"Wanita itu yang menggoda suami saya, Bu." Astri mengadu. "Jangan membuat kegaduhan di acara saya! Kalau ada masalah keluarga, selesaikan di rumah kalian, jangan seperti orang yang tidak tahu malu," tekan wanita angkuh itu, menatap nyalang ke arah Astri."Maafkan kami, Bu." Mas Aditya bersuara sembari menahan malu. Sedangkan Astri masih bersikap angkuh, memasang wajah cemberut. "Dan kamu. Sepertinya kita tidak saling mengenal, bagaimana bisa, kamu ada di acara saya?" tanya wanita itu kepadaku. Aku menyunggingkan senyum."Masa anda tidak mengenal saya?" Aku bertanya sambil berjalan mendekat ke arahnya."Buruan anda sudah di depan mata! Apa harus saya jelaskan di acara malam ini siapa saya yang sebenarnya? Banyak pasang mata, sedang mengarah kepada kita. Jadi sebaiknya anda berhati- hati," lanjutku dengan suara pelan."Dinda ...." suara seseorang menyebut namaku. Kami menoleh ke arah pintu masuk.Lelaki berpenampilan rapi, tampan dan berkharisma. Dari wajahnya, dia pasti lelaki yang o
Meskipun 2 tahun lebih tidak bertemu, wajahnya tetap terlihat cantik. Begitulah orang kaya, perawatannya saya mahal- mahal. "Eh, Tante." Lelaki bernama Anwar itu berdiri, begitu pula denganku. Perasaanku sangat tidak nyaman, ketika wajah datar dan tatapam tajamnya mengarah padaku.Tangan mulus itu tiba- tiba mengudara, mengarah ke wajahku. Namun dengan sigap, aku menangkapnya."Dasar pendusta," tekannya, menatap marah kepadaku. Aku yang masih memegang tangannya berusaha bersikap tenang."Maaf, jangan sentuh saya, Tante," ujarku. Tidak akan kubiarkan, tangan siapapun berani memukul wajahku lagi, termasuk ibunya kak Adam."Kurang ajar! Kamu berani sekali bohongi saya tempo hari, dengan mengaku sebagai istri anak saya. Dan kini, anak saya mendadak menjadi orang bodoh yang tidak ingat apa- apa, dan kamu, mulai merayu sepupunya lagi, dasar murahan!!" makinya kepadaku."Bukan saya yang mengatakannya, tapi anak Tante yang punya ide gila itu, hanya karena tidak mau Tante jodohkan!" jawabku
"Dia, dia ...." kak Adam semakin menjerit, menunjuk ke arahku. Bahkan, dia berlari ke arahku dengan histeris."Linda! Kenapa kamu bawa Adam kemari?" teriak tante Ammara, ibu kak Adam.Pesta wanita kejam itu menjadi kacau, di saat kak Adam langsung berlari memelukku yang masih duduk. Aku benar- benar syok, mendapat perlakuannya."Adam, Adam tenang," pinta pak Anwar, yang begitu sigap langsung berdiri dari duduknya, membantuku melepaskan diri dari kak Adam.Sebenarnya bisa saja aku gunakan tenagaku, untuk melepaskan diri dari pelukan kak Adam. Hanya saja, entah kenapa aku tidak tega melakukan hal itu. Secara, dia menjadi seperti ini, karena berusaha menyelamatkanku saat itu.Orang yang harus bertanggung jawab dalam hal ini, adalah ibu Melisa, wanita berhati iblis itu, harus mempertanggung jawabkan semuanya."Kak Adam," lirihku, sembari menatap wajahnya. Lelaki yang tadinya tantrum di pelukanku itu, kini mulai bersikap tenang, sembari menatapku juga."Adam," lirih tante Ammara, yang kini
