"Laila... Lo masih belum siap buat cerita ya?" Tanya April sembari berjalan mendekatiku yang tengah duduk di sofa dengan tatapan kosong. Aku menoleh kehadapan April dan melihat tatapan April yang seakan ragu untuk bertanya kepadaku. Aku memang meminta mereka untuk mengantarkanku ke apartemen saat aku keluar dari ruangan praktek Mbak Regina dengan tergesa-gesa dan cemas. Saat itu mereka tampak bertanya-tanya dengan apa yang terjadi di ruangan Mbak Regina. Akan tetapi aku masih belum bisa menjawab semua pertanyaan-pertanyaan yang terlontar dari mulut mereka detik itu juga. "Iya. Gue gak siap sama sekali. Kalo gue cerita gue gak sanggup. Rasanya kepala gue kaya mau pecah kalo inget lagi tentang kejadian itu." Ucapku datar sembari menghela napas kasar. Aku merasa pada saat itu aku sudah berada di titik terlelah dalam hidupku. Jiwa dan fisikku sudah tak mampu dan tak bisa lagi memikul semua rasa pahit yang aku rasakan ketika aku mengingat kembali kenangan yang aku ciptakan bersama Rafael
Beberapa hari kemudian... "Gimana kalau lo membuka hati dengan orang baru?" Ucap April memberikan saran sembari duduk di sofa apartemenku. "Gak gampang." Ucapku tertawa sinis. Lagipula, bagaimana bisa aku membuka hati kembali dengan orang lain? Yang aku pikirkan pada saat itu aku tidak akan pernah jatuh cinta kembali atas apa yang sudah terjadi. Aku sadar bahwa aku adalah seseorang yang 'terlalu mencintai' jika aku berada dalam suatu hubungan. Aku takut jika aku jatuh cinta lagi aku akan mencintai orang yang salah sehingga aku akan terjebak dengan keadaan depresi itu. "Alternatif lain, La. Mungkin orang baru ini bisa ngebuat lo lupa dengan Rafael." Sambung Aurora menyetujui saran April. "Siapa? Gue gak kenal dengan siapa-siapa saat ini. Paling yang gue kenal Diego. Yakali gue pacaran sama Diego." Ucapku tertawa sinis sembari menggelengkan kepala. Lagipula aku pun bukan tipe orang yang bisa menjalin hubungan asmara dengan teman atau sahabat sendiri. "Gue punya temen. Actually dia
Awal bertegur sapa dengan Aditya selama beberapa minggu pada akhirnya membuat kami mulai saling terbuka satu sama lain. Waktu itu yang aku harapkan dari hadirnya Aditya dalam hidupku cuma satu... Ya, pastinya ingin melupakan Rafael dan tidak berada dalam penyesalan yang selalu menghantuiku. Waktu itu aku dan Aditya baru saja selesai menonton film horror di salah satu bioskop yang berada di dekat kampusku memutuskan untuk langsung kembali pulang karena waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh lewat beberapa menit. Aku bisa menyimpulkan Aditya sepertinya seorang pria yang memiliki selera humor yang tinggi. Jika menonton film horror bersama Aditya, dia selalu saja menciptakan lelucon dari adegan film horror yang ditayangkan sehingga membuatku selalu tertawa. Tetapi aku senang dengan sikap Aditya, baru kali itu aku tertawa kembali setelah Rafael mencampakkanku. "Lain kali kalau sama kamu jangan nonton horror lagi deh. Nonton komedi aja sekalian." Ucapku memberi candaan kepada Aditya semb
