Semilir angin malam mengusap lembut rambut Shreya. Wanita berbulu mata lentik itu sedang menikmati malam di balkon ditemani secangkir coklat panas. "Ternyata kamu di sini, Sayang," kata Felix. Shreya menoleh lalu menyambut Felix dengan senyuman. "Sudah selesai dokumennya?"Felix turut duduk di samping Shreya. "Udah, Sayang. Kamu lagi ngapain di sini?"Shreya memeluk Felix dengan kepala yang ia sandarkan di dada sang suami. "Balkon ini jadi tempat favorit Aya.""Oh, ya? Sejak kapan?"Shreya mendongak. "Semenjak Mas cuekin Aya."Tidak disangka, Felix langsung membekap bibir Shreya dengan bibirnya membuat si wanita terkejut. Felix melepaskan ciuman itu, lalu jemarinya mengusap bibir Shreya yang basah. "Maaf, maafkan Mas, Sayang. Mas janji itu tidak akan terjadi lagi."Felix mengangkat tubuh Shreya dan membiarkan istrinya itu duduk dalam pangkuan. Shreya mengalungkan tangannya pada tengkuk Felix, lalu berkata, "Aya perlu bukti, bukan janji."Felix merapatkan keningnya dengan kening S
Di kantor, Felix baru saja selesai meeting dengan para investor. Berjalan berdampingan dengan sang asisten tentu saja bukan hal baru baginya. Akan tetapi, siang itu Felix merasakan jika dirinya berjalan dengan seorang musuh bebuyutan. Tiba di ruangan, Felix meminta Antonio untuk membereskan dokumen yang belum selesai."Sebelum makan siang, harus beres," kata Felix. Akan tetapi, Antonio malah duduk di hadapan Felix dan memberikan amplop besar berwarna coklat. "Apa ini?""Buka saja."Felix meraih amplop itu dan mengeluarkan isinya. Embusan napas kasar lolos tanpa dikomando. "Kenapa resign?" tanya Felix. Antonio tersenyum samar. "Tidak kenapa, mau saja."Sejujurnya Felix merasa senang dengan mundurnya Antonio. Dengan demikian tidak ada lagi orang yang dekat dengan Shreya. Namun, di sisi lain ia merasa kehilangan karena pasalnya Antonio sudah bekerja lama dengannya. "Tidak bisa!" kata Felix dingin sembari melempar surat berserta amplopnya ke hadapan Antonio. "Terserah! Yang jelas,
Shreya sedang menimang Nathan. Bayi gembul itu tampak menguap. "Tidurkan saja di kamar," kata Felix begitu masuk. "Iya, Mas. Aya pamit tidurin dulu Nathan, ya?"Felix tersenyum sembari mengangguk.Setelah sekian lama, Shreya tak kunjung keluar. Felix pun menyusul. Tampak olehnya jika Shreya sedang menyusui. "Dari tadi masih mimik?" tanya Felix. "Iya, Mas. Mimiknya memang lama.""Sama kaya siapa, tuh?"Shreya mendelik. Tidak usah ditanya perihal Felix alias bayi gedenya itu karena lebih-lebih dari Nathan. Felix terkekeh-kekeh melihat ekspresi istrinya. "Tadi Kak Antonio bicara apa sama Mas?""Fix, dia resign per hari esok."Shreya mengangguk-anggukkan kepalanya. "Kalian bicara apa saja tadi?" Felix balik bertanya. Shreya menidurkan Nathan di ranjang sambil berkata, "Yakin Mas mau tau?""Ck! Mas harus tau! Gak usah rahasia-rahasiaan, deh, Yang!"Shreya menahan tawanya dan mengajak Felix ke luar kamar. Kini, keduanya duduk di sofa. Shreya pun mulai bercerita tanpa ada yang ditut
