Satu minggu sudah berlalu. Pricilla dan Jody pun mengisi hari-hari sesuai dengan kesepakatan yakni menginap di rumah Shreya, Adelia dan sekarang mereka sedang menikmati waktu berdua di apartemen. Ponsel Jody berdering.Ponsel yang berada tepat di samping Pricilla pun seketika mencuri perhatiannya. "Kak, telepon, tuh, dari Rey," ucap Pricilla sembari membaca nama yang tertera. "Angkat saja. Idupin spekernya, Yang!"Pricilla mengikuti perintah Jody. "Ada apa, Rey?" tanya Jody kepada asistennya. "Pak, masih di Indonesia, kan?""Iya, ada apa?""Bisa ke kantor, Pak?"Jody menyambar ponselnya dan mematikan pengeras suara. Ia beranjak dari kasur dan memilih pergi. Sikap Jody tentu saja meninggalkan tanda tanya bagi Pricilla. "Ada apa, ya? Kenapa main rahasia-rahasiaan, sih?" gumam Pricilla.Pricilla tak hentinya mencondongkan kepalanya menengok ke arah di mana Jody berdiri. "Ada apa, sih, Kak?" tanya Pricilla saat Jody kembali menghampiri. "Ah, tidak ada apa-apa.""Kalo gak ada apa-a
Di sekolah, ada Nathan yang merasa gerah karena pasalnya Airin adalah murid baru di kelasnya. Yang membuat Nathan risih adalah Airin duduk bersebelahan dengannya. "Hei, kita sekelas!" ucap Airin. "Tidak usah sok kenal, orang kaya baru!" kata Nathan ketus tanpa menoleh. "Ish! Aku minta maaf, deh. Dan tenang saja, aku akan ganti ponselmu yang rusak itu."Nathan menoleh, kemudian berkata, "Tidak perlu!""Kalian! Kalo mau kenalan nanti istirahat saja!" seru sang guru sembari menatap tajam ke arah Nathan. "Pelajaran Ibu tidak boleh ada yang mengobrol. Mengerti?!"Nathan mendelik ke arah Airin membuat murid baru itu menunduk. Bel istirahat diperdengarkan. Murid-murid berhamburan menuju kantin, termasuk Nathan. "Tunggu! Aku ikut, boleh?!" kata Airin sembari menarik lengan Nathan. Dengan cepat Nathan menepis tangan Airin sembari berkata, "Lu ngapain, sih, pegang-pegang gue, hah?!"Airin menunduk. Nathan melihat gadis itu menitikkan air mata. Tidak tega, akhirnya Nathan berkata, "Gue gak
Siang itu adalah hari pertama Nathan kerja di bengkel. Wajah yang tampan, badan tinggi tegap tentu saja mampu mencuri perhatian setiap pelanggan. Semula, Nathan merasa risih karena tatapan genit kerap ia dapatkan dari pelanggan wanita. "Aku mau sama Abang yang itu, ah!""Eh, aku dulu!""Aku datang duluan!""Loh, kenapa gak sama Abang-abang satunya lagi aja? Kan, ada tiga montir!"Perdebatan itu terdengar jelas di telinga Nathan. Merasa tidak enak kepada montir lain, Nathan angkat bicara, "Maaf, Kakak-kakak, silakan motor dan mobilnya diperbaiki oleh rekan saya saja. Saya baru masuk hari ini dan masih belajar. Bagaimana kalo nanti malah tambah rusak kalo saya yang perbaiki?""Emm ... iya juga, sih!""Tak apalah sama montir lain. Paling tidak, mata ini tetap bisa melihat kamu!"Nathan menggeleng mendengar itu. Kata maaf ia lontarkan kepada dua seniornya. "Tidak masalah. Kita jadi kecipratan rezeki. Akhir-akhir ini bengkel sepi," ucap salah seorang montir di sana. Nathan tersenyum dan