"Apa maksud ibu ini? Ibu berani ngusir saya?" tantang Astri, yang mulai tidak terkendali."Jangan sampai saya bongkar rahasia besar ibu ya," ancamnya sembari berkacang pinggang.Beuh, seru sekali. Apalagi saat melihat wajah mas Aditya yang ketar- ketir, mendengar ancaman Astri."Tutup mulut besarmu itu, aku bisa saja melakukan hal yang kejam sama kamu," ujar bu Melisa mengancam balik dengan suara pelan penuh tekanan."Saya tidak takut! Sebelum ibu menyentuh saya, saya bisa lebih dulu, membuat ibu dipenjara," jawab Astri sembari mendekati wanita itu."Dosa kejahatan ibu, semua ada pada saya," lanjut Astri tanpa takut sama sekali."Cukup Astri, lebih baik kita pulang saja," kata mas Aditya, sembari meraih tangan wanitanya itu.Bu Melisa hanya menelan ludah, tanpa berani bersuara lagi. Aku yang didekat mereka, tentu saja mendengar dengan jelas pembicaraan keduanya."Manis sekali ancamannya. Padahal saya juga tahu, betapa kejamnya Anda, ibu Melisa yang terhormat. Sayangnya, saya belum pun
Sesampainya aku di apartemen, aku bergegas masuk ke dalam. Bukan karena takut. Tapi aku hanya tidak ingin membuat masalah lagi.Aku yakin, wanita berhati iblis itu, tidak akan tinggal diam.Apalagi, setelah tahu anak buahnya aku lukai. Entah bagaimana sekarang paniknya lelaki kejam itu. Biarlah, kali ini aku hanya menakut- nakutinya. Tapi nanti, aku bakalan beneran datang ke rumahnya.Hening malam, membuatku sedikit terjaga. Aku terdiam, teringat dengan tatapan kak Adam tadi.Tatapan yang sulit aku mengerti. Tatapan luka, khawatir dan entahlah. Yang aku heran, siapa wanita di sampingnya tadi.Kenapa, wanita itu membawa kak Adam, keacara bu Melisa. Apa tujuannya? Apa itu perawatan utusan mas Aditya?Apa tujuan mereka, sengaja ingin mempermalukan keluarga Raharja? Entahlah.Sebagai orang yang nyawanya sedang diburu. Tentu saja, aku harus banyak waspada. Dari pada puyeng tidak bisa tidur. Aku memilih memasang cctv, yang tadi aku beli di Mall. Aku sudah mempersiapkan semuanya. Besok tin
"Ya begitulah anak manja, seenaknya. Bukannya belajar kerja di kantor ayahnya, malah kerja di kantor ini," keluh pak Anwar."Pantes tingkahnya seperti bos besar," batinku. Menarik sekali ini."Dia kontrak atau cuma dititipin di sini?" Aku terus bertanya, demi mendapatkan informasi tentang wanita muda tadi."Kontrak, sesuai SOP." "Baiklah! Akan kukerjai dia di sini," gumamku dalam hati.Kami memasuki ruangan yang cukup mewah dan elegan. Ruangannya rapi, juga wangi."Selamat bekerja, semoga kamu betah," ujar pak Anwar sembari berjalan ke arah mejanya.Aku tersenyum, lelaki itu sangat humble, juga ramah sekali. Di dekatnya, aku merasa seakan- akan, di bukanlah bosku. Sikapnya itu membuat nyaman, seolah- olah aku adalah temannya.Kami pun mulai fokus kerja. Setelah selesai mempelajari beberapa file yang terletak di atas meja dan menyelesaikannya. Aku mulai bermain- main sedikit dengan laptop, untuk membuat onar keamanan IT kantor Danum.Sesekali, aku melirik pak Anwar, yang tengah fokus
"Sesil. Kenapa dia sampe teriak begitu?" gumamku."Rese banget wanita kecil itu," gerutu pak Anwar nampak kesal."Hei, Sesil. Sini, Nak!" panggil bu Melisa, yang langsung berdiri dari duduknya, ketika melihat Sesil yang mulai berjalan ke arah kami."Kalian nggak tau malu banget," hardik Sesil kepada kami. Pak Anwar melepaskan pegangannya tubuhku yang sudah berdiri tegap."Sil, jaga bicara kamu! Kamu nggak pantes ngomong begitu sama saya," tegas pak Anwar. Sebelum Sesil bersuara lagi, bu Melisa sudah berada di dekat anaknya itu."Bu," lirih Sesil yang langsung memeluk ibunya itu."Pak Anwar, tolong maklumi Sesil, dia masih labil," ujar ibu Melisa."Labil apa? Teriak- teriak dan ngata- ngatain atasannya begitu, apa pantas? Dia ini bukan gadis remaja, tapi sudah wanita dewasa," timpalku dengan sengaja."Diam kamu!" bentak Sesil kepadaku, membuat semua tamu yang ada di restoran, memandang ke arah kami."Sebaiknya kamu diam saja," pinta ibu Melisa dengan geram kepadaku."Dia sudah memperma