Pikiran Shreya benar-benar tidak merasa nyaman semenjak Pricilla ribut. Ditambah dengan pernyataan tadi. "Jawab jujur, apa kalian pacaran?!""Tidak!" jawab Jody. "Iya!" jawab Pricilla. Jawaban yang diucapkan secara serempak itu tentu saja membuat Shreya bertambah bingung. Felix melihat sang istri yang hendak marah pun mencoba menenangkan. "Memangnya kenapa kalo mereka pacaran? Sah-sah saja, kok," kata Felix. "Tidak bisa!" kata Shreya tegas. Jody yang sudah menebak itu sedari awal bersikap biasa saja. Lain halnya dengan Pricilla. Gadis itu terlihat kecewa luar biasa. "Mas, Jody itu adikku. Sedangkan Cilla putriku. Apa jadinya kalo nanti sampai menikah?! Apa kata orang?!""Loh, mereka, kan, ha--""Sudah, sudah, tidak usah ribut!" lerai Pricilla memotong ucapan Felix. Pricilla terkekeh-kekeh. "Ma, aku hanya bercanda, kok! Mama tidak usah khawatir. Aku tau diri, kok. Kalo Kak Jody itu sodara aku. Memang, bukan kakak melainkan om malah. Tapi, aku lebih senang memanggilnya kakak. T
Hari sudah pagi, Pricilla sudah tampil cantik dengan seragam putih birunya. Ia duduk di kursi teras menunggu Shreya, karena pasalnya ibu sambungnya itu akan mengantar berikut mengurus perpindahan sekolah. Semalam, keluarga itu sepakat jika Pricilla akan berangkat bersama Lorenza dan akan mulai sekolah sambil menunggu dokumen dan administrasi selesai. Kini, wanita berbeda generasi itu sudah berada di mobil, tak lupa Nathan turut serta. "Ma, jangan bilang-bilang Kak Jody kalo aku mau ke luar negeri, ya?""Loh kenapa memangnya?" tanya Shreya di balik kemudi. "Biar nanti aku aja yang kasih tau langsung, Ma."Shreya mengangguk. "Baiklah!"**Mobil sudah teronggok di area parkir sekolah. Namun, Pricilla tak lekas turun. Matanya menyisir sekitar, berharap Jody belum datang. "Ayok, turun!" ajak Shreya saat dirinya akan menutup pintu. "I-iya, Ma.""Cari siapa, sih?"Pricilla tersenyum. "Temen, Ma. Katanya mau tunggu di sini.""Ya, sudah, kalo gitu Mama ke kantor kepala, ya?" Shreya mengam
"Lili, Sayang, ayok bangun!" Shreya mengguncang tubuh mungil seorang gadis kecil. Gadis kecil yang dipanggil Lili itu menggeliat. Perlahan kedua matanya terbuka. "Masih ngantuk, Ma," ucapnya manja. "Sayang, kan, hari ini kamu sekolah, Nak. Ayok, nanti ditinggal, loh, sama Abang."Mendengar penuturan Shreya, Lili dengan nama lengkap Nathalie Henry itu bangun dan segera ke kamar mandi. Ya, gadis itu sangat dekat dengan Nathan. Di mana ada Nathan di situ ada Lili. Ia tidak mau jikalau sang kakak meninggalkannya. Shreya hanya bisa menggeleng sembari tersenyum melihat tingkah putrinya itu. Shreya merasa baru saja kemarin menimang, menyusui, tetapi kini anak itu sudah tumbuh menjadi gadis cantik berusia sepuluh tahun. "Ma, di situ ada dasi Abang, gak?" tanya Nathan di bibir pintu. Shreya menoleh, lalu bangkit dari duduknya. Dicarinya dasi di atas meja belajar Nathalie. Shreya meraih dasi itu sembari tersenyum. "Ini!"Nathan tersenyum, lalu mengambil dasi miliknya. Ya, sudah kebiasaan
"Kakak!" Pricilla menghambur ke dalam pelukan Jody. Jody membalas pelukan itu, sangat erat. Lagu pengantar dansa seketika berhenti tergantikan oleh riuh tepuk tangan bahkan siulan. Dalam pelukan itu Pricilla menangis tersedu. Betapa bahagia tak terkira karena Jody datang menemuinya. Jody melerai pelukan. Sembari mengusap air mata Pricilla, ia berkata, "Kok, malah nangis?""Nangis seneng!" jawab Pricilla manja. Jody tersenyum, kemudian membawa Pricilla kembali dalam pelukannya. Alunan musik kembali mengalun syahdu. Semua terhanyut dalam suasana termasuk Pricilla dan Jody. Keduanya saling melempar senyum. Dalam keintiman itu, Pricilla bertanya, "Kok, Kakak tau aku ada di sini?""Tau, dong! Kamu ngapain aja juga Kakak tau."Pricilla melongo sekaligus tersenyum. "What? Serius, Kak?"Jody mengatakan, setelah dirinya lulus kuliah dan mampu memimpin perusahaannya sendiri, ia meminta seseorang untuk terus mengawasi Pricilla, bahkan dari tahun ke tahun ia memiliki foto Pricilla. "Kamu, t