Di kamar, ada Nathan yang terus berpikir bagaimana caranya ia mendapatkan uang esok hari. Bukan puluhan ribu, tetapi ratusan atau bahkan jutaan rupiah. Tidak sengaja Nathan melihat sepatu serta koleksi lainnya di lemari pajangan. "Ahaa! Aku jual saja barang-barang kesayanganku itu!" Nathan berjalan menuju lemari. Dipilihnya barang-barang yang menurutnya tetap bernilai tinggi seperti sepatu dan topi. Sepatu dengan harga ratusan juta rupiah pemberian Shreya. Topi dengan harga puluhan juta rupiah pemberian Felix. Ada rasa ragu untuk menjualnya, tetapi Nathan akan berusaha menutupi dari orang tuanya. "Maaf, Ma, Pa. Abang akan jual barang pemberian kalian," gumamnya. Urusan Melani, Nathan sudah mendapatkan jalan keluar. Saatnya ia mengerjakan tugas sekolah. Hari sudah larut. Rasa kantuk menyerang seiring dengan tugas sekolah yang baru saja selesai. Nathan pun segera tidur. *Pagi menjelang. Keluarga besar Felix disibukkan dengan persiapan mereka menjalani hari. Termasuk Nathan. Ia si
Pagi itu, Nathan terlihat tidak bersemangat. Kejadian kemarin benar-benar membuatnya emosi. Bagaimana tidak? Selain Andika memintanya untuk tidak bekerja lagi di bengkel, Nathan dipermalukan di hadapan semua orang dengan mengatakan bahwa keluarga Alexander adalah keluarga penipu, bahkan menyebut Melani penyebab kematian istrinya. Tidak cukup sampai di situ, Nathan dimintai pertanggungjawaban untuk mengganti semua kerugian yang sudah Melani perbuat dahulu. "Loh, kok, belum siap-siap?" tanya Shreya yang mampu membuat Nathan terperanjat karena kaget. "Kenapa gak ketuk pintu dulu, sih?!" bentak Nathan. Shreya mengernyit. Ia merasakan perubahan sikap dari putranya itu. Akan tetapi, Shreya tidak ingin berburuk sangka dulu. "Sudah, Sayang, Mama sudah ketuk pintu. Tapi, kamu gak nyaut. Makanya Mama masuk. Maaf, ya?"Nathan yang menyadari dengan apa yang sudah ia ucapkan pun bangkit dari duduknya dan menghampiri Shreya. Dipeluknya Shreya, sangat erat. "Maaf, Ma. Maafin Abang udah bentak Mam
Embusan napas kasar lolos begitu saja dari mulut Shreya saat Felix memeluknya dari belakang. "Pantas saja sikap Nathan tadi pagi berubah, Mas. Pasti dia merasa tertekan atau kepikiran akan hal ini.""Begini saja, Sayang ... coba kamu ajak bicara Nathan. Hibur dia dan lakukan apa yang menurutmu terbaik untuknya. Dan soal Andika, biar Mas yang tangani."Shreya membalik badan menghadap Felix. "Mas mau apain orang itu?""Pecat!""Apa?!" Shreya kaget. Ia tidak menyangka jika Felix akan bertindak sejauh itu. Ya, memang ia sakit hati atas sikap Andika. Akan tetapi, tidak sampai hati jika sampai dipecat. "Kenapa?"Shreya mengatakan jika itu terlalu kejam. Shreya mengutarakan keinginannya, yakni agar Andika meminta maaf kepada Nathan. "Mau dia meminta maaf langsung di hadapan orang-orang yang ada di dalam vidio atau konferensi pers, terserah!""Oke, baiklah. Apa pun yang kamu mau, Mas akan kabulkan."Akhirnya Shreya memutuskan akan menjemput Nathan di sekolahnya. Tepat jam sebelas, Shreya
Peristiwa yang paling menakutkan dalam hidup terjadi di depan mata. Dimana tubuh Shreya dan mobil saling beradu sampai akhirnya tubuh serta wajah itu terbentur kerasnya aspal. Mata Nathan melotot diiringi dengan jantung yang berdetak sangat kencang. Ia bergegas turun. "Mamaa!" Nathan menjerit berlari menghampiri Shreya yang sudah tergeletak bersimbah darah. Nathan melihat seorang pria turun dari mobil, lalu berjongkok mengecek kondisi Shreya. "Mama, bangun, Ma!" Nathan mengguncang tubuh Shreya sambil menangis. "Loh, Nathan?!""Bang Mario!""Kondisinya masih stabil, bantu Abang naikin ke mobil!""Sebentar, Bang!" Nathan membuka seragamnya. Dilipatnya seragam itu, lalu ia tempelkan dan sedikit ditekan pada kening Shreya yang berdarah. Orang-orang mulai berkerumun. "Tolong beri Mamaku ruang!" seru Nathan sembari mengibaskan sebelah tangannya. "Mama tolong bertahan, Ma!" ucap Nathan sembari mengusap air mata yang menetes. Perhatian Nathan terlalih kepada sosok wanita yang berdiri