"Oh God!!! I have no idea, La. Gue gak tau kenapa Aditya bisa kaya gini." Ucap Aurora frustrasi saat mendengar penjelasanku mengenai keinginan Aditya. "It's okay." Jawabku santai dan kembali fokus menyantap sushi. "So-sorry, La. Gue kirain Aditya bukan cowo brengsek. Bingung juga gue dengan tu orang. Berubah banget semenjak tinggal di Aussie." Ucap Aurora dengan raut wajah yang tampak kesal dengan tindakan Aditya. "No. Dia gak salah. Lagian lebih baik terus terang diawal dia maunya apa, kan? Daripada memberi harapan dan pura-pura baik tapi ternyata palsu." Ucapku sembari tertawa sinis. "Hahaha. Nyindir Rafael lo?" Ucap April sembari memberikan senyuman sinis kepadaku. "Iyalah siapa lagi?" Ucapku dengan sangat yakin dan tertawa kecil. "Sebenarnya Aditya bisa aja ngerayu gue dan buat gue cinta mati sama dia. Nah saat gue udah masuk perangkapnya dia, gue pasti nurutin apa kata dia karna udah dibuat cinta mati. we never know, right? So, lebih baik dia terus terang di awal. And it's a
Sebelum mengenal Rafael, mengunjungi rooftop adalah salah satu tempat yang bisa membuatku melepaskan penat sesaat dikala banyaknya tuntutan di kampus. Akan tetapi setelah kejadian menyakitkan yang aku terima dari Rafael, mengunjungi rooftop tidak juga bisa melepaskan penatku untuk saat itu. Yang ada hanya rasa hampa. Kemana pun aku melangkahkan kaki, aku selalu saja tidak pernah menikmati apapun yang ada di sekitarku. Biasanya jika ada perayaan seperti kelulusan Kak Nadia, aku adalah orang yang paling bersemangat untuk menghadirinya dan aku pun sangat menikmati momen itu. Tapi hal itu tidak lagi aku dapatkan sejak kepergian Rafael dari hidupku. "Laila!!! Melamun mulu lo kebiasaan! Tuh Bule di sudut sana ngeliatin lo daritadi deh, La." Saat aku tenggelam dalam rasa hampa di tengah kesibukan orang-orang yang mengunjungi rooftop, April mengejutkanku dengan ucapannya. "Ha?" Ucapku menatap April dengan tatapan bingung, lalu aku pun melihat kearah sudut rooftop yang diberitahu oleh April.
Eithan replied your story "Welcome to Jakarta." -Eithan Aku mengunggah salah satu foto yang menunjukkan suasana di Bandara Soekarno-Hatta di story Anstagram-ku. Itulah mengapa Eithan bisa tahu bahwa saat itu aku sudah berada di Jakarta. Semenjak pertemuan malam itu, aku dan Eithan saling berbagi username social media yang cukup sering kami gunakan. "Hi Eithan! Thanks!" -Laila "Wanna go out tonight?" -Eithan "Where?" -Laila "Hawaian Restaurant." -Eithan "Sounds good!!! See you!" -Laila Aku tidak tahu apakah caraku salah menerima ajakan Eithan secara terang-terangan hanya karena ingin menghilangkan kekesalanku atas kebenaran yang ku ketahui di Yogyakarta, tetapi setidaknya aku butuh seseorang waktu itu. Bertemu dengan Eithan merupakan salah satu hal yang membuat jiwa dan pikiranku sedikit tenang namun juga selalu terbayang akan hadirnya Rafael. Aku bertemu dengan Eithan sebanyak tiga kali namun aku selalu tersiksa dan merasa bersalah setiap kali menemuinya. Pertama, aku tersik
"Tapi lo gak nerima Eithan, kan?" Tanya April memastikan sembari membelalakkan matanya kearahku saat aku selesai menceritakan mengenai hubunganku yang sudah terjalin cukup dekat beberapa minggu bersama Eithan. "Nggak lah." Jawabku yakin "Tapi kalau di pikir-pikir Eithan baik banget ya." Ucap Dina yang sedikit terlihat menaruh harap atas hubunganku dengan Eithan. "Iya. Tapi sayang beda agama." Sambung Aurora menghela napas sembari menggeleng-gelengkan kepalanya "Kenapa ya gue itu selalu terjebak dengan perbedaan agama gini? Dan kenapa gue selalu narik orang yang agamanya berbeda dengan gue ke dalam hidup gue?" Ucapku yang akhirnya melontarkan isi pikiranku selama ini kepada teman-temanku. "Yah jangan nanya kita, La. Kita juga gak bisa jawab kalo hal begitu. Rahasia alam semesta itu mah." Jelas April sembari tertawa kecil. "Iya sih bener... Tapi sekarang gue udah memutuskan untuk berteman baik dengan Eithan, kok." Jelasku meyakinkan April, Dina, dan Aurora. *** Berjalan di pinggi