Pricilla terduduk lemas karena baru saja mendapat kabar bahwa Andreas masuk rumah sakit yang mengharuskan Jody pulang malam itu juga. "Ya, Tuhan, kasihan sekali Kakek. Semoga cepet sembuh," gumamnya. Pricilla segera mengganti pakaiannya dengan piyama, kemudian segera tidur. *Tepat pukul enam pagi Pricilla dibangunkan oleh suara alarm. Lekas ia beranjak untuk mandi. Setelah ritual mandi selesai, Pricilla mengenakan stelan kantor. Sebagai rutinitas utama sebelum ke kantor, ia akan mengurus Lorenza terlebih dahulu yang satu bulan terakhir sedang sakit. "Nek?" panggil Pricilla saat masuk ke kamar Lorenza. Matanya menyisir sekitar. Tak ada sosok Lorenza di sana. "Nek? Nenek di mana?" Pricilla panik. Dicarinya sang nenek di kamar mandi dan walk in closet. "Ya, Tuhan, Nenek di mana?" Pricilla bergegas keluar. Pricilla berlari menuruni anak tangga. "Non, cari Nyonya?" tanya Noni --asisten rumah tangga, yang sedang menyapu lantai. "Iya, Bi. Bibi liat?"Asisten rumah tangga itu meng
Mendengar itu Pricilla berjalan mundur. Tak hanya Pricilla yang merasa kecewa, tetapi juga semua keluarga terlebih-lebih Shreya. "Tunggu!" titah Nathalie, membuat Pricilla menghentikan langkah. "Aku belum selesai bicara!" tukas Nathalie. Pricilla mencoba tersenyum walau bulir bening hampir saja menetes. "Ah, apa itu, Dek?""Sayangnya, tidak mungkin jika Liki tidak memaafkan Kakak.""Jadi, Adek maafin Kakak? Serius?"Nathalie mengangguk. "Iya, dua rius malah!"Nathalie memeluk Pricilla erat. Kata maaf terlontar dari mulut keduanya. "Makasih udah siapin ini untukku, Kak. Seandainya Kakak gak bikin pesta ini pun Adek pasti maafin Kakak, kok. Tapi, waktunya aja yang lama. Hehehe ...," ujar Nathalie dengan polosnya. Pricilla melerai pelukan. "Yaaah ... kalo gitu rugi, dong, Kakak bikin pesta ini!""Iiih, si Kakak, ya, gak, lah. Kan, aku seneng."Pricilla mengatakan jika semua ide datangnya dari Shreya. Mulai dari konsep, kostum dan lainnya. Sedangkan dirinya hanya pendanaan saja. Itu
"Ini tolong susunnya yang betul, ya?""Masakan sama kuenya udah aman, kan?""Coba yang itu, tolong kursinya tata yang rapi!"Itulah Pricilla saat dirinya disibukkan dengan acara yang ia persembahkan untuk Nathalie. "Sayang, istirahat dulu. Acaranya, kan, nanti malam. Kamu sampe lewatin makan siang, loh!" kata Jody. "Nanti saja, Kak. Aku mau mastiin acara ini bener-bener terselenggara mewah dan sempurna!""Gak, gak, bisa! Pokoknya kamu harus makan dulu. Kalo kamu sakit gimana?"Pricilla hanya diam. "Kakak gak mau, ya, gara-gara ini kamu sakit!" lanjut Jody. Akhirnya Pricilla menyerah. Ia memakan makanan yang Jody bawa. Semua tak luput dari pengawasan Jody. Pricilla yang sebenarnya sudah merasa kenyang pun mau tidak mau melahap semuanya. "Haaah, selesai. Kenyang banget, Kak."Jody tersenyum. "Bagus!""Kalo gitu, sekarang antar aku ke butik."Jody menepuk kening. "Istirahat, Yang! Malah ke butik."Pricilla hanya tersenyum memperlihatkan barisan giginya yang putih dan rapi. "Sekalian