Suara roda yang beradu dengan lantai terdengar. Perhatian Felix serta lainnya pun tertuju kepada sosok wanita yang terbaring di atas bad hospitals. "Mama!" seru Pricilla dan Nathan bersamaan seraya menghampiri. Mereka turut mendorong bad itu ampai akhirnya masuk ke kamar rawat inap. Nathan menghambur memeluk Shreya. "Maafin Abang, Ma. Gara-gara Abang Mama jadi begini."Shreya mengusap kepala Nathan dengan sayang. "Eh, Abang gak salah, kok, gak ada yang salah. Ini sudah takdir Tuhan. Mama gak pa-pa, kok."Nathan bangkit. "Gak pa-pa gimana? Abang hampir pingsan liat darah mengucur di dahi Mama. Abang gak bisa maafin diri Abang sendiri kalau saja terjadi sesuatu sama Mama."Shreya tersenyum. Pricilla meminta Nathan untuk mundur. Nathan pun patuh. Pricilla mencium pipi Shreya. "Pasti sakit banget, ya, Ma? Cepet sembuh, ya, Ma." Mata Pricilla berkaca. Lagi, Shreya hanya tersenyum. "Iya, Sayang. Makasih doanya, ya? Jangan nangis, dong!"Pricilla mengusap bulir bening di pelupuk mata sem
Mendengar itu Pricilla berjalan mundur. Tak hanya Pricilla yang merasa kecewa, tetapi juga semua keluarga terlebih-lebih Shreya. "Tunggu!" titah Nathalie, membuat Pricilla menghentikan langkah. "Aku belum selesai bicara!" tukas Nathalie. Pricilla mencoba tersenyum walau bulir bening hampir saja menetes. "Ah, apa itu, Dek?""Sayangnya, tidak mungkin jika Liki tidak memaafkan Kakak.""Jadi, Adek maafin Kakak? Serius?"Nathalie mengangguk. "Iya, dua rius malah!"Nathalie memeluk Pricilla erat. Kata maaf terlontar dari mulut keduanya. "Makasih udah siapin ini untukku, Kak. Seandainya Kakak gak bikin pesta ini pun Adek pasti maafin Kakak, kok. Tapi, waktunya aja yang lama. Hehehe ...," ujar Nathalie dengan polosnya. Pricilla melerai pelukan. "Yaaah ... kalo gitu rugi, dong, Kakak bikin pesta ini!""Iiih, si Kakak, ya, gak, lah. Kan, aku seneng."Pricilla mengatakan jika semua ide datangnya dari Shreya. Mulai dari konsep, kostum dan lainnya. Sedangkan dirinya hanya pendanaan saja. Itu
"Ini tolong susunnya yang betul, ya?""Masakan sama kuenya udah aman, kan?""Coba yang itu, tolong kursinya tata yang rapi!"Itulah Pricilla saat dirinya disibukkan dengan acara yang ia persembahkan untuk Nathalie. "Sayang, istirahat dulu. Acaranya, kan, nanti malam. Kamu sampe lewatin makan siang, loh!" kata Jody. "Nanti saja, Kak. Aku mau mastiin acara ini bener-bener terselenggara mewah dan sempurna!""Gak, gak, bisa! Pokoknya kamu harus makan dulu. Kalo kamu sakit gimana?"Pricilla hanya diam. "Kakak gak mau, ya, gara-gara ini kamu sakit!" lanjut Jody. Akhirnya Pricilla menyerah. Ia memakan makanan yang Jody bawa. Semua tak luput dari pengawasan Jody. Pricilla yang sebenarnya sudah merasa kenyang pun mau tidak mau melahap semuanya. "Haaah, selesai. Kenyang banget, Kak."Jody tersenyum. "Bagus!""Kalo gitu, sekarang antar aku ke butik."Jody menepuk kening. "Istirahat, Yang! Malah ke butik."Pricilla hanya tersenyum memperlihatkan barisan giginya yang putih dan rapi. "Sekalian