Aku seringkali menunjukkan tingkah konyol kepada Eithan seperti melewati zebra cross yang hanya menginjak garis-garis putihnya saja dan berteriak saat ada pesawat yang lewat. Dan ya, Eithan terlihat sangat bahagia dengan kekonyolan yang ku ciptakan. Namun tanpa aku sadari, kekonyolan itu adalah kekonyolan yang pernah aku ciptakan bersama Rafael. "Kamu serius ngelakuin hal kaya gini tiap hari? La, itu pilotnya gak akan denger kalau kamu say Hi." Ucap Eithan sembari tertawa lepas "Of course. Aku selalu ngelakuin hal ini juga dengan Rafael waktu itu kalau pesawat lagi lewat. Dan kita berdua gak bisa lihat zebra cross, kalau kita lihat, fix harus taruhan." Ucapku bersemangat dan tak sengaja menyebut nama Rafael. Seketika raut wajah Eithan berubah drastis saat aku mengucap nama pria itu. "Oh--- Okay." Ucap Eithan datar "So-sorry, Eithan. Aku--" "It's okay, La. Anyway, habis ini kita langsung balik, yuk. Ada yang harus aku kerjain buat besok." "Kamu marah ya?" Tanyaku dengan susah pa
Aku mencari-cari wujud Mas Daffin diseluruh ruangan villa namun aku belum juga menemukannya. Aku bergegas keluar dari ruang santai dan memutuskan untuk mencari Mas Daffin di coffee shop dan ruangan gym. Berharap dia ada disana. Aku menuruni anak tangga dan merogoh saku untuk mengambil ponselku dan langsung menghubungi Mas Daffin. Seketika aku sangat familiar dengan nada dering yang samar-samar ku dengar. Ya, nada dering itu adalah nada dering ponsel Mas Daffin. Perlahan aku pun mulai mengikuti arah suara itu sembari menunggu Mas Daffin menjawab teleponku. “Mas Daffin kamu kenapa jahat banget sih gak ngomong ke aku kalo kamu ke Bali.” Ucapku kesal kepada Mas Daffin yang akhirnya menemukannya di ruangan gym “Astaga, La. Ngagetin aja. Aku cuma mau ngasi surprise.” Jawab Mas Daffin sembari meletakkan dumbbell yang berurukan 30kg di atas lantai. Lalu, Mas Daffin pun duduk dan mendongakkan wajahnya kehadapanku. “Terus tadi kenapa pas di pantai tiba-tiba pergi?” Tanyaku menatap Mas Daffin
“Aahhhh!!! Baliiiii!!! Here we come!!!” Ucapku penuh semangat sembari menuju ke tempat pengambilan bagasi bersama teman-temanku. Aku, Aurora, Dina, dan juga April, Mas Dirga, dan Jonathan pada akhirnya sampai di Bandara Ngurah Rai Bali. Perjalanan kami ke Bali pun ditempuh dalam waktu dua jam. Aurora seperti biasa membawa Jonathan dan Dina pun membawa Mas Dirga. Hanya aku dan April saja yang tidak membawa pasangan karena mereka harus bekerja. Sementara Mas Dirga dan Jonathan, mereka berdua hanya bisa menikmati liburan di Bali selama tiga hari karena mereka tidak bisa cuti berlama-lama. Seperti yang aku katakan sebelumnya, semenjak kebangkrutan orangtua Jonathan dia pun harus kuliah dan bekerja disaat bersamaan. Sementara Aku, Dina, April, dan Aurora memang berencana menghabiskan waktu liburan kami di Bali sampai dua minggu lamanya. “Guys kita buat story dulu. Kita udah di Bali.” Ucap Dina sembari membuka aplikasi Anstagram miliknya. “Din, kita masih di Bandara. Masih nunggu baggage.