"Nggak tau sih kalau hal itu, ibu Melisa juga nggak mau jelasin saat itu. Dia cuma minta pengertian saya, kalau Sesil ini punya trauma gitu." Aku pun lagi- lagi cuma mengangguk."Saya itu sebenarnya tidak mau, kamu berurusan dengan keluarga itu. Saya tidak tahu kebenaran jelasnya seperti apa. Tapi kalau dari cerita yang beredar. Ibu Melisa ini orangnya cukup kejam, Din. Sekeretaris saya dulu itu, pernah menampar wajah Sesil, ketika mereka ribut. Dan besoknya, sekretaris saya itu nggak masuk kerja lagi. Tau nggak seminggu setelahnya, dia ditemukan meninggal dunia," jelas pak Anwar.'Nggak heran dan nggak kaget juga. Aku tahu dia sekejam itu, Pak.' Aku membatin."Saya hanya khawatir sama kamu, Din.""Tenang saja, Pak. Saya punya seribu nyawa," candaku, biar pak Anwar tidak tegang dengan pemikiran takutnya."Hehe, bisa saja kamu, Din."Pak Anwar ikut terkekeh. Kami sampai di gedung halaman kantor dan berjalan masuk ke dalam.Para karyawan ada yang menyapa dan ada juga yang menghampiri.
Bab93Disaat Dinda sibuk mengurus bayinya, begitu juga dengan ibu mertuanya, yang nampak terbuai bahagia, dengan kehadiran cucu yang begitu dia damba.Hidup bahagia, seakan kini berpihak pada Dinda. Melihat ibu mertua yang dulunya begitu membencinya, kini berubah 99%, baik dan sangat memperhatikannya, Dinda sangat bersukur dengan hidupnya kini.Dinda pun seakan lupa. Ada hati yang masih terluka, ada hati yang masih tidak rela.Maura mengurung diri di dalam kamar, meratapi takdir yang tidak adil padanya. Dia yang istri pertama, tapi dia pula yang sangat terluka.Meskipun dari awal dia tahu, bahwa suami yang sangat dia cintai, mencintai wanita lain dengan gilanya. Tapi berkat bujuk rayu ibu mertua. Maura yakin bisa membuat suaminya akan mencintainya.Nyatanya? Maura jatuh dan hancur dalam harapannya. Kemunculan Dinda di rumah tangganya, membuat hati Maura hancur dan terluka. Maura jelas tidak terima, dan membenci Dinda teramat dalam di dasar hatinya.Kebencian itulah, yang menjadi api de
Bab92 "Maura!!" Suara Adam memanggil wanita itu. Pelayan Maura yang bernama Neneng pun menghentikan laju langkah mereka, dan memutar badan mengarah ke Adam yang berjalan mendekati mereka. Wajah Maura begitu sendu, memandang Adam. "Biar aku antar," seru Adam, membuat Maura langsung menggelengkan kepala. "Tidak usah, kami sudah memesan taxi online." "Batalkan! Lagian Dinda juga sudah mau pulang, kita bareng saja," ujar Adam lagi memaksa. "Aku tidak mau, menganggu kebahagiaan kamu, Mas. Selamat ya, akhirnya kamu akan menjadi seorang ayah, aku turut bahagia untuk kalian," ucap Maura, dengan mata berkabut. "Maafkan saya, Maura." Lelaki itu menjadi serba salah, menghadapi situasi ini. Dilain sisi, sebagai lelaki yang beristri, tentu saja memiliki keturunan, adalah suatu kebahágiaannya. "Kamu juga menjadi ibu, Maura." "Tidak, aku tidak akan pernah menjadi ibu, Mas. Selamanya, aku hanya wanita cacat, yang kehilangan segalanya," lirih Maura. "Neng, ayo," pinta Maura. Neng pun mengan