Satu minggu sudah berlalu. Satu minggu juga Nathalie tidak memberi Pricilla kesempatan untuk berbicara empat mata dengannya."Ma, hari ini Lili izin menginap lagi di rumah Nela, ya?" kata Nathalie. Perkataan Nathalie mencuri perhatian Felix, Lorenza, Jody dan Pricilla yang sedang sama-sama menikmati sarapan. Shreya menggeleng. "Tidak boleh?""Loh, kenapa?"Shreya menyimpan sendoknya. "Mama mau kalau weekend kita semua kumpul. Kita gunakan waktu senggang untuk bercengkrama.""Abang gak ada, gak asyik!" ucap Nathalie cepat. "Kan, ada Kakakmu. Mumpung dia menginap di sini," balas Shreya. Nathalie hanya menunduk dan mengaduk sup yang ada di mangkuk saja. Sikap Nathalie tak luput dari pandangan Pricilla. "Ma, nanti sore kita pulang," kata Pricilla. "Loh, katanya mau seminggu lagi di sini."Pricilla tersenyum. "Maaf, semalam lupa kasih tau Mama. Kakak kasian sama Kak Jody bulak-balik kantornya jauh."Embusan napas kasar yang terkesan lega terdengar dari mulut Nathalie. Remaja itu berd
Di sekolah, mood Nathalie belum seutuhnya kembali sampai-sampai apa yang guru jelaskan di depan kelas tak sepenuhnya ia dengar. "Lili, coba jelaskan kembali apa yang Ibu terangkan barusan!"Nathalie terkesiap. "Sa-saya, Bu?""Iya, kamu!"Nathalie tersenyum canggung. "Ma-maaf, Bu. Sa-saya tadi tidak fokus.""Sekali lagi kamu tidak perhatikan, silakan ke luar kelas! Mengerti?!""Ba-baik, Bu."Guru tersebut kembali mengulang menjelaskan. Beruntung, Nathalie bisa kembali fokus dan mampu menjawab semua pertanyaan yang guru tersebut ajukan. Bel istirahat diperdengarkan. "Kenapa lu?" tanya Nela --teman Nathalie. "Tumben amat lu lemot.""Lagi bete gue, La.""Cerita di kantin, yuk! Laper, nih!" Setelah mengambil ponsel di masing-masing loker, keduanya ke kantin. Baru saja tiba di kantin, ponsel Pricilla berdering pertanda satu panggilan masuk. Kak Cilla, nama yang tertera di layar ponsel. Rasa benci yang masih menggelayut membuat Nathalie menolak panggilan. "Lu mau makan apa?" tanya Nela
Di apartemen. Ada Pricilla yang sedang sibuk menyiapkan keperluan Jody untuk bekerja. "Sayang, maaf, ya? Kakak harus kerja hari ini," ucap Jody. Pricilla yang sedang memilih dan memilah kemeja pun menjawab, "Iya, tidak apa-apa. Aku yang harus berterimakasih sama Kakak atas waktunya. Hampir satu minggu Kakak temani aku.""Iya, Sama-sama, Sayang."Sebelum berangkat ke kantor, Pricilla meminta Jody agar mengantarnya ke rumah Shreya. Setelah menikmati sarapan keduanya pergi. *"Kak, sebelum ke rumah mama, antar aku ke toko kue Nenek Melani," pinta Pricilla. "Buat oleh-oleh?"Pricilla menggeleng. "Lalu?"Rupanya Pricilla ingin meminta maaf kepada Melani atas semua kesalahan yang sudah ia perbuat. Jody tersenyum mendengar itu. Tiba di toko kue, rupanya Melani yang menyambut. "Wah, ada ka--""Nenek!" Pricilla memeluk Melani membuat wanita tua itu tercengang. "Maafin aku, ya, Nek? Maaf atas semua kesalahan yang sudah aku perbuat."Melani tersenyum dan membalas pelukan. Diusapnya rambu
Mata Jody perlahan terbuka. Senyumnya mengambang melihat Pricilla yang tidur sembari memeluknya tanpa sehelai benangpun. Dilihatnya jam yang terpasang di dinding. Ternyata jarum jam sudah menunjuk pada angka tujuh malam. Rasa lelah yang meraja rupanya membuat mereka tidur sangat pulas. Maklum saja, pergulatan siang tadi berlangsung berjam-jam.Pricilla menggeliat. Perlahan mata indahnya terbuka. Cup! Jody mengecup pucuk kepala Pricilla. Pricilla mendongak. "Eh, Kakak udah bangun?""He'em, dari tadi."Pricilla hendak bangun. Namun, ia urungkan saat menyadari tubuhnya polos. Wanita itu memilih menenggelamkan wajahnya pada dada bidang Jody. "Ih, malu," cicit Pricilla. Jody tersenyum. Sembari mengeratkan pelukan, ia bertanya, "Malu kenapa, sih, Yang? Toh, Kakak udah liat semuanya."Plak! Pricilla memukul dada Jody. "Gak usah disebutin juga, Kak, ih!""Sakit, Yaaang!" Jody mengusap-usap dadanya yang dipukul. Pricilla yang tak enak hati tentu saja meminta maaf sembari turut mengusap