Enam bulan kemudian… Hari ini aku, April, Aurora, dan Dina tengah berada di Jakarta Convention Center untuk menghadiri upacara wisuda setelah empat tahun berjuang untuk mendapatkan gelar sarjana. Aku tidak pernah menyangka pada akhirnya aku bisa lulus tepat waktu setelah apa yang sudah menimpaku waktu itu. Tidak pernah kuliah dan meratapi nasib hanya karena aku pernah dicampakkan. Namun hari ini aku benar-benar bahagia dan bangga dengan diriku. Dihari special ini, aku dan teman-temanku benar-benar tampil maksimal. Kami semua memakai kebaya dengan model yang berbeda-beda pastinya. Aku dan teman-temanku memilih kain motif jawa untuk rok-nya seperti baju wisudawan pada umumnya. Aku mengenakan kebaya berwarna biru dongker, April mengenakan kebaya berwarna pink muda, Aurora berwarna merah, dan Dina berwarna cream. Rambut kami pun disanggul oleh penata rambut seperti wisudawan-wisudawan yang lainnya. Hanya Dina saja yang memilih rambutnya digerai dengan diberikan model ikal pada ujungnya.
Setiap kali aku menulis novel ini, ada beberapa halaman tentang penyesalan yang sering membuatku menangis. Aku pun pernah menghentikan tulisan ini untuk sementara waktu karena jiwaku masih belum kuat untuk mereka ulang kejadian dan kenangan yang pernah aku ukir bersama masalaluku dulu. Bukan, aku menangis bukan karena aku merindukannya. Bukan pula merindukan kenangan yang pernah kami ukir bersama. Aku menangis karena kesal terhadap diriku sendiri dengan setiap penyesalan yang terus menghantuiku. Saat aku berada di dunia yang gelap. Aku menyalahkan diriku atas keputusan yang aku pilih. Aku merasa aku adalah orang yang paling tidak bisa memilih keputusan yang tepat. Beberapa bulan, aku harus bertanya mengenai keputusan yang harus aku ambil kepada orang terdekatku. Aku merasa takut untuk bertanggung jawab atas konsekuensi keputusan yang akan aku ambil. Aku masih tak menyangka dengan diriku, aku bisa melewati setiap harinya dengan perlahan bisa bangkit dan melupakannya dengan ikhlas.
Tok… tok… tok… Sedikit demi sedikit aku membuka mataku yang masih melekat saat terdengar suara ketukan pintu apartemenku dari luar yang membuatku terbangun dari tidur. Cklek! “Ya ampun sayang. Kamu tidur?” Tanya Mas Daffin keheranan ketika melihat wajahku kusut dengan rambut acak-acakan “Iya, Mas. Aku capek banget tadi pulang magang. Sini masuk dulu.” Jawabku dengan mata yang masih melekat. Mas Daffin masuk ke apartemenku dan duduk di ruang tamuku yang tampak berserakan. Aku pun duduk di samping Mas Daffin sembari memeluknya dengan memejamkan mata. “Kamu masih ngantuk banget ya, La?” “Iya. Mau tidur lagi.” Jawabku singkat. “Jangan tidur lagi sayang. Bentar lagi udah maghrib. Pamali tidur pas lagi maghrib.” Aku membelalakkan mata dan menatap Mas Daffin panik “Serius udah mau maghrib?” “Iya, sayang. Kamu mandi gih. Masih pake baju magang malah di bawa tidur. Aku mau ngajak kamu nongkrong bareng temen aku. Yuk?” “Ya abisnya aku capek, Mas. Banyak banget kerjaan di kantor. Duh m
Aku dan Mas Daffin duduk di sudut rooftop dengan pemandangan yang menyuguhkan lampu-lampu gedung pencakar langit di Jakarta. Awalnya, aku memang mengingat setiap memori yang pernah ku ukir bersama Rafael disana. Namun, lama kelamaan aku melupakannya begitu saja ditambah dengan adanya Mas Daffin yang selalu menceritakan setiap guyonannya. "Mas, aku mau ngomongin keputusan aku. Aku nerima kamu sebagai pacar aku dan kita mulai berbagi setiap hari bersama-sama." Ucapku spontan. "Kamu serius kan, La?" Tanya Mas Daffin membelalakkan matanya. "Iya, Mas." Aku melempar senyum Mas Daffin meraih dan menggenggam tanganku "La, aku seneng banget bisa ngejalani hubungan sama kamu. Aku gak mau menaruh janji. Tapi selama aku dan kamu bersatu, aku masih bisa janjiin kalo aku akan nemenin kamu ke psikolog dan hilangin trauma kamu." "Thanks, Mas. Tapi, Mas--" Ucapku melas. "Kenapa, La?" "Hmm-- aku harus pake piyama teddy bear ya biar bisa dapetin tas sama espresso machine?" "Hahaha. Ya ampun polos