Wajah mereka semua begitu berseri, bibir mereka pun melengkungkan senyum, hanya Maura yang menatap sendu ke arahku."Ada apa ini?" tanyaku penasaran. Seingatku, aku sempat pingsan setelah muntah- muntah tadi, entah berapa lama aku pingsan. Tapi ketika sadar, aku dibuat mereka semua bingung."Selamat ya, Nak. Kamu akan segera memberikan ibu cucu," seru ibu mertua dengan bahagia. Ada ketulusan dimatanya."Hah, aku hamil, Bu?" Sulit rasanya kupercaya. Disaat hati ingin mundur, malah hamil.Antara bahagia, juga dilema. Kulirik ke arah Maura, yang terlihat memaksakan bibirnya untuk tersenyum."Maura, kamu akan menjadi seorang ibu, Nak. Dan Adam, Adam akan menjadi ayah. Dan saya, saya akan menjadi seorang nenek. Akhirnya keluarga kami akan memiliki generasi penerus," seru ibu mertua tanpa henti.Aku terdiam dan membeku. "Mulai hari ini, ibu akan khusus mengurus Dinda, dan ibu akan menjadi nenek siaga," lanjutnya begitu bersemangat. "Ibu, jangan berlebihan," pinta kak Adam."Tidak ada yan
Hubungan ini, benar- benar sudah tidak bisa dipertahankan. Aku tidak mungkin tetap disini, berada di dalam rumah orang, yang begitu benci dengan keberadaanku. Rasanya sangat menyakitkan sekali, setiap melihat tatapan kebenciannya, ucapan- ucapan pedasnya. Sekalipun cinta kak Adam hanyalah untukku, aku tetap merasa tidak nyaman. Cukup lama aku menangis, hingga tanpa aku sadari lagi, aku tertidur. ***^^*** Ketukkan dipintu kamar, membuatku terbangun dari tidur. Cahaya panas matahari yang mulai naik, menerpa wajahku. Aku melirik jam dinding, sudah menunjukkan jam 10 siang. "Astaga, siang sekali aku bangunnya," gumamku. Ketukan dipintu kamar kembali terdengar. "Jangan- jangan tante Amara lagi didepan pintu," batinku. Aku beringsut turun dari kasur, menuju pintu kamar. Perlahan, aku membukanya. "Kamu kesiangan," sapa wanita yang kini berada tepat didepan pintu kamarku. Wanita yang duduk dikursi roda ini nampak cantik hari ini. Dia mengenakan make up tipis, dengan pakaian yang c
"Mereka tidur di kamar," bisiknya ke telingaku sambil terkekeh."Satu kamar mereka?""Iya, hahahaa." Kak Adam gelak tertawa, membuat aku menjadi heran."Kok bisa?""Aku kasih obat tidur," jelasnya lagi, membuat aku ikutan tertawa."Ih, jahil banget kamu, Kak.""Habisnya kalau nggak begitu, aku sama kamu mereka ganggu melulu," sahutnya tanpa dosa."Ada- ada saja kamu, Kak. Kasihan tau.""Kan aku cuma ngasih obat tidur, jadi gak apa- apa dong. Aku nggak mau terus diganggu, ketika berduaan sama istriku. Aku juga nggak mau durhaka sama ibu, karena terus ribut dengannya. Jadi, aku main aman saja," katanya panjang lebar. "Hmm, yaudah ayo mandi, gerah," ujarku yang akhirnya bangkit dari pelukannya. Lelaki itu pun menyusulku bangkit dari tempat tidur dan menggendongku secara tiba- tiba."Kak Adam," pekikku cukup terkejut."Mandi sama- sama dong," katanya sambil mengedipkan 1 matanya padaku.Aku terkekeh, dan kak Adam pun menyeret langkah memasuki kamar mandi. Tidak kusangka, tingkahnya yang