Sembari menangis Pricilla berjongkok membantu Jody berdiri. Beruntung, Jody hanya mengalami lecet di tangan saja karena mobil Dio menabrak gerobak seorang pedagang yang turut menyebrang. Jody terjatuh tertimpa gerobak. Ramai orang berkerumun, bahkan sebagian dari mereka memecahkan kaca mobil Dio. "Turun, anj*ng!""Udah tau jalanan ramai, malah ngebut!""Ganti rugi!"Banyak dari mereka yang turut menghujat. Dio pun turun. Tak ada rasa sesal darinya. Ia menatap tajam ke arah Jody dan Pricilla. Bugh!Bugh! Bogem mentah Dio dapatkan dari beberapa orang. Ia pun terkapar. "Hentikan!" seru Jody. "Dia sodara saya! Untuk kerusakan, biar saya yang ganti," lanjut Jody. Orang-orang pun membubarkan diri. "Sayang, tunggu di sini," ucap Jody kepada Pricilla. Pricilla mengangguk, Jody pun berlari menuju mobilnya. Tidak lama berselang, Jody kembali dengan membawa selembar cek. Tertulis nominal sebesar lima puluh juta. "Segini cukup untuk mengganti rugi gerobak dan dagangan Bapak?" tanya Jo
Jody memaksa Pricilla pergi dari rumah Dio. Meninggalkan Lira yang menangis karena tak tahu siapa mamanya. "Kenapa diam?" tanya Jody di balik kemudi. "Kakak keterlaluan!""Apanya yang keterlaluan?""Aku gak habis pikir kalo Kakak picik."Jody tersenyum samar. "Picik lawan picik. Itu!""Kak Dio gak picik, tuh!" ujar Pricilla sembari mendelik. "Bela aja terusss!""Apa Kakak gak kasihan sama Lira tadi?"Jody hanya tersenyum sarkas menanggapi pertanyaan Pricilla. Pricilla diam. Pun dengan Jody. Jody memilih fokus menyetir dan akan bicara empat mata dengan Pricilla di rumah saja.Lima menit lagi mereka akan sampai di apartemen milik Jody. Namun, tiba-tiba saja Pricilla berkata, "Aku mau pulang ke apartemenku!""Sebentar lagi kita sampe, Yang.""Kalau begitu Kakak turun dan biarkan aku pulang sendiri!"Jody menghela napas. Ia memutar balik mobil yang dikendarai. Tidak masalah memang, hanya saja ke apartemen milik Pricilla cukup jauh belum lagi jalanan yang sudah mulai macet. Kapan merek
Jody tetap menjaga jarak dengan mobil Pricilla. Ia benar-benar harus memastikan jika sang istri selamat sampai tujuan. Mobil Pricilla sudah terparkir di basement. Setelah wanita itu turun, Jody turut memarkirkan mobilnya. Pricilla sudah masuk ke dalam unit apartemennya. Jody tak lekas pulang, ia menghubungi Ronald. "Kamu tinggal di Apartemen Green Street, kan?""Iya, Pak. Ada apa, ya?""Lantai berapa dan kamar nomor berapa?"Jody tersenyum lebar. Ternyata unit apartemen milik Ronald berada di lantai yang sama. "Keluar!" titah Jody. "Maksud Bapak?""Aku ada di luar, tepat di depan kamarmu!"Tidak berselang lama, Ronald menampakan diri. Tanpa basa-basi Jody menerobos masuk. Sang tuan rumah hanya melongo melihat sikap sang bos. Jody duduk di sofa, lalu memberitahu nomor unit apartemen Pricilla. "Wah, kebetulan sekali, Pak. Tapi, apa hubungannya dengan saya, Pak?" tanya Ronald, kemudian tersenyum canggung. "Ah, pertanyaan yang bagus. Sebelumnya saya minta maaf karena sudah menggan