Saat ini aku sadar bahwa aku benar-benar merasakan kehilangan Mas Daffin. Lagi lagi aku merasakan hal itu, sama halnya saat Eithan memutuskan hubungan denganku hanya karena aku selalu membawa nama Rafael. Mas Daffin adalah pria yang selalu ada disaat aku membutuhkannya dan juga pria yang selama ini bertegur sapa setiap harinya denganku. Dan tanpa sadar dia adalah pria yang aku sayangi akhir-akhir ini. Namun sekarang? Aku sudah mengecewakan Mas Daffin hanya karena ketakutanku akan masalalu. Ketakutanku akan disakiti lagi. Aku masih sering bertemu dengan Mas Daffin, apalagi setiap pagi ketika aku pergi kuliah dan dia pun berangkat kerja. Namun, hubungan kami saat ini memang sebatas sapa saja dan hanya bertemu di lorong apartemen. Sejujurnya aku tak bisa mengatakan bahwa aku baik-baik saja saat Mas Daffin tak ada di dekatku lagi. Namun, aku tetap harus mengikhlaskannya dan mengambil pelajaran dari semua pengalamanku. Waktu itu, aku benar-benar kehilangan Mas Daffin. Mas Daffin yang be
Setelah aku meninggalkan Mas Daffin di apartemennya beberapa hari yang lalu karena aku menolaknya lagi dan lagi. Mas Daffin pun akhirnya mengunjungi apartemenku lagi seperti biasa. Mungkin Mas Daffin memang membutuhkan waktu untuk mencerna semuanya. Ditambah lagi Mas Daffin juga masih belum pulih sepenuhnya dengan luka yang masih membekas di lututnya. Namun saat Mas Daffin mengunjungiku waktu itu, syukurlah dia sudah berjalan dengan normal. “La, I think you aren’t okay.” Mas Daffin mengejutkanku dengan pernyataannya seperti itu saat aku tengah fokus menonton serial tv. “Maksudnya?” Tanyaku menatap Mas Daffin dengan bingung “Oh… Pasti kamu mikir aku gak baik-baik aja karna kelakuan aku beberapa hari ini, kan?” Tanyaku dengan yakin. Mas Daffin hanya tersenyum sembari memegang tanganku "Laila, you’re not okay. Kita ke dokter yuk?" "Ke dokter?” Aku tertawa sinis “Mas, aku gapapa loh." Jawabku tegas "Kamu sakit, La." "Apaan sih, Mas. Aku baik-baik aja!" Seruku "Bukan, bukan fisik kam
Mas Daffin… Entahlah, semenjak kejadian memalukan yang aku ciptakan di bar beberapa hari yang lalu dia selalu saja semakin memperhatikanku. Terkadang aku selalu tertawa dan senyum-senyum sendiri saat mengingat kenangan aku ciptakan dengan Mas Daffin. Ditambah lagi saat Mas Daffin mengajakku menonton di salah satu bioskop. Aku benar-benar merasa bahwa Mas Daffin tidak pernah menutup nutupi aku dari wanita lain. Namun lagi-lagi hatiku masih saja selalu meragukan Mas Daffin. “Lo udah sadar?” Tanya April menginterogasiku bersama dengan Dina dan Aurora. Bisa-bisanya mereka datang ke apartemenku tanpa basa basi sedikitpun dan masuk ke dalam apartemenku tanpa mengetuk sama sekali. “Ya udah dong. Lo pikir gue mabok sampe berhari-hari apa?” Ucapku cetus sembari menggeleng-gelengkan kepala. “Lo gak pernah sampe mabok gini, La. Kenapa, sih?” Tanya April sembari duduk di hadapanku. “Gue juga bingung. Udah deh gue gak mau bahas. Intinya sih beberapa hari yang lalu itu gue lost control karna ke