengan lancar. Hidupnya bagai sangkar. Seharusnya ia tidak perlu dilahirkan jika Tuhan tak mengizinkannya untuk memilih jalan hidup yang diingininya.Liam sesekali mencuri pandang ke arah kekasihnya itu. Sebagai lelaki, ia tidak begitu mengerti dengan perasaan wanita. Lagi pula, di hari yang sama, ia baru saja melakukan dosa besar. Hal yang selama hidupnya diharapkan kedua orang tuanya untuk tidak dilakukan. Ia memohon ampun dengan sangat. Meminta maaf sebesar-besarnya kepada kedua almarhum.Ia mengendarai mobil dengan kecepatan yang bisa dibilang cukup lambat. Untuk mendukung su