Share

Bab 5. Harga Sebuah Kursi Makan

Lemparan pisau buah yang begitu cepat.

Suara senjata tajam yang menancap dan mengiris daun pintu.

JLEB!

Semua itu membuat wajah Li Na memucat. Dia yang semula ingin memaki-maki dan memukul menantunya dengan gagang sapu mendadak hilang keberanian. Wanita paruh baya itu memilih mundur, meninggalkan Yin sambil membawa detak jantungnya yang berdegup kencang.

Li Na berhasil menemukan Lu Dong. Rupanya suaminya itu berada di ruang keluarga. Berulang kali dia memanggil bahkan sampai mengentakkan kaki, nyatanya tatapan mata pria paruh baya itu masih terpaku pada ipad yang ada di pangkuannya.

Entah apa yang dilihat oleh suaminya, padahal malam ini adalah malam tahun baru. Tidak ada bursa saham yang buka dan seluruh perusahan di Shanghai telah mengumumkan hari libur mereka hingga tujuh hari ke depan. 

“SUAMIKU!”

Teriakan yang disertai dengan gebrakan meja itu langsung membuat Lu Dong tersentak. Pria paruh baya itu buru-buru mematikan layar ipadnya. Sambil mengangkat wajah, dia menatap mata kecil milik Li Na.

“Ada apa? Kau tidak perlu berteriak seperti itu, aku tidak tuli!”

Li Na  langsung menarik tangan suaminya agar bangkit berdiri.

Akan tetapi, mata Lu Dong segera tertuju pada sesuatu yang menghiasi leher istrinya. “Lehermu berdarah!”

“Hah?” Li Na terkejut. Dia meraba lehernya sendiri. Ternyata benar, ujung jarinya itu merasakan sesuatu yang basah dan perih. “Ini pasti ulah menantu miskin itu!” 

“Ulah Yin?” Lu Dong terkekeh. “Memangnya apa yang dia perbuat hingga membuat lehermu berdarah?”

“Kau jangan tertawa!” Li Na menyikut lengan Lu Dong. “Sebaiknya kau bantu aku untuk mengobati leherku yang terluka. Jika tidak, luka ini akan membekas! Kalau sampai itu terjadi, aku akan membuatmu membayar semua biaya operasi plastiknya.”

Itu adalah kata-kata mengerikan yang terdengar di telinga Lu Dong. Mengingat dia baru saja mengeluarkan satu juta Yuan untuk membayar biaya rumah sakit Yin. Ditambah lagi dengan kondisi keuangan perusahaan yang berada diujung tanduk. Sangat tidak mungkin, apabila dia harus mengeluarkan uangnya sekali lagi untuk membiayai operasi plastik Li Na.

Lu Dong mendengkus, tetapi pria itu tetap saja mengabulkan permintaan Li Na. Sambil mengobati leher istrinya yang terluka, dia pun bertanya, “Sekarang ceritakan padaku, apa yang sebenarnya terjadi?”

“Semua ini berawal ketika aku ingin mengecek pekerjaan dapur menantu miskin itu. Kau tahu sendiri’kan, betapa pentingnya makan malam keluarga pada perayaan malam tahun baru?”

Lu Dong mengangguk setuju.

“Tapi aku justru melihatnya berdiam diri di depan meja dapur sambil bermain pisau. Tentu saja aku tidak tinggal diam. Aku langsung menghardiknya keras, tapi dia justru melempar pisau buah itu ke arahku tanpa melihat,” sambung Li Na.

“Tanpa melihat? Kau jangan bercanda, Sayang.”  

“Oh demi Tuhan, Suamiku. Aku tidak bercanda! Nyawaku saja hampir melayang.” Li Na langsung memukul pundak Lu Dong. “Jika aku berbohong, lantas luka ini berasal dari mana? Apa aku sengaja melukai diriku? Aku tidak segila itu!”

“Siapa yang mengatakan kau gila? Aku hanya menebak, mungkin saja kau tertabrak pintu, lalu ada sebuah besi yang tiba-tiba menggores lehermu tanpa kau sadari,” pungkas Lu Dong.

“SEMBARANGAN!” Sepasang mata Li Na melotot. “Jika aku tertabrak pintu, aku tidak akan berteriak memanggilmu! Ini akibatnya, jika kau terlambat menyingkirkan parasit miskin itu! Seharusnya kita tidak perlu menunggu selama ini."

"Mana aku tahu, kalau hari ini dia tiba-tiba bangun? Aku pikir, karena nyawanya yang tipis itu, dia akan mati setelah kecelakaan."