Satu minggu sudah berlalu. Satu minggu juga Nathalie tidak memberi Pricilla kesempatan untuk berbicara empat mata dengannya."Ma, hari ini Lili izin menginap lagi di rumah Nela, ya?" kata Nathalie. Perkataan Nathalie mencuri perhatian Felix, Lorenza, Jody dan Pricilla yang sedang sama-sama menikmati sarapan. Shreya menggeleng. "Tidak boleh?""Loh, kenapa?"Shreya menyimpan sendoknya. "Mama mau kalau weekend kita semua kumpul. Kita gunakan waktu senggang untuk bercengkrama.""Abang gak ada, gak asyik!" ucap Nathalie cepat. "Kan, ada Kakakmu. Mumpung dia menginap di sini," balas Shreya. Nathalie hanya menunduk dan mengaduk sup yang ada di mangkuk saja. Sikap Nathalie tak luput dari pandangan Pricilla. "Ma, nanti sore kita pulang," kata Pricilla. "Loh, katanya mau seminggu lagi di sini."Pricilla tersenyum. "Maaf, semalam lupa kasih tau Mama. Kakak kasian sama Kak Jody bulak-balik kantornya jauh."Embusan napas kasar yang terkesan lega terdengar dari mulut Nathalie. Remaja itu berd
Di sekolah, mood Nathalie belum seutuhnya kembali sampai-sampai apa yang guru jelaskan di depan kelas tak sepenuhnya ia dengar. "Lili, coba jelaskan kembali apa yang Ibu terangkan barusan!"Nathalie terkesiap. "Sa-saya, Bu?""Iya, kamu!"Nathalie tersenyum canggung. "Ma-maaf, Bu. Sa-saya tadi tidak fokus.""Sekali lagi kamu tidak perhatikan, silakan ke luar kelas! Mengerti?!""Ba-baik, Bu."Guru tersebut kembali mengulang menjelaskan. Beruntung, Nathalie bisa kembali fokus dan mampu menjawab semua pertanyaan yang guru tersebut ajukan. Bel istirahat diperdengarkan. "Kenapa lu?" tanya Nela --teman Nathalie. "Tumben amat lu lemot.""Lagi bete gue, La.""Cerita di kantin, yuk! Laper, nih!" Setelah mengambil ponsel di masing-masing loker, keduanya ke kantin. Baru saja tiba di kantin, ponsel Pricilla berdering pertanda satu panggilan masuk. Kak Cilla, nama yang tertera di layar ponsel. Rasa benci yang masih menggelayut membuat Nathalie menolak panggilan. "Lu mau makan apa?" tanya Nela
Di apartemen. Ada Pricilla yang sedang sibuk menyiapkan keperluan Jody untuk bekerja. "Sayang, maaf, ya? Kakak harus kerja hari ini," ucap Jody. Pricilla yang sedang memilih dan memilah kemeja pun menjawab, "Iya, tidak apa-apa. Aku yang harus berterimakasih sama Kakak atas waktunya. Hampir satu minggu Kakak temani aku.""Iya, Sama-sama, Sayang."Sebelum berangkat ke kantor, Pricilla meminta Jody agar mengantarnya ke rumah Shreya. Setelah menikmati sarapan keduanya pergi. *"Kak, sebelum ke rumah mama, antar aku ke toko kue Nenek Melani," pinta Pricilla. "Buat oleh-oleh?"Pricilla menggeleng. "Lalu?"Rupanya Pricilla ingin meminta maaf kepada Melani atas semua kesalahan yang sudah ia perbuat. Jody tersenyum mendengar itu. Tiba di toko kue, rupanya Melani yang menyambut. "Wah, ada ka--""Nenek!" Pricilla memeluk Melani membuat wanita tua itu tercengang. "Maafin aku, ya, Nek? Maaf atas semua kesalahan yang sudah aku perbuat."Melani tersenyum dan membalas pelukan. Diusapnya rambu
Mata Jody perlahan terbuka. Senyumnya mengambang melihat Pricilla yang tidur sembari memeluknya tanpa sehelai benangpun. Dilihatnya jam yang terpasang di dinding. Ternyata jarum jam sudah menunjuk pada angka tujuh malam. Rasa lelah yang meraja rupanya membuat mereka tidur sangat pulas. Maklum saja, pergulatan siang tadi berlangsung berjam-jam.Pricilla menggeliat. Perlahan mata indahnya terbuka. Cup! Jody mengecup pucuk kepala Pricilla. Pricilla mendongak. "Eh, Kakak udah bangun?""He'em, dari tadi."Pricilla hendak bangun. Namun, ia urungkan saat menyadari tubuhnya polos. Wanita itu memilih menenggelamkan wajahnya pada dada bidang Jody. "Ih, malu," cicit Pricilla. Jody tersenyum. Sembari mengeratkan pelukan, ia bertanya, "Malu kenapa, sih, Yang? Toh, Kakak udah liat semuanya."Plak! Pricilla memukul dada Jody. "Gak usah disebutin juga, Kak, ih!""Sakit, Yaaang!" Jody mengusap-usap dadanya yang dipukul. Pricilla yang tak enak hati tentu saja meminta maaf sembari turut mengusap