"Kita lihat saja nanti. Aku atau kamu, yang lebih cocok jadi nyonya." Aku menyahut pelan, sambil tersenyum penuh arti.Wanita itu, yang semula tersenyum dengan angkuh mendadak terdiam. Pancaran emosi memenuhi wajahnya."Yang aku tahu, kak Adam hanya mencintaiku dari dulu. Entah kenapa, dia mau menikahi kamu, wanita yang tidak dia sukai sama sekali," cibirku sambil terkekeh."Kamu, jangan sombong kamu, Dinda!" ujarnya yang mulai tersulut emosi."Wajar aku sombong, karena yang aku katakan adalah fakta." Aku terus berjalan sambil terkekeh.Hilang sudah rasa bersalahku padanya, yang ada malah rasa sebal dan ingin mengerjainya balik, agar dia tidak seenaknya meremehkan aku.Saat aku memasuki rumah, tiba- tiba Maura menjerit- jerit dari dalam mobil. Kak Adam pun langsung berlari dengan paniknya, begitu juga ibu mertua.Hanya aku yang terdiam, sembari mengamati mereka dari kejauhan. Entah drama apalagi, yang ingin Maura mainkan kali ini."Dinda! Ambilkan air untuk Maura, cepat!!" Tante Amar
Memasuki kantor om Kustomi, lelaki itu menyambutku dengan senyuman hangat. Namun, wajah yang tadinya tersenyum, mendadak lenyap seketika, berganti dengan tatapan menyelidik."Apa yang terjadi? Kenapa wajah kamu?" Om Kustomi mencecarku dengan pertanyaan yang sulit untuk aku jawab. "Apakah ini perbuatan Adam Raharja?" Om Kustomi kembali bertanya, dengan wajah yang mengeras. Kentara sekali, percikan emosi mulai terpatri di wajah tuanya."Bukan, Om.""Lantas apa? Jangan berdusta, Dinda. Kamu itu sudah om anggap, sebagai anak sendiri. Kamu itu adalah amanah dari Kusnadi, yang harus om patuhi.""Dinda tidak berdusta, Om. Om tenang dulu, jangan emosi. Ayo kita duduk," pintaku dengan lembut. Lelaki paru baya itu pun mau akhirnya duduk, meskipun wajahnya masih memancarkan kekesalan."Jelaskan! Jangan ada yang ditutupi, Dinda!" pintanya dengan tegas. Aku tersenyum, melihat kekesalannya karena khawatir padaku."Tante Amara yang melakukannya, Om. Semua karena ulah si betina satunya itu, istri t
"Baik, cukup sudah. Aku tidak akan pernah lagi berada di meja ini," ujarku sambil menyeret langkah menjauhi meja makan. Kak Adam langsung berdiri dari duduknya."Diam disitu!" titahnya. Aku menghentikan langkahku dan berbalik badan menghadap ke arahnya."Ada apa lagi?" tanyaku sinis. Terlalu banyak drama di rumah ini, membuatku benar- benar merasa muak.Pikiranku cukup banyak, terlebih dengan nasib sahamku yang tidak jelas akhir- akhir ini. Jika aku terus diam dan mengabaikannya, aku takut sahamku akan hilang begitu saja dan berpindah kepemilikan lagi."Kamu mau kemana lagi?""Aku ada urusan, Kak.""Urusan melulu, kak Dinda ini, berasa orang yang paling sibuk sedunia," sindir Maura."Biarkan dia pergi, Adam! Wanita tidak beradab ini, biarkan dia pergi, kalau perlu nggak usah balik lagi," timpal tante Amara, yang datang memasuki dapur.Aku menyunggingkan senyum."Jadi ngusir nih?" tanyaku, yang kini beralih menatap tante Amara."Iya! Saya berhak mengusir wanita tidak beretika seperti k
Maaf Teman- teman pembaca, jika buku ini semakin lambat update. Apalagi dua hari ini nggak ada update sama sekali. Soalnya aku lagi dalam kondisi Berduka. Mertua yang lama sakit, tanggal 2 tadi Meninggal Dunia, jadi Mohon maaf update nya semakin lambat. kuharap kalian mengerti dan tetap mencintai karyaku ini. Terimakasih atas pengertiannya teman- teman pembaca, sehat selalu dan semoga semua lancar rezekinya.