Tanpa Lu Dong dan Li Na sadari, Lu Wan Wan yang kebetulan sedang menuruni tangga tidak sengaja mendengar percakapan mereka. Dia tidak menyangka, demi semua kekayaan mendiang Kakek Lu Bei, orang tuanya tega melakukan sesuatu kepada Yin. Padahal selama tiga tahun ini mereka telah menikmati semuanya. 

Namun, yang dilakukan Yin barusan juga membuat Lu Wan Wan bertanya-tanya, sejak kapan suaminya itu memiliki kemampuan melempar pisau?  

Mendadak muncullah sebuah ingatan dalam pikiran Lu Wan Wan. Sebuah peristiwa yang baru saja terjadi beberapa menit yang lalu. Ketika Yin baru saja pulang dari rumah sakit, beberapa orang anak buah Lu Dong mengeluarkan Yin dengan paksa dari dalam mobil, hingga membuat pria muda itu jatuh di dekat ujung sepatu bot miliknya. 

“Keberaniannya berbicara dan tatapan matanya,” gumam Lu Wan Wan yang tiba-tiba terduduk lemas di salah satu anak tangga. “Selama tiga tahun ini, dia tidak pernah mengangkat wajahnya saat berbicara denganku, tapi tadi … tadi dia melakukannya.”

***

Pukul 20.00 waktu Shanghai.

Berkat sistem pengetahun baru yang ada dalam indera penglihatan Yin, tugas yang diberikan Li Na akhirnya selesai tepat waktu.

Beberapa pasang mata langsung membeliak tatkala melihat penampilan Yin yang telah berubah. Wajah ovalnya kini telah bersih. Rambutnya juga terlihat lebih pendek dan rapi dari sebelumnya. Persis seperti penampilan Yin yang dulu, sebelum kecelakaan itu terjadi.

Semua wanita yang ada di dalam rumah besar itu tidak memungkiri, kalau sebenarnya menantu pilihan Kakek Lu Bei itu adalah pria yang sangat tampan, asalkan dia tidak gagap, tidak miskin, tidak penyakitan dan tidak yatim piatu!

Namun, ada yang lebih mengejutkan lagi malam ini, yaitu masakan yang disajikan Yin. Bukan masakan sederhana atau masakan kafe pinggir jalan, masakan itu bahkan melebihi hidangan yang ada di hotel bintang lima.

“WOW! Ini seperti masakan Dinasti Qing yang pernah kulihat dalam serial drama di televisi!” Lu Shen Shen terkagum-kagum. “Rasanya pasti enak.”

“Yin, sebelumnya kau tidak pernah membuat hidangan mewah seperti ini,” imbuh Lu Fen Fen, lalu dia menelengkan wajahnya ke tempat Lu Wan Wan. “Apa kau yang mengajarinya?”

“Tidak.” Lu Wan Wan menggeleng.

“Tak perlu bertanya dari mana dia belajar. Yang penting ada makanan di atas meja!” seru Lu Dong yang telah menarik kursi makannya.

Melihat semua orang begitu bahagia melihat hidangan yang dia sajikan, lantas membuat Yin juga ingin menikmatinya. Dia segera mengambil kursi kosong yang ada di samping Lu Wan Wan dan meletakkan pantatnya di sana. 

“Siapa yang menyuruhmu duduk dekat Wan Wan?” Pertanyaan Lu Dong itu langsung membuat semua mata tertuju pada Yin.

“Tidak ada. Bukankah kursi ini tidak berpenghuni?” Yin bertanya balik.

“Ah! Jadi kau ingin duduk di samping putriku?”

“Putrimu adalah istriku. Di mana lagi seorang suami akan duduk, jika tidak di samping istrinya,” balas Yin sambil melirik ekor mata Lu Wan Wan.

Lu Dong tertawa gelak. “Hahahahah …! Kau memang pandai bicara. Karena kau telah menganggap putriku adalah istrimu, maka berikan pada Ayah mertuamu ini 5.000 Yuan, jika kau ingin duduk di samping Wan Wan!”

“Ayah!” seru Lu Wan Wan sambil menyembunyikan kepalan tangannya di bawah meja. 

“Kenapa?” tantang Lu Dong. “Suamimu itu telah melukai leher ibumu. Aku tidak menuntut dan memenjarakannya, itu sudah menjadi keuntungan baginya. Anggap saja 5.000 Yuan itu sebagai kompensasi untuk biaya pengobatan ibumu. Jika dia tidak mampu, segeralah menyingkir dari meja makan ini!”

“Aku akan menyediakan uangnya,” sahut Yin dengan sorot matanya yang dingin menatap lurus ke depan, namun jawaban itu membuat Lu Wan Wan terkejut.

Komen (4)
goodnovel comment avatar
Krisna
bapak mertua gendeng!
goodnovel comment avatar
Repsol21
waaaaaaaaah
goodnovel comment avatar
Siti Aminah
aku juga deg degan
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status