Sembari menangis Pricilla berjongkok membantu Jody berdiri. Beruntung, Jody hanya mengalami lecet di tangan saja karena mobil Dio menabrak gerobak seorang pedagang yang turut menyebrang. Jody terjatuh tertimpa gerobak. Ramai orang berkerumun, bahkan sebagian dari mereka memecahkan kaca mobil Dio. "Turun, anj*ng!""Udah tau jalanan ramai, malah ngebut!""Ganti rugi!"Banyak dari mereka yang turut menghujat. Dio pun turun. Tak ada rasa sesal darinya. Ia menatap tajam ke arah Jody dan Pricilla. Bugh!Bugh! Bogem mentah Dio dapatkan dari beberapa orang. Ia pun terkapar. "Hentikan!" seru Jody. "Dia sodara saya! Untuk kerusakan, biar saya yang ganti," lanjut Jody. Orang-orang pun membubarkan diri. "Sayang, tunggu di sini," ucap Jody kepada Pricilla. Pricilla mengangguk, Jody pun berlari menuju mobilnya. Tidak lama berselang, Jody kembali dengan membawa selembar cek. Tertulis nominal sebesar lima puluh juta. "Segini cukup untuk mengganti rugi gerobak dan dagangan Bapak?" tanya Jo
Jody memaksa Pricilla pergi dari rumah Dio. Meninggalkan Lira yang menangis karena tak tahu siapa mamanya. "Kenapa diam?" tanya Jody di balik kemudi. "Kakak keterlaluan!""Apanya yang keterlaluan?""Aku gak habis pikir kalo Kakak picik."Jody tersenyum samar. "Picik lawan picik. Itu!""Kak Dio gak picik, tuh!" ujar Pricilla sembari mendelik. "Bela aja terusss!""Apa Kakak gak kasihan sama Lira tadi?"Jody hanya tersenyum sarkas menanggapi pertanyaan Pricilla. Pricilla diam. Pun dengan Jody. Jody memilih fokus menyetir dan akan bicara empat mata dengan Pricilla di rumah saja.Lima menit lagi mereka akan sampai di apartemen milik Jody. Namun, tiba-tiba saja Pricilla berkata, "Aku mau pulang ke apartemenku!""Sebentar lagi kita sampe, Yang.""Kalau begitu Kakak turun dan biarkan aku pulang sendiri!"Jody menghela napas. Ia memutar balik mobil yang dikendarai. Tidak masalah memang, hanya saja ke apartemen milik Pricilla cukup jauh belum lagi jalanan yang sudah mulai macet. Kapan merek
Jody tetap menjaga jarak dengan mobil Pricilla. Ia benar-benar harus memastikan jika sang istri selamat sampai tujuan. Mobil Pricilla sudah terparkir di basement. Setelah wanita itu turun, Jody turut memarkirkan mobilnya. Pricilla sudah masuk ke dalam unit apartemennya. Jody tak lekas pulang, ia menghubungi Ronald. "Kamu tinggal di Apartemen Green Street, kan?""Iya, Pak. Ada apa, ya?""Lantai berapa dan kamar nomor berapa?"Jody tersenyum lebar. Ternyata unit apartemen milik Ronald berada di lantai yang sama. "Keluar!" titah Jody. "Maksud Bapak?""Aku ada di luar, tepat di depan kamarmu!"Tidak berselang lama, Ronald menampakan diri. Tanpa basa-basi Jody menerobos masuk. Sang tuan rumah hanya melongo melihat sikap sang bos. Jody duduk di sofa, lalu memberitahu nomor unit apartemen Pricilla. "Wah, kebetulan sekali, Pak. Tapi, apa hubungannya dengan saya, Pak?" tanya Ronald, kemudian tersenyum canggung. "Ah, pertanyaan yang bagus. Sebelumnya saya minta maaf karena sudah menggan